"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

11 Januari 2012

EVOLUSI PEMIKIRAN DAN PRAKTIK RESORT-BASED MANAGEMENT

LATAR BELAKANG

Pada tahun 2006, paper pertama yang ditulis oleh Wiratno-saat itu Kepala TN Gunung Leuser (TNGL), dengan icon resort-based management (RBM) didasari pada latar belakang bahwa terjadi fenomena yang disebut sebagai “paper park” di TNGL. Yaitu kondisi lapangan yang tidak dijaga oleh staf dalam jangka waktu yang (sangat) lama, sehingga menimbulkan berbagai persoalan yang kronis. Akar masalahnya beragam, mulai dari lemahnya leadership, konflik sipil-militer di Aceh, dan lain sebagainya. Ide-ide tersebut terus bergulir dan akhirnya pada suatu kesempatan, dikomunikasikan kepada Hartono yang saat itu menjabat sebagai Kasubdit Evaluasi Biro Perencanaan. Pada tahun 2007, Hartono menjabat kepala Balai TN Alas Purwo. dan selama 3 tahun penuh mulai dipraktikkan konsep RBM di TNAP, dengan tahapan 2 tahun pertama adalah mengumpulkan data lapangan, sebelum akhirnya mampu dibangun sistem informasi yang lengkap dan canggih sampai dnegan saat ini.Kunci keberhasilan RB< di TNAP, menurut Pak Gunung Nababan-Kepala TN Karimunjawa, adalah leadership dari puncuk pimpinan organisasi.

Tahun 2009 pada Rakernis PHKA, Subdit PP mengusulkan kegiatan RBM dan penanganan perambahan di KK, walaupun belum terbit Renstra PHKA yang mengamanatkan diberlakukannya pengelolaan taman nasional berbasis reosrt di 50 TN. Renstra PHKA baru terbit pada tahun 2011, untuk Renstra periode 2010-2014.

Kondisi riil di UPT sangat diwarnai dengan pola blue-print, yang sebagian menuntut adanya dukungan atau kejelasan peraturan/perundang-undangan dan pendanaan tentang RBM. Hanya ada beberapa UPT TN yang telah memulai RBM dengan berbagai varian dan pemahamannya, seperti di TNGHS (dimana sejak ditunjuknya TNGHS telah didampingi dan didukung oleh JICA, selama 15 tahun); TNAP (inisiatif Kepala Balai), TNKJ (inisiatif Kepala Balai berdasarkan pengalaman di TN Teluk Cenderawasi), TN Baluran (inisiatif KepalaBalai yang didukung PEH), TN Tanjung Puting (inisitaif Kepala Balai dan tim inti yang sangat aktif membangun SIM RBM UPT); TN Merbabu (inisiatif Kepala Balai mendukung kelengkapan laptop/GPS untuk setiap Resort); TN Komodo (telah lama dilakukan penjagaan di lapangan dan RBM merupakan inisiatif Kepala Balai yang diwujudkan dalam alokasi anggaran SIM 2011 dan logistik resort di seluruh pulau); dan TN Ujung Kulon, yang sebenarnya telah lama membangun pola patroli lapangan, khususnya yang lebih diberdayakan ketika Pak Tri Wibowo menjadi Kepala Balai (1998-2003), dan saat ini terus dilanjutkan khususnya oleh tim khusus untuk monitoring badak Jawa. Tri Wibowo merupakan tokoh di TN Meru Betiri pada periode 1988-1993, ketika membangun pola-pola hubungan dengan masyarakat di daerah penyangga. Ia salah satu dari Kepala Balai TN yang lebih sering ke lapangan daripada di kantor; membangun terobosan-terobosan pengelolaan taman nasional yang saat itu belum ada arah kebijakan yang jelas. Di TNBBS, pola-pola kerja lapangan yang serupa dengan RBM lebih didominasi oleh Rhino Patrol Unit (RPU) yang dilakukan oleh WCS dengan melibatkan staf Balai Besar TNBBS. Sedangkan WWF Riau lebih fokus pada program camera trap untuk monitoring dan pendugaan populasi harimau Sumatera, khususnya di kawasan TN Bukit Tigapuluh, SM Rimbang Baling, TN Tesso Nilo.

Penjagaan lapangan sangat penting, khususnya di wilayah yang rawan, sebagaimana dicontohkan oleh Keleng Ukur-yang menjaga Pondok Restorasi Sei Serdang, di TNGL selama hampir 2,5 tahun secara terus menerus (2008-Juli 2010 dan dilanjutkan sampai saat ini), dengan pendekatan kemasyarakatan tanpa menimbulkan konflik sosial.

EVOLUSI RBM DI TINGKAT UPT

Memahami berbagai perkembangan yang terjadi di UPT, tentang penerapan kerja lapangan, yang kemudian disebut sebagai RBM, ada berbagai pola dan tahapan yang menarik untuk dicermati. Hal ini penting agar Tim RBM Pusat dapat memberikan pendampingan yang sesuai dengan kebutuhan setiap UPT yang sangat beragam tersebut.

Mencoba membuat potret persoalan lapangan yang beragam. Sedangkan kondisi di tingkat Pusat yang juga menghadapi fenomena kerja parsial dan kerja rutin, maka akan sangat sulit untuk dapat membangun perubahan yang substansial di tingkat UPT (ide RBM) tanpa melakukan perubahan yang cukup berarti di tingkat Pusat. Banyak pedoman yang disiapkan oleh Pusat hanya menjadi sekedar dokumen yang tidak memiliki “jiwa”, mengandung “spirit”; dokumen yang tidak mampu mendorong UPT untuk membaca apalagi mencoba untuk menerapkannya. Tentu saja hal ini merupakan masalah yang sangat penting untuk dicarikan jalan keluarnya. Proses penyusunan pedoman mungkin harus diperhatikan. Apakah melibatkan UPT atau hanya disusun oleh Tim Pusat. Apabila pedoman memang sudah disusun secara partisipatif, apakah dalam penerapannya, masih diperlukan pendampingan oleh Tim Pusat. Berbagai pertanyaan tersebut mendorong dilakukannya perubahan strategi sejak dari perencanaan awal di tingkat Pusat.


Minimal terdapat 4 generasi pengembangan RBM di UPT, yaitu:

Generasi Pertama

Pemahaman RBM lebih didominasi dengan mentalitas “fisik”, dengan cara melengkapi kebutuhan kelengkapan RBM, berupa kantor, speda motor, dana operasi, tanpa menghiraukan apa yang harus dilakukan oleh staf ketika di lapangan. Pada tahapan ini, berbagai kegiatan lapangan belum sepenuhnya dikoordinasikan dan dimasukkan dalam konteks RBM. Diterbitkannya SK Resort sebagai sekedar formalitas pemenuhan SE Dirjen PHKA.

Generasi Kedua

Selain hal-hal yang terkait dengan fisik,dan formalitas SK kepala Balai tentang Resort, mulai dibangun sistem kerja RBM yang masih bersifat rutin dan mekanistik, dan resort beroperasi di tingkat lapangan, terbatas pada patroli kawasan, operasi gabungan, operasi fungsional, apabila memang dialokasikan pendanaan dari Balai, dengan hasilnya dilaporkan dalam bentuk laporan keproyekan. Perencanaan DIP UPT belum didasarkan pada hasil laporan-laporan RBM.

Generasi Ketiga

Generasi ke 2 yang ditingkatkan dengan kelengkapan SIM RBM, data lapangan dikumpulkan berdasarkan tallyshit yang telah disiapkan. Hasil tallyshit dimasukkan ke dalam SIM. Pada level ke 3 ini telah mulai dibangun dan difahaminya prinsip-prinsip dasar atau paradigma RBM. Hasil RBM mulai dijadikan dasar untuk dimulainya perencanaan kegiatan di tahun mendatang (bottom-up planning). Pada level ini, UPT belajar dari UPT lain yang telah menerapkan RBM. Dalam proses aplikasi RBM, terjadi berbagai konflik internal, antara yang menerima dan yang kurang bisa menerima konsep RBM, yang mensyaratkan perubahan pola kerja, khususnya adanya keharusan untuk ke lapangan, pola perencanaan yang partisipatif, membuat skala prioritas kegiatan, membangun tipologi resort, serta distribusi anggaran yang cenderung mulai dialokasikan ke lapangan. Terdapat kegamangan karena sebenarnya RBM belum didukung dengan kebijakan yang jelas (pedoman yang ditetapkan dengan SK Dirjen).

Generasi Keempat

Telah menerapkan Gen-3, data sudah mulai terkumpul banyak , mendukung baseline dan telah mulai diketahui pola dan trend karena data telah dikumpulkan multiyears dan dianalisis, serta dijadikan dasar untuk menemukenali tipologi resort-resort. Pada level 4 ini mulai muncul berbagai pertanyaan tentang manfaat data, informasi, dan knowledge yang telah berhasil dikumpulkan tersebut. Hal ini terjadi karena data dan informasi dari lapangan telah terkumpul dan semakin banyak, namun belum sepenuhnya diantisipasi kegunaan dan dan informasi yang telah dikumpulkan atau dianalisis tersebut.

Implikasi dari Gen-4 RBM:

Ketika pengelolaan suatu kawasan konservasi telah mencapai Ge-4, maka diprediksi akan muncul implikasi baru yang menyangkut hal-hal sebagaiberikut :

  1. Dalam “teologi” konservasi yang menggemakan strategi : “save it”, “study it”, “use it”, atau perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan, semestinya Gen-4 ini harus mulai didorong untuk memulai tahapan akhir dari teologi konservasi tersebut, adalah bagaimana tugas “pemanfaatan” dapat dilaksanakan, sehingga dapat memenuhi tanggung jawab pemerintah tentang Pasal 33 UUD 1945.
  2. Pada level ke 4 ini, pola-pola “pemanfaatan” harus dapat didorong dari tingkat ekosistem (ekosistem menjadi sehat/normal), ke spesies (dinamika populasi), dan mengarah pada tingkatan tertinggi, yaitu genetik, untuk kemanfaatannya bagi manusia. Pemanfaatan genetik menjadi tantangan tertinggi bagi pengelola dan Litbang Konservasi Alam. Tetapi sebelum ke tingkat genetik, berbagai informasi atau knowledge masih dapat dikemas ke dalam berbagai guideline tentang topik tertentu, misalnya tentang pembinaan habitat, manfaat, manajemen, dan sebagainya.
  3. Persoalan meningkatnya populasi suatu spesies yang dilindungi, untuk dapat dimanfaatkan. Hal ini perlu didukung oleh perubahan kebijakan dari pusat yang dipanyungi oleh hukum. Wilayah ini pun masih kosong, dan belum pernah dipikirkan oleh pengambil kebijakan di pusat.
  4. Seluruh hasil Gen-4 RBM masih berpotensi untuk dikembangkan dengan cara membangun jaringan yang melibatk an pakar, praktisi, swasta, lembaga riset lintas kementerian, promosi, dan sebagainya. Hal ini dalam rangka membangun gelombang baru pemahaman dan penyadartahuan masyarakat dan kemungkinan besar dapat membangun segmentasi pasar baru tentang produk-produk tertentu yang sangat berpotensi dapat dihasilkan dari kawasan konservasi.

EVOLUSI STRATEGI TIM RBM PUSAT

Strategi Awal

Tim RBM sejak awal telah dibangun melalui pola-pola multipihak, dengan melibatkan unsur-unsur dari luar birokrasi Dit KK dan BHL. Kelompok tersebut antara lain figur-figur yang memiliki kapasitas di bidangnya, seperti Agus Mulyana-eks CIFOR (fasilitator), Iwan Setiawan-fasilitator (PILI), Suer Suryadi (praktisi biologi konservasi dan ahli hukum), Robi Royana (praktisi konservasi). Tim juga terdiri dari beberapa figgur di luar Subdit Pemolaan dan Pengembangan, khususnya lintas Subdit di Dit KK dan BHL.

Walaupun RBM sering dinyatakan sebagai HP lama dengan “chasing” baru, namun RBM yang digagas bukan sekedar bungkus baru. RBM yang dibangun adalah upaya untuk merubah sebagian besar pola pikir dan sikap mental, utamanya yang cenderung “project –oriented” semata, perencanaan yang dilakukan dari belakang meja oleh kelompok kecil di Balai, transparansi penggunaan anggaran yang sangat rendah, munculnya frustasi staf lapangan dan kelompok sarjana yang mulai tidak puas dengan pola kerja “proyek”, tanpa adanya perubahan yang cukup substansial di tingkat lapangan. Hal ini di beberapa kasus, telah meningkat pada level frustasi akibat kebuntuan komunikasi dan tidak hadirnya leadership riil di tingkat lapangan.

Dalam perkembangan terbaru di Januari 2012 , muncul kegelisahan tentang filosofi dan makna dibalik RBM. Mengapa RBM sedemikian penting untuk diterapkan di seluruh Indonesia. Mengapa banyak pemahaman yang sangat dangkal tentang “gerakan kembali ke lapangan Ini”, dan masih banyak berbagai kegundahan di antara anggota tim pusat. Muncul soal-soal yang berkaitan dengan spiritualitas, religiositas, dan sebagainya.

SPIRITUALITAS RBM

RBM ternyata dapat diintepretasikan sebagai perintah untuk “membaca”. Perintah Iqra ini pertama kali diterima Muhammad di Gua Hira” beberapa Abad yang lalu. “Membaca” dalam arti luas, ternyata juga perintah kepada manusia untuk mempelajari alam semesta (termasuk kawasan konservasi). Mengapa kita diminta membaca alam semesta. Tentu agar kita mau berfikir dan menggunakan akal dan nurani untuk memahami dan mengetahui isi serta manfaat dari alam ciptaan Tuhan ini. Interpretasi lanjutannya adalah, bahwa agar manusia tidak buta huruf dan terjebak ke dalam zaman “kegelapan” konservasi, jaman jahiliyah konservasi. Dengan “membaca”, yang berarti kita harus bekerja di lapangan, maka kita mulai mengetahui isi kawasan, memahami manfaatnya, dan akhirnya memanfaatkannya untuk kepentingan manusia itu sendiri. Maka dalam konteks pemahaman seperti ini, RBM menjadi tugas mulai kita bersama. Dengan ilmu pengetahuan, data yang dihimpun, lalu dikelola dalam SIM RBM, yang diolah menjadi informasi, dan pengetahunan. Dengan semakin lengkapnya data dan informasi, maka secara bertahap kita berhijrah dari era kegelapan menuju zaman terang bendarang. Masa depan seperti inilah yang kita harapkan terjadi, sehingga kawasan konservasi dapat dipertahankan untuk dikembalikan kepada generasi mendatang 100-500 tahun ke depan (dalam keadaan yang tidak terlalu rusak), karena kawasan konservasi hanya titipan anak cucuk kita yang saat ini belum lahir. RBM harusnya dilihat dalam konteks lintas generasi dan mandat Tuhan kepada manusia yang seperti itu.

TUJUAN AKHIR RBM

Membangun kelembagaan pengelolaan yang memiliki kemampuan untuk mampu menghadapi tantangan yang berkembang dan potensi kawasan yang beragam dan dapat dikembangkan secara dinamis, sekaligus dapat melakukan adaptasi ke dalam dan keluar.

Ciri-ciri kelembagaan UPT yang telah menerapkan RBM adalah:

  • Antisipatif : dapat melakukan antisipasi munculnya berbagai persoalan.
  • Responsif : mampu melakukan tanggapan dengan cepat terhadap berbagai persoalan dan potensi yang dapat dikembangkan.
  • Inovatif : berani melakukan berbagai inovasi atau terobosan menghadapi persoalan internal dan eksternal.
  • Adaptif : mampu melakukan penyesuaikan strategi, taktik, dan mobilisasi sumberdaya dalam merespon beragamnya perubahan situasi dan kondisi yang akan berdampak pada kelestarian kawasan dan fungsinya.
  • Transparan : berani melakukan perubahan paradigma menjadi lebih terbuka dan melibatkan berbagai pihak kunci dalam “siklus manajemen”.
  • Akuntabel : memenuhi kaidah-kaidah tertib administrasi keuangan, tertib pelaporan, dan kualitas pekerjaan.
  • Menjadi Leading Agency dalam penyusunan dan menerapkan kebijakan pembangunan yang berkelanjutan.
  • Berhasilnya dibangun leadership di berbagai tingkatan khususnya di lingkungan internal dan jaringan kerja ke lingkungan eksternal.
  • Terkelolanya berbagai persoalan dan potensi dengan lebih manusiawi dan memberikan kemanfaatan nyata bagi masyarakat, tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip kelestariannya.
  • Memulai kesadaran (spiritual dan intelektual) tentang pentingnya budaya “membaca” yang didisain untuk mempercepat proses pemahaman dan penguasaan data, informasi, dan pengetahuan tentang kawasan dan isinya, termasuk kemanfaatannya bagi masyarakat dan ilmu pengetahuan.

PERBANDINGAN NON RBM vs RBM

Aspek

Sebelum RBM

Sesudah RBM

Identifikasi Akar Masalah dan Potensi

Berdasarkan telaah dokumen, atau hasil survai terbatas dan belum mendalam, teknik survai belum teruji, kegiatan terbatas dilakukan oleh internal, belum melibatkan pakar/praktisi, hasil belum dapat dibandingkan untuk memprediksi trend, baru bisa memotret sympton bukan core problem-nya

Berdasarkan hasil survai dan kajian yang cukup mendalam, dengan teknis pengambilan data yang lebih akurat, melibatkan pakar/praktisi, masyarakat, bersifat time series sehingga dapat memprediksi trend, ,dapat diidentifikasi akar masalah, potensi yg layak dan prioritas dikembangkan.

Perencanaan untuk penyusunan DIPA

Disiapkan oleh kelompok kecil di Balai; Nuansa top-down masih sangat dominan.


Belum didasarkan pada data, fakta, dan analisa kebutuhan riil di lapangan.

Kualitas perencanaan masih rendah, kurang tepat sasaran, masih ada gap antara kebutuhan lapangan dengan ketersediaan perencanaan dan alokasi anggaran

Disiapkan dengan melibatkan Kepala Seksi, Kepala Resort, dan sebagian besar staf Balai. Nuansa keterbukaan komunikasi dan proses bottom-up sangat kental.

Didasarkan pada data dan informasi serta kebutuhan riil dan prioritas kebutuhan di setiap Seksi dan Resort

Kualitas perencanaan lebih baik, lebih realistis, dibuat berdasarkan skala prioritas sesuai tipologi resort, ,lebih tepat sasaran

Pelaksanaan Kegiatan

Nuansa top-down masih kental, Seksi dilibatkan secara terbatas, di tingkat resort suasana menunggu masih dropping dana, untuk melaksanakan berbagai kegiatan. Hal ini diiringi dengan kurang jelasnya sistem kerja, SPJ,pelaporan; peran Kepala Seksi atau “Tim Balai” untuk memberikan bimbingan bleum nampak

Persiapan pelaksanaan kegiatan, dimulai dengan pembahasan bersama, minimal melibatkan Seksi, Tim Balai, menyiapkan ToR untuk setiap kegiatan; mengoptimalkan mekanisme rapat bulanan, atau triwulan, untuk membicarakan persiapan pelaksanaan kegiatan (metode kerja, teknik pengambilan data, SPJ,tata waktu, tim kerja, dsb).

Monitoring dan Evaluasi

Dilakukan secara terbatas oleh Satuan Pengawas Internal (SPI), hanya fokus pada realisasi kegiatan fisik dan keuangan.

Dilakukan oleh SPI dengan melibatkan Seksi dan Resort, serta masyarakat (apabila diperlukan); proses pembelajaran berlangsung dengan intens;

Arahan dan bimbingan diberikan tepat waktu ketiak proses monitoring, sehingga setiap kegiatan dapat mencapai sasarannya.

Evaluasi dilakukan setiap akhir tahun untuk mengetahui capaian fisik (output) dan outcomes-nya.

Hasil evaluasi dijadikan dasar perbaikan perencanaan di tahun yang akan datang.

Leadership

Kepemimpinan masih sangat lemah, arah organisasi kurang jelas, transparansi sangat rendah, muncul berbagai kelompok di Balai (PEH, Polhut, Tim Proyek,dsb); reward dan punishment tidak jelas, suasana kerja tidak kondusif. Kondisi ini berdampak pada tidak selesainya persoalan kawasan, dan berbagai inisiatif kemitraan tidak jalan.

Transparansi yang dikembangkan di berbagai level mulai menghasilkan terbangunnya rasa saling percaya (trus) di hampir seluruh jajaran balai, Seksi, Resort; tumbuh kembangnya rasa sebagai “satu keluarga” besar, saling menghargai, saling menyapa, saling mengingatkan; suasana kerja menjadi lebih kondusif dan nyaman untuk dibangunnya komunikasi yang sehat; Kepala Balai berperan sebagai “orang tua”, yang membimbing, mengarahkan, dan menegur “anak-anaknya”; energi positif mengalir ke berbagai lini, termasuk kepada mitra; arah organisasi menjaid semakin jelas; data dan informasi kawasan semakin lengkap dan kawasan dapat dikelola dan mulai dapat memberikan manfaat nyata bagi masyarakat (riil jangka pendek) dan pengembangan ilmu pengetahuan (jangka panjang).

Perubahan sikap mental

Sebagian besar staf dan pimpinan belum menunjukkan sikap mental tentang pentingnya kualitas dan validitas data dan informasi yang dikumpulkan dari lapangan.

Sebagian besar staf dan pimpinan telah menyadari pentingnya kualitas data dan informasi yang diambil dari lapangan, pentingnya ketepatan metode pnegambilan data, analisis data, melakukan check, cross check, dan recheck (prinsip triangulasi, mengawal proses pembelajaran untuk meningkatkan kapasitas dan kapablitas staf, sebagai bagian dari upaya membangun “learning organsization”, sebagai modal dasar membangun profesionalisme dan menata sikap mental staf yang cinta kejujuran ilmiah dan kejujuran spiritual.

Culture Organisasi

Organisasi diwarnai dengan situasi pasif, reaktif, business as usual, blue-print attitude, menunggu petunjuk atasan, Jakarta.

Organisasi sangat aktif, proaktif, banyak melakukan innovatif, adapsi terhadap berbagai perubahan, membangun network kerja, membangun strategi komunikasi dan marketing dan bahkan mulai dipikirkan membangun kultur dan icon atau branding organization.Dengan indikasi liputan media positif terhadap performa organisasi.


Catatan:

Pemikiran bersama ini masih terbuka untuk dikritisi oleh para pihak, khususnya UPT yang akan, sedang, dan telah menerapkan konsep RBM di wilayah kerjanya. Semoga dokumen ini menjadi bagian dari proses pemikiran kolektif dan akhirnya bisa menjadi miliki bersama dan kesadaran kolektif.

Disusun oleh: KELOMPOK JUANDA 15 (5 Januari 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar