"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

27 Februari 2012

Analisis Bab I Buku Berkaca Di Cermin Retak (Prolog: Perubahan Sosial Konservasi Dan Konservasi Alam) *

Alasan saya membaca Bab I terlebih dahulu adalah, seperti pepatah yang mengatakan “Buku adalah jendela dunia”, saya mengibaratkan buku ini jendela untuk melihat diluar jendela itu, “ada apa sih,”. Sebelum saya membuka jendela itu untuk mengetahui isi dibalik jendela itu, saya harus membuka kordennya terlebih dahulu, dan saya ibaratkan korden itu adalah bab 1 yang harus dilalui dahulu sebelum saya membuka kusen jendela dan bagian-bagian yang lainnya. Saya belajar konservasi kurang lebih sejak 2005 sejak masuk di perguruan tinggi dengan program studi Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata IPB sampai sekarang, tetapi saya mengganggap ilmu konservasi bagaikan suatu iman. Maksudnya apabila iman itu tidak dipupuk, diamalkan, dan dipelajari terus menerus dapat saja akan luntur dan hilang dengan sendirinya.

Sampai saat ini dan dimulai sejak dulu periode awal revolusi perdagangan dunia telah terjadi krisis lingkungan. Dimana pada saat itu krisis ekonomi belum dianggap suatu wacana yang penting dan berarti dalam kehidupan manusia. Manusia masih terus melakukan eksploitasi secara besar-besaran, terlihat dari beberapa dampak yang terjadi adalah banjir, erosi, peningkatan permukaan air laut dan pencairan es di kutub. Setelah terjadinya dampak yang cukup berarti bagi kelangsungan kehidupan manusia, baru hal tersebut dijadikan suatu isu yang sentral dalam wacana global. Negara maju bahkan menggunakan label “eco” untuk produknya. Awal kesadaran akan pentingnya lingkungan pada akhir 1960-an hingga 1980-an disebut dengan perubahan sosial yang fenomenal di dunia.

Perubahan sosial tersebut berawal dari perubahan masyarakat primitif-agraris-industrialis, sampai pada masyarakat elektronik. Perubahan sosial ini melahirkan gagasan mendasar mengenai perubahan sosial dari zaman ke zaman sesuai dengan perkembangan zaman yang ada. Menurut Soedjatmoko (1995) dalam Wiratno, dkk (2004) terdapat tiga tahapan manusia dalam hubungannya dengan alam, yaitu manusia primitif, manusia pramodern dan manusia modern. Perubahan masyarakat menempatkan dirinya pada golongan masyaraakat primitif, pramodern atau manusia modern semua tergantung pada faktor-faktor dinamis dan rangsangan yang ada di dalamnya. Puncak dari kerusakan alam dalam manusia menempatkan posisinya pada era masyarakat modern dimana manusia menjadikan dirinya sebagai penguasa sekaligus perusak alam. Karena dengan adanya teknologi yang semakin maju, manusia mampu mendapatkan secara besar yang ada di alam secara mudah, sebagai contoh kayu dan hasil tambang. Penebangan kayu dihutan yang pada saat manusia belum mengalami modern masih relatif sederhana, tetapi saat manusia sudah memposisikan dirinya menjadi masyarakat modern sudah menggunakan alat-alat berat dalam hal ini bersifat revolusioner.

Akar muncunya gerakan preservasi dan konservasi. gerakan tersebut merupakan gerakan kesadaran masyarakat akan dampak buruk dari kegiatan eksploitasi terhadap alam yang telah terjadi. Preservasi berarti perlindungan yang mengarah pada pengawetan terhadap sisa-sisa hutan. Preservasi menjadi topik yang gentar di seuluh negara-negara didunia, baik negara Eropa, Amerika dan Indonesia sendiri menerapkan preservasi dalam pengelolaan sumberdaya alamnya. Sebagai contoh terbentuknya Taman Nasional Pertama di Dunia Yellowstone dan untuk di Indonesia terbentuknya hutan alam Depok menjadi Cagar Alam.

Dalam perkembangan jaman, preservasi dianggap sebagai pandangan yang lebih arkeologis yang sifatnya statis. Padahal sumberdaya alam untuk hal ini kawasan hutan adalah sesuatu yang sifatnya dinamis, dimana suatu ketika dapat mengalami peningkatan atau penurunan kualitas dan kuantitas. Sumberdaya alam tidak hanya diawetkan saja, tetapi juga dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Dengan alasan tersebut dibentuklah paradikma pemanfaatan dalam konsep konservasi, yaitu pendayagunaan sumber daya alam secara bertanggung jawab agar berguna bagi kesejahteraan masyarakat di dunia. Perubahan dari preservasi menjadi konservasi dirasa lebih dinamis dalam mengelola sumberdaya alam yang ada, sehingga mampu disesuaikan dengan perkembangan zaman yang ada. Konservasi yang memiliki makna pengawetan, pemeliharaan dan pemanfaatan yang lestari, dalam konteks perkembangan ideologi pengelolaan hutan dan perlindungan alam dari preservasi dan sekarang konservasi dari istilah-istilahnya pun sudah menunjukan sesuai yang dinamis dan dapat lebih bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat.

Konservasi yang secara khusus sebagai bentuk pengabdian masyarakat terhadap sumberdaya alam yang ada, begitupun perkembangan konservasi di Indonesia. Konservasi dianggap sebagai bumerang dalam hal yang sifatnya modernisasi untuk saat itu dan sampai sekarang adalah pembangunan. Istilah paradikma konservasi yang dipaksakan melekat pada bangsa Indonesia secara paksa, hal ini dengan penunjukan beberapa kawasan secara paksa pada jaman kolonial dan Orde Baru yang tanpa negosiasi dengan komunitas lokal dan masyarakat sekitar. Imbas yang terjadi hingga saat ini adalah penunjukan kawasan konservasi salah satunya adalah Taman Nasional yang penunjukannya hanya memenuhi persyaratan luas kawasan kanpa konsep pengelolaan yang jelas dan transparan. Untuk kasus di pengelolaan Balai Besar KSDA NTT dari 29 kawasan hampir semuanya mengalami penunjukan seperti itu hanya mementingkan luasan saja, tanpa di iringi dengan pengelolaan yang jelas. Pada saat tahun 1980-an hanya digunakan para elit politik negeri untuk penetapan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Selain itu keterbatasan sumberdaya manusia atau para ahli dalam mengelolaa sumberdaya alam pada saat itu belum banyak. “Apakah saat ini pada tahun 2012 ini sumberdaya manusia yang kompeten dalam mengelola sumberdaya alam sudah semakin banyak, mampu meningkatkan sumberdaya alam yang berkualitas?”. Diharapkan untuk wilayah pengelolaan sumberdaya alam hayati di seluruh Indonesia pada umumnya dan di kawasan Nusa Tenggara Timur pada khususnya dapat meningkatkan pengelolaan yang lebih representasi dalam hal kualitas, dibandingkan hanya secara kuantitatif saja.

Ideologi konservasi sampai saat ini memang sangat sulit dilaksanakan secara benar di lapangan. Hal ini diakibatkan oleh benturan-benturan terhadap beberapa kepentingan yang bertolak belakang terhadap paradikma konservasi itu sendiri. Mentransferkan ilmu konservasi pada manusiawi sangatlah sulit karena berbenturan akan kebutuhan manusia itu sendiri. Kearifan tradisional dapat mampu sebagai budaya praktik yang dapat diterapkan dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai kehidupan sehari-hari. Dalam masyarakat sekitar hutan, pengelolaan alam dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jangka panjang yang dapat dihasilkan adalah terciptanya keberadaan sumberdaya alam yang tetap lestari. Kesadaran manusia adalah bagian dari sistem mata rantai alam maka akan mampu menghindari perusakan alam yang disebabkan oleh kemajuan teknologi, kecerobohan dan keserakahan manusia.

Menanamkan diri kita menjadi manusia yang memiliki jiwa konservasi tidaklah sulit sebenarnya, asalkan kita mengamalkan dan belajar dari masyarakat yang menjunjung tinggi pemanfaatan sumberdaya alam secara arif dan tradisional. Serta mengatakan TIDAK secara tegas terhadap anti konservasi. pada bab 1 untuk buku Berkaca di cermin yang retak ini sangat menjadi inspirasi dalam memajukan bumi Nusa Tenggara Timur. Walaupun berkarang dan cukup lebih gersang dibandingkan daerah lain di Republik Indonesia, tetapi NTT memiliki sesuatu yang dapat diunggulkan, mari kita bersama-sama mencari ataupun mewujudkan mutiara yang terpendam di bumi NTT ini.***

-Salam Konservasi-
-Salam Percepatan-
------------------------------------------------------------------------------
* Oleh: Evi Heriyaningtyas - Calon PEH BBKSDA NTT
Email: heriyaningtyas.evi@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar