Tanggal 26 - 28 September 2017 Direktorat Jenderal KSDAE menggelar Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) Bidang KSDAE Tahun 2017 di Royal Kuningan Hotel. Rakornis Bidang KSDAE ini merupakan salah satu "kendaraan" untuk membangun budaya komunikasi asertif dan inklusif untuk kepentingan menyusun Visi Bersama multipihak.
Cara Baru Kelola Kawasan Konservasi dilakukan melalui pelibatan masyarakat di ± 5.860 Desa yang berada di pinggir atau di dalam kawasan konservasi seluas 27,2 Juta Ha. Masyarakat diposisikan sebagai subyek atau pelaku utama dalam berbagai model pengelolaan kawasan, pengembangan daerah penyangga melalui ekowisata, pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), jasa lingkungan, patroli kawasan, penjagaan kawasan, restorasi kawasan, pengendalian kebakaran, budidaya dan penangkaran satwa. Ditjen KSDAE hanya akan bekerjasama dengan kelompok masyarakat karena hanya dalam kelompok dapat dibangun nilai - nilai kelompok, misalnya kegotongroyongan, kebersamaan, kerjasama, tanggung renteng, dalam rangka membangun tujuan kelompok dan pembelajaran bersama. Secara tidak langsung model ini dapat didorong dilaksanakannya prinsip - prinsip demokrasi di tingkat lokal sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa 72 Tahun yang lalu.
Cara Baru Kelola Kawasan Konservasi harus mempertimbangkan
prinsip - prinsip penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia. Berbagai
permasalahan yang menyangkut hubungan masyarakat atau masyarakat hukum adat di
dalam kawasan konservasi diselesaikan melalui pendekatan non litigasi dan
mengutamakan dialog. Berbagai produk hukum Kemenlhk sebenarnya telah
mengakomodir berbagai kepentingan masyarakat, yaitu antara lain: 1) Permenhut
Nomor 64 tentang Pemanfaatan Air untuk masyarakat; 2) Permenhut Nomor 48
tentang Keberpihakan Pelaku Usaha Jasa Wisata untuk masyarakat setempat; 3)
Permen LHK Nomor 83 tentang Perhutanan Sosial tahun 2016
Cara Baru Kelola Kawasan Konservasi akan dilakukan dengan membangun kerjasama lintas Eselon I Kemenlhk antara lain dengan Ditjen PSKL, yang dapat memberikan akses kelola hutan selama 35 tahun kepada masyarakat Desa di sekitar Hutan Produksi dan Hutan Lindung yang menjadi penyangga kawasan konservasi; Ditjen PDASHL untuk dukungan pembibitan; Ditjen PKTL untuk sinkronisasi batas kawasan; Balitbang Inovasi untuk dukungan riset.
Cara Baru Kelola Kawasan Konservasi juga akan segera dilakukan melalui kerjasama dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Kemendagri dan Kemenkoinfo, agar dapat dicapai sinergitas dan keterpaduan program sejak dari tahap perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi.
Cara Baru Kelola Kawasan Konservasi akan dilakukan dengan membangun kerjasama lintas Eselon I Kemenlhk antara lain dengan Ditjen PSKL, yang dapat memberikan akses kelola hutan selama 35 tahun kepada masyarakat Desa di sekitar Hutan Produksi dan Hutan Lindung yang menjadi penyangga kawasan konservasi; Ditjen PDASHL untuk dukungan pembibitan; Ditjen PKTL untuk sinkronisasi batas kawasan; Balitbang Inovasi untuk dukungan riset.
Cara Baru Kelola Kawasan Konservasi juga akan segera dilakukan melalui kerjasama dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Kemendagri dan Kemenkoinfo, agar dapat dicapai sinergitas dan keterpaduan program sejak dari tahap perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi.
Cara Baru tersebut semoga menjadi salah satu jawaban dari
Nawacita Bapak Presiden RI Joko Widodo yaitu Menghadirkan kembali Negara,
Membangun Indonesia dari Pinggiran, dan Mewujudkan Kemandirian Ekonomi.
Cara Baru tersebut juga sebagai upaya untuk menemukan Model
Kelola Kawasan Konservasi yang didasarkan pada Nilai - nilai Adat dan Budaya
Setempat, Perubahan Geopolitik, Sosial Ekonomi yang terjadi di sekitar kawasan
konservasi sebagai dampak dari pembangunan di berbagai bidang selama 47 Tahun
terakhir. Oleh karena itu, Cara Baru Kelola Kawasan Konservasi dilakukan
melalui pendekatan berbasis lansekap, atau berbasis daerah aliran sungai atau
berdasarkan kondisi ragam ekosistem, habitat, sebaran satwa liar dan keberadaan
ekosistem esensial dan dengan mempertimbangkan perubahan penggunaan lahan
akibat dari pembangunan dan keberadaan serta aspirasi masyarakat dan masyarakat
hukum adat, terutama yang kehidupannya masih tergantung pada sumberdaya hutan
dan perairan.
Cara Baru Kelola Kawasan Konservasi mensyaratkan kemampuan leadership dengan dukungan manajemen di semua
level, mulai dari Jakarta, Provinsi, Kabupaten, Kecamatan, Desa, Dusun dan di
tingkat tapak. Leadership yang kuat harus
membuktikan mampu membangun kerjasama multipihak dengan berpegang pada prinsip mutual respect, mutual trust, dan mutual benefits. Kerjasama atau kemitraan
merupakan keniscayaan dalam pengelolaan kawasan konservasi, dan oleh sebab itu
keberhasilan kelola kawasan konservasi adalah keberhasilan kolektif. Untuk itu
harus dibangun kesadaran kolektif (collective
awareness) sebagai dasar dimulainya aksi kolektif (collective action). Para pihak yang bekerjasama
harus mampu menerapkan empat prinsip governance
yaitu: 1) partisipasi; 2) keterbukaan; 3) tanggung jawab kolektif; dan 4)
akuntabilitas.
Cara Baru Kelola Kawasan Konservasi harus berbasiskan science dan penerapan teknologi tinggi dalam
rangka menemukan nilai manfaat nyata sumber daya genetik untuk kemanusiaan,
misalnya terkait dengan pengembangan obat obatan modern seperti, pengembangan
riset soft coral Candidaspongia sp. untuk
anti cancer di TWA Teluk Kupang, obat obatan tradisional dari TWA Ruteng yang
diinisiasi oleh BBKSDA NTT tahun 1999 - 2013; jamur morel atau Morchella sp. oleh Balai TN Gunung Rinjani tahun
2016.
Cara Baru Kerja Kawasan Konservasi berpegang pada prinsip
"pemangkuan" kawasan. Untuk itu UPT Balai TN/KSDA harus bekerja di
tingkat lapangan. Cara kerja ini disebut sebagai Resort
Based Management (RBM), dimana staf menjaga kawasan di lapangan dengan
menerapkan sistem aplikasi RBM sebagai dasar untuk menerapkan perencanaan
spasial.
Dalam melaksanakan Cara Baru tersebut Ditjen KSDAE
menugaskan 74 Unit Pelakasana Teknis untuk menerapkan Role Model sebagai prototype,
yang disiapkan secara partisipatif dan hasilnya akan dievaluasi pada akhir
tahun 2018. Role Model tersebut juga akan
didokumentasi prosesnya, sehingga keberhasilan dan kegagalannya dapat
dipelajari agar keberhasilannya dapat direplikasi dan potensi kegagalannya
dapat diantisipasi. Ditjen KSDAE membentuk Flying
Team Multipihak yang bertugas membantu UPT melaksanakan Role Model.
Dengan cara seperti ini, diharapkan Ditjen KSDAE mampu
membangun apa yang disebut sebagai "Learning
Organization". Sebenarnya telah banyak pembelajaran yang dapat
dipetik dari kerja lapangan di banyak UPT TN/KSDA, namun belum ada sistem yang
memastikan proses pembelajaran didokumentasi, difasilitasi penyebarannya untuk
dipetik hikmahnya. Misalnya keberhasilan ekowisata Tangkahan dan Restorasi
Ekosistem Cinta Raja oleh Balai Besar TN Gunung Leuser dan didukung oleh UNESCO
pada tahun 2000 - sekarang; Restorasi SM Paliyan tahun 2000 - sekarang oleh
BKSDA Yogyakarta dan Sumitomo; Budidaya Edelweis berbasis masyarakat oleh Balai
Besar TN
Bromo Tengger Semeru tahun 2016; Pengembangan Ekowisata di
Batu Luhur dan Bukit Seribu Bintang oleh Balai TN Gunung Ciremai tahun 2016;
Penyelamatan Vanda tricolor oleh Balai TN
Gunung Merapi tahun 2000 - sekarang; Restorasi berbasis masyarakat di Pesanguan
oleh Balai Besar TN Bukit Barisan Selatan dan didukung oleh Konsorsium
Unila-PILI dan TFCA-Sumatera; Model Penegakan Hukum Perdagangan Ilegal TSL oleh
Balai KSDA Aceh tahun 2017; Model Penanganan Konflik Gajah di TN Way Kambas -
TN BBS tahun 2017 yang didukung oleh WCS; Penanganan Orangutan di kebun oleh
Balai KSDA Kalimantan Tengah didukung Yayasan BOS; Kemitraan Pengelolaan Madu
Hutan oleh masyarakat difasilitasi Balai Besar TN Betung Kerihun dan Danau
Sentarum tahun 2017; Kemitraan Masyarakat di Gunung Honje oleh Balai TN Ujung
Kulon tahun 2017 dsb.
Salah satu indikator organisasi yang sehat dan mampu
merespon perubahan yang cepat adalah kemampuan dan kemauan organisasi
tersebut-Ditjen KSDAE untuk memberikan reward
bagi UPT yang berhasil dan memberikan bimbingan serta memfasilitasi bagi yang
belum berhasil. Organisasi yang maju adalah organisasi yang mampu
mengantisipasi terjadinya potensi kerusakan dan mampu membangun jejaring kerja
multipihak berbasis science dan teknologi
untuk kepentingan kemaslahatan umat manusia terutama bagi kesejahteraan
masyarakat Indonesia yang saat ini dalam proses menemukan kembali jatidirinya
dalam pergulatan global.
Organisasi
seperti itulah yang dicita -citakan terjadi pada Ditjen KSDAE saat ini dan ke
depan. Ditjen KSDAE yang mendapatkan mandat oleh Undang-undang untuk mengelola
kawasan konservasi seluas 27,2 Juta Ha atau 380 kali luas Negara Singapura.
Pengelolaan kawasan konservasi ditujukan untuk kepentingan generasi saat ini
dan akan diserahkan generasi mendatang dalam tempo 100 - 200 Tahun ke depan
dalam keadaan yang insyaallah "baik". Ditjen KSDAE mendeklarasikan
27,2 Juta Ha kawasan konservasi sebagai " National
Treasure"
Resources is limited but Innovation is Unlimited
Tulisan yang menarik Pak. Saya kira ada banyak gagasan luar biasa untuk memperbaiki pengelolaan kawasan konservasi. Sayangnya, sebagian besar hanya sebatas "lip service". Jurang antara retorika dengan realita masih terlalu dalam. Sukses tidaknya program konservasi akan bergantung pada mampu tidaknya mengurangi jurang tersebut. Hutan sudah selayaknya ditempatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup generasi saat ini tanpa mengurangi pemenuhan kebutuhan hidup generasi yang akan datang. Semoga Ditjen KSDAE mempu menghadirkan pengelolaan kawasan konservasi yang adil, menguntungkan secara ekonomi, diterima secara sosial, dan pragmatis secara politis. Buka tugas mudah. Salam konservasi. Ari Rakatama
BalasHapusTerima kasih pak utk ilmu dan wawasannya melalui tulisan-tulisan yang bapak bagikan sangat bermanfaat sekali sebagai modal dasar bagi praktisi kehutanan dalam pengelolaan hutan khususnya bidang konservasi.
BalasHapusPelibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi mutlak diperlukan, dalam pengelolaan CA & CAL Kepulauan Krakatau, belum ada mekanisme legal pelibatan masyarakat dalam pengamanan kawasan. Kedepan, jika pemanfaatan TWA(L) Krakatau yang merupakan bagian kecil dari CA & CAL Kepulauan Krakatau dapat mewadahi masyarakat Sebesi dalam keterlibatannya sebagai kelompok operator/pemandu wisata, akan di-berdayakan juga dalam patroli kolaboratif.
BalasHapusKesadaran kolektif bersama mayarakat harus terbangun, terutama bagi masyarakat tepi kawasan yang notabene hidup berdampingan dengan satwa liar, contohnya gajah yang kerap kali dianggap sebagai hama yang menimbulkan kerugian dan menyebabkan konflik. Keterbatasan BKSDA dalam menanggulangi sejumlah konflik satwa liar yang terjadi di luar kawasan yang di pangku oleh Taman Nasional dan KPH membutuhkan kerja yang lebih keras untuk dilakukan dalam membangun kerjasama multipihak demi penyelamatan satwa liar dilindungi dan manusia/masyarakat-nya yang hidup berdampingan dalam ruang/habitat yang sama.
Banyak sekali hasil laporan kegiatan yang tidak pernah di baca lagi, bahkan tidak dijadikan rujukan untuk pelaksanaan kegiatan berikutnya, hanya di copy paste untuk penyusunan laporan berikutnya. Sangat setuju dengan adanya sistem dengan teknologi canggih yang dapat menjadikan proses kegiatan dan pembelajaran pengelolaan kawasan dapat di-akses dengan mudah dan dirujuk serta di petik hikmahnya.
Teguh Ismail
teguhforest@gmail.com
Kepala SKW III BKSDA Bengkulu