"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

09 Agustus 2012

Kembalikan Pengelolaan Taman Nasional ke Lapangan

[”Paper Park”]

”Paper Park” adalah taman nasional  yang belum atau tidak dikelola secara intensif di tingkat lapangan. Taman nasional yang hanya eksis di atas peta. Sementara itu, konsep pengelolaan taman nasional yang bersifat teritorial atau kawasan menuntut diterjemahkannya konsep pemangkuan kawasan. Di jajaran Eselon I Departemen Kehutanan, yang memiliki mandat ”pemangkuan” kawasan hanya Ditjen PHKA. Ditjen BPK tidak mengelola langsung hutan produksi. Pemegang HPH, HTI, dan IPK lah yang melakukan intervensi atau kontrol langsung terhadap sumberdaya alam di lapangan. Ditjen RLPS juga demikian, bergerak di tataran hutan rakyat, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat,  tentu tidak melakukan pemangkuan langsung. Tetapi hanya melalui mekanisme kebijakan di lahan-lahan masyarakat.

Ditjen PHKA melalui UPTnya Balai TN dan Balai KSDA wajib melakukan pengelolaan di tingkat lapangan. Ini mandat yang disebutkan dalam UU No.5 tahun 1990. Namun, sampai dengan saat ini, mandat tersebut belum diterjemahkan ke dalam bahasa teknis pengelolaan, seperti halnya sistem Resort Polisi Hutan (RPH) dalam pengelaan hutan jati di Pulau Jawa. Satuan-satuan pengelolaan pun belum jelas. Yang lebih mengerikan lagi, banyak taman nasional yang tidak memiliki peta-peta dasar yang dijadikan acuan untuk melakukan pengelolaan taman nasional berbasis kawasan. Berbasis kewilayahan, dan teritorial, dengan sistem zona-zona sebagai basis pengelolaan di wilayah tertentu sesuai dengan zonasinya.

Maka sangat wajar apabila  di lapangan banyak kawasan taman nasional dirambah, diduduki, diklaim, diserobot, ditebangi oleh berbagai pihak yang tidak bertanggungjawab. Apalagi batas-batas kawasan tidak jelas, hanya ada patok di atas peta saja. Hal-hal mendasar seperti inilah yang sebenarnya perlu segera dibenahi.  Implikasi dari tidak hadirnya petugas di lapangan, antara lain adalah :

  1. Perkembangan persoalan di tingkat lapangan tidak pernah diketahui dengan pasti. Siapa dan berapa luas kawasan yang merambah atau membalak kayu siapa saja tokoh intelektualnya, jaringan pemasarannya, dan seterusnya. Apabila kondisi akut ini terjadi untuk waktu yang lama, maka dapat dipastikan bahwa skala persoalan menjadi sedemikian besar, sehingga kawasan dikuasai kelompok-kelompok terorganisir itu., dan petugas semakin tidak berani memasuki kawasannya. Kasus kerusakan seluas 4.000 Ha (deforested) dan 17.000 Ha (degraded) di SKW IV Besitang, Kab.Langkat merupakan contoh proses ”pembiaran” yang terjadi 10-15 tahun berlalu. ”Pembiaran” ini merupakan istilah Menteri Kehutanan, terhadap sikap mental pengelola yang tidak pernah melaporkan kasus-kasus kerusakan kawasan di wilayah kelolanya. Perambahan di kawasan-kawasan konservasi yang semakin tidak terkendali merupakan buah dari proses pembiaran ini.
  1. Di mata penegak hukum-polisi, jaksa, pengadilan, kita juga menjadi tidak punya harga diri. ”Salahnya punya kawasan tidak dijaga, wajar bila diserobot”. Sindiran-sindiran seperti ini juga harus dilihat sebagai auto-critic kepada pengelola untuk segera merubah sistem pengelolaan yang hanya sekedar di belakang meja saja. Maka, komitmen jangka panjang dengan jajaran penegak hukum tersebut harus dibangun agar hukum dapat ditegakkan di lapangan. Apabila di suatu wilayah, telah bertahun-tahun tidak ada hukum yang mampu ditegakkan, kelompok-kelompok yang tidak bertanggungjawab itu akan melenggang dnegan santainya untuk melakukan perambahan secara terorganisir. Ini situasi yang sangat membahayakan. Pada situasi seperti ini, hukum harus ada, harus ada perambah atau penebang haram yang diproses hukum, sampai masuk ke dalam penjara. Dengan demikian, negara eksis karena hukum benar-benar ditegakkan tanpa pandang siapa pelakunya. Sebuah tantangan yang tidak mudah dilaksankan.
  2. Ketiadaan petugas di lapangan, juga mengakibatkan batas taman nasional dan tujuan pengelolaan taman nasional tidak pernah difahami oleh masyarakat. Dengan demikian, maka jangan harap kita akan mendapatkan dukungan dari mereka. Sementara itu, pengelolan mengetahui bahwa  dengan keterbatasan dana, sarana prasarana, dan luasnya kawasan yang harus dikelola, maka hampir mustahil mampu melakukan pengelolaan secara soliter tanpa dukungan dari masyarakat, pemerintah daerah, atau mitra lainnya. Maka, lengkaplah sudah situasi di mana taman nasional menjadi barang yang asing dan bahkan dipandang aneh bagi masyarakat, dan pemerintah daerah. Dukungan pasti tidak akan pernah terjadi pada keadaan yang seperti ini.
  3. Akumulasi dan resultante dari ketiga aspek tersebut di atas, maka kerusakan semakin meluas, sampai pada skala yang hampir mustahil untuk ditangani dalam beberapa tahun ke depan. Apabila hal ini terjadi, maka kawasan taman nasional akan mengarah pada situasi yang disebut sebagai ”open access”.  Yaitu situasi suatu sumberdaya yang tidak dimiliki oleh siapapun, tetapi sekaligus juga miliki setiap orang (yang kuat). Yang berlaku dalam kawasan seperti ini adalah ”hukum rimba” : siapa yang kuat ia yang dapat dan berkuasa. Negara (baca: pemerintah) tidak hadir pada situasi sumberdaya seperti ini. Dan ini merupakan awal dari kehancuran hutan-hutan tropis kita menuju padang alang-alang dan kerusakan sumberdaya hutan, tanah, dan air yang berkepanjangan.
 
[Leuser Sedang Berbenah]

Sejak tahun 2005, manajemen Balai TNGL (sekarang menjadi Balai Besar), telah memahami situasi di atas dengan baik. Oleh karena itu, investasi harus diarahkan untuk kembali menata pola-pola pengelolaan dan arah pengelolaan yang fokus dan ditetapkan skala prioritasnya.

Untuk kawasan taman nasional yang sangat luas seperti TNGL, yang lebih dari 1 juta hektar, dengan panjang batas luas 1.022 Km, maka teknologi GIS dan Remote Sensing harus dipergunakan. Pada tahun 2006, Balai TNGL telah memiliki Lab.GIS, expert GIS didukung oleh Pemerintah Spanyol melalui Program UNESCO, data-data yang diperlukan didukung oleh berbagai mitra, YLI, SOCP, FFI, dan OCSP.

Dengan beroperasinya Lab.GIS tersebut, maka Balai TNGL telah berhasil melakukan kajian spasial terhadap berbagai faktor manajemen di tingkat lapangan, antara lain:

  1. Peta-peta tematik kawasan-geologi, topografi, jenis tanah, iklim, potensi wisata alam, sebaran stasiun penelitian, sebaran kerusakan hutan, sebaran dan besaran illegal logging,
  2. Pemetaan luas kawasan dan batas-batas administrasinya,
  3. Usulan (Revisi) Zonasi kawasan,
  4. Usulan Penataan BPTN, Seksi Wilayah, Resort,
  5. Kajian luas perambahan per Daerah Aliran Sungai (DAS), per Resort, per Seksi Wilayah,
  6. Prediksi panjang batas luar kawasan per Resort, per Seksi Konservasi Wilayah, per BPTN,
  7. Kajian DAS, kerentanan lahan, potensi banjir dan tanah longsor.

Pada saat ini, sedang disusun suatu database untuk seluruh TNGL yang berbasis atau dengan entry Resort. (catatan: resort adalah unit manajemen terkecil di tingkat lapangan, dengan luas dan bentuk wilayah yang beragam). Tujuan dari pembangunan database ini tidak lain adalah untuk membangun : ”Pola Pengelolaan Taman Nasional Berbasis Resort”. Setiap resort akan dikaitkan dengan dua hal. Pertama, secara intern akan dapat diakses semua data dan informasi tentang kawasan, misalnya panjang batas, jumlah dan kondisi pal batas, persoalan di sepanjang batas ke dalam kawasan (perambahan, illegal logging, perburuan liar), peta pemain aktor intelektual, kondisi sarana dan prasarana kantor resort, keadaan pegawai-polisi hutan (polhut), staf fungsional yang disebut sebagai Pengendali Ekosistem Hutan (PEH), non struktural,  dsb. Kedua,  secara eksternal akan dikaitkan dengan desa-desa yang berbatasan dengan resort yang bersangkutan, yang meliputi profil desa, lembaga-lembaga formal dan informal di setiap desa, tokoh formal dan informal, potensi desa, keadaan tata guna lahan, komoditas unggulan setempat, pola ketergantungan desa-taman nasional dalam berbagai bentuk pemanfaatan-hasil hutan bukan kayu, jasa lingkungan, dan seterusnya.

Dari database tersebut dapat dilakukan kajian tentang gap, antara  besaran problem, potensi yang dapat dikembangkan, dengan kondisi kapasitas, motivasi kerja, dan sarana dan prasarana di tingkat resort. Dengan mengetahui besarnya gap tersebut, maka dapat diprediksi dua hal. Pertama, kebutuhan pelatihan dan atau pendampingan bagi kepala resort dan stafnya. Kedua, kebutuhan pelatihan dan pendampingan bagi kelompok-kelompok masyarakat desa dis ekitar resort tersebut, agar dapat mengembangkan berbagai komoditas unggulan setempat, baik yang berasal dari lahan desa maupun dari dalam kawasan taman nasional.

Kondisi profil desa-desa di setiap resort akan berbeda dan kondisi profil resort satu akan berbeda dengan resort lainnya. Dengan demikian, usulan kegiatan setiap tahun untuk setiap resort akan sangat tergantung kepada potensi dan problema yang dihadapi.  Perbedaan ini akan mendorong kompetisi antar resort, sehingga dapat dikawal proses pembelajaran antar resort, dalam hal penyelesaian masalah maupun dalam pengembangan potensi-potensi lokal yang bernilai ekonomi dan dapat mendorong penciptaan lapangan kerja dan ekonomi mikro berbasis kawasan taman nasional.

                                                                                                                                  
[Profil Resort TNGL]

Berdasarkan kajian awal, diperoleh kondisi atau profil resort-resort di wilayah TNGL sebagai berikut.

Data dari tabel tersebut menunjukkan bahwa beban kerusakan berturut-turut terjadi pada  BPTN II Kutacane (13.319 Ha) , BPTN III Stabat (4.879 Ha), BPTN I (1.571 Ha). Dengan demikian, fokus investasi dalam bentuk penegakan hukum penyelesaian perambahan, illegal logging perlu disesuaikan dengan besaran kerusakan tersebut. Namun demikian, perlu digarisbawahi bahwa penanganan persoalan-persoalan kawasan tentu harus dipertimbangkan aspek sejarah kerusakan, sejarah penataan batas kawasan, konflik-konflik eksternal antara masyarakat dengan pihak Balai TNGL di masa lalu, kondisi dan situasi dinamika politik lokal-misalnya untuk seluruh wilayah BPTN di Nanggroe Aceh Darussalam, adalah sangat nyata dan harus disikapi dengan bijaksana.





[Kesimpulan Awal]


Berdasarkan kajian spasial yang telah dilakukan, kajian yang dilakukan melalui penyusunan Rencana Strategis, analisis data-data dari upaya penegakan hukum dna pemantauan kondisi lapangan yang didukung dengan Lab.GIS/Remote Sensing,  dapat diambil beberapa kesimpulan awal yang menarik, dengan uraian sebagai berikut.

Luas setiap resort, besaran persoalan, panjang batas, aksesibilitas, keadaan tata guna lahan di sekitar resort, tipe daerah penyangga, profil desa-desa di sekitar resort dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menentukan berbagai kebijakan perbaikan manajemen internal dan yang terkait dengan faktor-faktor eksternal. Perbaikan manajemen internal tersebut antara lain

1)     Jumlah dan kapasitas kepala resort dan stafnya;
2)     Usulan revisi zonasi di resort  dengan mempertimbangankan resort di sekitarnya;
3)     Fokus dan prioritas investasi internal berupa peningkatan kapasitas staf, sarana prasarana;
4)     Usulan fokus dan prioritas kegiatan di setiap resort, baik yang tahunan maupun yang berjangka menengah-panjang,
5)     Profil resort dan desa-desa yang berinteraksi,
6)     Komoditas unggulan setempat, pola interaksi desa-taman nasional,
7)     Jenis daerah penyangga desa-taman nasional,
8)     Identifikasi dan analisis kapasitas mitra di berbagai tingkatan dan keahlian.

Yang terkait dengan faktor eksternal dalam hal ini adalah berbagai kebijakan pembangunan di tingkatan kabupaten maupun propinsi. Dengan dilakukannya dialog publik keliling kabupaten, maka akan diketahui berbagai kebijakan Pemkab. Selalu ada kemungkinan  mencari sinergi dari kegiatan-kegiatan pembangunan di masing-masing kabupaten tersebut. Kini, misalnya ada Program  Pembangunan Kecamatan (PPK), yang mungkin Balai TNGL dapat memberikan masukan agar lokasi proyek dapat diprioritaskan pada kecamatan-kecamatan yang berbatasan dengan TNGL. Demikian pula dengan berbagai program LSM, dapat disinergikan berbagai upaya yang dilakukan yang selalu dikaitkan dengan resort TNGL sebagai unit manajemen terkecil. Orangutan Information Center (OIC) misalnya, yang saat ini sedang memfasilitasi 15 desa yang berbatasan dengan SKW IV Besitang, Kab.Langkat, yang mengalami kerusakan. Program pendampingan ini langsung dapat dikaitkan dengan penguatan masyarakat dalam membangun pola pejagaan kawasan TNGL secara terpadu. Ini hanya salah satu contoh nyata betapa pentingnya sinergitas di tingkat perencanaan dan pelaksanaan kegiatan dari berbagai pelaku pembangunan tersebut.

Ke depan, apabila kapasitas manajerial resort sudah cukup mumpuni, maka resort-resort akan menjadi unit terkecil yang mandiri. Seksi Konservasi Wilayah bertugas mengkoordinasikan persoalan-persoalan atau upaya-upaya pengembangan potensi yang lintas resort, sehingga peningkatan kinerja resort tidak menimbulkan pengkotak-kotakan atau menimbulkan kontra kerjasama antar resort, mengingat banyak persoalan yang dapat diselesaikan hanya apabila resort-resort bekerjasama secara sinergis.

Koordinasi lintas SKW perlu dilakukan oleh BPTN khususnya yang menyangkut persoalan dan pengembangan potensi yang terjadi pada lintas SKW baik yang menyangkut aksesibilitas antar kabupaten maupun ke propinsi. Pengembangan kemitraan di tingkat kabupaten dan lintas kabupaten, termasuk upaya-upaya kampanye dan komunikasi konservasi.

Tugas pokok Kepala Balai Besar yang setingkat direktur atau Eselon IIb lebih kepada upaya-upaya mensinergikan perencanaan-perencanaan dari bawah tersebut, dengan agenda-agenda pembangunan di kabupaten, propinsi, dan nasional. Kampanye program-program kerja pembangunan TNGL di tingkat global, mengingat TNGL sebagai Warisan Dunia, juga sebaiknya dilakukan oleh direktur pada Balai Besar TNGL tersebut, agar mendapatkan dukungan mendanaan dan jaringan kerja global.

Untuk mewujudkan manajemen yang efektif di tingkatan resort tersebut bukanlah hal yang mudah. Diperlukan 3-5 tahun upaya yang konsisten untuk mengawal proses peningkatan kapasitas dan sistem kerja berbasis resort tersebut. Hal ini perlu didukung oleh Ditjen PHKA dengan pengawalan dan pemantauan perkembangan lapangan yang tegas dan lugas, agar proses pembelajaran dapat didokumentasi dan dapat ditularkan kepada UPT Taman Nasional lainnya di seluruh tanah air. Tantangan besar ke depan bagi  UPT Balai TN/KSDA dan juga berlaku bagi Ditjen PHKA adalah bagaimana mendorong organisasi ini menjadi “learning organization”-suatu organisasi pembelajar, yang selalu melakukan perbaikan strategiàmekanisme kerja, berdasarkan proses pembelajaran dari pelaksanaan kegiatan yang berhasil maupun yang gagal. Mengapa hal ini penting, karena organisasi konservasi sedang tumbuhkembang, sedang growing. Selalu ada dua kemungkinan. Pertama organisasi tersebut  yaitu  hanya sekedar ”growing older” atau menjadi tua dalam usia tetapi tidak selalu berkorelasi positif menjadi dewasa. Organisasi ini dicirikan dengan kekakuan sistem karena terjebak pada aturan yang ketat dan seringkali sudah kadaluwarsa (regulation-trapped),  gemuk, lamban, perencanaan yang tertutup-soliter, dan jaringan kerja rendah atau hampir tidak ada. Kemungkinan kedua organisasi tersebut mengalami proses growing up,  yaitu menjadi dewasa-yang dicirikan dengan leadership yang kuat, penuh dengan inisiatif dan inovasi baru, membangun sistem reward and punishment yang jelas dan konsisten, serta menggunakan networking sebagai strategi organisasi untuk berkembang. Organisasi yang dewasa adalah organisasi yang selalu berusaha belajar dari kesalahan, berorientasi pada kinerja (output dan outcome) bukan sekedar pada input, dan selalu berusaha keras tidak akan  mengulangi kesalahan yang sama.

Organisasi pemerintah di bidang konservasi, menghadapi persoalan laten seperti itu. Kondisi ini persis seperti yang ditulis dan diulas oleh Rhenald Kasali, Ketua Program Magister Manajemen, UI pada Kompas 24 Juli 2007 dengan judul :  ” Birokrasi Tanpa ”Breakthrough”. Reformasi birokrasi memerlukan terobosan yang dilakukan oleh para pemimpin yang mau turun ke bawah, menjebol tembok-tembok kekakuan birokrasi lama yang telah lama ”diuntungkan” dengan adanya ketidakjelasan dan atau kemandegan sistem.


[Pembelajaran dari Leuser]


Fenomena ”Paper Park” di TNGL dapat diambil pelajaran yang sangat bermanfaat. Dampak ikutannya berupa sumberdaya yang mengarah menjadi ”open access” dapat terjadi di seluruh sumberdaya hutan di Prop.Naggroe Aceh Darussalam. Penegakan hukum sekedar shock terapy. Penegakan hukum sangat penting tetapi bukan segala-galanya dalam pengelolaan hutan. Berbagai inisiatif kolaborasi multipihak, khususnya dengan masyarakat dis ekitar kawasan hutan adalah sebuah keniscayaan. Polanya akan beragam tergantung pada dinamika sosial, ekonomi, dan budaya setempat. Peran pemerintah juga harus dirubah dan disesuaikan dengan berbagai aspirasi masyarakat.

Terjadinya berbagai parktik illegal logging terjadi karena sumberdaya hutan kita tidak dijaga khususnya di wilayah hulu. Back to basic dalam pengelolaan sumberdaya hutan berarti kembali mengelola hutan di tingkat lapangan. Hutan bukan sekedar dijaga tetapi dikelola dengan prinsip-prinsip kelestarian, dengan selalu menjaga keseimbangan antara kepentingan sosial, budaya, ekonomi, dan ekologi.

Sangat arogan apabila terdapat satu lembaga yang mengklaim bahwa ia yang berhak dan mampu mengelola sumberdaya hutan yang luasnya jutaan hektar. Keberhasilan pengelolaannya sangat ditentukan oleh seberapa besar kita mampu membangun collective awareness, yang pada akhirnya akan mendorong suatu sinergitas dan menumbuhkan apa yang disebut sebagai  collective action, di seluruh lapisan masyarakat dan aparat pemerintah. Kesadaran harus tumbuh di jajaran penegak hukum, mulai dari aparat kepolisian, militer, pengadilan, dan kejaksaan. Keberhasilan penegakan hukum di wilayah TNGL Kab.Langkat didorong oleh meningkatnya collective awareness di internal Balai TNGL dan seluruh jajaran penegak hukum, yang akhirnya didukung sepenuhnya oleh Departemen Kehutanan dan Mabes Polri di Jakarta. Hal ini masih didukung secara konsisten oleh UNESCO karena TNGL adalah World Heritage Site, yang memiliki kontribusi bagi masyarakat NAD dan umat manusia secara global. 

Salah satu dari kunci dari proses tersebut adalah kemampuan dan kemauan  pemerintah untuk memfasilitasi penguatan berbagai kelembagaan lokal. Persoalan kelembagaan ini seringkali diabaikan dalam pembangunan dan pengelolaan sumberdaya hutan ini.

Di luar berbagai aspek teknis tersebut, leadership merupakan salah satu kunci utama untuk membangun dan membangkitkan upaya yang sistematis dan konsisten dalam meningkatkan efektivitas pengelolaan sumberdaya hutan, baik itu di kawasan konservasi maupun di hutan-hutan lindung, di seluruh tanah air. Propindi NAD saat ini memiliki banyak kekuatan dan kesempatan, untuk mewujudkan sustainable forest management itu. Kesempatan ini harus diambil, agar kebijakan Green Province dan Moratorium Logging tidak terjebak dan dijebak menjadi sekedar retorika dan pernyataan politik sesaat belaka. 

-->
Catatan Penulis :
Paper ini menjadi sangat menarik utnuk direnungkan setelah 5 tahun kemudian (Agustus 2012) ini, kita mengembangkan RBM, melalui seri workshop di seluruh Indonesia (akhir 2009 s/d sekarang); Wiratno, Kupang 6 Agustus 2012.***


 *) Penulis adalah mantan Kepala Balai TNGL 2005-2007. 
   Paper disampaikan pada Lokakarya Dalam Rangka Mengurangi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi (REDD)  Banda Aceh 1-2 Oktober 2007