[”Paper Park”]
”Paper Park” adalah taman
nasional yang belum atau tidak dikelola
secara intensif di tingkat lapangan. Taman nasional yang hanya eksis di atas
peta. Sementara itu, konsep pengelolaan taman nasional yang bersifat teritorial
atau kawasan menuntut diterjemahkannya konsep pemangkuan kawasan. Di jajaran
Eselon I Departemen Kehutanan, yang memiliki mandat ”pemangkuan” kawasan hanya
Ditjen PHKA. Ditjen BPK tidak mengelola langsung hutan produksi. Pemegang HPH,
HTI, dan IPK lah yang melakukan intervensi atau kontrol langsung terhadap
sumberdaya alam di lapangan. Ditjen RLPS juga demikian, bergerak di tataran
hutan rakyat, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, tentu tidak melakukan pemangkuan langsung.
Tetapi hanya melalui mekanisme kebijakan di lahan-lahan masyarakat.
Ditjen PHKA melalui UPTnya Balai
TN dan Balai KSDA wajib melakukan pengelolaan di tingkat lapangan. Ini mandat
yang disebutkan dalam UU No.5 tahun 1990. Namun, sampai dengan saat ini, mandat
tersebut belum diterjemahkan ke dalam bahasa teknis pengelolaan, seperti halnya
sistem Resort Polisi Hutan (RPH) dalam pengelaan hutan jati di Pulau Jawa.
Satuan-satuan pengelolaan pun belum jelas. Yang lebih mengerikan lagi, banyak
taman nasional yang tidak memiliki peta-peta dasar yang dijadikan acuan untuk
melakukan pengelolaan taman nasional berbasis kawasan. Berbasis kewilayahan,
dan teritorial, dengan sistem zona-zona sebagai basis pengelolaan di wilayah
tertentu sesuai dengan zonasinya.
Maka sangat wajar apabila di lapangan banyak kawasan taman nasional
dirambah, diduduki, diklaim, diserobot, ditebangi oleh berbagai pihak yang
tidak bertanggungjawab. Apalagi batas-batas kawasan tidak jelas, hanya ada
patok di atas peta saja. Hal-hal mendasar seperti inilah yang sebenarnya perlu
segera dibenahi. Implikasi dari tidak
hadirnya petugas di lapangan, antara lain adalah :
- Perkembangan persoalan di tingkat lapangan tidak pernah diketahui dengan pasti. Siapa dan berapa luas kawasan yang merambah atau membalak kayu siapa saja tokoh intelektualnya, jaringan pemasarannya, dan seterusnya. Apabila kondisi akut ini terjadi untuk waktu yang lama, maka dapat dipastikan bahwa skala persoalan menjadi sedemikian besar, sehingga kawasan dikuasai kelompok-kelompok terorganisir itu., dan petugas semakin tidak berani memasuki kawasannya. Kasus kerusakan seluas 4.000 Ha (deforested) dan 17.000 Ha (degraded) di SKW IV Besitang, Kab.Langkat merupakan contoh proses ”pembiaran” yang terjadi 10-15 tahun berlalu. ”Pembiaran” ini merupakan istilah Menteri Kehutanan, terhadap sikap mental pengelola yang tidak pernah melaporkan kasus-kasus kerusakan kawasan di wilayah kelolanya. Perambahan di kawasan-kawasan konservasi yang semakin tidak terkendali merupakan buah dari proses pembiaran ini.
- Di mata penegak hukum-polisi, jaksa, pengadilan, kita juga menjadi tidak punya harga diri. ”Salahnya punya kawasan tidak dijaga, wajar bila diserobot”. Sindiran-sindiran seperti ini juga harus dilihat sebagai auto-critic kepada pengelola untuk segera merubah sistem pengelolaan yang hanya sekedar di belakang meja saja. Maka, komitmen jangka panjang dengan jajaran penegak hukum tersebut harus dibangun agar hukum dapat ditegakkan di lapangan. Apabila di suatu wilayah, telah bertahun-tahun tidak ada hukum yang mampu ditegakkan, kelompok-kelompok yang tidak bertanggungjawab itu akan melenggang dnegan santainya untuk melakukan perambahan secara terorganisir. Ini situasi yang sangat membahayakan. Pada situasi seperti ini, hukum harus ada, harus ada perambah atau penebang haram yang diproses hukum, sampai masuk ke dalam penjara. Dengan demikian, negara eksis karena hukum benar-benar ditegakkan tanpa pandang siapa pelakunya. Sebuah tantangan yang tidak mudah dilaksankan.
- Ketiadaan petugas di lapangan, juga mengakibatkan batas taman nasional dan tujuan pengelolaan taman nasional tidak pernah difahami oleh masyarakat. Dengan demikian, maka jangan harap kita akan mendapatkan dukungan dari mereka. Sementara itu, pengelolan mengetahui bahwa dengan keterbatasan dana, sarana prasarana, dan luasnya kawasan yang harus dikelola, maka hampir mustahil mampu melakukan pengelolaan secara soliter tanpa dukungan dari masyarakat, pemerintah daerah, atau mitra lainnya. Maka, lengkaplah sudah situasi di mana taman nasional menjadi barang yang asing dan bahkan dipandang aneh bagi masyarakat, dan pemerintah daerah. Dukungan pasti tidak akan pernah terjadi pada keadaan yang seperti ini.
- Akumulasi dan resultante dari ketiga aspek tersebut di atas, maka kerusakan semakin meluas, sampai pada skala yang hampir mustahil untuk ditangani dalam beberapa tahun ke depan. Apabila hal ini terjadi, maka kawasan taman nasional akan mengarah pada situasi yang disebut sebagai ”open access”. Yaitu situasi suatu sumberdaya yang tidak dimiliki oleh siapapun, tetapi sekaligus juga miliki setiap orang (yang kuat). Yang berlaku dalam kawasan seperti ini adalah ”hukum rimba” : siapa yang kuat ia yang dapat dan berkuasa. Negara (baca: pemerintah) tidak hadir pada situasi sumberdaya seperti ini. Dan ini merupakan awal dari kehancuran hutan-hutan tropis kita menuju padang alang-alang dan kerusakan sumberdaya hutan, tanah, dan air yang berkepanjangan.
[Leuser Sedang Berbenah]
Sejak tahun 2005, manajemen
Balai TNGL (sekarang menjadi Balai Besar), telah memahami situasi di atas
dengan baik. Oleh karena itu, investasi harus diarahkan untuk kembali menata
pola-pola pengelolaan dan arah pengelolaan yang fokus dan ditetapkan skala
prioritasnya.
Untuk kawasan taman nasional
yang sangat luas seperti TNGL, yang lebih dari 1 juta hektar, dengan panjang
batas luas 1.022 Km, maka teknologi GIS dan Remote Sensing harus dipergunakan.
Pada tahun 2006, Balai TNGL telah memiliki Lab.GIS, expert GIS didukung oleh
Pemerintah Spanyol melalui Program UNESCO, data-data yang diperlukan didukung
oleh berbagai mitra, YLI, SOCP, FFI, dan OCSP.
Dengan beroperasinya Lab.GIS
tersebut, maka Balai TNGL telah berhasil melakukan kajian spasial terhadap
berbagai faktor manajemen di tingkat lapangan, antara lain:
- Peta-peta tematik kawasan-geologi, topografi, jenis tanah, iklim, potensi wisata alam, sebaran stasiun penelitian, sebaran kerusakan hutan, sebaran dan besaran illegal logging,
- Pemetaan luas kawasan dan batas-batas administrasinya,
- Usulan (Revisi) Zonasi kawasan,
- Usulan Penataan BPTN, Seksi Wilayah, Resort,
- Kajian luas perambahan per Daerah Aliran Sungai (DAS), per Resort, per Seksi Wilayah,
- Prediksi panjang batas luar kawasan per Resort, per Seksi Konservasi Wilayah, per BPTN,
- Kajian DAS, kerentanan lahan, potensi banjir dan tanah longsor.
Pada saat ini, sedang disusun
suatu database untuk seluruh TNGL yang berbasis atau dengan entry Resort. (catatan: resort adalah unit manajemen terkecil di tingkat lapangan,
dengan luas dan bentuk wilayah yang beragam). Tujuan dari pembangunan
database ini tidak lain adalah untuk membangun : ”Pola Pengelolaan Taman
Nasional Berbasis Resort”. Setiap resort akan dikaitkan dengan dua hal.
Pertama, secara intern akan dapat diakses semua data dan informasi tentang
kawasan, misalnya panjang batas, jumlah dan kondisi pal batas, persoalan di
sepanjang batas ke dalam kawasan (perambahan, illegal logging, perburuan liar), peta pemain aktor intelektual,
kondisi sarana dan prasarana kantor resort, keadaan pegawai-polisi hutan (polhut),
staf fungsional yang disebut sebagai Pengendali Ekosistem Hutan (PEH), non
struktural, dsb. Kedua, secara eksternal akan dikaitkan dengan desa-desa
yang berbatasan dengan resort yang bersangkutan, yang meliputi profil desa,
lembaga-lembaga formal dan informal di setiap desa, tokoh formal dan informal,
potensi desa, keadaan tata guna lahan, komoditas unggulan setempat, pola
ketergantungan desa-taman nasional dalam berbagai bentuk pemanfaatan-hasil
hutan bukan kayu, jasa lingkungan, dan seterusnya.
Dari database tersebut dapat
dilakukan kajian tentang gap,
antara besaran problem, potensi yang
dapat dikembangkan, dengan kondisi kapasitas, motivasi kerja, dan sarana dan
prasarana di tingkat resort. Dengan mengetahui besarnya gap
tersebut, maka dapat diprediksi dua hal. Pertama, kebutuhan pelatihan dan atau
pendampingan bagi kepala resort dan stafnya. Kedua, kebutuhan pelatihan dan
pendampingan bagi kelompok-kelompok masyarakat desa dis ekitar resort tersebut,
agar dapat mengembangkan berbagai komoditas unggulan setempat, baik yang
berasal dari lahan desa maupun dari dalam kawasan taman nasional.
Kondisi profil desa-desa di
setiap resort akan berbeda dan kondisi profil resort satu akan berbeda dengan
resort lainnya. Dengan demikian, usulan kegiatan setiap tahun untuk setiap
resort akan sangat tergantung kepada potensi dan problema yang dihadapi. Perbedaan ini akan mendorong kompetisi antar
resort, sehingga dapat dikawal proses pembelajaran antar resort, dalam hal
penyelesaian masalah maupun dalam pengembangan potensi-potensi lokal yang
bernilai ekonomi dan dapat mendorong penciptaan lapangan kerja dan ekonomi
mikro berbasis kawasan taman nasional.
[Profil Resort TNGL]
Berdasarkan kajian awal,
diperoleh kondisi atau profil resort-resort di wilayah TNGL sebagai berikut.
Data dari tabel
tersebut menunjukkan bahwa beban kerusakan berturut-turut terjadi pada BPTN II Kutacane (13.319 Ha) , BPTN III
Stabat (4.879 Ha), BPTN I (1.571 Ha). Dengan demikian, fokus investasi dalam
bentuk penegakan hukum penyelesaian perambahan, illegal logging perlu
disesuaikan dengan besaran kerusakan tersebut. Namun demikian, perlu
digarisbawahi bahwa penanganan persoalan-persoalan kawasan tentu harus
dipertimbangkan aspek sejarah kerusakan, sejarah penataan batas kawasan,
konflik-konflik eksternal antara masyarakat dengan pihak Balai TNGL di masa
lalu, kondisi dan situasi dinamika politik lokal-misalnya untuk seluruh wilayah
BPTN di Nanggroe Aceh Darussalam, adalah sangat nyata dan harus disikapi dengan
bijaksana.
[Kesimpulan Awal]
Berdasarkan
kajian spasial yang telah dilakukan, kajian yang dilakukan melalui penyusunan
Rencana Strategis, analisis data-data dari upaya penegakan hukum dna pemantauan
kondisi lapangan yang didukung dengan Lab.GIS/Remote Sensing, dapat diambil beberapa kesimpulan awal yang
menarik, dengan uraian sebagai berikut.
Luas setiap
resort, besaran persoalan, panjang batas, aksesibilitas, keadaan tata guna
lahan di sekitar resort, tipe daerah penyangga, profil desa-desa di sekitar resort
dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menentukan berbagai kebijakan
perbaikan manajemen internal dan yang terkait dengan faktor-faktor eksternal.
Perbaikan manajemen internal tersebut antara lain
1)
Jumlah dan kapasitas kepala resort dan
stafnya;
2)
Usulan revisi zonasi di resort dengan mempertimbangankan resort di
sekitarnya;
3)
Fokus dan prioritas investasi internal
berupa peningkatan kapasitas staf, sarana prasarana;
4)
Usulan fokus dan prioritas kegiatan di
setiap resort, baik yang tahunan maupun yang berjangka menengah-panjang,
5)
Profil resort dan desa-desa yang
berinteraksi,
6)
Komoditas unggulan setempat, pola
interaksi desa-taman nasional,
7)
Jenis daerah penyangga desa-taman
nasional,
8)
Identifikasi dan analisis kapasitas
mitra di berbagai tingkatan dan keahlian.
Yang terkait
dengan faktor eksternal dalam hal ini adalah berbagai kebijakan pembangunan di
tingkatan kabupaten maupun propinsi. Dengan dilakukannya dialog publik keliling
kabupaten, maka akan diketahui berbagai kebijakan Pemkab. Selalu ada
kemungkinan mencari sinergi dari
kegiatan-kegiatan pembangunan di masing-masing kabupaten tersebut. Kini,
misalnya ada Program Pembangunan
Kecamatan (PPK), yang mungkin Balai TNGL dapat memberikan masukan agar lokasi
proyek dapat diprioritaskan pada kecamatan-kecamatan yang berbatasan dengan
TNGL. Demikian pula dengan berbagai program LSM, dapat disinergikan berbagai
upaya yang dilakukan yang selalu dikaitkan dengan resort TNGL sebagai unit
manajemen terkecil. Orangutan Information Center (OIC) misalnya, yang saat ini
sedang memfasilitasi 15 desa yang berbatasan dengan SKW IV Besitang, Kab.Langkat,
yang mengalami kerusakan. Program pendampingan ini langsung dapat dikaitkan
dengan penguatan masyarakat dalam membangun pola pejagaan kawasan TNGL secara
terpadu. Ini hanya salah satu contoh nyata betapa pentingnya sinergitas di
tingkat perencanaan dan pelaksanaan kegiatan dari berbagai pelaku pembangunan
tersebut.
Ke depan,
apabila kapasitas manajerial resort sudah cukup mumpuni, maka resort-resort
akan menjadi unit terkecil yang mandiri. Seksi Konservasi Wilayah bertugas
mengkoordinasikan persoalan-persoalan atau upaya-upaya pengembangan potensi
yang lintas resort, sehingga peningkatan kinerja resort tidak menimbulkan
pengkotak-kotakan atau menimbulkan kontra kerjasama antar resort, mengingat
banyak persoalan yang dapat diselesaikan hanya apabila resort-resort
bekerjasama secara sinergis.
Koordinasi
lintas SKW perlu dilakukan oleh BPTN khususnya yang menyangkut persoalan dan
pengembangan potensi yang terjadi pada lintas SKW baik yang menyangkut
aksesibilitas antar kabupaten maupun ke propinsi. Pengembangan kemitraan di
tingkat kabupaten dan lintas kabupaten, termasuk upaya-upaya kampanye dan
komunikasi konservasi.
Tugas pokok
Kepala Balai Besar yang setingkat direktur atau Eselon IIb lebih kepada
upaya-upaya mensinergikan perencanaan-perencanaan dari bawah tersebut, dengan
agenda-agenda pembangunan di kabupaten, propinsi, dan nasional. Kampanye
program-program kerja pembangunan TNGL di tingkat global, mengingat TNGL sebagai
Warisan Dunia, juga sebaiknya dilakukan oleh direktur pada Balai Besar TNGL
tersebut, agar mendapatkan dukungan mendanaan dan jaringan kerja global.
Untuk
mewujudkan manajemen yang efektif di tingkatan resort tersebut bukanlah hal
yang mudah. Diperlukan 3-5 tahun upaya yang konsisten untuk mengawal proses
peningkatan kapasitas dan sistem kerja berbasis resort tersebut. Hal ini perlu
didukung oleh Ditjen PHKA dengan pengawalan dan pemantauan perkembangan
lapangan yang tegas dan lugas, agar proses pembelajaran dapat didokumentasi dan
dapat ditularkan kepada UPT Taman Nasional lainnya di seluruh tanah air. Tantangan
besar ke depan bagi UPT Balai TN/KSDA
dan juga berlaku bagi Ditjen PHKA adalah bagaimana mendorong organisasi ini
menjadi “learning organization”-suatu
organisasi pembelajar, yang selalu melakukan perbaikan strategiàmekanisme
kerja, berdasarkan proses pembelajaran dari pelaksanaan kegiatan yang berhasil
maupun yang gagal. Mengapa hal ini penting, karena organisasi
konservasi sedang tumbuhkembang, sedang growing.
Selalu ada dua kemungkinan. Pertama organisasi tersebut yaitu
hanya sekedar ”growing older”
atau menjadi tua dalam usia tetapi tidak selalu berkorelasi positif menjadi
dewasa. Organisasi ini dicirikan dengan kekakuan sistem karena terjebak pada
aturan yang ketat dan seringkali sudah kadaluwarsa (regulation-trapped), gemuk,
lamban, perencanaan yang tertutup-soliter, dan jaringan kerja rendah atau
hampir tidak ada. Kemungkinan kedua organisasi tersebut mengalami proses growing up, yaitu menjadi dewasa-yang dicirikan dengan
leadership yang kuat, penuh dengan inisiatif dan inovasi baru, membangun sistem
reward and punishment yang jelas dan
konsisten, serta menggunakan networking
sebagai strategi organisasi untuk berkembang. Organisasi yang dewasa adalah
organisasi yang selalu berusaha belajar dari kesalahan, berorientasi pada
kinerja (output dan outcome) bukan
sekedar pada input, dan selalu berusaha keras tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.
Organisasi
pemerintah di bidang konservasi, menghadapi persoalan laten seperti itu.
Kondisi ini persis seperti yang ditulis dan diulas oleh Rhenald Kasali, Ketua
Program Magister Manajemen, UI pada Kompas 24 Juli 2007 dengan judul : ”
Birokrasi Tanpa ”Breakthrough”. Reformasi birokrasi memerlukan terobosan
yang dilakukan oleh para pemimpin yang mau turun ke bawah, menjebol
tembok-tembok kekakuan birokrasi lama yang telah lama ”diuntungkan” dengan
adanya ketidakjelasan dan atau kemandegan sistem.
[Pembelajaran dari Leuser]
Fenomena ”Paper Park” di TNGL dapat diambil
pelajaran yang sangat bermanfaat. Dampak ikutannya berupa sumberdaya yang
mengarah menjadi ”open access” dapat
terjadi di seluruh sumberdaya hutan di Prop.Naggroe Aceh Darussalam. Penegakan
hukum sekedar shock terapy. Penegakan
hukum sangat penting tetapi bukan segala-galanya dalam pengelolaan hutan.
Berbagai inisiatif kolaborasi multipihak, khususnya dengan masyarakat dis
ekitar kawasan hutan adalah sebuah keniscayaan. Polanya akan beragam tergantung
pada dinamika sosial, ekonomi, dan budaya setempat. Peran pemerintah juga harus
dirubah dan disesuaikan dengan berbagai aspirasi masyarakat.
Terjadinya
berbagai parktik illegal logging terjadi karena sumberdaya hutan kita tidak
dijaga khususnya di wilayah hulu. Back to
basic dalam pengelolaan sumberdaya hutan berarti kembali mengelola hutan di
tingkat lapangan. Hutan bukan sekedar dijaga tetapi dikelola dengan
prinsip-prinsip kelestarian, dengan selalu menjaga keseimbangan antara
kepentingan sosial, budaya, ekonomi, dan ekologi.
Sangat arogan
apabila terdapat satu lembaga yang mengklaim bahwa ia yang berhak dan mampu
mengelola sumberdaya hutan yang luasnya jutaan hektar. Keberhasilan
pengelolaannya sangat ditentukan oleh seberapa besar kita mampu membangun collective awareness, yang pada akhirnya
akan mendorong suatu sinergitas dan menumbuhkan apa yang disebut sebagai collective
action, di seluruh lapisan masyarakat dan aparat pemerintah. Kesadaran
harus tumbuh di jajaran penegak hukum, mulai dari aparat kepolisian, militer,
pengadilan, dan kejaksaan. Keberhasilan penegakan hukum di wilayah TNGL
Kab.Langkat didorong oleh meningkatnya collective
awareness di internal Balai TNGL dan seluruh jajaran penegak hukum, yang
akhirnya didukung sepenuhnya oleh Departemen Kehutanan dan Mabes Polri di
Jakarta. Hal ini masih didukung secara konsisten oleh UNESCO karena TNGL adalah
World Heritage Site, yang memiliki
kontribusi bagi masyarakat NAD dan umat manusia secara global.
Salah satu dari
kunci dari proses tersebut adalah kemampuan dan kemauan pemerintah untuk memfasilitasi penguatan
berbagai kelembagaan lokal. Persoalan kelembagaan ini seringkali diabaikan
dalam pembangunan dan pengelolaan sumberdaya hutan ini.
Di luar
berbagai aspek teknis tersebut, leadership
merupakan salah satu kunci utama untuk membangun dan membangkitkan upaya yang
sistematis dan konsisten dalam meningkatkan efektivitas pengelolaan sumberdaya
hutan, baik itu di kawasan konservasi maupun di hutan-hutan lindung, di seluruh
tanah air. Propindi NAD saat ini memiliki banyak kekuatan dan kesempatan, untuk
mewujudkan sustainable forest management
itu. Kesempatan ini harus diambil, agar kebijakan Green Province dan Moratorium
Logging tidak terjebak dan dijebak menjadi sekedar retorika dan pernyataan
politik sesaat belaka.
Catatan Penulis :
Paper ini menjadi sangat menarik utnuk direnungkan
setelah 5 tahun kemudian (Agustus 2012) ini, kita mengembangkan RBM, melalui
seri workshop di seluruh Indonesia (akhir 2009 s/d sekarang); Wiratno, Kupang 6
Agustus 2012.***
*) Penulis adalah mantan Kepala Balai TNGL 2005-2007.
Paper disampaikan pada Lokakarya Dalam Rangka Mengurangi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi (REDD) Banda Aceh 1-2 Oktober 2007
Paper disampaikan pada Lokakarya Dalam Rangka Mengurangi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi (REDD) Banda Aceh 1-2 Oktober 2007