Oleh: Hendrikus Rani Siga
Kepala
Seksi Pengelolaan TN Wilayah I Moni
Balai Taman Nasional Komodo
Sebuah
pengelolaan kawasan konservasi yang baik minimal memiliki tiga tahapan atau
strategi pengelolaan yaitu : perencanaan, pelaksanaan/pengelolaan dan
pemantauan. Aspek pemantauan menjadi sangat strategis karena dapat memberikan
umpan balik kepada pihak manajemen untuk mengambil langkah konkrit dan
strategis untuk mengatasi permasalahan ataupun dampak yang ditimbulkan.
Seringkali pula dalam suatu rencana
pemantauan, indikator dan metode yang dipilih sangat kompleks sehingga
menyulitkan dalam pelaksanaannya. Selain itu, pemantauan dan evaluasi dampak/permasalahan
yang dihadapi oleh pengelola jarang dilakukan karena besarnya biaya yang
dibutuhkan dan anggapan mengenai kecilnya manfaatnya. Padahal hasil pemantauan
sangat diperlukan sebagai masukan bagi pengelola dalam menjalankan program
mereka agar dapat dilakukan perubahan atau penyesuaian apabila terlihat adanya
penurunan kualitas dari sumber daya alam, sarana prasarana pengelolaan maupun
terhadap pengalaman yang ditawarkan kepada wisatawan.
Pada umumnya kawasan konservasi terus
mengalami tekanan baik yang dilakukan oleh masyarakat, wisatawan maupun oleh
pengelola sendiri akibat salah dalam mengambil keputusan ataupun kebijakan. Hal
ini mungkin disebabkan karena kurangnya perhatian ataupun pemahaman pengelola
bahwa sistim pemantauan yang baik sesungguhnya dapat memberikan umpan balik
yang positif dalam rangka perbaikan semua aspek pengelolaan. Mempertahankan
kualitas sumberdaya alam juga akan sangat menentukan tingkat keberhasilan
pengelolaan sebuah kawasan konservasi. Untuk itu, manajemen kawasan konservasi
yang baik sudah seharusnya dapat mengakomodir aspek-aspek pengelolaan pada
tingkat yang paling operasional sekalipun.
Metode pemantauan yang baik seharusnya
merupakan pemantauan dari waktu ke waktu yang memungkinkan manajemen sebuah
kawasan konservasi dapat melakukan pemantauan setiap permasalahan dengan mudah
dan dinamis sehingga dapat memberikan peluang kepada pihak pengelola untuk
segera mengambil tindakan apabila terindikasi sudah mendekati atau melewati
batas-batas toleransi. Namun demikian, harus diakui bahwa sistim pemantauan di kawasan
konservasi saat ini pada umumnya belum berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini
diakibatkan oleh paling tidak dua hal utama yaitu kurangnya alokasi dana untuk
kegiatan pemantauan dan belum adanya sistim pemantauan yang lebih sederhana dan
sistematis. Dengan demikian, sistim pemantauan yang dibangun seharusnya lebih
sederhana, tidak membutuhkan biaya yang tinggi dan dapat dilakukan oleh siapa
saja yang memiliki kepedulian dengan sumberdaya alam di kawasan konservasi.
Sistim pemantauan sangat diperlukan untuk melakukan penilaian terhadap
perubahan karakter lingkungan fisik, lingkungan biologis, lingkungan sosial
termasuk didalamnya adalah penilaian terhadap karakter pengalaman wisatawan
dari waktu ke waktu. Hasil desain kerangka kerja pemantauan yang baik
diharapkan juga dapat menjadi acuan bagi pihak manajemen dalam mengukur setiap
perubahan yang terjadi terhadap setiap komponen lingkungan yang dikelolanya
serta sesuai dengan spesifikasi dan karakter lokasi yang akan dipantau.
Sistim pemantauan yang akan dirancang ini
akan mengindikasikan berbagai permasalahan, rekomendasi, target minimal dan
target maksimal yang akan dicapai, bagaimana pemantauan dilakukan, waktu yang
tepat untuk melakukan pemantauan, siapa yang akan melakukannya, dimana
pemantauan itu dilakukan dan strategi atau langkah apa yang akan diambil oleh
pihak pengelola apabila target-target pengelolaan baik dalam skala
resort/seksi/balai tidak dapat tercapai. Sistim pemantauan seharusnya sangat
spesifik pada tempat dan kegiatannya. Skalanya cukup kecil dan tidak memerlukan
tenaga khusus dan biaya yang besar dan memungkinkan pihak manajemen dapat
mengambil langkah-langkah konkrit untuk melakukan perubahan atau penyesuaian
apabila terlihat adanya penurunan kualitas dari sarana prasarana, sumber daya
alam dan kualitas pengalaman yang ditawarkan kepada wisatawan setiap saat
diperlukan.
Menindaklanjuti
pertemuan informal tentang RBM di kantor Balai Taman Nasional Kelimutu, dimana
di pertemuan itu saya berkeinginan untuk memberikan kontribusi pemikiran dan
konsep sebagai bentuk dukungan saya terhadap konsep RBM yang saat ini sudah dan
sedang berjalan. Concern saya adalah
bagaimana monitoring/pemantauan dilakukan terhadap pelaksanaan RBM pada level
implementasi dan pada level pengambil kebijakan. Menurut hemat saya, perlu
adanya sebuah tool yang dapat
digunakan untuk mengukur hasil capaian penerapan RBM pada semua level pengelolaan.
Berangkat dari permasalahan dan rekomentasi yang didapatkan oleh teman2 di
lapangan (sebagaimana sudah diperlihatkan oleh pak Wiratno dalam presentasinya,
dimana ada sejumlah permasalahan yang ditemukan teman2 di BBKSDA NTT 2),
mungkin perlu sebuah aplikasi atau sebuah sistem untuk memonitor/memantau dari
waktu ke waktu terhadap permasalahan atau rekomendasi itu sudah ditindaklanjuti
atau belum ditindaklanjuti. Kalau ingin ditindaklanjuti, mungkin perlu juga
dirancang bagaimana rekomendasi itu ditindaklanjuti, kapan ditindaklanjuti,
oleh siapa dan dimana ditindaklanjutinya. Sebagai sebuah proses, mungkin kita
dapat menentukan target capaian minimal dan target capaian maksimal
tindaklanjut terhadap sebuah permasalahan atau rekomendasi.
Sama
seperti tugas minimal yang harus dilakukan oleh resort, tindaklanjut dari
sebuah permasalahan atau rekomendasi juga seharusnya ada target minimal capaian
tindak lanjut yang harus dikerjakan oleh berbagai level pengambil keputusan. Pemantauan
terhadap penyelesaian permasalahan atau tindaklanjut dari rekomendasi menjadi
sangat penting, krusial dan strategis karena apabila tidak dilakukan akan
menghasilkan rasa frustasi terutama dari teman2 di tingkat lapangan. Saya
mencoba berurunrembug dengan
menyampaikan sebuah konsep untuk memonitor pelaksanaan RBM dari waktu ke waktu.
Saya berkeyakinan, bapak pasti sudah punya bentuk dan konsep yang sudah siap
untuk diterapkan tapi kebetulan saya belum melihat pada pertemuan kita yang
sangat terbatas itu.
Kerangka kerja (framework) pemantauan kegiatan RBM
sebagaimana tabel dibawah ini, saya batasi dan saya peruntukan penggunaannya
pada pelaksanaan RBM resort2 di Taman Nasional Kelimutu. Namun demikian, tidak
tertutup kemungkinan apabila diterapkan di lokasi lain yang karakterisriknya
sama dengan karakterisrik Taman Nasional Kelimutu. Mudah2n dapat bermanfaat dan
penyempurnaan terhadap kerangka kerja ini menjadi hal yang mutlak dan kiranya
bpk berkenan mengoreksi dan mengomentarinya.
Catatan : Kerangka kerja ini merupakan modifikasi dari kerangka kerja
LAC (Limit of Acceptable Change) yang diperkenalkan oleh Rare ketika saya
menyusun Dokumen Perencanaan Pariwisata Alam Taman Nasional Komodo pada tahun
2002-2004, sehingga diharapkan dapat disesuaikan dengan kebutuhan RBM.
Sedikit
penjelasan terhadap tabel diatas:
1.
Permasalahan: setiap
persoalan yang ditemukan dan dicatat dalam register
2. Rekomendasi: setiap rekomendasi yang disampaikan baik yang
tertulis dalam register maupun dari diskusi yang berkembang
3. Indikator Capaian Target Minimal : capaian minimal sebagai solusi atas
permasalahan yang ada
4. Indikator Capaian Target Maksimal: capaian
maksimal sebagai solusi akhir atas permasalahan yang ada
5. Bagaimana: cara atau langkah untuk menyelesaikan
permasalahan
6. Kapan: batas akhir waktu pelaksanaan rekomendasi
7. Siapa: staf atau pengambil keputusan yang paling
relevan dengan permasalahan yang akan diselesaikan
8. Dimana: lokasi permasalahan atau lokasi proses tindak
lanjut dilakukan
9. Strategi Mitigasi: langkah2 strategis yang harus dijalankan
apabila target minimal atau target maksimal tidak dapat dipenuhi
10. Score: tolok ukur untuk menyatakan resort/seksi/balai
pada posisi disclaimer atau WDP atau WTP (meminjam istilah yang sudah dipakai oleh Badan Pemeriksa
Keuangan).
Tabel diatas hanya menampilkan sebagian contoh dengan
beberapa permasalahan dan rekomendasi yang sempat terlintas dalam pikiran saya.
Tentunya akan sangat banyak permasalahan dan rekomendasi yang akan dihasilkan
oleh teman2 di resort, dengan harapan akan segera diselesaikan baik oleh
pimpinan maupun oleh mereka sendiri. Kerangka kerja ini menurut hemat saya akan
memudahkan pengambil keputusan untuk memonitor setiap waktu, setiap langkah dan
setiap kebijakan yang telah atau belum dibuat oleh pengambil keputusan atau
oleh teman2 resort sendiri.***
Ende, 26 Juli 2012
Ende, 26 Juli 2012