Oleh:
Gae Pius - Staf PPA Kelimutu, 1982
Sejarah Kawasan
Kawasan
Taman nasional Kelimutu awalnya adalah Hutan Lindung/ Hutan Tutupan Sokoria (RTK.52)
yang ditetapkan sejak zaman penjajahan Belanda yang diukur dan dikukuhkan lagi
oleh Balai Planologi Singaraja pada tahun 1983/1984.
Kepanitiaan
Panitia
tata batas adalah Bupati Kepala Daerah Tk. II Ende sebagai Ketua dan Dinas
Kehutanan Kabupaten Ende sebagai Sekretaris merangkap Anggota sedangkan
anggota-anggotanya adalah dinas instansi terkait di Daerah Tk. II Ende, Sub
Balai PPA Nusa Tenggara Timur.
Persiapan
1. Pengumuman Bupati Ende melalui Radio
Pemerintahan Daerah ( RPD ) Ende
2. Pembuatan/pencetakan pilar batas di Ende oleh
Tim Planologi Singaraja Bali.
3. Pengiriman pilar batas ke desa-desa yang
berbatasan dengan kawasan yang akan dilakukan pengukuran sebelum pelaksanaan
pengukuran.
Tim Pelaksana
- Tiga orang dari Balai Planologi Singaraja, diketuai oleh Ir. Putu Rurus, dengan anggotanya Saiful dan Ketut Madre.
- Pendamping adalah staf Dinas Kehutanan Ende, KRPH Detusoko, KRPH Wolowaru, KRPH Ndona, Staf Sub Seksi PPA Ende, KRPPA dan Staf Resort PPA Kelimutu, Anggota Polisi Resort Ende dan anggota Polsek Detusoko, anggota Polsek Wolowaru dan anggota Polsek Ndona.
Waktu
Pelaksanaan
1. Tanggal 17 s/d 18 Desember 1983 di Desa
Detusoko, Kecamatan Detusoko. Tim bermalam di kampung Pemo Nago Desa Detusoko. Malam
sebelum pelaksanaan, Tim Planologi melakukan pertemuan dengan tokoh adat (yang
mempunyai hak ulayat) tanah persekutuan Adat Detusoko. Kemudian siang dan hari
selanjutnya dilakukan pengukuran yaitu dari Tapal batas B.1 s/d B.7 dengan
melibatkan tokoh adat dan masyarakat sebagai buruh pembawa pilar dan pembuat
jalur ukur. Tapal batas B.1 dan B.5 berada pada tapal batas lama yaitu ‘gundukan
tanah’ pal batas lama zaman Belanda. Selama pelaksanaan di desa tersebut tidak
ada hambatan, berjalan lancar dan aman.
2. Tanggal 19 s/d 22 Desember 1983 di Desa
Wologai - Kecamatan Detusoko, Tim bermalam di Dusun Kelameta. Dari pal B.8 s/d
pal B.43, pilar batas ada yang ditanam
pada tapal batas lama yang merupakan ‘gundukan tanah’ dan juga ‘gundukan batu’,
dan ada juga yang ditanam di tempat yang baru. Walaupun selama pelaksanaan pengukuran
di desa tersebut tidak ada kendala karena hutan berbatasan langsung dengan
Hutan Ampupu hasil reboisasi yang dibuat sejak zaman Belanda, namun tetap
melibatkan masyarakat desa setempat sebagai buruh pembuat jalur ukur dan
pembawa pilar batas.
3. Tanggal, 23 dan 27 Desember 1983 di Desa
Nduaria - Kecamatan Wolowaru, Tim bermalam di Dusun Nduaria. Pelaksanaan
tanggal 23 Desember agak terhambat karena masyarakat mempertahankan tanaman kopi
yang sudah ada, sehingga jalur batas tapal batas B.44 ke tapal batas B.45 naik
ke puncak mengikuti alur sungai. Tapal batas tersebut merupakan tapal baru dan
tidak ditempatkan pada tapal batas lama yang merupakan ‘gundukan tanah’. Dalam
pelaksanaannya, kegiatan ini tetap melibatkan masyarakat sebagai buruh
laki-laki maupun perempuan.
4. Tanggal 28 s/d 29 Desember 1983 di Desa
Nuamuri - Kecamatan Wolowaru, Tim bermalam di Dusun Wolokelo, tapal batas B.65
s/d B.74. Pelaksanaan kegiatan ini melibatkan masyarakat Dusun Wolokelo, karena
tanah yang berbatasan dengan kawasan adalah tanah persekutuan Adat Wolokelo.
Permasalahan terjadi karena ada masyarakat yang mempertahankan tanah garapnya
sehingga tapal batas B65 s/d B67 terdapat pada punggung bukit yang sama menuju
puncak. Posisi pilar tapal batas tidak pada tempat pal batas lama kecuali Tapal
batas B.71.
5. Tanggal 30 Desember 1983 di Desa Koanara - Kecamatan Wolowaru, Tim bermalam
di Manukako Desa Woloara. Pelaksana di wilayah Desa Koanara melibatkan
masyarakat Dusun Waturaka dari tapal batas B.75 s/d B.79, tidak ada kendala
karena jalur tapal batasnya yang sangat curam dan terjal.
6. Tanggal 31 Desember 1983, tanggal 2 s/d 3
Januari 1984 di Desa Woloara - Kecamatan Wolowaru dari pal batas B.80 s/d B.98,
yang salah satu penguasa ulayatnya adalah Pegawai PPA. Semuanya berjalan baik
dan aman sesuai dengan keinginan masyarakat penggarapnya. Topografi wilayahnya
landai dan memungkinkan untuk dijadikan lahan pertanian. Tanggal 4 s/d 5
Januari masih berada di Desa Woloara tetapi penginapan pindah ke Kampung Pemo. Pemo
mempunyai tanah persekutuan adat tersendiri. Tapal batas yang masuk dalam
wilayah persekutuan Adat Pemo adalah dari Tapal B.99 s/d B.115. Pelaksanaan pengukuran
di Dusun Pemo melibatkan masyarakat Pemo sebagai buruh, baik pambawa pilar maupun pembuat jalur ukur. Tidak ada permasalahan
karena jalur ukur berbatasan langsung dengan Hutan Ampupu hasil reboisasi oleh
Dinas Kehutanan Kab. Ende.
7. Tanggal, 6, 9, 10 Januari di Desa Tenda - Kecamatan
Wolowaru dari tapal batas B.116 s/d B.135, Tim bermalam di Lia Kamba Desa
Tenda. Pelaksanaan tetap melibatkan tokoh adat yang mempunyai hak ulayat dengan
masyarakat penggarap. Pelaksanaan pengukuran tidak mengalami hambatan karena
berbatasan langsung dengan hutan tua rimba campuran dan cukup jauh dari jangkauan
masyarakat. Untuk menjangkau ke lokasi tersebut membutuhkan waktu 4 sampai 5
jam.
8. Tanggal 11 Januari 1984 di RK Aekeu Desa
Wolojita, Kec.Wolowaru dari tapal batas B.136 s/d B.137. Dalam palaksanannya
tidak mengalami hambatan karena berbatasan langsung dengan hutan tua atau hutan
alam.
9. Tanggal
12 s/d 14 Januari 1984 di Desa
Wiwipemo - Kecamatan Wolowaru tapal Batas B.138 s/d B.154, Tim bermalam di Wiwipemo. Pelaksanaan melibatkan tokoh sdat
dan masyarakat sebagai buruh dan pembawa pilar batas. Pelaksana di lapangan
berjalan lancar dan aman karena jalur ukur yang ditempuh berbatasan langsung
dengan hutan tua atau hutan rimba, namun sampai di lokasi Kerubege tapal batas
B.144 dan Bhoakeba tapal batas B.145 ada oknum masyarakat yang mengancam akan
memindahkan pal batas tersebut. Semua tapal batas ada pada lokasi baru karena
tidak temukan tapal batas lama.
10. Tanggal, 16 Januari 1984, Tim pindah Desa
Roga Kecamatan Ndona dan bermalam di Toba. Pelaksanaan pengukuran tanggal 17
s/d 20 Januari 1984 di Desa Roga Kecamatan Ndona. Tanggal 18 Januari sempat
terhenti karena masyarakat mempertahankan lahan garapan sehingga Tim harus
pulang dan melakukan negosiasi/ perundingan dengan mosalaki dan masyarakat.
Baru pada tanggal 19 Januari pengukuran kembali dilaksanakan mengikuti kemauan
tokoh adat dan masyarakat. Di desa ini ada 2 komunitas adat yaitu Komunitas
Adat Toba dan Komunitas Adat Roga yang menpunyai wilayah dan mempunyai hak ulayatnya
masing-masing. Tanggal 20 Januari 1984 dilanjutkan pengukuran di wilayah yang
berbatasan dengan tanah persekutuan Adat Roga. Ada 2 tapal batas yang tidak
ditanam yaitu tapal batas B.168 dan B.169 karena dicegah oleh masyarakat. Namun
meskipun setelah dibuat Berita Acara Penyelesaian Masalah, masyarakat tetap menolak untuk
menandatanganinya.
11. Tanggal 21, 23 s/d 25 Januari 1984 di Desa
Sokoria - Kecamatan Ndona dari tapal batas B.170 s/d B.197, Tim bermalam di
Kopoone - Desa Sokoria. Pengukuran di wilayah desa tersebut tidak mangalami
hambatan karena tim mengikuti kemauan tokoh adat dan masyarakat Desa Sokoria.
Apabila petugas mengikuti peta perencanaan, maka sawah dan tanaman kopi
masyarakat akan masuk ke dalam kawasan. Di desa tersebut terdapat sumber Gas
Bumi Mutu Busa yang sekarang berada pada lahan masyarakat. Setelah selesai
pengukuran, Tim diundang oleh Mosalaki (tokoh adat) Sokoria untuk makan bersama
di rumah Adat Sokoria.
12. Tanggal 26 Januari 1984 di Desa Kurulimbu, Kecamatan Ndona, dari tapal batas B 198 s/d B 205. Tim bermalam
di Kurulimbu Desa Kurulimbu. Pengukuran berjalan lancar karena tim mengikuti kemauan
Tokoh Adat dan masyarakat yang mempertahankan lahan garapannya.
13. Tanggal 27 s/d tanggal 28 Januari 1984 di
Desa Puutuga Kecamatan Ndona dari tapal batas B.206 s/d B.214, Tim bermalam di
Puutuga - Desa Puutuga. Pelaksanaan cukup lancar karena jalur batas yang
ditempuh melewati jurang yang terjal serta tetap melibatkan tokoh adat dan masyarakat
setempat sebagai pembuat jalur ukur dan pembawa pilar batas. Tapal batas di wilayah
ini berada pada tempat yang baru karena tidak ditemukan tapal batas lama yang
merupakan tumpukan/gundukan batu atau tanah.
14. Tanggal 29 s/d 31 Januari 1984 di Desa Saga
Kecamatan - Detusoko dari tapal batas B.115 s/d B.230, Tim bermalam di Saga - Desa
Saga. Tanggal 29 Januari 1984 mengikuti upacara penguburan kematian Kepala Desa
Saga. Tanggal 30 s/d 31 Januari 1984 mulai melakukan pengukuran yang diikuti
oleh tokoh adat dan masyarakat Saga. Tapal batas B.221 s/d B.224 kontur/ punggung
bukit yang sama kemudian menyeberang ke bukit berikutnya tapal batas B.225.
Semua tapal batas berada pada tempat baru karena tidak ditemukan tapal batas
yang lama.
15. Tanggal 2 s/d 3 Pebruari 1984 di Desa Niowula
Kecamatan Detusoko, tapal batas B.231 s/d B.237, Tim bermalam di Ndito - Desa
Niowula. Pelaksanaan dengan melibatkan tokoh adat dan masyarakat pembawa pilar
dan pembuat jalur ukur. Pengukuran di wilayah desa tersebut tidak mengalami
hambatan.
16. Tanggal 4 Pebruari 1984 di Desa Wolofeo Kecamatan Detusoko,
tapal batas B.238 s/d B.241 dan akhirnya ‘ketemu gelang’ dengan tapal batas B.1
Desa Detusoko - Kecamatan Detusoko. Pelaksanaan pengukuran di wilayah ini tidak
ada hambatan atau permasalahan.
Proses Akhir
Setelah pelaksanaan pengukuran, proses selanjutnya
adalah pembuatan peta oleh Balai Planologi Singaraja dan Berita Acara Tata Batas
yang akhirnya ditandatangani pada bulan Juni 1984.
Beberapa catatan
penting adalah :
- Kepala desa di Kabupaten Ende khusus wilayah yang berbatasan dengan kawasan hutan tutupan Sokoria semuanya dari unsur adat atau Mosalaki sehingga tidak ada alasan bahwa pengukuran tidak diketahui oleh Mosalaki atau tokoh adat sebagai pemangku hak ulayat.
- Pelaksanaan selalu melibat tokoh adat dan masyarakat desa setempat dengan jumlah berkisar antara 15 sampai 30 setiap desa.
- Tidak ada keberatan dari masyarakat mulai dari saat selesainya pengukuran sampai penandatanganan Berita Acara Tata Batas.
Tentang
penutur :
Gae Pius, sejak tahun Juli 1982 adalah pegawai harian pada bagian proyek di Resort
PPA Kelimutu. Pada Agustus 1982, bekerja
di Sub Balai PPA NTT di Kupang. Selanjutnya
pada Maret 1983 bekerja di staf Resort Kelimutu selama 1 bulan. Pada April
1983, menjadi staf Sub Seksi PPA di Ende. Pada tahun 1985, mengikuti pendidikan
Polisi Khusus Kehutanan di Kupang. Pada periode tahun1985 - 1997 bekerja di
Resort KSDA Kelimutu, sebagai Kepala Resort. Selanjutnya pada tahun 1997-2000,
menjadi koordinator Jagawana Unit TN Kelimutu sampai saat ini.
Catatan Wiratno:
Berdasarkan
penelusuran Nurman Hakim (Juli 2012), Tacit
Knowledge (TK) adalah salah satu dari unsur pengetahuan. TK adalah
pengetahuan dan keahlian yang bersifat mental dan belum didokumentasikan. Dalam
konteks RBM, TK ini diinterpretasikan sebagai zip-file dari senior staf, yang pada umumnya petugas PPA (masa
1980an). Zip-file tersebut antara adalah memori staf PPA tentang pemancangan
pal batas kawasan. Dalam kasus TN Kelimutu, pemasangan pal batasnya pada tahun
1982-1984, dimana pada saat ini adalah kawasan hutan tutupan Sokoria (RTK.52).
Pak Gae Pius sebagai staf PPA, telah menyimpan memori dan pengetahuan tentang pal
batas ini selama 28 tahun (1984-2012).
Dalam
informal workshop RBM (25-27 Juli 2012) di Kantor TN Kelimutu, Ende, saya
meminta secara khususnya kepada Pak Gea Pius, menuliskan kronologis tata batas
RTK.52 tersebut yang kini menjadi TN Kelimutu. Tulisan di atas adalah hasil tekstualisasi dari catatan-catatan Gea
Pius, dalam proses tata batas tersebut, yang ternyata sangat rinci dan
sistematis.
Dengan
demikian, kini kita memiliki dokumentasi tentang proses tata batas, yang
tentunya akan sangat bermanfaat bagi manajemen di Balai TN Kelimutu dalam
menghadapi berbagai persoalan batas, juga bagi Tim RBM yang nantinya akan
berhadapan dengan masyarakat setempat (dalam hal keabsahan atau konflik batas).
Nilai informasi dari pola dokumentasi ini antara lain dapat menjadi acuan atau
dasar bagi Tim RBM ketika akan ke lapangan melakukan cek kondisi pal batas dan
persoalannya pada saat ini. Dokumentasi pengetahuan dan pengalaman dari staf
senior terbukti menjadi sangatlah penting dan strategis. ***