"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

11 Juli 2012

Nilai-Nilai RBM


Setelah hampir dua setengah tahun penuh (awal tahun 2010 - Juli 2012), setidaknya 20 kali proses fasilitasi Resort Based Management (RBM) kepada 50 Balai Taman Nasional dan beberapa Balai KSDA, sampai dengan workshop terakhir di Balai TN Ujung Kulon, Balai TN Kep Seribu dan BBKSDA Jawa Barat di Carita (tanggal 4 - 6 Juli 2012) pada level kedua/ tingkat staf, dan beberapa kepala balainya, tidak kurang 1.000 orang telah mulai memahami prinsip-prinsip dasar RBM dan nilai-nilai yang dikandungnya. Model yang dikembangkan adalah fasilitasi melalui workshop dan dilanjutkan dengan pendampingan (jarak jauh) via email, facebook, dan media komunikasi lainnya.

Yang menarik adalah pernyataan Pak Moh Haryono, Kepala Balai TN Ujung Kulon dalam workshop RBM  di Carita. Beliau menyatakan bahwa tidak pernah ada proses kebijakan baru yang dikawal dengan sangat ketat dan konsisten, dan multiyears seperti RBM ini. Pak Haryono setelah menyelesaikan program doktornya di IPB sempat diminta membantu Subdit Pemolaan dan Pengembangan - Direktorat KKBHL selama hampir 1 tahun dalam melaksanakan RBM di 2011. Beliau termasuk pelaku dalam mengawal RBM ini.

Figur lainnya yang menentukan proses RBM ada 2 orang, yaitu Nurman Hakim dan Ecky Saputra. Nurman mengawal proses komunikasi intensif dan asertif dengan figur-figur muda di UPT, dimana awal mulanya adalah sejak pembentukan Pokja Penanganan Perambahan Pusat yang meminta UPT untuk juga ‘mendirikan’ Pokja serupa dengan keputusan Kepala Balainya. Selama tahun 2009 - 2010, telah dapat diidentifikasi UPT yang memiliki staf dengan kemampuan GIS/Database yang lumayan mumpuni, namun umumnya keahlian dan skill mereka belum dimanfaatkan secara optimal dan sistematis, mereka masih bekerja rangkap sana-sini. Ecky adalah staf DIPA yang memahami persis psikologi berbagai persoalan kawasan, termasuk soal perambahan, RBM, dan lain sebagainya. Ia mampu menterjemahkan
berbagai substansi dalam konteks RBM kedalam bahasa RKAKL. Menarik karena ia memiliki pengalaman lapangan yang lama di TN Siberut, bukan hanya di Padang tetapi di pulau di sekitar akhir tahun1999 sampai 2000an. Masa dimana Koen Meyers - UNESCO mengembangkan co-management paling sulit yang pernah penulis ketahui, yaitu bagaimana membangun kerja konservasi di antara orang-orang Mentawai di Pulau Siberut, agar mendukung taman nasional. 

Nilai-nilai
Nilai-nilai menjadi pemandu menjadi suluh organisasi, baik dari kalangan swasta (korporat),  pemerintah, maupun di perguruan tinggi. Di dunia korporat, mereka membangun nilai-nilai perusahaan yang akan menjadi faktor pengarah dalam menentukan visi, misi, dan strategi. Beberapa contoh di bawah ini akan membantu kita untuk memahami nilai-nilai yang dibangun dan diterapkan oleh berbagai pihak.
Unilever

Kami memiliki seperangkat nilai kebersamaan. Nilai-nilai tersebut memandu cara kami menjalankan usaha dan mempengaruhi cara berpikir serta bertindak. Hal ini dilakukan dengan memasukkan nilai-nilai gabungan tersebut dalam pelaksanaan kerja setiap hari sehingga kami dapat menjalankan perusahaan dengan sukses.

Nilai-nilai kami dijelaskan dalam Tujuan Perusahaan kami. Kode Etok Prinsip Usaha membimbing cara hidup kami berdasarkan prinsip tersebut dari hari ke hari. Kode Etik Mitra Usaha memuat apa yang kami harapkan dari para supplier kami. Kode Etik Pertanian Berkesinambungan menjelaskan ekspektasi kami terhadap para supplier pertanian.


Tridarma di Universitas Gadjah Mada,

Melalui proses pendidikan di UGM, perwujudan nilai-nilai luhur tersebut telah dirintis oleh para pendiri UGM melalui Tridarma dalam berbagai bentuk, yang pada hakikatnya bermuara pada penanaman dan penumbuhan:

a)  jiwa pemberani/patriotik, berbudaya dan berpandangan luas jauh ke depan dengan mempertimbangkan kenyataan dan kebenaran yang dilandasi atas optimisme, keyakinan dan moralitas (aspek ber-Ketuhanan / religiusitas),
b) kesediaan berkorban untuk kepentingan masyarakat banyak untuk menjadikan manusia yang bermartabat dan berbudaya (aspek berperikemanusiaan/ humanitas),
c)  semangat mengobarkan rasa cinta dan loyalitas kepada bangsa dan tanah air, membangun atas dasar kemampuan dan percaya diri (aspek kebangsaan-nasionalistik),
d)  semangat pengabdian, kepeloporan dan usaha tanpa pamrih yang dilandasi rasa saling percaya dengan kesediaan menyumbangkan seluruh kemampuannya untuk diabdikan pada kepentingan masyarakat banyak, bangsa dan negara (aspek kerakyatan)
e) sikap berkeadilan yang diwujudkan dalam pendidikan melalui kebijakan membuka akses pendidikan tanpa membedakan status sosial, kedaerahan, ras, suku dan agama dengan dilandasai atas semangat gotong royong, kerukunan, kesatuan dan persatuan (aspek keadilan dan kesejahteraan sosial).

Nilai-nilai RBM

Resort Based management, atau seringkali disebut sebagai RBM adalah suatu upaya sistematis yang mendorong staf Balai KSDA atau Balai Taman Nasional untuk kembali bekerja di lapangan. Kembali ke lapangan bukan hanya secara fisik, tetapi juga perubahan dalam orientasi berfikir dan bersikap. Bukan sekedar bekerja dari ‘belakang meja’, meneropong persoalan atau potensi kawasan dari kejauhan. Yang dimaksud dengan ‘lapangan’ dalam hal ini sangat luas, mulai dari petak hutan atau muara atau lembah sungai yang dekat dengan kantor resort, yang bisa ditempuh dengan jalan kaki beberapa menit, sampai ke daerah-daerah hutan belantara yang masih angker dan ‘wingit’ dengan jalan terjal berliku menaiki perbukitan cadas, berlumut licin penuh dengan pacet, di ketinggian 1000 m dpl ke atas yang berkabut. Atau ekosistem perairan, rawa, danau, padang lamun, sampai ke terumbu karang dengan berbagai keindahan dunia bawah laut di berbagai kedalaman, berarus deras yang memerlukan keahlian khusus sebagai seorang master dive.

Penuh dengan perhitungan yang matang, khususnya apabila wilayah itu berupa pulau-pulau kecil dengan laut bergelombang ganas pada musim tertentu. Kesehatan kapal motor yang ditumpangi Tim RBM harus prima. Safety first adalah prinsip dasar Tim RBM yang ke wilayah perairan/lautan. Biaya dan waktu yang tidak sedikit serta kondisi tubuh yang relatif bugar dan sehat saja yang akan mampu menjelajahi alam liar seperti itu, dimana kegaiban yang masih penuh dan menunggu untuk dieksplorasi kerahasiannya, dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga melalui proses ‘sensing’ dengan matahati.

Keselamatan Tim RBM juga bisa terancam ketika bertemu dengan berbagai tindak pelanggaran di kawasan, dimana mereka melakukan perlawanan. Kasus pengamanan di TN Komodo dimana para pengebom ikan melakukan perlawanan, sehingga terjadi ‘perang’ yang akhirnya menimbulkan korban di jiwa bagi pelanggar dari Kecamatan Sape - Bima, adalah contoh nyata betapa beratnya tugas-tugas pengamanan kawasan konservasi itu. Ke depan konflik-konflik perambahan di kawasan konservasi, akan semakin meningkat kuantitasnya dan kompleksitas persoalan penanganannya.

Maka, melaksanakan RBM memerlukan kerja kolektif, bukan kerja soliter. Meminjam istilah Anand Krishna, RBM adalah model kerja transpersonal (kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas). Ia juga mensyaratkan kerja dalam tim (teamwork), yang dipimpin oleh seorang Ketua Tim yang mumpuni dan tahan banting serta dibekali dengan disiplin sekaligus rasa kerelawanan yang tinggi. RBM bukan sekedar jalan-jalan ke hutan, atau menikmati keindahan taman laut dan puncak gunung. Maka, penulis mengusulkan nilai-nilai yang terus digali dan dikembangkan dalam konteks Tim RBM dan konteks kerjanya yang berat dan menantang seperti diuraikan di atas, antara lain adalah:

1.     Leadership.
Kepemimpinan sangat penting dan menentukan dalam membangun kebersamaan sebagai teamwork, kekompakan, kedisiplinan. Pemimpin kelompok menentukan sistem kerja, tata waktu, kesiapan tim (metoda, peralatan survai, peta kerja, kemah, P3K). Pemimpin memutuskan melanjutkan survai atau kembali ke kantor resort, setelah mempertimbangkan faktor kesulitan lapangan, cuaca, atau hal-hal khusus-seperti sensitivitas lapangan akibat konflik-konflik yang sebelumnya pernah terjadi, dan lain sebagainya. 

2.     Kesadaran akan pentingnya memotret fakta-fakta lapangan di setiap titik (point) apa adanya. Tidak ditambah dan dikurangi, apalagi memalsukan data. Nilai ini sangat penting untuk diikuti, difahami, dan dicerna dalam hati dan kesadaran kita. Sungguh tidak ada gunanya memalsu data. Sikap mental ini penting karena fakta-fakta lapangan kemungkinan besar akan menunjukkan jalan kepada kita tentang hal-hal di balik yang nampak tersebut. Menggiring kita untuk tertarik menelusuri lebih dalam tentang latar belakang terjadinya sesuatu yang dinampakkan kepada kita pada saat ini. Fakta, misalnya perambahan. Dengan memotret ragam tanaman pangan yang ditanam akan menggiring kita untuk menduga-duga tentang latar belakang ekonomi si pelaku dan kemungkinan besar motif di balik tindakannya selama ini. Sikap jujur, tidak berpihak, dan cinta akan kebenaran berdasarkan fakta-fakta yang dipotret adalah modal dasar Tim RBM dalam mensikapi substansi dan agar mampu ‘membaca’ lapangan.

3.   Kesadaran akan perlunya pendekatan multidisipliner untuk memahami fakta-fakta lapangan. ‘Membaca lapangan’ memerlukan Tim yang dibekali dengan kemampuan multidisiplin. Mengidentifikasi jenis pohon perlu ilmu dasar dendrologi atau ilmu pengenalan jenis pohon; membaca kehadiran satwa dari jejak, suara kicauan, pekikan satwa liar; mengetahui kehadiran jenis-jenis tertentu dengan membaca berbagai jenis tumbuhan yang patah dahannya karena dimakan daun dan buahnya; kemampuan memasang camera atau video trap, memasang jerat atau jaring untuk serangga. Pada beberapa tingkatan keahlian, mereka mampu membaca indikator biologi untuk memprediksi tingkat ‘kesehatan’ habitat untuk jenis satwa tertentu, dan sebagainya.

4.   Hukum persiapan adalah suatu kesadaran akan pentingnya persiapan yang harus dilakukan sebelum Tim RBM ke lapangan (Wiratno dalam Nakhoda, 2004). Hukum persiapan ini dikenalkan oleh Maxwell-pakar manajemen dan leadership, yang menyatakan bahwa apabila suatu persiapan dilakukan dengan baik, maka 40-50% perencanaan atau bahkan persoalan sudah di tangan kita. Dalam konteks RBM, maka persiapan yang harus dilakukan antara lain aspek akomodasi, konsumsi, jadwal kerja dan berbagai peralatan survai yang harus ready for use. Pemahaman Tim RBM tentang kondisi kawasan, blok, atau daerah penyangga yang akan dikunjungi juga sangat penting. Fase awal ini disebut sebagai tahap ‘downloading’ dalam Theory U, yaitu men-download semua data dan informasi yang relevan (via google misalnya), cek laporan atau dokumen survai terdahulu, buku, catatan perjalanan, termasuk di dalamnya adalah interview terfokus dengan resorce person, yaitu staf senior, atau tokoh lokal yang mengetahui sejarah berbagai persoalan atau potensi di kawasan tersebut.

Saat ini, di BBKSDA NTT berbagai informasi kunci tentang 29 kawasan konservasi (luas lebih dari 200.000 Ha), sebagian telah bisa diunduh di Situation Room, dalam ranah Sistem Informasi RBM. Sistem ini akan memudahkan bagi siapa saja untuk mengetahui berbagai persoalan kunci dan potensi kawasan konservasi di seluruh NTT.

5.     Kesetiakawanan
Nilai ini sangat penting dan akan menentuan kekompakan kelompok dan hasil kerja kelompok. Rasa setia kawan, rasa mau berbagai dan saling tolong menolong ketika di lapangan terjadi persoalan, atau keluarga yang ditinggalkan mengalami musibah. Nilai ini bukan hanya berlaku di lapangan. Namun dari lapangan, nilai kesetiakawanan ini akan semakin tumbuh subur. Komunikasi intensif selama di lapangan, akan membawa suasana baru tentang hubungan staf di Kantor Balai dengan staf lapangan. RBM yang digagas ini bukan sekedar membagikan kegiatan di resort-resort, lebih dari sekedar pola lama itu. RBM ini mendorong seluruh komponen kembali ke lapangan, yang artinya ke kawasan konservasi dan daerah penyangga di sekitarnya untuk memperhatikan fakta-fakta lama dan yang baru atau situasi terkini tentang lapangan, dikaitkan dengan tujuan pengelolaan setiap fungsi kawasan. Tim dari Balai yang membantu Tim RBM di resort-resort akan mengetahui secara langsung persoalan konkrit yang dihadapi Kepala Resort dan stafnya juga kondisi keluarganya. Semoga dengan pola ini, tumbuh subur rasa empati di hati mereka tentang berbagai kesulitan dan tantangan yang dihadapi teman-teman mereka di lapangan, mereka yang menjaga lapangan. Menurut Anand Krishna, inilah yang disebut sebagai kerja transpersonal: kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas. Bekerja di bidang konservasi alam, sebagian besarnya adalah masuk ke dalam wilayah kerja-kerja transpersonal.

6.     Mengasah “curiosity” dan Cinta Science
Memahami kawasan konservasi masih penuh dengan misteri, ini disebabkan oleh masih sangat lebarnya gap antara kemampuan (knowledge) yang kita miliki sekarang dengan fakta-fakta. Oleh karena itu, berbekal rasa ingin tahu yang tinggi, setiap fenomena yang dipotret atau terpotret di lapangan, harusnya menjadi titik tolak untuk mencoba mengetahuinya lebih jauh, dinamika kesalingterhubungan yang rumit dan kompleks di antara berbagai faktor (biotik-abiotik-sosekbudpol). Mulai dari nama lokal, kegunaannya di tingkat masyarakat, nama latinnya, sampai ke tingkat yang lebih tinggi, seperti kemungkinan perlu tidaknya mengetahui kandungan kimiawinya, ada tidaknya kandungan bioaktif di dalamnya, dan lain sebagainya.

Rasa ingin tahu ini juga menyangkut berbagai fenomena sosial budaya yang ada di lapangan, praktik-praktik pertanian masyarakat, pola-pola pengambilan hasil hutan bukan kayu oleh masyarakat setempat, strategi masyarakat untuk bertahan hidup dalam kaitannya dengan kawasan konservasi. Maka, RBM ini disebut sebagai RBM+ karena nilai-nilai yang dikembangkannya sudah jauh, bukan sekedar mendata kondisi kawasan, tetapi juga mencoba mencaritahu, kemungkinan nilai manfaat dibalik fakta-fakta atau temuan di lapangan seperti itu.

Tim RBM harus memiliki kecintaan akan ilmu pengetahuan (science), sehingga berbagai temuan dari lapangan justru merangsangnya untuk mencari tahu scientific answer-nya seperti apa. Membuka literatur, berkonsultasi dengan pakarnya, menjadi tindak lanjut dari hasil kerja Tim RBM. Peranan staf fungsional seperti PEH akan sangat membantu mengungkap rahasia di balik fakta-fakta temuan Tim RBM tersebut. Ini mejadi titik awal kita menuju scientific-based decision making process. Pola decision support system-nya pertama-tama harus berdasarkan analisis ilmiah bukan asumsi atau berdasarkan subyektivitas semata-mata.

Kerja dengan science telah terbukti di NTT dengan ditemukannya sponge yang belum pernah ditemukan di tempat lain di Indonesia. Temuan Dr. Agus Trianto, pakar biokimia sumberdaya kelautan Universitas Diponegoro Semarang ini terjadi dalam kegiatan penelitian selamnya di TWA Teluk Kupang, belum lama ini bersama Yosi - pekerja konservasi BBKSDA NTT. Sebagaimana kita ketahui, sponge telah terbukti dapat diolah menjadi materi anti kanker (setelah diteliti selama 35 tahun). Maka, dengan science, semoga sebagian kecil rahasia-Nya pelan-pelan akan terbuka. Semua ini demi kemanusiaan dan kepentingan masa depan umat manusia.

7.     Bermental  “Endurance”
Kerja konservasi sebaiknya memiliki mental ‘endurance’. Sikap mental tahan banting dan tidak mudah menyerah. Banyak upaya konservasi dilakukan bertahun-tahun lamanya, dengan resiko menghadapi berbagai tingkat kegagalan yang tinggi. Dengan resiko mengahadapi Kepala Balai atau Kepala Seksi yang baru, dengan style manajemen yang mungkin sangat berbeda, yang menolak hal-hal lama walaupun diyakini banyak staf, adalah program yang baik - program yang berhasil. Sikap ini juga harus dibarengi dengan sikap berani menyampaikan pendapatnya. Dan mengurangi atau kalau mampu menghilangkan sikap Asal Atasan Senang (AAS) yang menyesatkan itu.

8.     ‘Berani Berpendapat’
Berani berpendapat menyampaikan sikapnya tentang apa yang diyakininya sebagai hal yang benar - tentu dengan cara yang santun, adalah diperlukan dalam penerapan konsep RBM ini, dalam menghadapi berbagai persoalan, baik internal Balai maupun eksternal. Anggota Tim RBM harus berani menyampaikan fakta-fakta lapangan secara lugas, harus berani mengatakan yang sebenarnya tentang berbagai hal yang ditemukan di lapangan. Untuk kepentingan Tim, keberanian ini juga akan memperbaiki kualitas kerjasama, saling menghargai, saling mengingatkan untuk kebaikan bersama, akan  meningkatkan chemistry di antara anggota tim.

9.     Dokumentasi
RBM+ saat ini berbeda dengan pola-pola ke lapangan di masa lalu, antara lain dengan cara mendokumentasikan kegiatan lapangan tersebut. Seluruh data lapangan dimasukkan ke dalam tallysheet dengan format yang baku, dan dengan pemahaman yang relatif sama tentang pengisiannya. Data yang diperoleh dimasukkan ke dalam aplikasi (Sistem Informasi) RBM, diolah dan dipetakan. Analisis lanjutannya adalah dicoba untuk melihat pola-pola persoalan atau potensi-potensi yang ditemukan dari lapangan. Bahkan apabila diperlukan, Tim RBM bisa mengambil spesimen untuk dibawa, diawetkan dan diidentifikasi di kemudian hari.

Selain tugas-tugas kelompok, dokumentasi pribadi dalam bentuk jurnal anggota Tim RBM akan sangat membantu nantinya dalam memahami berbagai hal selama perjalanan ke lapangan dan bertemu dengan berbagai pihak. Pengalaman batin ini akan berbeda bagi setiap orang. Maka membuat jurnal pribadi menjadi bagian yang bernilai lebih dan hal ini sudah dibuktikan oleh Aminah - ia menceritakan pengalaman matahati dan batinnya selama 2 minggu membantu Tim RBM di TWA Ring 17 Pulau.

Contoh lain dari jurnal sangat otentik dilakukan oleh Isep Mukti, staf Seksi Sukabumi BBKSDA Jawa Barat, yang mencatat proses penanganan perambahan di SM Cikepuh dari hari ke hari mulai 2 Mei 2001 sampai 29 Desember 2003. Ia memunculkan figur kepemimpinan Noor Rakhmat. Catatan otentik tentang interaksinya dengan alam dan dengan banyak fihak di lapangan. Catatan tersebut sangat membantu Tim Balai untuk lebih memahami persoalan, potensi, dan peluang wisata yang dapat dikembangkan di Riung di masa depan. Jurnal-jurnal tersebut akan menjadi bahan baku buku atau guide book, buku panduan lapangan, yang nantinya akan diterbitkan oleh Balai dan pasti akan bermanfaat bagi semua pihak yang kerja di tingkat lapangan.

10.  Strategi ‘masuk’ kawasan
Banyak kawasan konservasi sudah lama kita tinggalkan. Jarang didatangi, jarang ditengok, apalagi dijaga. Dalam jangka panjang dapat dan sering muncul persepsi di masyarakat bahwa kawasan tersebut tidak ada pemiliknya, dianggap sebagai open access. Keadaan ini sangat membahayakan, karena ketika kita kemudian masuk dan aktif kembali dan tiba-tiba melakukan penegakan hukum dengan menangkap para perambah, muncullah konflik sosial yang skalanya dapat membesar dan meruncing. Di sisi lain, pola-pola pengelolaan kawasan konservasi sudah seharusnya melibatkan banyak pihak di sekitar kawasan, termasuk melibatkan tokoh-tokoh formal dan informal, juga perlu melibatkan kelompok-kelompok masyarakat. Dengan pemahaman seperti itu, maka Tim RBM harus membangun komunikasi asertif dengan banyak pihak di tingkat lokal. Membuka komunikasi dan dialog dan menjelaskan kepada para pihak atau otoritas setempat tentang tujuan Tim RBM ke lapangan. Membuka peta kawasan dan membagi informasi kepada kepala desa, kepala dusun, tokoh-tokoh informal bukan hal yang tabu, tetapi justru harus dilakukan sebelum Tim RBM masuk ke lapangan. Justru dengan melaksanakan entry strategy seperti ini, diharapkan munculah pemahaman yang sama tentang banyak hal, termasuk persoalan dan potensi kawasan dalam kaitannya dengan masyarakat setempat.

11.  Organisasi Pembelajar
Pola-pola yang dikembangkan dalam konsep RBM+ tersebut diharapkan mendorong lahirnya organisasi pembelajar (learning organization). Organisasi pembelajar hanya bisa diwujudkan apabila seluruh komponennya menjadi insan pembelajar. Yang selalu belajar dari kesalahan masa lalu. Yang cinta akan kebenaran dan fakta-fakta, bukan justru memalsukannya. Pemimpin di organisasi tersebut harus mampu membangun iklim kerja yang kondusif untuk terbangunnya komunikasi multiarah yang mencerdaskan, jauh dari rasa takut, minder, terancam, jauh dari suasana intrik, dan sebagainya, sehingga pola-pola partisipasi dan kebersamaan sebagai ‘satu keluarga besar’ atau timbul rasa sebagai satu extended family yang dapat dibangun, dipupuk dan dikembangkan. Dalam organisasi pembelajar, seorang pemimpin harus mampu menjaga keseimbangan antara kepentingan organisasi dan kepentingan personal atau keluarga dari setiap stafnya. Keterbukaan di antara semua unsur dalam organisasi akan menyehatkan organisasi dan memompakan spirit kerja lapangan yang berkesinambungan, yang memerlukan enduransi yang tinggi itu. Nurman Hakim menambahkan pentingnya menelaah dan memahami kembali ajaran Ki Hajar Dewantara tentang ajarannya yang sangat fenomenal, yaitu : ing ngarsa sung tuladha (di depan memberi tauladan), ing madya mangun karsa (di tengah memberi bimbingan), tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan). Inilah bekal pemimpin dalam membangun organisasi pembelajar.

12.  Perilaku Asertif
Perilaku orang-orang yang bekerja dalam RBM dan organisasi pembelajar, yang sedang ‘memotret fakta-fakta’ dan mengembangkan berbagai inisiatif baru serta bermaksud mempengaruhi banyak pihak, sebaiknya memiliki perilaku asertif. Ulyniamy menguraikan bahwa orang memiliki tingkah laku asertif adalah mereka yang menilai bahwa orang boleh berpendapat dengan orientasi dari dalam, dengan tetap memperhatikan sungguh-sungguh hak-hak orang lain. Mereka umumnya memiliki kepercayaan diri yang kuat.  Menurut Rathus (1986) orang yang asertif adalah orang yang mengekspresikan perasaan dengan sungguh-sungguh, menyatakan tentang kebenaran. Mereka tidak menghina, mengancam ataupun meremehkan orang lain.  Orang asertif mampu menyatakan perasaan dan pikirannya dengan tepat dan jujur tanpa memaksakannya kepada orang lain. Kerja di bidang konservasi alam, nampaknya perlu memiliki sikap mental asertif ini. Mengajak, membujuk orang lain untuk ikut kita, coba memahami dari berbagai sudut pandang tanpa paksaan, atas dasar kesadaran, adalah hal-hal yang perlu direnungkan bagi para pegiat RBM dimana pun berada saat ini.

Penutup
Semoga artikel ini mampu menjadi pemicu untuk diskusi lebih lanjut tentang nilai-nilai RBM, nilai-nilai yang sedang kita kembangkan untuk masa depan konservasi alam di Indonesia. Artikel ini juga terinspirasi dari 4 tradisi yang dikembangkan oleh Dr.S.H.Koorders, yaitu : ke lapangan, riset, dokumentasi, dan network. Buku tentang Koorders itu sedang dalam proses finalisasi oleh penulisnya: Pandji Yudistira. Artikel ini penulis tujukan untuk menghargai jerih payah seorang pruna tugas Pandji Yudistira.
Artikel ini juga bagian dari penghargaan penulis kepada semua pegiat RBM: Wahyu Murdiayatmaka - TN Alas Purwo; Swiss - pecinta burung di TN Baluran; Dhimas Oni-pengembang database TN Karimunjawa; Ecky Saputra - interpretator subtansi dan artikulator anggaran, Nurman Hakim - pengawal RBM dan pengembang jejaring instruktur RBM se Indonesia; Gunung Nababan - Kepala Balai Besar KSDA Papua, penggagas, pemikir, dan pekerja konservasi pembangun TN Teluk Cenderawasih dan TN Karimunjawa; Maman Surahman - inisiator dan penggerak penanaganan perambahan di TN Gunung Ciremai;  Hartono - penerap RBM TNAP 2007-2010 sekarang Sekditjen PHKA; para peserta program RARE yang sangat aktif di lapangan: Yusuf Syaifudin – TN Karimunjawa, Boby - SM Dolok Surungan, Ipong - pencetus Rumah (baca) Bakau di Percut Sumut; Hastoto – TN Manupeu Tanadaru; Sumidi - pengawal tradisi dokumentasi di TN Kutai; Arif – TN Ujung Kulon; Regent - staf Resort BKSDA Bengkulu di Enggano; Ridwan Soleh - pengawal dan pendamping masyarakat menjaga CA Simpang; Iwan Setiawan - PILI; Suer Surjadi - kolega di Pokja Penanganan Perambahan (2010-2011); Keleng Ukur - penjaga pondok restorasi Sei Serdang TN Gunung Leuser; Agus Mulyana - CIFOR; Moko, Subhan, Ujang (S2  di Delf) - mereka pernah bekerja dengan penulis di TNGL (2005-2007); Roby Royana - pengelana  konservasi; Koen Meyers - mantan UNESCO, sekarang Deputy Director WCS; Nicodemus Manu - Riung; Hendrikus Mada - purnatugas penjaga CA Watu Ata-Bajawa; Yesaya Talan - penjaga penyu di TWA Manepo; Yosi - penyelam handal BBKSDA NTT; Aminah – PEH/ anggota Flying Team BBKSDA NTT; penjaga SIM RBM BBKSDA NTT (Arif Mahmud, Maman Surahman, tigaserangkai Rio - Evi - Wulan); Kepala Bidang Wilayah - Ora Johanes dan Dominggus Bola; Yance, Juna, Wantoko, Yusuf Gunawan, dengan pilar pendukungnya Dadang Surya – Sekretaris DIPA dan Kasie P2, Zubaidi Susanto - Perencanaan, Hartojo - KBTU, Bu Wiwik dan Tim di Bagian Keuangan, Umum, dan Evaluasi; Alex, Jack, Thomas - Tim SPORC BBKSDA NTT, dan seluruh tim BBKSDA NTT, khususnya yang berada aktif di lapangan.

Terakhir, artikel ini penulis dedikasikan untuk almarhum rekan kita, Ir. Luhut Sihombing yang bertahun-tahun bekerja di berbagai tempat yang sangat sulit, dan terakhir bertugas sebagai Kepala Balai Besar TN Betung Kerihun. Ia telah mendahului kita meninggalkan dunia yang fana ini pada hari Ahad 8 Juli 2012, jam 04.30 di Penang, Malaysia. Doa kami untuk sahabat kita yang dipanggil ke haribaan-Nya....***

WiratnoFoundation@20120708