Rationale
Kerja di bidang konservasi alam, yaitu melindungi, menyelamatkan,
merehabilitasi berbagai habitat satwa liar, kondisi bentang alam yang indah,
gejala geologi dengan berbagai situs-situsnya, tipe-tipe hutan dan ekosistem hutan
alam, mulai dari pantai, pegunungan rendah, sampai ke puncak-puncaknya yang
berkabut dan bersalju, puncak-puncak bergunung api aktif, wilayah-wilayah
dengan tipe ekosistem unik, daerah payau, danau, bantaran sungai, delta, rawa
gambut, ekosistem air hitam, hutan kerangas, padang savana, padang lamun,
ekosistem terumbu karang, atol, pulau-pulau oceanic,
kawasan karst dengan gua-gua alam dan
sistem sungai bawah tanahnya, dan berbagai bentukan alam lainnya.
Kecepatan kerusakan kawasan-kawasan tersebut 50 tahun terakhir ini dan
ke depan laksana mengikuti deret ukur; sedangkan upaya rehabilitasi atau
kebijakan untuk mengurangi kecepatan kerusakan itu seperti deret hitung. Kehancuran
hutan-hutan tropis dan kepunahan spesies menunjukkan tingkat yang sangat serius
dengan kecepatan yang tidak terbayangkan pernah terjadi di masa lalu. Lifestyle negara-negara Utara yang
tingkat konsumsinya 1 : 50 bila dibandingkan dengan negara-negara Selatan, serta
kemiskinan dan kelaparan di negara-negara Selatan dengan tingkat pertumbuhan
penduduknya yang tinggi, menjadi faktor pemicu kerusakan sumberdaya alam
tersebut.
Luas daratan Indonesia 192 juta Ha, dimana 22 juta Ha adalah kawasan
konservasi (KK) yang berada di daratan,
atau hampir 11,4 % dari luas daratan NKRI. Sedangkan luas kawasan konservasi di
perairan (laut) adalah 5 juta Ha. Hasil analisis berdasarkan Citra Palsar 2009
oleh Dit KKBHL (cq Subdit Pemolaan
dan Pengembangan) telah diidentifikasi kawasan “open area” (kawasan yang diduga mengalami kerusakan akibat
perambahan, illegal logging,
pertambangan) seluas 3,5 juta Ha (15,9%). Suatu angka yang mulai
mengkhawatirkan.
Apa arti luas KK 27 juta Ha itu? Adalah kawasan dengan ukuran lebih luas
dari Britania Raya (l21.859.500 Ha); atau 2 kali lipat dari Inggris
(13.039.500 Ha); atau 6,5 kali lipat negeri Belanda (luas 4.267.900
Ha). Luas kawasan konservasi yang sedemikian luar biasa itu, saat ini
hanya diurus oleh 8.273 staf dimana 67,6%-nya adalah lulusan SLTA!
Angka “open area” yang
mengindikasikan kerusakan kawasan konservasi yang telah mencapai angka
psikologis 15,9% tersebut tentu tidak bisa dibiarkan terus, yang trend-nya akan semakin meningkat.
Okupasi perambah sawit di areal perluasan TN Tesso Nilo mencapai 5-7 Ha/hari;
di TN Gunung Leuser (wilayah Besitang - Kab Langkat) mencapai 5 Ha/hari, tanpa
adanya penegakan hukum. Maka, trend kerusakan
ke depan akan semakin nyata dan dalam skala yang semakin meluas.
Riset oleh para naturalis di KK Indonesia telah lama dilakukan sejak
Abad 18 (Dr. S.H.Koorders; AR Wallace, van Steenis, dan lain-lain) berlanjut
terus sampai dengan saat ini. Trend
riset ini terus meningkat dan menunjukkan fenomena yang mengkhawatirkan dimana
data dan informasi tentang KK dimiliki oleh NGO international dan para peneliti
asing. Database tentang kajian
orangutan sumatera di Research Station Ketambe,
TN Gunung Leuser wilayah Kab.Aceh Tenggara, berada di Leiden, dan pihak Balai Besar
TN Gunung Leuser tidak memiliki selembarpun tentang database tentang orangutan sumatera itu. Kesalahan fatal ada pada
sikap mental kita yang tidak peduli pada data dan informasi, apalagi
hasil-hasil research. Ini adalah lampu
merah untuk pekerja konservasi Indonesia. Indikasi yang terjadi di TN Gunung
Leuser ini sangat meungkin terjadi di sebagian besar penelitian di seluruh
KK Indonesia. Kondisi yang tidak boleh
dibiarkan terjadi terus menerus di masa depan.
SDM Konservasi
Persoalan mendasar kelola KK saat ini dan ke depan perlu ditelaah,
difahami dan disepakati untuk dicarikan solusi konkrit yang menyeluruh.
Berbagai ciri atau tipologi SDM Konservasi yang mungkin tepat untuk mengelola
KK dengan kondisi geopolitik, sosial, budaya, ekonomi, dan tuntutan pelestarian
lingkungan di masa depan, diusulkan sebagai berikut :
1.
Alokasi SDM disesuaikan dengan tipologi KK. Tidak cukup
forester (rimbawan) yang mengelola KK. Diperlukan SDM dari berbagai cabang
keilmuan baik ilmu murni maupun ilmu terapan.
2.
Kepemimpinan Konservasi harus mampu mendorong
dikembangkannya proses pengambilan keputusan dan perencanaan yang rasional
berdasarkan pendekatan multidisipliner, menjaring dan mempertimbangkan aspirasi
publik, perkembangan otonomi daerah dan
iptek.
3.
Spirit kerja di KK adalah kerja di lapangan, bekerja dengan
basis science, dengan metode kerja
dan metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, sehingga dapat
diperoleh kualitas updated data dan
informasi lapangan dengan tetap mempertimbangkan berbagai riset atau hasil
survai yang telah pernah dilakukan.
4.
Fokus kerja konservasi alam akan terus meningkat mengarah
pada riset-riset dengan penerapan teknologi tinggi (genetik, molekular
analisis, nano teknologi). Sebagai genetic
pool dalam kondisi yang relatif tidak terganggu atau rusak (seperti yang
terjadi di hutan-hutan produksi atau hutan lindung), KK akan memainkan peran
politik sumberdaya alam penting sebagai alat negosiasi pemerintah dengan pihak
Utara.
5.
Research and Development (R & D) perlu didukung
dengan investasi pendanaan dan SDM lulusan universitas terbaik dari dalam dan luar
negeri dengan membangun network-kerjasama
Biotek - LIPI, BPPT, universitas dan PAU di seluruh Indonesia, pemerintah
daerah, serta bekerjasama dengan swasta nasional dan international. Kementerian
Kehutanan seharusnya mengalokasikan dana R & D bukan hanya untuk peneliti
di lingkup kehutanan tetapi juga untuk
memfasilitasi riset murni dan terapan bagi siapa saja yang berhasil
mengidentifikasi potensi flora fauna dari KK. Ditemukannya unidentified sponge di TWA Teluk Kupang oleh Dr. Agus Trianto (pakar
biokimia sumberdaya alam hayati laut dari Universitas Diponegoro) dan Yosi - staf
BBKSDA NTT harus ditindaklanjuti dengan dukungan dana riset jangka panjang. Sponge telah terbukti dapat dijadikan
materi anticancer, setelah riset
selama 35 tahun.
6.
Sebagian besar spirit kerja konservasi bersifat
transpersonal (relawan) dengan etos kerja paripurna (kerja keras, kerja cerdas,
dan kerja ikhlas) yang selama 30 tahun terakhir ini telah dilakukan, sebaiknya
mendapatkan reward yang diatur secara
khusus, karena menjaga aset nasional berupa KK seluas 27 juta Ha. Pola karier
dan sistem reward yang ada saat ini sangat
tidak layak dan perlu segera dilakukan perubahan yang sangat mendasar. Saat ini
mereka yang bekerja dengan spirit transpersonal (sebagian besar berasal dari
staf PPA), beberapa di antaranya mendapatkan reward atau penghargaan berupa Kalpataru. Dari segi kesejahteraan,
hampir tidak ada bedanya.
7.
Pemerintah daerah, masyarakat yang tinggal di sekitar atau
di dalam KK harus menjadi mitra utama dalam pengambilan keputusan dan mereka
harus menjadi penerima manfaat utama baik langsung maupun tidak langsung dari
pengelolaan KK, apabila mereka terbukti membantu proses pengelolaan (penjagaan,
pengamanan) kawasan konservasi, termasuk dukungan kebijakan otonomi yang pro
konservasi. Disinsentive policy
diberlakukan bagi pemda yang tidak mendukung kelola kawasan konservasi di
wilayahnya, khususnya kawasan konservasi yang memiliki nilai universal.
8.
Pemerintah Indonesia sebaiknya dapat membangun kebijakan
nasional yang lebih mempertimbangkan kondisi kesejarahan, konteks lokal, dan
aspirasi yang berkembang di Indonesia, dan tidak harus mengikuti konvensi
internasional yang dalam faktanya tidak dapat diterapkan dalam siatuasi dan
spirit socio culture dan kondisi
otonomi daerah yang berkembang di daerah.
9.
Kawasan konservasi yang telah mengalami kerusakan secara
masif dan menurut kajian Tim Pakar tidak dapat dilakukan
rehabilitasi/restorasi, perlu dipertimbangkan untuk dilakukan perubahan fungsi
dengan apabila memungkinkan mendapatkan ganti dari wilayah di sekitarnya yang
dinilai masih relatif utuh dan memiliki nilai konservasi cukup tinggi. Beberapa
contoh adalah perambahan kopi di TN Bukit Barisan Selatan seluas 30.000 Ha; TWA
Holiday Resort-Sumut dan SM Balai Raja-Riau dimana lebih dari 90% telah berubah
menjadi perambahan sawit.
10.
Pendanaan konservasi Indonesia tidak perlu tergantung pada
bantuan luar negeri. Yang perlu didorong adalah mengoptimalkan alokasi dana
APBN dan didukung dengan penggalangan Trust
Fund Konservasi Indonesia yang dapat berasal dari dana CSR, dana
masyarakat, dan sumber dana hibah lainnya yang tidak mengikat yang berasal dari
perusahaan-perusahaan multinasional yang telah lama beroperasi “mengeruk” harta
sumberdaya alam di Indonesia (misal: Freeport, Chevron, Exxon, BP, dan lain
sebagainya); hibah atau bantuan dari bank-bank baik nasional maupun asing yang
berada di Indonesia, serta dana bantuan dari masyarakat.
11.
Dalam 10-15 tahun ke depan, Ditjen PHKA sebaiknya dipertimbangkan
untuk diarahkan menjadi Kementerian Konservasi Alam, sehingga dapat fokus dalam
menjaga aset NKRI 27 juta Ha, dengan potensi sumberdaya hayati, mulai dari
species sampai ke tingkatkan genetik yang sangat menjanjikan, untuk kepentingan
ilmu pengetahuan dan kemaslahatan manusia Indonesia dan masyarakat global.
Pekerja pengelola KK di seluruh Indonesia harus memiliki latar belakang
pendidikan minimal sarjana yang sebagian besar ditempatkan di lapangan.
Administrasi keproyekan harus dikelola oleh sarjana yang sesuai dengan
bidangnya. Sarjana teknis tidak perlu dimasukkan dalam sistem manajemen
keproyekan yang akan menyita waktu mereka seperti yang terjadi saat ini.***
*) Artikel disiapkan menyambut
Workshop RBM di TN Ujung Kulon, dengan mengundang BBKSDA Jawa Barat dan TN
Kepulauan Seribut (4-6 Juli 2012).