"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

04 Juli 2012

Tipologi Sumberdaya Manusia yang Diperlukan untuk Kerja Konservasi Alam di Indonesia *

Rationale

Kerja di bidang konservasi alam, yaitu melindungi, menyelamatkan, merehabilitasi berbagai habitat satwa liar, kondisi bentang alam yang indah, gejala geologi dengan berbagai situs-situsnya, tipe-tipe hutan dan ekosistem hutan alam, mulai dari pantai, pegunungan rendah, sampai ke puncak-puncaknya yang berkabut dan bersalju, puncak-puncak bergunung api aktif, wilayah-wilayah dengan tipe ekosistem unik, daerah payau, danau, bantaran sungai, delta, rawa gambut, ekosistem air hitam, hutan kerangas, padang savana, padang lamun, ekosistem terumbu karang, atol, pulau-pulau oceanic, kawasan karst dengan gua-gua alam dan sistem sungai bawah tanahnya, dan berbagai bentukan alam lainnya.

Kecepatan kerusakan kawasan-kawasan tersebut 50 tahun terakhir ini dan ke depan laksana mengikuti deret ukur; sedangkan upaya rehabilitasi atau kebijakan untuk mengurangi kecepatan kerusakan itu seperti deret hitung. Kehancuran hutan-hutan tropis dan kepunahan spesies menunjukkan tingkat yang sangat serius dengan kecepatan yang tidak terbayangkan pernah terjadi di masa lalu. Lifestyle negara-negara Utara yang tingkat konsumsinya 1 : 50 bila dibandingkan dengan negara-negara Selatan, serta kemiskinan dan kelaparan di negara-negara Selatan dengan tingkat pertumbuhan penduduknya yang tinggi, menjadi faktor pemicu kerusakan sumberdaya alam tersebut.

Luas daratan Indonesia 192 juta Ha, dimana 22 juta Ha adalah kawasan konservasi  (KK) yang berada di daratan, atau hampir 11,4 % dari luas daratan NKRI. Sedangkan luas kawasan konservasi di perairan (laut) adalah 5 juta Ha. Hasil analisis berdasarkan Citra Palsar 2009 oleh Dit KKBHL (cq Subdit Pemolaan dan Pengembangan) telah diidentifikasi kawasan “open area” (kawasan yang diduga mengalami kerusakan akibat perambahan, illegal logging, pertambangan) seluas 3,5 juta Ha (15,9%). Suatu angka yang mulai mengkhawatirkan.


Apa arti luas KK 27 juta Ha itu? Adalah kawasan dengan ukuran lebih luas dari Britania Raya (l21.859.500 Ha); atau 2 kali lipat  dari Inggris (13.039.500 Ha);  atau 6,5 kali lipat negeri Belanda (luas 4.267.900 Ha).  Luas kawasan konservasi yang sedemikian luar biasa itu, saat ini hanya diurus oleh 8.273 staf dimana 67,6%-nya adalah lulusan SLTA!

Angka “open area” yang mengindikasikan kerusakan kawasan konservasi yang telah mencapai angka psikologis 15,9% tersebut tentu tidak bisa dibiarkan terus, yang trend-nya akan semakin meningkat. Okupasi perambah sawit di areal perluasan TN Tesso Nilo mencapai 5-7 Ha/hari; di TN Gunung Leuser (wilayah Besitang - Kab Langkat) mencapai 5 Ha/hari, tanpa adanya penegakan hukum. Maka, trend kerusakan ke depan akan semakin nyata dan dalam skala yang semakin meluas.
Riset oleh para naturalis di KK Indonesia telah lama dilakukan sejak Abad 18 (Dr. S.H.Koorders; AR Wallace, van Steenis, dan lain-lain) berlanjut terus sampai dengan saat ini. Trend riset ini terus meningkat dan menunjukkan fenomena yang mengkhawatirkan dimana data dan informasi tentang KK dimiliki oleh NGO international dan para peneliti asing. Database tentang kajian orangutan sumatera di Research Station Ketambe, TN Gunung Leuser wilayah Kab.Aceh Tenggara, berada di Leiden, dan pihak Balai Besar TN Gunung Leuser tidak memiliki selembarpun tentang database tentang orangutan sumatera itu. Kesalahan fatal ada pada sikap mental kita yang tidak peduli pada data dan informasi, apalagi hasil-hasil research. Ini adalah lampu merah untuk pekerja konservasi Indonesia. Indikasi yang terjadi di TN Gunung Leuser ini sangat meungkin terjadi di sebagian besar penelitian di seluruh KK  Indonesia. Kondisi yang tidak boleh dibiarkan terjadi terus menerus di masa depan.

SDM Konservasi

Persoalan mendasar kelola KK saat ini dan ke depan perlu ditelaah, difahami dan disepakati untuk dicarikan solusi konkrit yang menyeluruh. Berbagai ciri atau tipologi SDM Konservasi yang mungkin tepat untuk mengelola KK dengan kondisi geopolitik, sosial, budaya, ekonomi, dan tuntutan pelestarian lingkungan di masa depan, diusulkan sebagai berikut :

1.       Alokasi SDM disesuaikan dengan tipologi KK. Tidak cukup forester (rimbawan) yang mengelola KK. Diperlukan SDM dari berbagai cabang keilmuan baik ilmu murni maupun ilmu terapan.
2.       Kepemimpinan Konservasi harus mampu mendorong dikembangkannya proses pengambilan keputusan dan perencanaan yang rasional berdasarkan pendekatan multidisipliner, menjaring dan mempertimbangkan aspirasi publik, perkembangan otonomi daerah dan  iptek.
3.       Spirit kerja di KK adalah kerja di lapangan, bekerja dengan basis science, dengan metode kerja dan metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, sehingga dapat diperoleh kualitas updated data dan informasi lapangan dengan tetap mempertimbangkan berbagai riset atau hasil survai yang telah pernah dilakukan.
4.       Fokus kerja konservasi alam akan terus meningkat mengarah pada riset-riset dengan penerapan teknologi tinggi (genetik, molekular analisis, nano teknologi). Sebagai genetic pool dalam kondisi yang relatif tidak terganggu atau rusak (seperti yang terjadi di hutan-hutan produksi atau hutan lindung), KK akan memainkan peran politik sumberdaya alam penting sebagai alat negosiasi pemerintah dengan pihak Utara.
5.       Research and Development (R & D) perlu didukung dengan investasi pendanaan dan SDM lulusan universitas terbaik dari dalam dan luar negeri dengan membangun network-kerjasama Biotek - LIPI, BPPT, universitas dan PAU di seluruh Indonesia, pemerintah daerah, serta bekerjasama dengan swasta nasional dan international. Kementerian Kehutanan seharusnya mengalokasikan dana R & D bukan hanya untuk peneliti di lingkup kehutanan  tetapi juga untuk memfasilitasi riset murni dan terapan bagi siapa saja yang berhasil mengidentifikasi potensi flora fauna dari KK. Ditemukannya unidentified sponge di TWA Teluk Kupang oleh Dr. Agus Trianto (pakar biokimia sumberdaya alam hayati laut dari Universitas Diponegoro) dan Yosi - staf BBKSDA NTT harus ditindaklanjuti dengan dukungan dana riset jangka panjang. Sponge telah terbukti dapat dijadikan materi anticancer, setelah riset selama 35 tahun.
6.       Sebagian besar spirit kerja konservasi bersifat transpersonal (relawan) dengan etos kerja paripurna (kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas) yang selama 30 tahun terakhir ini telah dilakukan, sebaiknya mendapatkan reward yang diatur secara khusus, karena menjaga aset nasional berupa KK seluas 27 juta Ha. Pola karier dan sistem reward yang ada saat ini sangat tidak layak dan perlu segera dilakukan perubahan yang sangat mendasar. Saat ini mereka yang bekerja dengan spirit transpersonal (sebagian besar berasal dari staf PPA), beberapa di antaranya mendapatkan reward atau penghargaan berupa Kalpataru. Dari segi kesejahteraan, hampir tidak ada bedanya.
7.       Pemerintah daerah, masyarakat yang tinggal di sekitar atau di dalam KK harus menjadi mitra utama dalam pengambilan keputusan dan mereka harus menjadi penerima manfaat utama baik langsung maupun tidak langsung dari pengelolaan KK, apabila mereka terbukti membantu proses pengelolaan (penjagaan, pengamanan) kawasan konservasi, termasuk dukungan kebijakan otonomi yang pro konservasi. Disinsentive policy diberlakukan bagi pemda yang tidak mendukung kelola kawasan konservasi di wilayahnya, khususnya kawasan konservasi yang memiliki nilai universal.
8.       Pemerintah Indonesia sebaiknya dapat membangun kebijakan nasional yang lebih mempertimbangkan kondisi kesejarahan, konteks lokal, dan aspirasi yang berkembang di Indonesia, dan tidak harus mengikuti konvensi internasional yang dalam faktanya tidak dapat diterapkan dalam siatuasi dan spirit socio culture dan kondisi otonomi daerah yang berkembang di daerah.
9.       Kawasan konservasi yang telah mengalami kerusakan secara masif dan menurut kajian Tim Pakar tidak dapat dilakukan rehabilitasi/restorasi, perlu dipertimbangkan untuk dilakukan perubahan fungsi dengan apabila memungkinkan mendapatkan ganti dari wilayah di sekitarnya yang dinilai masih relatif utuh dan memiliki nilai konservasi cukup tinggi. Beberapa contoh adalah perambahan kopi di TN Bukit Barisan Selatan seluas 30.000 Ha; TWA Holiday Resort-Sumut dan SM Balai Raja-Riau dimana lebih dari 90% telah berubah menjadi perambahan sawit.
10.   Pendanaan konservasi Indonesia tidak perlu tergantung pada bantuan luar negeri. Yang perlu didorong adalah mengoptimalkan alokasi dana APBN dan didukung dengan penggalangan Trust Fund Konservasi Indonesia yang dapat berasal dari dana CSR, dana masyarakat, dan sumber dana hibah lainnya yang tidak mengikat yang berasal dari perusahaan-perusahaan multinasional yang telah lama beroperasi “mengeruk” harta sumberdaya alam di Indonesia (misal: Freeport, Chevron, Exxon, BP, dan lain sebagainya); hibah atau bantuan dari bank-bank baik nasional maupun asing yang berada di Indonesia, serta dana bantuan dari masyarakat.
11.   Dalam 10-15 tahun ke depan, Ditjen PHKA sebaiknya dipertimbangkan untuk diarahkan menjadi Kementerian Konservasi Alam, sehingga dapat fokus dalam menjaga aset NKRI 27 juta Ha, dengan potensi sumberdaya hayati, mulai dari species sampai ke tingkatkan genetik yang sangat menjanjikan, untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan kemaslahatan manusia Indonesia dan masyarakat global. Pekerja pengelola KK di seluruh Indonesia harus memiliki latar belakang pendidikan minimal sarjana yang sebagian besar ditempatkan di lapangan. Administrasi keproyekan harus dikelola oleh sarjana yang sesuai dengan bidangnya. Sarjana teknis tidak perlu dimasukkan dalam sistem manajemen keproyekan yang akan menyita waktu mereka seperti yang terjadi saat ini.***


*) Artikel disiapkan menyambut Workshop RBM di TN Ujung Kulon, dengan mengundang BBKSDA Jawa Barat dan TN Kepulauan Seribut (4-6 Juli 2012).