Jangan pernah mengabaikan riset-riset khususnya yang
dilakukan oleh pakar yang datang di wilayah kerja kita. Pertama, kita harus
kritis terhadap apa yang akan mereka lakukan, dengan mencermati proposal
penelitiannya. Ketika saya pertama kali bertugas di NTT, dengan segala
keterbatasan dan interest saya, tidak
pernah terbayangkan akan riset-riset kelautan yang sangat menarik dan
menjanjikan. Yosi adalah staf dengan latar belakang perikanan yang tentu dekat
sekali dengan ilmu-ilmu kelautan. Maka hobinya tak jauh dari laut. Kawasan
perairan di bawah kelola BBKSDA NTT, seperti di TWA Teluk Kupang, TWA Teluk
Maumere, TWA 17 Pulau Riung, merupakan hal-hal baru. Cerita tentang penyelaman,
snorkeling dan keindahan bawah
lautnya, baru sekedar cerita indah juga sudah puas dengan melihat foto-foto
terumbu karangnya itu.
Adalah suatu siang yang terik, saya kedatangan tamu
yang diantar Yosi. Ia memperkenalkan diri sebagai Dr Agus Trianto,MT,MSc,PhD.
Dengan pembawaan yang bersahaja, ia sedikit menceritakan rencana penyelaman di Teluk Kupang yang akan
didampingi Yosi. Saya masih belum faham, namun insting mengatakan riset ini
harus didukung. Tentang sponge, saya
tidak faham sama sekali. Setelah mereka melakukan penyelaman dan hasilnya
dipresentasikan di depan staf BBKSDA NTT, kebetulan saya tidak bisa hadir,
dilaporkan oleh P Arief Mahmud, bahwa sangat menarik apa yang dilakukan dan
ilmu yang dikuasai Pak Agus ini. Ia pakar yang berbicara soal-soal kimia
molekuler sumberdaya hayati laut, nano teknologi, yang membuat semua
terperangah. Tidak faham juga sekaligus sangat menarik, tentang sponge dan
terumbu karang. Hanya Yosi saja yang tahu soal ilmu bawah laut ini.
Semakin seru, ketika saya meminta hasil Flying Team dan RBM di TWA 17 Pulau di Riung menyiapkan bahan untuk dimasukkan ke dalam Situation Room (SitRoom/SR). SR adalah salah satu program untuk mendukung Kepala BBKSDA dalam memahami tipologi setiap kawasan konservasi di NTT yang berjumlah 29 lokasi itu. Foto-foto bawah laut Yosi di TWA 17 Pulau, bagi saya sangat menakjubkan. Semua foto di-upload di SR dan dituliskan status perlindungannya. Hal ini baru bagi saya dan sangat menarik. RBM di perairan laut telah berhasil memotret sebagian isinya. RBM dan SR akan saya presentasikan di Rakor KKH 26 Juni 2012 di Aston Hotel Bandung. SelanjutnyaYosi melaporkan bahwa telah ditemukan unidentified sponge di TWA Teluk Kupang, hasil penyelaman dengan Dr Agus..!
Ternyata disertasi doktornya adalah tentang senyawa sponge candida di Universitas Ryushu,
Jepang. Sponge diambil di Alor dan
Teluk Kupang, pada tahun 2009. DR Agus Trianto memegang prinsip, bila tak dapat
nilai ‘ekonomi’ dari senyawa antikanker tersebut, paling tidak nilai ‘science’-nya dapat dilanjutkan oleh
anak cucu kelak. Sangat menarik prinsip yang diyakini oleh Dr Agus Trianto ini.
Ia berkaca pada pengalaman ditemukannya antikanker AVAROL yang dapat diproduksi
secara massal dengan metode primorgh pada tahun 2004, sedangkan senyawanya
sudah ditemukan sejak 1969 (35 tahun)
oleh Prof Reinhard (telah meninggal
tahun 1990).
Searching saya di mesin pencari
google, menemukan Indonesian Journal of Marine Sciences, Vol 9 No.3 (2004),
yang memuat hasil riset Dr Agus T dan dua rekannya, dengan judul : “Skrining Bahan Anti Kanker pada Berbagai
Jenis Sponge dan Gorgonian Terhadap L1210 Cell Line”oleh :Agus Trianto, Ambariyanto Ambariyanto, Retno Murwani. Abstrak dalam bahasa
Indonesia, menarik untuk kita simak seperti di bawah ini:
Sejarah evolusi yang panjang pada biota laut
menyebabkan biota laut mempunyai keanekaragaman molekul yang sangat tinggi.
Potensi biota laut tersebut sebagai sumber obat anti kanker menjadi objek
penelitian penting dalam tahun-tahun terakhir. Bahan yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah sponge dan gorgonian yang dikoleksi dari perairan Jepara
pada kedalaman 1-3 m dan di perairan Labuhan Bajo, Flores pada kedalaman 3-38
m. Sampling dilakukan dengan Skin diving dan SCUBA diving. Sampel kemudian diekstrak
dengan metanol. Selanjutnya ekstrak diujikan terhadap sel kanker leukemia
(L-1210 cell line) dengan konsentrasi 0, 1, 5 dan 10 ppm. Uji dilakukan pada
media RPMI lengkap dan penghitungan daya hambat dilakukan dengan metoda direct
counting. Ekstrak yang diperoleh dari sponge dan gorgonian berkisar antara 0,55
– 24,7% dari berat kering atau 0,36-7,34% dari berat basahnya. Seluruh ekstrak
dari sampel-sampel mampu menghambat pertumbuhan L1210 cell line dan layak untuk
pemurnian lanjut. Ekstrak metanol tiga jenis sponge (Xestospongia sp2 dan
Phyllospongia sp1 dan UP8) dan fraksi etil asetat dari ekstrak gorgonian I.
hippuris mempunyai IC-50 < 3 mg/mL, ekstrak metanol dari delapan jenis
sponge (Agelas nakamurai, Ircina ramosa, A06, Phyllospongia lamellosa , Phyllospongia sp, UP9, Calispongia sp
dan Fascaplynopsis sp) mempunyai IC-50 < 5 mg/mL, dan ekstrak metanol dari
lima jenis sponge (Hyrtios erecta,
Xestospongia sp, Cladocroce sp, Oceanapia cf. Amboiensis dan Haliclona sp.) dan fraksi air dari
ekstrak gorgonian I. Hippuris mempunyai IC-50 < 10 mg mL Satu sponge
Xestospongia sp 1 mengandung ekstrak yang mempunyai IC - 50 > 10 mg/mL.
Peranan “Science”
dan “Technology”
Hasil riset
tersebut di atas membuktikan bahwa kawasan konservasi, khususnya di perairan/ laut,
memberikan andil yang besar untuk kepentingan kemanusiaan, dalam arti
seluas-luasnya. Kemungkinan ditemukannya nilai obat-obatan untuk penyakit yang
lain tentu sangat tinggi. Kita menjadi tersadar bahwa 2/3 kawasan Indonesia
adalah perairan. Sekian % kawasan konservasi Indonesia adalah perairan; 50%
dari total luas kawasan konservasi di NTT (221.772 Ha) adalah perairan, terdiri
dari TWA Teluk Kupang - 50.000 Ha; TWA
Teluk Maumere - 59.450 Ha; dan TWA 17 Pulau di Riung - 9.900 Ha. Tentu peluang
untuk mendapatkan spesies baru akan sangat tinggi, termasuk yang memiliki
senyawa bernilai untuk bahan obat-obatan modern. Penemuan sponge yang belum pernah ditemukan di tempat lain, sehingga
sementara diberi label sebagai “unidentified”
adalah bukti dari dugaan tersebut.
Lamanya
waktu untuk mendapatkan hasil dari riset, sebagaimana dicontohkan di atas yang
sampai 35 tahun, menjadi tantangan kita, bagaimana membangun komitmen untuk
tetap konsisten mendukung pelaksanaan riset-riset jangka panjang tersebut.
Pengelola kawasan konservasi tentu harus semakin sadar akan pentingnya menjaga
kawasan, agar tidak rusak akibat berbagai sebab, sehingga para peneliti punya
kesempatan untuk meneliti sebelum species tersebut mengalami kerusakan. Maka,
menjaga pun memiliki nilai kegunaan jangka panjang yang sangat penting. Apalagi
bila selain menjaga kawasan, juga mampu semakin mengenali ‘isi’ kawasan, mulai
dari tipe-tipe ekosistem, nama-nama pohon atau tumbuhan secara luas, sampai ke
tumbuhan rendah, di lantai hutan, dan seterusnya.
Kalau
kawasan perairan, maka identifikasi terumbu karang, dan biota laut lainnya
menjadi sangat penting. Maka IPTEK menjadi sangat berperan dalam konsep RBM++.
Kalau tidak mampu melakukannya sendiri,
maka bekerjasamalah dengan pakarnya. Maka, pengelolaan kawasan konservasi harus dilakukan dnegan pendekatan
multidisipliner. Khususnya terkait dengan riset pada tingkatan yang tinggi
seperti di tataran molekuler, nano teknologi, genetic enginering, dan sebagainya. Knowledge dan bidang keilmuan seperti itu memang sulit dipenuhi
dari staf pengelola kawasan konservasi. Namun demikian di Jakarta, harus
dibentuk Specialist Group yang
tugasnya memberikan pertimbangan kepada Dirjen PHKA dan Menteri Kehutanan.
Specialist
Group di PHKA
Specialist Group (SG) ini adalah kelompok fungsional yang dibentuk
khusus untuk memberikan masukan kepada Dirjen PHKA tentang berbagai kebijakan
yang harus ditempuh, terkait dengan
IPTEK yang terkait dnegan potensi-potensi yang dimiliki di kawasan
konservasi. SG harus dibebaskan dari kegiatan rutin administrasi. Mereka hanya
fokus pada memberikan masukan tentang substansi IPTEK di kawasan konservasi.
Mereka diberikan kewenangan untuk membangun jaringan multidisipliner di dalam
dan di luar negeri. Mereka harus mampu menggali hasil-hasil riset, baik riset
murni atau terapan yang telah pernah dilakukan di kawasan konservasi, untuk
memberikan penilaian tentang manfaat riset-riset tersebut, baik bagi pengelola
kawasan maupun terkait dengan nilai manfaat bagi science atau bagi masyarakat luas.
SG ini
belum pernah lahir dan belum ada pihak yang menggagas perlu tidaknya kelompok
ini. SG juga dapat memberikan masukan kepada Menteri Kehutanan, dan bukan hanya
terbatas pada Dirjen PHKA. Anggota SG ini dapat direkrut dari UPT-UPT yang
memiliki tenaga yang luar biasa handal, masih muda, dan tentu saja memiliki
mimpi yang tinggi. Namun jangan sampai perekrutan tenaga-tenaga terpilih dari
UPT ini untuk menjadi anggota SG di Pusat membuat kelangkaan staf handal di
UPT. Maka, perlu strategi penguatan dan pembangunan SDM konservasi yang handal
dan siap bekerja di lapangan dan yang memiliki kemampuan IPTEK tinggi. Ditjen
PHKA harus melakukan evaluasi serius tentang pentingnya teknologi tinggi masuk
ke dalam pola pengelolaan kawasan konservasi. Mendapatkan hasil yang besar
bukan hanya sekedar PNBP dari karcis masuk dan sebagainya, namun mendapatkan
juga nilai transaksi tinggi dari negosiasi pemanfaatan sumberdaya genetik yang
ada di dalam kawasan konservasi, baik di daratan maupun di perairan.
Bioprospeksi menjadi agenda yang sangat penting di masa depan. Dan kita
memiliki stok sumberdaya yang relatif masih utuh, minimal 27,2 juta Ha kawasan
konservasi (4,6 juta Ha atau 17% adalah
di perairan).
Apa arti
27.000.000 Ha itu? Kawasan konservasi di Indonesia lebih luas dari Britania
Raya yang memiliki luas hanya 21.859.500 Ha; atau 2 kali lipat dari Inggris (seluas 13.039.500 Ha); atau 6,5 kali lipat negeri Belanda (luas
4.267.900 Ha). Luas kawasan konservasi
yang sedemikian luar biasa itu, saat ini (2012) hanya diurus oleh 8.273 staf
dimana 67,6% lulusan SLTA!
Untuk
menyambut 100 tahun konservasi alam, bila kita menghitungnya dari penetapan
Perhimpunan Perlindungan Alam Hindia Belanda, yang dibentuk pada 22 Juli 1912, dimana
Dr.S.H.Koorders menjadi Ketuanya, maka harus dilakukan tindakan-tindakan yang
strategis dan mendasar. Tentang strategi pengembangan sumberdaya manusia
konservasi; tentang pilihan investasi konservasi; tentang kemampuan negosiasi
dengan pihak donor (Utara) yang selama ini selalu mendiktekan kehendaknya;
tentang revisi UU No 5 tahun 1990 dan seluruh PP turunannya, yang seharusnya
mampu merekam berbagai perubahan dan kepentingan-kepentingan yang akan bermain
dan dimainkan di kawasan konservasi yang luasanya 2 kali lipat negara Inggris
tersebut.
Kawasan
konservasi tidak boleh lagi dikelola sekedarnya. Peranan IPTEK harus menjadi
landasan dalam setiap pengambilan keputusan pengelolaan! RBM++ menjadi salah
satu kendaraan kecil yang sedang tertatih-tatih menggapai impian indah itu.
Salah satu syarat adalah: jangan memalsu data; temukan fakta-fakta lapangan;
mulailah mencintai kebenaran. Itulah sikap Dr Agus Trianto, MT.,MSc.,PhD pakar
kimia sumberdaya hayati laut, yang patut kita
tiru. Artikel ini saya tuliskan sebagai penghargaan atas sikap lurus beliau.***
[Yogyakarta, 24 Juni 2012; 22:40]