Ditulis oleh: Aminah*
Flying team bahasa keren dari sebuah tim yang telah dibekali keahlian khusus dan diterbangkan atau didatangkan ke resort untuk melakukan transfer informasi dan melakukan pembelajaran secara bersama-sama dengan staf di lapangan dan masyarakat serta berbagai stakeholder yang terkait dalam melakukan pemotretan kondisi kawasan dengan alat berupa tally sheet. Pemotretan kondisi kawasan dilakukan secara keseluruhan dengan cara pengamatan langsung maupun dengan menggali informasi dari wawancara bersama dengan tokoh setempat.
Gambaran ini yang terekam di pikiran pertama kali ketika diminta untuk
melaksanakan tugas sebagai flying team
bersama dengan Mas Yosi (Isai Yusidarta) ke Taman Wisata Alam Laut (TWAL) 17
Pulau Riung. Selain perasaan senang karena sesuatu yang sangat jarang bisa
melihat langsung lapangan. Keseharian lebih banyak berkutat dengan administrasi
kantor.
Waktu persiapan sangat singkat dan terbatas sehingga tim kami berdiskusi
singkat mengenai apa yang akan dilakukan di lapangan. Kami menyoroti pengamanan
kawasan perairan berkaitan dengan riwayat kasus yang pernah terjadi di TWAL 17
Pulau Riung. Maka Mas Yosi menyusun Rencana Pelaksanaan Kegiatan (RPK). Kami
juga membekali diri dengan kamera, beberapa lembar tally sheet, peta kawasan dan GPS hasil pinjaman dari seorang teman
di BPKH XVI (terima kasih Dede). Tim
kami sangat suka dengan keindahan bawah laut jadi tak ketinggalan membawa
peralatan snorkeling.
Selasa 22 Mei 2012 pukul 11.00 dengan menggunakan pesawat Transnusa
berangkatlah flying team ini dari
BAndara El Tari Kupang menuju Bandara H. Hasan Aroeboesman Ende.
Amazing…! Itu kata-kata yang
pertama dilontarkan ketika pesawat akan mendarat dan terbang disisi sisi
perbukitan hijau. Bukitnya menjulang rapi membentuk seperti tumpeng besar
(mungkin karena belum sarapan tadi pagi ^-^).
Pesawat mendarat dengan selamat dan sesi pemotretan pun dimulai. Ketika
memasuki pintu bandara disambut dengan petugas yang sangat ramah dan
bersahabat. Dengan sukarela melayani kami dengan sabar dan mencarikan travel
untuk kami. Tak ketinggalan petugas dinas perhubungan itu memberikan nomor HP
yang siap dihubungi kapan saja apabila mendapat kesulitan diperjalanan nanti
menuju Riung. Sungguh pengabdian yang total. Terima kasih Pak Aliasa Abbas dan
teman-teman.
Inova sewaan dengan plat nomor yang cantik
EB-9999-AA melaju dengan santai menjadi terasa sangat nyaman dengan dipandu
guide berpengalaman yang sekaligus
menjadi driver kami. Kami mampir di
Masakan Padang Tiga Roda untuk mempersiapkan bahan bakar menuju Riung. Sang guide mengajak sedikit berkeliling kota
Ende dan mampir di Situs Rumah Bung Karno. Setelah berfoto sebentar perjalanan
pun dimulai. Mobil kami melaju santai menuju Riung.
Kami menyusuri jalan Trans Flores di sisi kiri hamparan lautan dan sisi
kanan menjulang pegunungan. Pemandangan yang luar biasa ini sayang rasanya
untuk dilewatkan dengan tidur. Sesekali kami berhenti di titik-titik
pemandangan untuk mengambil foto. Kami melewati Bukit Es Krim, batu hijau
dengan sebuah pelabuhan dan bukit padang rumput yang lembut.
Tiba di kota Mbai kondisi sudah gelap dengan langit ditutupi ribuan bintang
yang nampak lebih terang. Mobil terus melaju tanpa henti dengan tetap penuh
kehati-hatian. Tiba di satu tempat, mobil tiba-tiba berhenti dan memadamkan
lampunya. Sang guide terdiam beberapa
menit baru kemudian perjalanan dilanjutkan. Ternyata tempat itu adalah pintu
gerbang memasuki Riung tepatnya di gerbang memasuki Cagar Alam Wolo Tadho. Disebut
gerbang karena jalan diapit oleh dua buah pohon Ficus yang besar dengan diameter sekitar semeter. Kebiasaan itu
dilakukan karena menurut sang guide
ada makhluk lain yang lewat tadi di situ juga. Sedikit merinding mendengar
gambaran Riung di awal tugas. Namun ketakutan itu memudar setelah kembali
menikmati suasana malam yang begitu indah dengan wangi rumput, suara angin dan
cantiknya bintang-bintang menerangi jalan walaupun tanpa lampu jalan.
Tidak terlalu sulit menemukan rumah salah seorang staf di lapangan ketika
disebutkan alamatnya dekat Rumah Dinas Camat Riung. Kami tiba sekitar pukul
10.00 WITA malam. Disambut Pak Nicodemus Manu dan Ibu yang telah menyiapkan
kamar dirumahnya untuk kami tinggal bersama. Pak Nicodemus Manu adalah salah
seorang staf di resort dan merupakan tokoh masyarakat yang cukup dikenal. Ami
pertama kali datang kesini, sedangkan Mas Yosi ini yang kali keduanya ke Riung
jadi sudah cukup mengenal. Beberapa saat kemudian Pak Siprianus Janggur pejabat
sementara Kepala Resort TWAL 17 Pulau Riung, CA Wolo Tadho dan CA Riung datang.
Setelah berkenalan dan berbincang ringan mengenai flying team dan kegiatan besok kami pun beristirahat.
Rabu, 23 Mei 2012. Suasana baru terasa sedikit berbeda ketika bangun dipagi
hari suasana gulita. Ternyata listrik 66 yaitu hanya menyala pukul 6.00 WITA
sore sampai pukul 6.00 WITA pagi. Tim mulai bergerak menyusuri jalan menuju
pelabuhan-pelabuhan terdekat. Mengejar pagi di waktu-waktu nelayan mulai
mendarat. Pelabuhan pertama yang didatangi adalah Dermaga Jeti Perikanan di
Golo Ite.
Sungguh menakjubkan. Pemandangan yang luar biasa indah di waktu pertama
membuka mata. Tak terbayangkan sebelumnya ada tempat nan cantik ditengah
pedalaman Flores mengingat jalan yang telah kami tempuh. Kelelahan dan keraguan
selama perjalanan kemarin terbayar dengan puncak keindahan di Riung. Kami
menjumpai seorang nenek duduk sambil mengasuh cucunya menanti sang anak kembali
dari laut. Satu persatu kapal bagang nelayan pun mendarat. Kami mencoba bersatu
dengan suasana pagi yang ceria ini. Mengobrol dengan beberapa nelayan mengenai
keseharian mereka, kebiasaan mereka melaut dan menangkap ikan, lokasi memancing
sampai pemasaran.
Kami juga melihat kondisi hasil tangkapan berupa ikan-ikan kecil lurik dan
tembang yang sangat bersih setelah dijemur dijaring-jaring bagang setelah
mereka tangkap. Hasil pancingan beberapa ikan yang lebih besar dengan jumlah
yang sedikit sekitar 10 ekor. Mereka memancing dan menangkap menggunakan
jaring. Masih menggunakan cara-cara tradisional dan untuk memenuhi kebutuhan di
Riung saja. Sehingga belum ancaman bagi kelestarian ikan di TWAL 17 pulau
Riung. Bagang yang digunakan adalah bagang apung sehingga tidak merusak karang.
Kami memandu teman-teman di resort mengambil titik koordinat dan mengisi tally sheet serta mengambil beberapa
gambar. Pelabuhan yang dibangun sudah menggunakan beton sehingga cukup leluasa
tempat berlabuh kapal-kapal bagang.
Belum puas rasanya menikmati sunrise
di pelabuhan ini dengan pemandangan depan laut yang dikelilingi pulau-pulau dan
di arah belakang perbukitan yang hijau. Kondisinya bersih dan jauh dari kotor
apalagi kumuh. Di sepanjang pesisir dilapisi mangrove yang masih baik.
Nelayan-nelayan yang sangat ramah dan terbuka. Ketika kami lontarkan keinginan
untuk ikut memancing bersama bagang apung, mereka menyambut dengan antusias.
Dan seperti tak sabar agar kami ikut bersama mereka. Sungguh suasana yang
hangat dan lupa segala kepenatan di belakang meja selama ini. Kamipun dibekali
beberapa ikan hasil pancingan mereka. Hmm
yummy untuk santap siang nanti.
Jalan pulang kami singgah dipelabuhan belakang rumah Pak Nico yaitu
pelabuhan milik rakyat. Kondisinya tidak ada pengerasan langsung diantara
lorong mangrove yang terbuka, namanya pelabuhan Nanga Mengge. Disini tempat
kapal motor milik BBKSDA NTT ditambatkan yang biasa digunakan untuk patroli
kawasan TWAL 17 Pulau Riung. Kami menjumpai beberapa nelayan pulang memancing
menggunakan perahu motor. Beberapa anak bermain diatas perahu. Berdiri diantara
mangrove menyatu dengan alam bercengkerama dengan para nelayan sungguh asyik.
Kami menggali beberapa informasi mengenai lokasi dan cara mereka menangkap
ikan. Masih dengan cara-cara tradisional yang aman. Kegiatan sudah mulai
terbiasa kami melakukan pencatatan di tally
sheet memfoto dan mengambil titik koordinat.
Kami berhasil membawa pulang beberapa hasil pancingan mereka. Dirasa cukup
bekal untuk pagi ini. Kami berempat, flying
team ditemani Pak Nico dan Pak Sipri, beranjak pulang untuk mandi dan
sarapan pagi di rumah Pak Nico. Perjalanan pagi yang meninggalkan beberapa
catatan dibenak bahwa masyarakat setempat terutama nelayan masih menggunakan
cara tradisional yang ramah lingkungan tidak cukup membahayakan kelestarian
alam. Sifat mereka yang terbuka bahkan sangat perlu dan membuka peluang untuk
dirangkul bersama-sama menjaga kawasan TWAL 17 Pulau ini.
Tak sabar rasanya berdiam lama-lama di rumah. Setelah selesai sarapan kami melanjutkan
pemotretan kawasan dengan mendatangi dermaga wisata Nanga Mese. Pelabuhan ini
dibangun oleh Pemerintah Daerah untuk sandar kapal wisata milik masyarakat. Ada
beberapa kios ditempat parkiran yang menyewakan pelampung dan menjual beberapa
makanan ringan. Ada jalan setapak disebelah kiri dermaga yang membelah kawasan
mangrove. Suasana di jalan itu begitu tenang diiringi kicau burung.
Kami bertemu dengan staf lapangan yang berjaga di loket yaitu Pak Sipri
Meo. Mengobrol dan menggali informasi mengenai wisatawan dan kondisi
masyarakat. Duduk dengan beberapa warga di situ mengisi tally sheet dan mendengar keluhan mereka. Kami juga berjumpa dengan
beberapa wisatawan asing dan ranger yang
menjadi pemandu mereka. Mencoba mencatat informasi yang mereka sampaikan.
Bakar ikan, pisang dan ubi bakar ditemani ikan segar yang dibakar di Pulau Rutong. |
Kemudian kami kembali ke kantor resort untuk berkoordinasi dengan
teman-teman sekaligus mendengarkan permasalahan dan kondisi saat ini di lapangan.
Hari pertama ini kami mencoba berkoordinasi dengan Camat tetapi sedang ada
rapat di luar. Baru pada hari kedua kami bisa bertemu dengan Camat dan beberapa
tokoh masyarakat pada acara jamuan bersama. Kami disambut dengan rebus pisang
dan bakar ikan yang diasinkan nikmat sekali rasanya. Ditambah minuman
tradisional berupa air nira. Kami juga mendatangi seluruh kantor desa dan
kelurahan di Riung untuk memperoleh data dan mengenal mereka.
Selama tinggal di lapangan Kami mendatangi semua pelabuhan yang terletak
sepanjang kawasan TWAL 17 Pulau Riung. Dengan pemandangan khas setiap pelabuhan
berbeda-beda. Seperti pelabuhan Nanga Ular yang cantik. Di muara yang dipenuhi
mangrove dan sedikit di tepi bukit. Dari sana terhampar pemandangan TWAL 17
pulau yang cantik. Begitu tenang dan terlihat ada beberapa ekor burung.
Perahu-perahu dayung nelayan bersandar pulang dari memancing.
Pelabuhan Damu Sambinasi, di sana terdapat pohon Bodi salva yang sangat besar dan menyerupai rusa duduk. Bergeser ke
arah timur, terdapat Pelabuhan Mbongras yang dulu pernah dijadikan pelabuhan
bongkar muat hewan. Kemudian ada pelabuhan Bajo yang sudah dibangun dengan beton.
Pelabuhan Bekek dengan khas pohon kelapa, dimana banyak masyarakat yang
mengerjakan kopra. Pelabuhan Watu lajar adalah yang terujung. Terhampar pasir
putih yang cantik dan luas.
Suasana yang masih sangat alami....
Di setiap tempat kami berinteraksi dengan masyarakat. Duduk bersama-sama
mereka, menangkap pesan dan keluhan mereka, mencatat dan mengambil gambar, mencermati
permasalahan yang terjadi dan membaca kondisi nyata di lapangan.
Kami mencoba menikmati kehidupan mereka. Memancing dengan bermalam di
bagang apung bersama-sama dengan nelayan. Merasakan nasi jagung dengan bakar
ikan hasil pancingan sendiri. Atau
duduk memancing di dermaga apung sore hari sambil menikmati sunset dan mengobrol
dengan beberapa orang yang asyik memancing juga. Dan mengamati burung-burung
terbang. Mengidentifikasi jenis mangrove.
Kami juga mencoba merasakan kehidupan sebagai staf resort. Ikut berkantor
dan menikmati tugas, menyelesaikan kasus, berkeliling kawasan laut, mendatangi
pulau-pulaunya dan mengidentifikasi potensi yang ada, mengamati perahu nelayan
dan wisatawan yang masuk, menangkap pelaku illegal
fishing dari nelayan dari luar
kawasan menangkap gurita tanpa ijin dan kelengkapan surat yang jelas.....
Sungguh luar biasa!
Kami mencoba menggali potensi wisata; mengamati spot-spot potensial wisata
terutama untuk ber-snorkeling dan diving, mendatangi lokasi feeding komodo di Pulau Ontoloe, menikmati
tidur di pondok nelayan di Pulau Rutong, ber-snorkeling menyeberang pulau Pata dari Dermaga Wisata, menyatu dengan
turis asing di Pulau Tiga, duduk bersama ranger
di cafe, dan tentunya mendatangi penginapan mengobrol dan mendengarkan
pengalaman mereka.
Kami juga berusaha mencatat koordinat beberapa fasilitas umum seperti
pasar, masjid, penginapan dan rumah makan. Tidak lupa, kami menikmati seluruh
kawasan TWAL 17 Pulau dari puncak bukit Watu Mitong. Terhampar panorama yang
cantik dan tergambar jalur penghijauan yang membentuk ular naga di puncak pulau
Ontoloe. Di sore hari pada musim tertentu, langit Riung ini dipenuhi ribuan
kelelawar raksasa yang terbang di atas kepala, akan sangat menakjubkan.
Kepuasan yang tak terlukiskan menikmati keindahan alam dan bawah lautnya.
Mengikuti rapat tim terpadu dan rombongan Kepala Balai Besar KSDA NTT, berkoordinasi
dengan LSM PERISAI (WALHI), merasakan kehidupan bersosialisasi dan
berkoordinasi di lapangan merupakan pengalaman lain yang sangat berharga.
Dua minggu yang tak terlupakan dan mendapatkan sejuta informasi; dapat
menggali potensi dan kondisi kawasan dan masyarakat sekitar saat ini, mengetahui
permasalahan kawasan, memperoleh potret kawasan secara keseluruhan dengan rasa
bahagia. Sungguh gambaran yang tidak akan dapat tertuang secara utuh dalam
tulisan singkat ini.
Akhirnya, kami berharap semoga dengan catatan kecil ini dapat sedikit
tergambar nikmatnya kembali ke lapangan dan indahnya Resort Based Management untuk pengelolaan kawasan secara tepat dan
tidak salah kaprah. ***
* PEH Balai Besar KSDA Nusa Tenggara Timur