WiratnoFoundation
Unconscious Incompetence atau “ketidaksadaran akan ketidakmampuan” adalah judul
sebuah artikel pada rubrik “Wisdom in the
Air”, dari majalah LionMag, Edisi Juni 2012. Sekilas, sangat menarik
membaca uraiannya dan penulis langsung teringat dengan Resort-Based Management (RBM), suatu upaya untuk mengembalikan
spirit kerja di lapangan dari para pekerja konservasi, staf UPT
TN dan UPT Balai KSDA di seluruh Indonesia .
Definisi RBM++
Pemahaman tentang
RBM dan RBM++ memang masih sangat beragam dan bahkan bisa membingungkan, baik
itu di tingkat staf di Resort, di Seksi Wilayah, Bidang Wilayah, tenaga
fungsional (PEH, Polhut, Penyuluh), bahkan di tingkat Kepala Balai, dan Kemungkinan besar termasuk di tingkat Jakarta . Penyebabnya memang beragam, dan definisi dan
cakupan RBM/ RBM++ ini memang terus berkembang, sejak 2007 (penulis menjadi
Kepala Balai TN Gunung Leuser); Pak Hartono menjadi Kepala TN Alas Purwo
(2007 - 2009); sementara itu ada TN Gunung Halimun Salak, yang didampingi oleh
JICA dalam membangun infrastruktur dan melakukan inventory keragaman hayati
kawasan (lebih dari 15 tahun) yang menjadi cikal bakal RBM TNGHS ketika Pak
Bambang Suprijanto menjadi Kepala TN nya; TN Gunung Gede Pangrango -y ang telah
lama mengembangkan konsep kelola di tingkat resort; juga ada TN Komodo, yang
telah lama pula melakukan model shift
ke resort (20 hari dalam 1 bulan, dan kini 10 hari dalam sebulan); serta TN
Ujung Kulon yang semasa Ir.Tri Wibowo, patroli tertutup, sehingga setiap periode
tertentu resort digantikan oleh staff baru, dan staff di resort tersebut
bergerak ke arah resort berikutnya.
RBM++ adalah upaya
untuk mendorong kelola kawasan di tingkat lapangan secara lebih smart, dengan menggunakan metode tertentu
(Tallysheet àAplikasiàSIM RBM àSituation
Room), dimana hasil penjagaan di
lapangan tersebut menjadi input untuk melakukan tindakan-tindakan cepat (quick response) apabila memang
diperlukan, atau untuk menyusun langkah-langkah lanjutan menentukan lokasi prioritas
bagi Tim RBM, melalui metode Grid (100 Ha per grid), dan dilakukan crosscheck kepada nara sumber (senior
staf, tokoh formal/informal, mitra , untuk menetapkan skala prioritas
penjelajahan lanjutan.
Yang dimaksudkan
dengan notasi (++) adalah, meningkatnya
kemampuan tim RBM untuk dapat menemukenali berbagai indikator, seperti ia mampu
mengenali tipe-tipe ekosistem, memiliki kemampuan minimal untuk pengenalan
jenis tumbuhan (tinggi s/d rendah), termasuk berbagai jenis tumbuhan obat (nama
lokal); berbagai jenis satwa liar, identifikasi melalui jejak, kotoran, suara,
cakaran di pohon untuk mendeteksi kehadiran satwa liar; dan yang lebih advance lagi, mereka mampu mengenali bio-indicator yang dapat dipakai
sebagai alat ukur kesehatan lingkungan, melalui keberadaan satwa atau tumbuhan
sebagai bio-indikator.
Tentu, diperlukan pelatihan khusus agar tim RBM mampu meningkatkan kapasitas mereka menjadi Tim RBM++. Kemampuan lain yang harus dimiliki tim RBM++ juga dalam kaitannya dengan daerah penyangga. Bagaimana Tim RBM juga memiliki kapasitas untuk masuk dan diterima oleh masyarakat; mampu mengidentifikasi secara cepat pola-pola hubungan (sosial, ekonomi, budaya) antara masyarakat dengan kawasan; mampu mengungkap sejarah pemukiman, power relation, identifkasi kelompok-kelompok masyarakat yang nantinya bisa dijadikan mitra, sebagai modal sosial pengembangan kerjasama yang saling menguntungkan untuk pengamanan kawasan dan pegembangan potensi, dan sebagainya.
Tentu, diperlukan pelatihan khusus agar tim RBM mampu meningkatkan kapasitas mereka menjadi Tim RBM++. Kemampuan lain yang harus dimiliki tim RBM++ juga dalam kaitannya dengan daerah penyangga. Bagaimana Tim RBM juga memiliki kapasitas untuk masuk dan diterima oleh masyarakat; mampu mengidentifikasi secara cepat pola-pola hubungan (sosial, ekonomi, budaya) antara masyarakat dengan kawasan; mampu mengungkap sejarah pemukiman, power relation, identifkasi kelompok-kelompok masyarakat yang nantinya bisa dijadikan mitra, sebagai modal sosial pengembangan kerjasama yang saling menguntungkan untuk pengamanan kawasan dan pegembangan potensi, dan sebagainya.
Maka Tim RBM++
bukan hanya terdiri dari staf di resort, tetapi juga dibantu oleh apa yang saya
sebut sebagai Flying Team (FT) dari
Balai (Besar) atau dari Bidang Wilayah/Seksi. FT bisa terdiri dari PEH,
Penyuluh, Polhut, SPORC. Mereka yang memiliki kapasitas lebih tinggi daripada
staf resort, namun minim pengalaman di
lapangan. Apabila dipadukan, maka Tim RBM++ akan mampu menghasilkan “potret”
kawasan, “potret” masyarakat di sekitar kawasan, dan “potret” persoalan dan
potensi kawasan yang lebih komprehensif. Potret-potret yang dikumpulkan dan
dianalisis ini, menjadi modal dasar bagi Tim Perencanaan di Balai Besar, untuk
menyusun perencanaan yang lebih realistis, lebih konkrit, lebih fokus, dan
mampu membuat skala prioritas untuk kelola minimal kawasan (KMK) yang seperti
apa yang dapat dilakukan saat ini.
Maka RBM apalagi
RBM++, tidak bisa difahami sebagai hanya telah ditetapkannya kawasan resort,
atau telah di-SK-kan wilayah kerja
resort dan Tim Resort-nya oleh Kepala Balainya. Banyak pendapat beredar,
bahwa RBM itu kan
sudah kita lakukan sejak dulu. Kan
sudah dibangun kantor resort, Kepala Resort dan stafnya sudah ditetapkan dan
sudah berada di lapangan. Pertanyaannya, benarkah mereka sudah bekerja di
lapangan, bukan hanya menjaga kantor resortnya saja; atau bahkan, sudahkah
mereka tinggal di kantor resort? Fakta menyatakan, banyak kantor resort
ditinggalkan kosong dan akhirnya rusak. Kalau kantor resort saja tidak pernah
dihuni, apalagi lapangan. Pasti sangat jarang ditengok. Patroli ruting yang
didanai 1 kali dalam sebulan (4 - 5 hari sekali patroli), harus diefektifkan
dengan pola RBM atau RBM++ ini. Tanpa pola ini, maka kita hanya akan mendapati
laporan yang sangat hambar (tidak
disertai koordinat, tidak diplot dipeta), dan akhirnya tidak mampu memberikan
input untuk merencanaan atau intervensi yang lebih baik, kecuali sekedar
laporan proyek.
Nilai-nilai RBM dan RBM++
RBM dengan pola
seperti itu, diharapkan secara bertahap akan lahir nilai-nilai organisasi yang
baru, misalnya tumbuhnya semangat kebersamaan, spirit kerja sebagai tim (teamwork), komunikasi yang mulai cair dan kondusif (collegial); diharapkan, semakin
hilangnya kelompok-kelompok yang tidak sehat; staf mulai memahami pentingnya
data yang akurat-yang tidak dipalsu; dan mulai mendekat ke science. Perubahan sikap dalam melihat “masalah” di lapangan, bukan sebagai hambatan,
penghalang, tetapI sebagai justru dipandang s ebagai tantangan yang harus
dihadapi dan diselesaikan. Mulai faham dan mengerti bahwa semuan unsur di
kantor, bagian kepegawaian, keuangan, umum, sama pentingnya dengan tenaga
fungsional, kepala seksi, resort, dan seterusnya. Mulai faham bahwa orang-orang
konservasi harus memiliki rasa sebagai “satu keluaga besar” “satu extended family” yang kompak dan saling
membantu bila ada kesusahan. Tumbuhnya semangat keterbukaan, akuntabilitas, taat
aturan; rasa saling mengingatkan, saling menolong, dan tepa selira, atau gotongr oyong - salah satu nilai inti dari Pancasila.
Dalam perspektif
tumbuhnya nilai-nilai itu seperti itu, maka posisi RBM++ sudah bukan lagi
berbicara teknis konservasi belaka. Ia sudah menjadi kendaraan menuju “zaman
pencerahan konservasi”. Pemahaman yang seperti inilah yang seringkali belum
diketahui, difahami, dimengerti, oleh banyak pihak. Wajar, karena ini gerakan
baru, yaitu “Gerakan Pencerahan”.
Dengan memahami
definisi dan cakupan RBM atau RBM++ dengan nilai-nilai yang dikandungnya
sebagaimana diuraikan di atas, maka pemahaman akan RBM dan RBM++ dapat
dikelompokkan ke dalam 4 golongan sebagai berikut :
1.
Kelompok I : Unconscious
incompetence (ketidaksadaran
akan ketidakmampuan), kondisi seseorang dimana ia tidak sadar apa yang tidak
diketahui atau dikuasai.
Yang
termasuk ke dalam kelompok ini mungkin adalah mereka yang baru masuk kerja di
TN atau KSDA, apalagi kalau belum pernah diberikan pembekalan tentang RBM dan
sistem kerja di lapangan. PNS baru yang langsung bekerja di Jakarta, termasuk
ke dalam kelompok ini. Mereka tidak faham perlunya suatu kemampuan tertentu
untuk dapat bekerja di lapangan.
2.
Kelompok II : Conscious
incompetence (sadar akan ketidakmampuan), kondisi seseorang yang sudah menyadari
apa yang ia tak ketahui atau kuasai.
Yang
masuk dalam kelompok ini adalah mereka yang telah mendapatkan pelatihan, atau
pembekalan tentang RBM atau RBM++, kemudian mereka baru mengetahui bahwa
ternyata diperlukan banyak kompetensi yang harus dikuasai agar mampu bekerja
dan dengan mendapatkan hasil yang baik di tingkat lapangan. Kelompok ini,
setelah melalui pelatihan, harus segera praktik bekerja di lapangan, bukan
hanya menjadi pekerja administrasi di kantor Balai saja.
3.
Kelompok III : Conscious
competence, (sadar dalam
menggunakan kemampuan), kondisi seseorang yang sudah menyadari apa yang ia
ketahui dan kuasai atau ia telah dengan sadar menggunakan pengetahuan atau
kemampuannya.
Kelompok
ini adalah mereka yang telah mendapatkan pelatihan dan sudah mempraktikkannya
bahkan sudah mampu mengembangkan berbagai variasi kemampuan dan ketrampilan
dalam merespon beragamnya persoalan dan atau potensi di lapangan, dikaitkan
dengan peraturan dan perundang-undangan dan kebijakan pimpinan. Mereka juga
telah mampu membangun pola-pola perencanaan dari bawah yang realistis dan
memberikan manfaatnya (outputs dan outcomes) baik bagi kekompakan
organisasi, maupun bagi masyarakat di sekitar kawasan.
4.
Kelompok IV: Unconscious
competence (ketidaksadaran dalam
menggunakan kemampuan), yaitu kondisi seseorang yang telah dapat menggunakan
pengetahuan dan kemampuannya secara “otomatis” atau sudah dapat melakukannya
secara “feeling”, tanpa harus mengikuti petunjuk step by step, karena sudah terbiasa atau lancar dalam menggunakan
kemampuannya.
Kelompok
ini karena sudah lama bekerja dengan kemampuan yang ada, maka mereka terus
melakukan pekerjaannya ini seolah-olah tanpa sadar. Sudah otomatis bekerja
dengan pola-pola yang mereka sudah buktikan bertahun-tahun berhasil
dilaksanakan dan dapat menyelesaikan berbagai persoalan dan dalam rangka
pengembangan potensi kawasan untuk kesejahteraan masyarakat. Mereka sudah
bekerja tanpa melihat petunjuk lagi. Mereka sudah bisa bekerja by feeling. Isalnya, kalau akan masuk ke
masyarakat, harus tahu adat istiadat setempat, menemui tokoh formal, informal,
dengan pola-pola komunikasi yang sudah biasa dilakukan, sehingga mereka dapat
diterima oleh masyarakat dan bahkan mampu membangung rasa saling percaya (mutual trust).
Menurut John Dickey, penulis artikel di LionMag
tersebut, dari keempat tahap kelompok di atas, yang paling menarik adalah
perubahan dari tahap 1 ke tahap 2,
dengan alasan 2 hal. Pertama, karena seseorang merasa hidupnya baik-baik saja
maka ia merasa tidak perlu memiliki kemampuan atau keahlian tertentu. Ketiadaan
kebutuhan akan keahlian tertentu menyebabkan seseorang tetap pada kondisi unconscious incompetence. Kedua, bila
seseorang dalam kondisi unconscious
incompetence karena ia merasa bahwa ia sudah conscious
competence. Perasaan merasa sudah
menguasai suatu keahlian inilah yang kemudian membuat pikiran seseorang menjadi
tertutup, sehingga ia tidak menyadari bahwa sesungguhnya ia masih berada dalam
tahap unconscious incompetence (tidak
sadar kalau ia tidak atau belum memiliki kemampuan).
John Dickey menutup artikelnya, dnegan
mensitir suatu kata-kata mutiara, yang saya kira sangat penitng untuk kita
renungkan, seperti ini:” The end of education is to see men made whole, both in
competence and in conscience” Hasil
akhir dari suatu pendidikan itu adalah melihat seseorang yang membuat lubang,
baik karena kompetensinya dan sekaligus yang dilakukannya dengan sadar”.
Semoga artikel ini dapat menjadi bahan renungan kita
bersama, untuk memahami RBM dan RBM++ yang sebenarnya. RBM dan RBM++ bukan
berkonotasi “HP lama chasing baru”.
Menurut penulis, yang seringkali juga mengatakan hal tersebut, di berbagai
pelatihan RBM 3 tahun terakhir ini. Kini penulis menyadari bahwa RBM dan RBM++ yang
sedang dikembangkan ini adalah “HP baru dengan spirit sama sekali baru”, yang
diinspirasi dan dilandasi oleh 4 tradisi pemikiran Dr. Koorders, yaitu : (1) kembali ke lapangan,
(2) riset-bekerja dengan science atau
ilmu bukti bukan ilmu mistika-istilah Tan Malaka dalam Madilog, (3)
dokumentasi hasil kerja –publikasi, dan (4) network-bekerja
dengan berjaringan, berkolaborasi. Keempat tradisi ini diuangkapkan pertama
kali oleh salah satu penggerak Kelompok Juanda-15, Agus Mulyana-peneliti senior
di CIFOR, setelah mendalami draft buku: Peranan Dr.Koorders dalam Konservasi
Alam di Indonesia, yang ditulis oleh Sdr.Pandji Yudistira KS, yang segera akan
diterbitkan oleh Dit KK dan BHL, Ditjen PHKA.***
Catatan: kepada mereka dimananpun berada yang telah membantu penulis dalam
berbagai bentuk dan kesempatannya, sehingga lahirnya artikel ini, penulis
sampaikan pengharga., Juga kepada para pembaca yang dapat mengakses melalui
media apapun (email, fb, blog) al. Andi Witria di TN Aketajawe, dan kawan2 muda
karyasiswa S2 Fahutan UGM, Indri dan Timnya; Gebyar Andyono-S3 UGM; Mojo-S3
UGM; jaringan RBM di TN dan KSDA seluruh Indonesia; semoga dapat menarik
manfaat dari pemikiran sederhana ini.
- Kupang, 13;53, 13 Juni 2012 -
WiratnoFoundation: sebuah Yayasan yang
dibentuk dengan tujuan untuk memfasilitasi penerbitan buku-buku terpilih
tentang Konservasi Alam yang ditulis oleh staf UPT TN/KSDA, Ditjen PHKA, dan
mitra-mitranya di seluruh Indonesia, untuk menyambut 1 Abad Kebangkitan Konservasi Alam Indonesia.