"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

13 Juni 2012

“Unconscious Incompetence” dan RBM++

WiratnoFoundation

Unconscious Incompetence atau “ketidaksadaran akan ketidakmampuan” adalah judul sebuah artikel pada rubrik “Wisdom in the Air”, dari majalah LionMag, Edisi Juni 2012. Sekilas, sangat menarik membaca uraiannya dan penulis langsung teringat dengan Resort-Based Management (RBM), suatu upaya untuk mengembalikan spirit kerja di lapangan dari para pekerja konservasi, staf UPT TN dan UPT Balai KSDA di seluruh Indonesia

Definisi RBM++

Pemahaman tentang RBM dan RBM++ memang masih sangat beragam dan bahkan bisa membingungkan, baik itu di tingkat staf di Resort, di Seksi Wilayah, Bidang Wilayah, tenaga fungsional  (PEH, Polhut, Penyuluh), bahkan di tingkat Kepala Balai, dan Kemungkinan besar termasuk di tingkat Jakarta. Penyebabnya memang beragam, dan definisi dan cakupan RBM/ RBM++ ini memang terus berkembang, sejak 2007 (penulis menjadi Kepala Balai TN Gunung Leuser); Pak Hartono menjadi Kepala TN Alas Purwo (2007 - 2009); sementara itu ada TN Gunung Halimun Salak, yang didampingi oleh JICA dalam membangun infrastruktur dan melakukan inventory keragaman hayati kawasan (lebih dari 15 tahun) yang menjadi cikal bakal RBM TNGHS ketika Pak Bambang Suprijanto menjadi Kepala TN nya; TN Gunung Gede Pangrango -y ang telah lama mengembangkan konsep kelola di tingkat resort; juga ada TN Komodo, yang telah lama pula melakukan model shift ke resort (20 hari dalam 1 bulan, dan kini 10 hari dalam sebulan); serta TN Ujung Kulon yang semasa Ir.Tri Wibowo, patroli tertutup, sehingga setiap periode tertentu resort digantikan oleh staff baru, dan staff di resort tersebut bergerak ke arah resort berikutnya.


RBM++ adalah upaya untuk mendorong kelola kawasan di tingkat lapangan secara lebih smart, dengan menggunakan metode tertentu (Tallysheet àAplikasiàSIM RBM àSituation Room), dimana hasil penjagaan di lapangan tersebut menjadi input untuk melakukan tindakan-tindakan cepat (quick response) apabila memang diperlukan, atau untuk menyusun langkah-langkah lanjutan menentukan lokasi prioritas bagi Tim RBM, melalui metode Grid (100 Ha per grid), dan dilakukan crosscheck kepada nara sumber (senior staf, tokoh formal/informal, mitra , untuk menetapkan skala prioritas penjelajahan lanjutan.

Yang dimaksudkan dengan  notasi (++) adalah, meningkatnya kemampuan tim RBM untuk dapat menemukenali berbagai indikator, seperti ia mampu mengenali tipe-tipe ekosistem, memiliki kemampuan minimal untuk pengenalan jenis tumbuhan (tinggi s/d rendah), termasuk berbagai jenis tumbuhan obat (nama lokal); berbagai jenis satwa liar, identifikasi melalui jejak, kotoran, suara, cakaran di pohon untuk mendeteksi kehadiran satwa liar; dan yang lebih advance lagi, mereka mampu  mengenali bio-indicator yang dapat dipakai sebagai alat ukur kesehatan lingkungan, melalui keberadaan satwa atau tumbuhan sebagai bio-indikator.


Tentu, diperlukan pelatihan khusus agar tim RBM mampu meningkatkan kapasitas mereka menjadi Tim RBM++. Kemampuan lain yang harus dimiliki tim RBM++ juga dalam kaitannya dengan daerah penyangga. Bagaimana Tim RBM juga memiliki kapasitas untuk masuk dan diterima oleh masyarakat; mampu mengidentifikasi secara cepat pola-pola hubungan (sosial, ekonomi, budaya) antara masyarakat dengan kawasan; mampu mengungkap sejarah pemukiman, power relation, identifkasi kelompok-kelompok masyarakat yang nantinya bisa dijadikan mitra, sebagai modal sosial pengembangan kerjasama yang saling menguntungkan untuk pengamanan kawasan dan pegembangan potensi, dan sebagainya.

Maka Tim RBM++ bukan hanya terdiri dari staf di resort, tetapi juga dibantu oleh apa yang saya sebut sebagai Flying Team (FT) dari Balai (Besar) atau dari Bidang Wilayah/Seksi. FT bisa terdiri dari PEH, Penyuluh, Polhut, SPORC. Mereka yang memiliki kapasitas lebih tinggi daripada staf resort, namun  minim pengalaman di lapangan. Apabila dipadukan, maka Tim RBM++ akan mampu menghasilkan “potret” kawasan, “potret” masyarakat di sekitar kawasan, dan “potret” persoalan dan potensi kawasan yang lebih komprehensif. Potret-potret yang dikumpulkan dan dianalisis ini, menjadi modal dasar bagi Tim Perencanaan di Balai Besar, untuk menyusun perencanaan yang lebih realistis, lebih konkrit, lebih fokus, dan mampu membuat skala prioritas untuk kelola minimal kawasan (KMK) yang seperti apa yang dapat dilakukan saat ini. 

Maka RBM apalagi RBM++, tidak bisa difahami sebagai hanya telah ditetapkannya kawasan resort, atau telah di-SK-kan  wilayah kerja  resort dan Tim Resort-nya oleh Kepala Balainya. Banyak pendapat beredar, bahwa RBM itu kan sudah kita lakukan sejak dulu. Kan sudah dibangun kantor resort, Kepala Resort dan stafnya sudah ditetapkan dan sudah berada di lapangan. Pertanyaannya, benarkah mereka sudah bekerja di lapangan, bukan hanya menjaga kantor resortnya saja; atau bahkan, sudahkah mereka tinggal di kantor resort? Fakta menyatakan, banyak kantor resort ditinggalkan kosong dan akhirnya rusak. Kalau kantor resort saja tidak pernah dihuni, apalagi lapangan. Pasti sangat jarang ditengok. Patroli ruting yang didanai 1 kali dalam sebulan (4 - 5 hari sekali patroli), harus diefektifkan dengan pola RBM atau RBM++ ini. Tanpa pola ini, maka kita hanya akan mendapati laporan yang sangat  hambar (tidak disertai koordinat, tidak diplot dipeta), dan akhirnya tidak mampu memberikan input untuk merencanaan atau intervensi yang lebih baik, kecuali sekedar laporan proyek.

Nilai-nilai RBM dan RBM++

RBM dengan pola seperti itu, diharapkan secara bertahap akan lahir nilai-nilai organisasi yang baru, misalnya tumbuhnya semangat kebersamaan, spirit kerja sebagai tim (teamwork),  komunikasi yang mulai cair dan kondusif (collegial); diharapkan, semakin hilangnya kelompok-kelompok yang tidak sehat; staf mulai memahami pentingnya data yang akurat-yang tidak dipalsu; dan mulai mendekat ke science. Perubahan sikap dalam melihat “masalah” di lapangan, bukan sebagai hambatan, penghalang, tetapI sebagai justru dipandang s ebagai tantangan yang harus dihadapi dan diselesaikan. Mulai faham dan mengerti bahwa semuan unsur di kantor, bagian kepegawaian, keuangan, umum, sama pentingnya dengan tenaga fungsional, kepala seksi, resort, dan seterusnya. Mulai faham bahwa orang-orang konservasi harus memiliki rasa sebagai “satu keluaga besar” “satu extended family” yang kompak dan saling membantu bila ada kesusahan. Tumbuhnya semangat keterbukaan, akuntabilitas, taat aturan; rasa saling mengingatkan, saling menolong, dan tepa selira, atau gotongr oyong - salah satu nilai inti dari Pancasila.

Dalam perspektif tumbuhnya nilai-nilai itu seperti itu, maka posisi RBM++ sudah bukan lagi berbicara teknis konservasi belaka. Ia sudah menjadi kendaraan menuju “zaman pencerahan konservasi”. Pemahaman yang seperti inilah yang seringkali belum diketahui, difahami, dimengerti, oleh banyak pihak. Wajar, karena ini gerakan baru, yaitu “Gerakan Pencerahan”.

Dengan memahami definisi dan cakupan RBM atau RBM++ dengan nilai-nilai yang dikandungnya sebagaimana diuraikan di atas, maka pemahaman akan RBM dan RBM++ dapat dikelompokkan ke dalam 4 golongan sebagai berikut :

1.      Kelompok I : Unconscious incompetence (ketidaksadaran akan ketidakmampuan), kondisi seseorang dimana ia tidak sadar apa yang tidak diketahui atau dikuasai.
Yang termasuk ke dalam kelompok ini mungkin adalah mereka yang baru masuk kerja di TN atau KSDA, apalagi kalau belum pernah diberikan pembekalan tentang RBM dan sistem kerja di lapangan. PNS baru yang langsung bekerja di Jakarta, termasuk ke dalam kelompok ini. Mereka tidak faham perlunya suatu kemampuan tertentu untuk dapat bekerja di lapangan.

2.      Kelompok II : Conscious incompetence (sadar akan ketidakmampuan), kondisi seseorang yang sudah menyadari apa yang ia tak ketahui atau kuasai.
Yang masuk dalam kelompok ini adalah mereka yang telah mendapatkan pelatihan, atau pembekalan tentang RBM atau RBM++, kemudian mereka baru mengetahui bahwa ternyata diperlukan banyak kompetensi yang harus dikuasai agar mampu bekerja dan dengan mendapatkan hasil yang baik di tingkat lapangan. Kelompok ini, setelah melalui pelatihan, harus segera praktik bekerja di lapangan, bukan hanya menjadi pekerja administrasi di kantor Balai saja.

3.      Kelompok III : Conscious competence, (sadar dalam menggunakan kemampuan), kondisi seseorang yang sudah menyadari apa yang ia ketahui dan kuasai atau ia telah dengan sadar menggunakan pengetahuan atau kemampuannya.
Kelompok ini adalah mereka yang telah mendapatkan pelatihan dan sudah mempraktikkannya bahkan sudah mampu mengembangkan berbagai variasi kemampuan dan ketrampilan dalam merespon beragamnya persoalan dan atau potensi di lapangan, dikaitkan dengan peraturan dan perundang-undangan dan kebijakan pimpinan. Mereka juga telah mampu membangun pola-pola perencanaan dari bawah yang realistis dan memberikan manfaatnya (outputs dan outcomes) baik bagi kekompakan organisasi, maupun bagi masyarakat di sekitar kawasan.

4.      Kelompok IV: Unconscious competence (ketidaksadaran dalam menggunakan kemampuan), yaitu kondisi seseorang yang telah dapat menggunakan pengetahuan dan kemampuannya secara “otomatis” atau sudah dapat melakukannya secara “feeling”, tanpa harus  mengikuti petunjuk step by step, karena sudah terbiasa atau lancar dalam menggunakan kemampuannya.

Kelompok ini karena sudah lama bekerja dengan kemampuan yang ada, maka mereka terus melakukan pekerjaannya ini seolah-olah tanpa sadar. Sudah otomatis bekerja dengan pola-pola yang mereka sudah buktikan bertahun-tahun berhasil dilaksanakan dan dapat menyelesaikan berbagai persoalan dan dalam rangka pengembangan potensi kawasan untuk kesejahteraan masyarakat. Mereka sudah bekerja tanpa melihat petunjuk lagi. Mereka sudah bisa bekerja by feeling. Isalnya, kalau akan masuk ke masyarakat, harus tahu adat istiadat setempat, menemui tokoh formal, informal, dengan pola-pola komunikasi yang sudah biasa dilakukan, sehingga mereka dapat diterima oleh masyarakat dan bahkan mampu membangung rasa saling percaya (mutual trust).

Menurut John Dickey, penulis artikel di LionMag tersebut, dari keempat tahap kelompok di atas, yang paling menarik adalah perubahan dari tahap  1 ke tahap 2, dengan alasan 2 hal. Pertama, karena seseorang merasa hidupnya baik-baik saja maka ia merasa tidak perlu memiliki kemampuan atau keahlian tertentu. Ketiadaan kebutuhan akan keahlian tertentu menyebabkan seseorang tetap pada kondisi unconscious incompetence. Kedua, bila seseorang dalam kondisi unconscious incompetence karena ia merasa bahwa ia sudah  conscious competence. Perasaan  merasa sudah menguasai suatu keahlian inilah yang kemudian membuat pikiran seseorang menjadi tertutup, sehingga ia tidak menyadari bahwa sesungguhnya ia masih berada dalam tahap unconscious incompetence (tidak sadar kalau ia tidak atau belum memiliki kemampuan).

John Dickey menutup artikelnya, dnegan mensitir suatu kata-kata mutiara, yang saya kira sangat penitng untuk kita renungkan, seperti ini:” The end of education is to see men made whole, both in competence and in conscience” Hasil akhir dari suatu pendidikan itu adalah melihat seseorang yang membuat lubang, baik karena kompetensinya dan sekaligus yang dilakukannya dengan sadar”.

Semoga artikel ini dapat menjadi bahan renungan kita bersama, untuk memahami RBM dan RBM++ yang sebenarnya. RBM dan RBM++ bukan berkonotasi “HP lama chasing baru”. Menurut penulis, yang seringkali juga mengatakan hal tersebut, di berbagai pelatihan RBM 3 tahun terakhir ini. Kini penulis menyadari bahwa RBM dan RBM++ yang sedang dikembangkan ini adalah “HP baru dengan spirit sama sekali baru”, yang diinspirasi dan dilandasi oleh 4 tradisi pemikiran Dr. Koorders, yaitu : (1) kembali ke lapangan, (2) riset-bekerja dengan science atau ilmu bukti bukan ilmu mistika-istilah Tan Malaka dalam Madilog, (3) dokumentasi hasil kerja –publikasi, dan (4) network-bekerja dengan berjaringan, berkolaborasi. Keempat tradisi ini diuangkapkan pertama kali oleh salah satu penggerak Kelompok Juanda-15, Agus Mulyana-peneliti senior di CIFOR, setelah mendalami draft buku: Peranan Dr.Koorders dalam Konservasi Alam di Indonesia, yang ditulis oleh Sdr.Pandji Yudistira KS, yang segera akan diterbitkan oleh Dit KK dan BHL, Ditjen PHKA.***


Catatan: kepada mereka dimananpun berada yang telah membantu penulis dalam berbagai bentuk dan kesempatannya, sehingga lahirnya artikel ini, penulis sampaikan pengharga., Juga kepada para pembaca yang dapat mengakses melalui media apapun (email, fb, blog) al. Andi Witria di TN Aketajawe, dan kawan2 muda karyasiswa S2 Fahutan UGM, Indri dan Timnya; Gebyar Andyono-S3 UGM; Mojo-S3 UGM; jaringan RBM di TN dan KSDA seluruh Indonesia; semoga dapat menarik manfaat dari pemikiran sederhana ini.
- Kupang, 13;53,  13 Juni 2012  -

WiratnoFoundation: sebuah Yayasan yang dibentuk dengan tujuan untuk memfasilitasi penerbitan buku-buku terpilih tentang Konservasi Alam yang ditulis oleh staf UPT TN/KSDA, Ditjen PHKA, dan mitra-mitranya di seluruh Indonesia, untuk menyambut  1 Abad Kebangkitan Konservasi Alam Indonesia.