Flying Team (FT) adalah suatu tim yang dibentuk
oleh Balai (Besar) KSDA NTT untuk mendukung pelaksanaan Resort Based Management (RBM). FT terdiri dari tenaga fungsional,
pada umumnya PEH yang berada di kantor Balai Besar. Mereka para sarjana yang
kalau tidak sering diterjunkan ke lapangan, akan menghadapi banyak persoalan
personal dan merugikan organisasi. Persoalan personal yang mereka hadapi adalah
semakin tidak jelasnya identitas mereka karena tidak tahu ilmu dan keahlian apa
yang perlu mereka tekuni. Sebagian mereka menjadi staf dari Seksi P2, P3, di
Bagian Kepegawaian, Bagian Umum, dan bahkan direkrut menjadi anggota Tim
Keproyekan, atau menjadi sekretarisnya Kepala Balai. Sementara itu, di Bidang
Wilayah dan Seksi dan Resort kekurangan tenaga pemikir, atau sekedar tenaga
yang membuat kantor bisa berjalan untuk mendukung kegiatan minimal.
FT
diturunkan ke resort-resort yang saat ini sedang melakukan pengumpulan data
melalui RBM, dalam jangka waktu 1 sampai 2 minggu. Sebelum ke lapangan, mereka harus
menyiapkan rencana kerja detil tentang apa yang akan dilakukan selama 2 minggu
di lapangan tersebut. Kepala Seksi P3 - yang bertanggungjawab mengkoordinasikan
RBM di bawah pengawasan Kabid Teknis BBKSDA, memfasilitasi proses persiapan
ini. Persiapan di kantor BBKSDA dilakukan melalui proses “downloading” dalam Teori U, yaitu mengumpulkan data dan informasi
sekunder bersumber dari laporan-laporan, hasil survai, hasil perjalanan Ka
Balai Besar ke resort-resort yang dilakukan sebelumnya (disebut sebagai window
survey, survai cepat). Expert judgement
dalam window survey ini memberikan clue, atau petunjuk tentang hal-hal
sensitif yang perlu kehati-hatian dan short
list tentang persoalan prioritas yang perlu didalami oleh Tim RBM dan FT nantinya. FT juga harus berkonsultasi dengan Tim GIS/ RBM di BBKSDA, yang akan
memberikan bahan-bahan seperti peta (citra) yang telah dilengkapi dengan grid,
dan bahan-bahan lainnya yang mereka perlukan di resort nantinya.
Mereka
tinggal di rumah Kepala Resort, kerja di kantor resort dengan sarana dan
prasarana sangat minimal dan sederhana, lalu mengunjungi kawasan, desa, dan
obyek-obyek lainnya. Proses ini disebut sebagai proses “seeing” dan “sensing” dalam
Theory U.
Dalam
dua minggu diharapkan terjadi interaksi yang intensif, tumbuhnya rasa collegial (kekeluargaan, pertemanan, teamwork) yang lebih “mesra” di antara
anggota FI dan juga dengan Tim RBM, Ka Resort, staf resort dan
keluarganya. Yosi dan Aminah yang
menjadi FI pertama kali sebagai ujicoba di Resort Riung - TWAL 17 Pulau, malahan
bisa menyatu padu di keluarga Nicodemus Manu - penerima Kalpataru tahun 1995.
Nico adalah penjaga TWAL 17 Pulau yang sebenar-benarnya, bahkan sampai saat
ini, menjelang ia pensiun di akhir tahun ini.
Yosi dan Aminah, kebetulan PEH yang memang menyukai laut. Yosi dari Perikanan UNDIP baru lulus S2, sedangkan Aminah seorang sarjana kehutanan yang suka dan segala hal yang berhubungan dengan menyelam. Mereka bahkan sempat ikut nelayan tinggal di bagang sampai pagi; menyapu dan membantu Bu Nico di dapur, memasak, cuci piring, dan sebagainya. Suatu hubungan collegial yang luar biasa. Langsung bisa memutus pola-pola komunikasi formal Balai Besar -- Bidang Wilayah -- Seksi -- Resort, yang selama ini menjadi momok. Mencoba mencairkan segala hal terkait dengan kecurigaan karena sistem keproyekan dan sebagainya, yang cenderung tidak sehat. Bagi petugas di resort, kedatangan FI ini akan sangat membantu tugas-tugas resort, pelaksanaan RBM (baca peta, gunakan GPS, buat skala prioritas penjelajahan), dan segala hal kecil dan kerumitan di kantor resort (seperti masalah keterbatasan listrik, voltage yang naik turun, air, peta kerja, komputer rusak atau bahkan tidak ada, ATK, dan sebagainya).
Yosi dan Aminah, kebetulan PEH yang memang menyukai laut. Yosi dari Perikanan UNDIP baru lulus S2, sedangkan Aminah seorang sarjana kehutanan yang suka dan segala hal yang berhubungan dengan menyelam. Mereka bahkan sempat ikut nelayan tinggal di bagang sampai pagi; menyapu dan membantu Bu Nico di dapur, memasak, cuci piring, dan sebagainya. Suatu hubungan collegial yang luar biasa. Langsung bisa memutus pola-pola komunikasi formal Balai Besar -- Bidang Wilayah -- Seksi -- Resort, yang selama ini menjadi momok. Mencoba mencairkan segala hal terkait dengan kecurigaan karena sistem keproyekan dan sebagainya, yang cenderung tidak sehat. Bagi petugas di resort, kedatangan FI ini akan sangat membantu tugas-tugas resort, pelaksanaan RBM (baca peta, gunakan GPS, buat skala prioritas penjelajahan), dan segala hal kecil dan kerumitan di kantor resort (seperti masalah keterbatasan listrik, voltage yang naik turun, air, peta kerja, komputer rusak atau bahkan tidak ada, ATK, dan sebagainya).
FI, Tim RBM, dan Hal-hal tak Terduga
Ketika
bekerja di lapangan, FI akan langsung berhadapan dengan hal-hal konkrit.
Persoalan atau isu-isu konservasi, seperti persoalan pal batas yang masuk dapur
rumah masyarakat (catatan: rupanya fenomena pernyataan amsyarakat bahwa ada
“pal batas masuk dapur” seringkali dilontarkan di berbagai pertemuan masyarakat
dengan resort). Hal yang perlu dicek ke lapangan nantinya. FI juga harus bekerjasama dengan resort untuk
menentukan atau merubah rencana kerja yang telah disiapkan di BB, dengan
mempertimbangkan hal-hal yang sensitif. Misalnya, apakah FI harus menemui
Kepala desa atau tokoh-tokoh lainnya sebelum ke lapangan; membuat daftar siapa
saja yang perlu diajak bicara/diskusi, mengenai topik apa saja; pelru
diidentifikasi speechless group,
kelompok masyarakat yang tidak pernah aktif bicara di forum rembug desa tetapi
sebenarnya mereka bisa bicara lebih terbuka ketika di lapangan, dan bisa sharing berbagai persoalan kunci terkait
dengan kawasan konservasi dan peta permainan di desa tersebut.
FI
juga harus menggunakan kepekaan (kepekaan hanya bisa muncul dan terasah kalau
kita banyak belajar (sensing) di
lapangan, membaca hal-hal dibalik yang nampak dan atau diucapkan oleh tokoh
masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau berbagai peristiwa yang ditemukan
ketika jalan di lapangan). Ngerumpi di
warung atau lepau, di pinggir desa, misalnya, kita akan banyak menyerap isu-isu
yang sedang hangat dibicarakan di masyarakat; mungkin isu kawasan konservasi
menjadi pembicaraan hanta di warung itu. Kadang FI harus jalan sendiri tanpa
didampingi staf resort, karena bisa saja staf resort akan mengganggu proses
dialog dengan kelompok masyarakat yang menjadi kurang terbuka dalam diskusi.
FI
atau Tim RBM bisa saja menemukan hal-hal tak terduga, seperti melihat langsung
kasus ilegal dalam kawasan (penebangan kayu, perambahan, perburuan, illegal
fishing). FI dan Tim RBM harus menyiapkan skenario, apakah akan menangkap
tangan pelanggar tersebut, atau sekedar membuat Laporan Kejadian (LK).
Bagaimana dengan barang bukti, dan sebagainya.
Ketika
penulis lakukan kunjungan ke TWAL 17 Pulau untuk monitoring FI (Yosi dan
Aminah) dan melakukan patroli ke kawasan, pulangnya mendapati 2 perahu motor
yang ternyata telah melakukan pengambilan gurita selama 3 hari di perairan TWAL
17 Pulau. Oleh Tim, semua dokumen dimabil dan mereka ditahan di pelabuhan.
Proses selanjutnya adalah melakukan koordinasi dengan Camat, dan menyiapkan
Surat Pernyataan yang harus ditandatangani pemilik (juragan) kedua kapal motor
tersebut. Kapal nelayan dari Sikka tersebut ternyata tidak memiliki surat izin untuk
melakukan penangkapan di perairan Kab. Ngada. Merak bersedia menandatangai
Surat Pernyataan tersebut, termasuk barang bukti berupa gurita 300 kg/kapal,
akan dimusnahkan esok harinya. Keesokan harinya, ternyata hanya tinggal 1 kapal
yang ada, sedangkan kapal satunya melarikan diri pada tengah malam. Gurita yang
disita langsung dikuburkan di samping Kantor Resort Riung.
Kasus
pencurian biota laut di TWAL 17 Pulau ini, memberikan pelajaran kepada kita
pentingnya melakukan patroli rutin, yang sebenarnya telah dilakukan oleh Pak
Nico, tetapi tidak mendapatkan dukungan dari Camat dan juga dari BBKSDA di
Kupang secara memadai. Tindakan selanjutnya adalah menyiapkan surat yang ditujukan kepada Bupati di Ngada,
di Sikka, termasuk Dinas Kelautannya. Isi surat
tentunya pemberitahuan tentang banyaknya kasus pelanggaran yang terjadi di TWAL
17 Pulau, kawasan penting untuk wisata alam (diving, snorkeling). Termasuk melakukan koordinasi dan kerjasama
dengan aparat di Polsek dan Kecamatan, untuk upaya pencegahan di kemudian hari.
Hasil Flying Team di Riung
Yosi
dan Aminah sebagai FI pertama di TWAL 17 Pulau, Riung, (20-29 Mei 2012) telah
dapat menyusun rekomendasi konkrit dan fokus, berdasarkan kerja lapangan selama
8 hari penuh (20-30 Mei 2012), sebagai berikut :
- Telah dapat diidentifikasi titik-titik potensi diving, snorkeling, dan posisi pelabuhan-pelabuhan rakyat.
- Peningkatan Kapasitas SDM, khususnya Polhut yang dilengkapai SIM Senjata Api, serta perlunya penempatan PPNS.
- Rencana pembiyaan untuk patroli harian (hanya BBM dan Oli) adalah Rp.2,8 juta/bulan (2 hr x 4 minggu x Rp 350.000,-).
- Periode pengamanan yang lebih ketat terhadap penangkapan ikan, adalah pada bulan Juni, Juli, Agustus, September, Oktober.
- Promosi kawasan melalui website, leaflet, kerjasama dengan Pemda di tingkat Kabupaten dan Kecamatan, serta dengan Travel Agent.
- Perlu perbaikan fasilitas yang ada, dengan menambah papan informasi, pintu gerbang, peta situasi, perbaikan loket karcis.
- Melengkapi sarana, khususnya kapal motor wisata yang dilengkapi dengan bottom glass.
- Meningkatkan kualitas, kapasitas, dan kapabilitas staf agar lebih mengenal kawasan
- Pembinaan terhadap industri kecil masyarakat lokal yang menunjang wisata, antara lain usaha sablon kaos, anyaman, gerabah, tenun, dan sebagainya.
- Pembinaan untuk kelompok guide agar mampu memberikan interpretasi nilai-nilai kawasan.
- Membina pemilik homestay dan warung makan
- Melengkapi informasi mengenai potensi kawasan, yaitu jenis flora dan fauna perairan, yang akna bermanfaat untuk guiding.
- Menyiapkan paket wisata yang ditangani oleh Unit Khusus.
Epilog
Kedua
belas rekomendasi tersebut adalah suatu rekomendasi yang konkrit dan harus
ditindaklanjuti oleh BBKSDA di Kupang. Beberapa rekomendasi suda dimasukkan ke
dalam usulan 2012, seperti pengadaan bottom
glass boad. Rekomendasi lainnya, akan segera diputuskan untuk dilakanakan
di 2012 ini, tanpa menunggu anggaran 2013. Tindakan-tindakan cepat ini harus
dikawal secara konsisten, misalnya pengadaan guidebook karang dan berbagai
flora/fauna laut yang diperlukan kelomppok guide,
perbaikan Pos Karcis, Gapura, dan perbaikan mesin kapal, genset listrik, biaya
patroli rutin pada 5 bulan (prioritas) dalam setahun (juni s/d oktober) dan
sebagainya.
Beberapa
rekomendasi akan dijadikan Visi pembangunan TWAL Riung ke depan (proses “Vision
and Intention” dalam Theory U). Visinya mungkin seperti ini: Menjadikan
TWAL Riung Destinasi Diving dan Snorkeling Terbaik di NTT. Selanjutnya,
beberapa rekomendasi bisa dijadikan prototipe-kegiatan-kegiatan strategis
berskala kecil tetapi strategis (strategic
micro dalam Theory U). , seperti strategi pengamanan kawasan bersama
masyarakat, LSM (Walhi), kelompok guide; pelatihan guide untuk meningkatkan
kualitas interpretasi (tyermasuk pengadaan field guide terumbu karang, ikan
karang, dsb). Hasil akhir dari seluruh rangkaian proses tersebut adalah suatu
hasil (results): kawasan lebih aman, potensi wisata dapat dikembangkan,
kunjungan wisatawan meningkat, sekaligus kelestarian kawasan tetap terjaga. Ini
merupakan outcome yang bersifat yang memerlukan unfinish efforts atau never ending efforts. Namun demikian, strategic micro seperti hasil dari
patroli kawasan, pencetakan fieldguide terumbu karang, ikan karang, penyuluhan,
pelatihan guide untuk interepretasi, dan sebagainya, tentu masih bisa dipantau
perkembangan dan hasilnya.
Rekomendasi
ini juga segera dimasukkan ke dalam Situation Room, agar bisa diketahui oleh
seluruh staf BBKSDA. Data dan informasi lapangan seperti inilah yang sangat
bernilai dan wajib untuk dimasukkan ke dalam Situation Room, sebagai bahan
pengambilan keputusan superprioritas untuk TWAL 17 Pulau.
Setiap
selesai melakukan “sensing” di
lapangan, FI harus mempresentasikan temuannya di Kantor BBKSDA, dan dihadiri
oleh seluruh PEH. Tujuannya adalah untuk berbagi pengalaman dan mengalirkan
energi positif, pentingnya tenaga fungsional kembali ke lapangan.
Flying Team adalah strategi untuk memobilisasi
sumberdaya manusia dan upaya untuk mendekatkan mereka ke lapangan, ke hal-hal
konkrit, dan yang kemudian akan diangkat dan dianalisis di tataran science, revisi kebijakan (lebih fokus
untuk usulan kegiatan prioritas saat ini dan di masa mendatang), mendekatkan
kita pada kawasan, kawasan menjadi lebih dikenali (masalah, potensi), lebih
terasa dijaga (ada penjaganya di lapangan), termasuk daerah penyangganya dapat
lebih difahami (pola interaksi masyarakat vs kawasan), kenal dengan tokoh
formal informal. Bagi tenaga fungsional, seluruh hasil lapangan melalui program
FT ini, dapat dijadikan bahan untuk
penyusunan DUPAK. Maka, point dan koin dapat mereka peroleh dalam waktu
yang sama. Kelola Minimal Kawasan (KMK), dengan “spirit menjegah” terjadinya
kerusakan atau meluasnya persoalan. Kejadian = Niat + Kesempatan. Maka KMK melakukan tindakan-tindakan yang bersifat
pencegahan untuk mengurangi K (Kesempatan). Sehingga tindakan yang bersifat
merusak dapat dicegah, kejadian dapat dihindarkan. Semoga mulai dapat
dilaksanakan melalui pola FT dalam konteks RBM++ ini. Iqra telah dimulai dan tidak ada pihak manapun yang bisa dan boleh
menghentikan.***
*Paper
ditulis sebagai penghargaan kepada Flying Team-1/Yosi, Aminah; 20-30 Mei 2012
Catatan:
Flying Team 2 di TWA Ruteng akan
segera melaporkan hasilnya dan akan saya tuliskan dalam paper, sebagai “documentation of learning process” atau
“knowledge documentation in nature conservation”, meniru spirit yang dilakukan oleh Dr.Koorders selama 21
tahun (1893-1914) mendokumentasi tumbuhan Nusantara ke dalam 13 jilid buku
(Pandji Yudistira KS., penulis buku: Sang Pelopor, Peranan Dr Koorders dalam
Sejarah Perlindungan Alam di Indonesia, dalam proses penerbitan oleh Dit KKBHL
2012).