Tidak Ada Solusi Tunggal
Tidak ada solusi tunggal untuk menyelesaikan berbagai persoalan
pengelolaan kawasan konservasi. Solusi tidak terbatas persoalan teknis dan
legal formal semata-mata. Solusi akan sangat bervariasi, dinamis, multidimensional, unpredictable,
sangat local specific, dan melampaui berbagai scientific approach.
Solusi seringkali didasarkan pada asumsi, prediksi, atau perkiraan yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan. Solusi meleset, dana ‘terbakar habis’,
perambahan masih saja ada di lapangan. Di Jakarta, tidak ada tim khusus yang
ditugasi hanya untuk mengawal penyelesaian
perambahan. Semua sibuk dengan ‘DIPA’-nya masing-masing. Pada tahun 2014, luas open
area yang diduga kuat sebagai perambahan di kawasan konservasi terrestrial sudah
mencapai besaran ± 2,7 juta hektar atau 12,2% dari total luas kawasan konservasi.
Reposisi peran ‘Pusat’ adalah sangat strategis untuk
memfasilitasi dialog lintas UPT (TN dan KSDA) yang telah berhasil maupun yang gagal dalam menyelesaikan
persoalan kelola kawasan konservasi. Policy dialog yang
berdasarkan fakta-fakta lapangan akan membantu proses saling belajar di antara
UPT, sehingga formulasi new policy, atau new direction benar-benar
berdasarkan pembelajaran dari lapangan, bukan atas dasar asumsi atau “pendapat”
pakar yang seringkali bias teori. Keterlibatan LSM mitra UPT sangat strategis
dalam membantu menjelaskan berbagai solusi dari persoalan-persoalan yang
dihadapi UPT.
Temukan Core Problemnya
Solusi yang efektif sangat bergantung pada seberapa
tepatnya kita menemukan core problem-nya, bukan sympton atau
gejalanya. Hal ini dapat dilakukan analisis sejarah atau time
series approach, FGD dengan staf senior atau bahkan yang sudah pensiun untuk menggali tacit
knowledge mereka. Sehingga dapat digambarkan hubungan dinamis-rumit
antara masyarakat dengan kawasan konservasi, masyarakat dengan staf lapangan,
masyarakat dengan pemodal, pengumpul, middle man, dan berbagai
jaringan ke pasar lokal, regional, dan global. Untuk dapat mengidentifikasi dan
menetapkan core problem, perlu dibentuk tim khusus yang ‘bersih’ dari
keterlibatan-nya dengan persoalan yang sedang dihadapi.
Selanjutnya tim khusus ini lebih banyak bekerja secara ‘intelijen’. Menjadi ‘tim operasi senyap’ yang mampu memetakan sisik
melik (baca: detil kesalingterhubungan antar pemain, pemodal,
kordinator lapangan, pekerja, pem-back up, baik dari kalangan sipil
maupun militer, dan sebagainya). Pada umumnya, mekanisme seperti ini jarang dilakukan
oleh manajemen. Maka, data dan informasi tentang peta persoalan bisa sama
sekali tidak ada atau ada namun dimanipulasi, sehingga operasi bisa salah
sasaran dan bahkan menjaidi bumerang bagi tim penegakan hukum yang sedang
bekerja.
Fenomena Fatigue
Fenomena ini sering kali menghinggapi staf dan
seluruh tim penegakan hukum. Kelelahan yang berulang-ulang yang berlangsung
bertahun-tahun karena persoalan perambahan
yang tidak pernah selesai. Di banyak kasus di lingkup Asia, konon persoalan
perambahan di kawasan konservasi bisa diselesaikan dengan tuntas 10-15 tahun
dan bahkan melewati angka 15 tahun. Di Indonesia, waktu 15 tahun bisa terjadi
pergantian 5 kepala balai suatu UPT.
Tanpa jaminan keberlanjutan penanganan persoalan perambahan, maka akan terjadi
situasi yang saya sebut sebagai ‘reinventing the wheel’ - kembali ke titik nol atau bahkan titik minus.
Perambahan semakin meluas, staf tidak berani masuk ke lapangan.
Kasus Besitang di Taman Nasional Gunung Leuser menunjukkan fenomena itu.
Sudah 15 tahun sejak persoalan pendudukan warga eks pengungsi Aceh di Besitang,
sampai dengan saat ini belum dapat
diselesaikan dengan tuntas. Upaya yang penulis lakukan 2005-2007, kandas
setelah 4 tahun kemudian tidak ada keberlanjutan penegakan hukum dan penjagaan day-to-day di
lapangan (silahkan baca: Tersesat di Jalan yang
Benar 1000 Hari Mengelola Leuser oleh Wiratno dkk - UNESCO, 2013).
Network Penegak Hukum
Di dalam jejaring ini harus dibangun dan
dipelihara komunikasi yang asertif, termasuk di dalamnya adalah rencana operasi
bersama, pelaksanaan operasi, tangkap tangan, pengamanan barang bukti, gelar
perkara, pengawalan ketika proses persidangan, sampai putusan pengadilan.
Jejaring ini harus dikawal dan disediakan pendanaannya untuk mendukung seluruh
komunikasi, kerja bareng, dan hal-hal non teknis lainnya.
Komunikasi informal sangat penting karena akan mampu mencairkan kebekuan
komunikasi yang biasanya bersifat sangat legal-formal.
Polres dan Polda misalnya, perlu tahu apa implikasi suatu kawasan
konservasi ditetapkan sebagai world heritage - bukan sekedar
kawasan konservasi biasa. Hal-hal seperti ini akan menaikkan ‘nilai’ kawasan konservasi tersebut yang dampak
dari gagalnya penyelesaian persoalan dapat mendunia dan dibahas dalam sidang-sidang World Heritage, yang
pasti cukup mempermalukan bangsa di forum global.
Seperti kondisi TRHS saat ini yang masuk daftar world heritage yang
terancam (endangered list) sejak Sidang ke 35 World Heritage di Paris,
19-29 Juni 2011. Penulis sempat menjadi delegasi di World
Heritage Convention ke-33 di Sevilla - Spanyol tahun 2009 dan Sidang ke-34 di Brasilia – Brazil tahun 2010, yang pada saat itu delegasi Indonesia masih mampu
mempertahankan argumentasi agar TRHS tidak dimasukkan ke dalam daftar World
Heritage yang terancam tersebut.
Penegakan hukum, penulis yakini, hanya kepada aktor intelektualnya saja. Mereka adalah pemodal yang biasanya memanfaatkan
kelompok masyarakat miskin yang tidak punya pilihan kecuali merambah. Para
aktor yang di belakang layar inilah yang sebaiknya dijadikan target penegakan
hukum. Kelompok masyarakat miskin harus diposisikan sebagai mitra kunci yang
akan turut menjaga kawasan konservasi, dengan pengaturan bersama
bagaimana mereka mendapatkan manfaat dari kerjasama penjagaan kawasan
tersebut.
Jaga di Lapangan
Menjaga lapangan adalah
‘obat
lama’ yang telah dilupakan oleh banyak
pihak. Yang sekarang dilakukan hanya sekedar patroli kawasan.
Kalau ketemu tangkap tangan dilakukan proses hukum tanpa ada
keberlanjutan analisis tentang motif dibalik pelanggaran itu. Apa artinya
patroli 2-3 hari dan kembali lagi ke kantor resort atau ke kantor seksi wlayah? Pak Keleng Ukur membuktikan dengan jaga di lapangan (beliau tinggal di pondok
restorasi Sei Serdang, selama 3 tahun penuh), hutan yang hancur bisa
kembali menghijau dan suara satwa liarpun kembali bergema di sana.
Pak Keleng bisa sharing apa
rahasianya bisa merubah Sei Serdang menjadi hutan kembali. Pak Keleng adalah staf biasa dengan kerja yang luar biasa
(paling tidak di mata saya dan banyak
sahabat yang mengamati proses yang berkembang di Sei Serdang, dan saat ini
sedang diupayakan pendekatan yang simpatik di wilayah Pantai Buaya). Sekali lagi Pak Keleng bisa membuktikan bahwa
pendekatan yang dilakukannya hampir setengah tahun dapat mulai membangun suasana yang
kondusif di Pantai Buaya.
Ke depan menjaga kawasan konservasi di lapangan harus
dilakukan secara bersama dengan berbagai kelompok masyarakat desa di pinggir
kawasan kosnervasi tersebut, dengan berbagai bentuk ‘kompensasi’ yang bisa dinegosiasikan dan disepakati bersama.
‘People Center’
People Center adalah cara pandang yang
menempatkan masyarakat sebagai subyek dalam kepengurusan hutan. Dalam
kelola kawasan konservasi, masyarakat di sekitar kawasan hutan, atau bahkan
yang tinggal di dalam hutan (misalnya: Suku Anak Dalam dan masyarakat
Mentawai di TN Siberut), dan bahkan kelompok minoritas
yang hidupnya masih sangat bergantung pada hutan, hasil hutan, sistem sungai
sebagai alat transportasi utama, dengan segala kerumitan ekosistem di dalamnya,
adalah mitra utama para pengelola hutan, apakah itu HPH, HTI, taman nasional,
KSDA, dan banyak pihak lainnya. Mereka harus dilibatkan dalam seluruh proses
kelola hutan itu.
Hutan bukan hanya kumpulan pohon-pohon sebagaimana scientific
forestry mendefisikannya, yang (hanya berorientasi) menghasilkan kayu
dan seterusnya - yang telah digugat oleh banyak pakar.
Hal ini dapat dibaca dalam buku :”Kembali ke Jalan Lurus, Kritik Penggunaan
Ilmu dan Praktik Kehutanan Indonesia” yang diterbitkan oleh FORCI Development (tahun 2012), khususnya hal.661-690. Dengan
menggunakan pendekatan ‘people center’, maka akan merubah seluruh model
perencanaan, yang akan beorientasi pada pelibatan mereka (baca : masyarakat
desa-desa di dekat kawasan konservasi) sejak dari awal. Arogansi kekuasaan yang seolah-olah menjadikan kepala balai TN/KSDA beserta jajarannya sampai ke
tingkat seksi wilayah, dan resort adalah ‘penguasa’ kawasan
konservasi, harus ditinggalkan.
Bangun komunikasi asertif dengan masyarakat karena mereka bagian dari solusi
kelola kawasan konservasi. Mereka adalah mitra utama pengelola kawasan
konservasi.
Agenda Bersama
Agenda bersama adalah strategi yang
mendorong agar persoalan yang timbul di kawasan konservasi dijadikan
kepentingan bersama. Pihak pemerintah daerah, baik di kabupaten dan provinsi
adalah mitra utama untuk dibangun kesepahaman dan series of dialogues. Logikanya
sangat sederhana; Masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan konservasi yang
seringkali dianggap lebih sebagai ‘penganggu’ atau ‘musuh’ adalah
masyarakat yang secara administratif adalah warga atau penduduk kabupaten
tersebut. Maka tidak ada jalan lain, apabila terjadi berbagai persoalan
menyangkut masyarakat, pengelola kawasan konservasi walaupun merupakan UPT dari pusat, tetap harus duduk bersama. Mantra-nya adalah ‘duduk bersama’ dengan
semua SKPD untuk menggelar, bukan saja persoalan kawasan konservasi tetapi juga
harus bisa menawarkan berbagai potensi yang dapat dikelola dan dikembangkan
dalam rangka meningkatkan perekonomi masyarakat desa-desa di pinggir hutan
tersebut. Masukkan berbagai persoalan dan potensi ke agenda Rakorbangda, mulai
dari desa, kecamatan, kabupaten, provinsi.
Pengelola kawasan konservasi harusnya meleburkan diri
ke dalam skema perencanaan pembangunan yang sudah ada. Mewarnai dan memberikan masukan, sehingga secara
bertahap ‘agenda bersama’ dapat
dibangun, dan solusi akan menemukan momentumnya tanpa harus memunculkan konflik
sosial yang tidak perlu. Spirit konservasi adalah mengajak, membujuk, dan merayu agar secara bertahap para pihak
menyadari pentingnya menjaga hutan untuk kepentingan jangka panjang mereka
sendiri, kebutuhan akan air bersih, air pengairan untuk sawah, udara bersih,
keseimbangan hulu-hilir, iklim mikro yang sangat penting untuk keseimbangan
siklus panen, tata air, kesuburan tanah pertanian, kebun, fungsinya sebagai
habitat berbagai satwa liar, dan lain sebagainya.
Dialog Multipihak
Dialog yang seperti ini adalah upaya untuk keluar
dari kebuntuan solusi perambahan. Identifikasi problem, dan solusi yang disusun
berdasarkan persepsi sepihak oleh balai
(besar) TN/KSDA tidaklah
mencukupi. Banyak hal harus dikonfirmasi ke beberapa pihak, sehingga peta
lengkap tentang sejarah perambahan, perubahan peta pemain, trend ke
depan, dapat digambarkan secara lengkap berdasarkan data dan informasi yang
cukup valid. Dalam kondisi tertentu, dialog bahkan dikembangkan dengan melibatkan para parambah, tokoh-tokoh di
balik layar, dan sebagainya. Namun hal ini hanya bisa dilakukan apabila sudah
dapat dibangun suasana yang kondusif dan rasa saling percaya (mutual trust)
di antara pengelola dengan para perambah. Pendekatan ini juga hanya bisa
dilakukan bila penegakan hukum dihentikan terlebih dulu, mulai pembicaraan
dengan semua perambah, jangan ada satupun yang ketinggalan. Biaya untuk proses
dialog yang mungkin memerlukan waktu yang lama harus disiapkan dalam DIPA
pengelola. Biasanya diperlukan seorang atau beberapa fasilitator yang mengawal
proses dan dibangunnya suasana yang kondusif agar mulai tumbuh rasa percaya
bahwa persoalan mereka akan diselesaikan dengan cara-cara yang baik, yang tidak
melukai perasaan, dan menghargai mereka sebagai ‘manusia’,
bukan sekedar dicap sebagai ‘perambah’ sebagai kelompok pelanggar hukum.
Mereka perlu diposisikan sebagai manusia yang bisa diajak berunding.
Kesepakatan-kesepakatan tertulis tentang tahapan solusi
harus difahami dan ditaati secara bersama serta menjadi modal untuk melakukan
langkah-langkah konkrit ke depan, secara bersama-sama, dan tidak ada satu
pihakpun yang berkhianat.
Pada tahap ini diperlukan kelonggaran, keterbukaan hati
semua pihak, membangun komunikasi asertif dan kesefahaman tentang solusi yang
baik dan damai. Tidak terjebak pada pendekatan legal formal dan penegakan hukum
yang terbukti tidak pernah memberikan solusi tuntas terhadap core
problem-nya. Kelola kawasan
konservasi masuk wilayah-wilayah yang lebih luas terkait isu-isu pembangunan
pedesaan dalam arti luas, seperti persoalan keterpencilan, minimnya
infrastruktur dasar pedesaan, kemiskinan, keberpihakan, kemanusiaan, hak azasi
manusia, dan bukan hanya berputar-putar pada isu-isu keragaman hayati,
perlindungan satwa, habitat, dan lain sebagainya.
Peran Pemerintah Daerah
Pemda mempunyai peranan
yang sangat
penting dalam kelola kawasan konservasi. Apapun kondisi birokrasi dan leadership di
suatu kabupaten, membangun komunikasi dan kerjasama dengan pemerintah daerah
adalah menjadi kewajiban pengelola kawasan konservasi. Pengelola kawasan harus
proaktif datang dan beranjangsana, duduk bersama, dan bahkan aktif mengikuti
irama kerja pemerintah daerah.
Menyampaikan persoalan-persoalan kelola kawasan
konservasi di depan SKPD dan DPRD suatu kabupaten adalah langkah awal
yang sangat simpatik. Mendengarkan pendapat mereka, dan mengintegrasikan
sebagian dari perencanaan kelola kawasan dengan rencana kegiatan di SKPD adalah
sangat penting agar ada kebersamaan langkah dalam menyelesaikan berbagai
persoalan atau dalam mengembangkan banyak potensi kawasan untuk kemaslahatan
dan kesejahteraan masyarakat desa-desa di tinggir kawasan konservasi tersebut. Termasuk
dalam program kerjasama ini adalah pembangunan daerah penyangga kawasan konservasi, yaitu desa-desa yang
berbatasan dengan kawasan konservasi, sehingga program-program bersama dapat
dilakukan secara terpadu dan sinergis. Bahkan, banyak persoalan yang terjadi
dapat dibicarakan dan diprogramkan dalam ‘Program
Daerah Penyangga’ tersebut. Solusi persoalan
konservasi ditanggung bersama dengan pemerintah daerah, yang memiliki rakyat di
sana.
Smart Breakthrough
Smart Breakthrough dapat dilakukan dan
harus dapat dilakukan dengan membangun keterpaduan program lintas
Eselon 1 di KemenLHK. Misalnya, apabila di dekat kawasan konservasi yang
dirambah tersebut terdapat kawasan hutan produksi dan atau hutan lindung, maka
Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan dapat diminta oleh Ditjen
Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, agar mengalihkan perambahan
yang terjadi dan diberikan hak kelola dalam skema Hutan Kemasyarakatan atau
Hutan Desa, dengan jangka waktu 35 tahun dan dapat diperpanjang. Dengan skema
Hutan Kemasyarakatn atau Hutan Desa, mereka legal mengelola suatu kawasan hutan
negera, sambil dibebani kewajiban turut serta menjaga kawasan konservasi
tersebut dari perambahan pihak lain. Kolaborasi yang saling menguntungkan
seperti ini adalah salah satu bentuk ‘smart breakthrough’ yang secara aturan dimungkinkan.
Berbagai persoalan perambahan yang sangat khusus yang
disebabkan oleh konflik politik harus ditangani secara khusus yang melibatkan
Menko Kesra dan Menko Polhutkam. Misalnya kasus perambahan di SM Kateri di Kabupaten
Malaka - NTT adalah
kasus-kasus perambahan kawasan konservasi yang disebabkan oleh persoalan
politik di Timor Timur, pada tahun 1999. Solusinya akan sangat berbeda dengan
perambahan biasa yang disebabkan faktor kemiskinan. Perambahan di Besitang, TN
Gunung Leuser di wilayah kabupaten Langkat, sejak 1999 sebenarnya adalah hasil
dari konflik bersenjata di Aceh Timur. Perambah di Besitang adalah warga Aceh
Timur (transmigran yang berasal dari Jawa) yang
terpaksa melarikan diri dan masuk ke wilayah Besitang di TNGL Kabupaten Langkat karena
terusir dari tempat tinggalnya karena konflik bersenjata di sana. Kasus
perambahan ini juga tergolong kasus khusus yang harus ditangani secara khusus
pula. Pendekatan melalui ‘Smart Breakthrough’ adalah lebih tepat untuk kasus-kasus khusus
seperti ini, bukan dengan penegakan hukum.
-------------------------------------------------------------
*) Bahan akan disampaikan pada Pelatihan
Penyelesaian Perambahan di Tropical Rainforest Heritage of Sumatera (TN Gunung
Leuser, TN Kerinci Seblat, dan TN Bukit Barisan Selatan), Hotel Grand Kemang –
Jakarta,, 21 Mei 2015.
Keren Pak! Setiap kata/kalimat yang Pak Wir tulis selalu bermakna dalam dan sarat akan ilmu
BalasHapusSalam - Rina