Judul artikel kali ini memang dibuat
dalam bahasa inggris, dengan tujuan agar lebih menggigit, lebih menimbulkan
banyak tanda tanya. Misalnya, soal ‘Smart
Investment’. Memangnya selama ini bagaimana investasi dalam pengelolaan kawasan
konservasi di Indonesia? Tidak ‘smart’?
Tidak fokus? Selalu terjebak atau dijebak sesuatu yang menimbulkan opini publik
bahwa mengelola kawasan konservasi hanya mengurusi masalah illegal logging, perambahan, kebakaran, perburuan liar, perdagangan
satwa, dan semua hal yang menimbulkan kesan negatif? Media masih lebih menyukai
mempublikasikan hal-hal yang berbau negatif:
bad news is good news. Kepala Balai (Besar) Taman Nasional dan Konservasi
Sumberdaya Alam seringkali menjadi bulan-bulanan pemberitaan yang berkisar dari
isu-isu negatif tersebut, yang belum tentu disebabkan oleh faktor internal
organisasi pengelola kawasan konservasi.
Situasi di atas justru menjadi
tantangan yang harus mampu dijawab, disikapi dengan positif, disertai dengan
inovasi dan terobosan. Namun demikian, untuk dapat melakukan inovasi dan
terobosan yang belum tentu ada payung regulasinya, diperlukan keberanian
pengelola di lapangan, yang juga didukung leadership
yang juga memiliki kemampuan dan kemauan melakukan berbagai bentuk inovasi di
tingkat pusat. Pusat
memfasilitasi berbagai bentuk pembelajaran dan inovasi dari lapangan tersebut,
untuk disebarluaskan dan kalau memang diperlukan, didukung dengan anggaran atau regulasi
yang memadai.
Tiga contoh inovasi di bawah ini yang
penulis sebut sebagai ‘smart investment’ - investasi yang
dilakukan bertujuan untuk menggali potensi terpendam di kawasan konservasi atau
mencari solusi dari persoalan ancaman kepunahan. Smart
investment ini mensyarakatkan digunakannya IPTEK. Diterapkannya science and high technology tentu saja
tidak dapat dilakukan oleh pengelola kawasan konservasi. Maka dari itu, smart investment mensyaratkan kerjasama
dan kolaborasi dengan lembaga penelitian dan pakar di bidangnya. Dan memang
itulah yang semestinya dilakukan, kalau kita tidak mau terjebak hanya mengurusi
‘kulit luar’ kawasan konservasi, seperti pembangunan gedung untuk kantor, mobil,
dan segala macam sarana prasarana penunjang pengelolaan kawasan konservasi. Atau
sebut saja, masalah perambahan yang tidak pernah diselesaikan secara ‘smart’.
Berikut ini adalah pengalaman
mengungkap potensi kawasan konservasi di bidang yang terkait dengan penyakit
dan obat-obatan modern. Pertama,
pengalaman penulis pada tahun 1999-2000, ketika menjadi Kepala Unit KSDA DI
Yogyakarta. Bersama dengan enam kelompok tani di penyangga Merapi - saat itu
belum menjadi taman nasioanal, kami berusaha melestarikan Vanda tricolor - anggrek pandan endemik Merapi, dari kepunahan
akibat perburuan massif di habitatny, serta karena erupsi Merapia. Bahkan pada
tahun 2000, sempat dilakukan pembiakan melalui kultur jaringan dengan Litbang
Kehutanan di Purwobinangun. Setelah 14 tahun inisiatif tersebut dimulai, sampai
dengan saat ini beberapa kelompok pelestari anggrek masih bertahan.
Kedua, pengalaman penulis meneruskan dan
mempertajam pelaksanaan program riset anti cancer
di TWA Teluk Kupang pada periode 2012-2013 yang upaya awalnya telah dimulai
2009. Program ini dilakukan bekerjasama dengan Dr Agus Triyanto - pakar marine biology dari UNDIP yang didukung seorang
staf PEH Balai Besar KSDA NTT yang handal bernama Isai Yusidarta. Ketiga, kajian fitokimia lebih dari 60
jenis tumbuhan berpotensi sebagai obat yang telah diidentifikasi oleh
masyarakat lokal di TWA Ruteng pada tahun 2013. Keempat,
penelitian yang dilakukan oleh Tim dari Bioteknologi-LIPI yang didukung oleh
Conservation International Indonesia di TN Batang Gadis, Kabupaten Mandailing
Natal - Sumatera Utara, tentang pencarian sumber obat baru dapat dilakukan
dengan menskiring secara umum mikroba endofitik di TN Batang Gadis terhadap
kemampuannya menghasilkan senyawa antibakteri yang diperuntukkan melawan
serangan infeksi bakteri Salmonella thypi
dan Staphylococcus aureus. Mikroba tersebut ditemukan pada pohon medang,
family Lauraceae.
1.
Vanda tricolor vs Kepenuhan Species
Pada tahun 2000, penulis sebagai Kepala Unit KSDA DI Yogyakarta
mengembangkan model perencanaan yang berbeda dari arahan ‘Pusat’. Penulis sebut
hal ini sebagai Perencanaan Strategis, sebuah perencanaan yang dikonsultasikan
kepada publik secara luas untuk mendapatkan masukan. Sebelum ide besar tersebut
dilaksanakan, dilakukan dialog intensif antara penulis dengan Kabid Kantor
Wilayah Kehutanan Yogyakarta, Ir. R.B.Wiyono dan Ir. Gunawan. Dan akhirnya lahirlah
Rencana Strategis Unit KSDA DI Yogyakarta. Sebagian besar bekerja dengan
petani, dengan kelompok tani. Seperti breeding rusa timor di Bunder dengan
kelompok tani rusa, penyelamatan anggrek Merapi yang dinilai sudah hampir
lenyap karena perburuan, serta penyelamatan penyu di Pantai Pandan Simo -
Bantul dengan Kelompok Nelayan pimpinan Pak Rudjito.
Bertahun kemudian, sampai dengan saat ini
berarti sudah 14 tahun. Berbagai kegiatan konservasi yang melibatkan masyarakat
tersebut masih eksis. Salah satunya adalah pelestarian anggrek Merapi, Vanda tricolor, sp. Anggrek pandan yang
warnanya kuning sudah punah (komunikasi pribadi dengan Sulistyono, S.Si, M.Si[MS1] [B2] - aktivis
Matalabiogama saat itu, yang penulis jumpai, 23 Juli 2015 di rumah Pak Musimin,
Turgo).
Koleksi anggrek spesies lereng Merapi sejumlah 70 jenis yang dikumpulkan oleh P Musimin dibantu Sulistyono, S.Si, M.Si (Foto: Wiratno, 2015) |
Bunga Vanda tricolor warna putih, ungu dan hitam, mampu bertahan 1 bulan (Foto: Dini - Kepala SPTN2 Boyolali, 2015) |
Penulis dan Sulistyono, S.Si, M.Si, pendamping setia kelompok lebih dari 12 tahun |
Persoalan ancaman kepunahan suatu spesies harus dijawab dengan breeding, sekaligus proses penyadaran
kepada masyarakat luas oleh masyarakat di sekitar habitat spesies tersebut.
Apabila kultur jaringan yang diinisiasi tahun 2000 tersebut dilanjutkan, maka
akan lahir ribuan tangkai Vanda tricolor,
dan sekaligus menjawab persoalan kepunahan karena over exploitation di habitatnya untuk kepentingan pasar, seperti
yang terjadi pada Vanda tricolor yang
berwarna kuning tersebut. Yang diperlukan dalah konsistensi kebijakan, dukungan,
dan pendampingan kepada kelompok-kelompok pelestari tersebut. Seperti dilakukan
terhadap Kelompok Pelestari Anggrek ALAMI di Dusun Turgo. Kelompok dengan ketua
Pak Musimin ini didampingi oleh sarjana Biologi UGM sekaligus aktifis
lingkungan yang menjadikan kelompok pelestari anggrek ALAMI itu sebagai rumah
keduanya, Sulistyono. Memang akan selalu ada local
champion yang menentukan keberlanjutan suatu program pelestarian berjangka
panjang, apabila pola perencanaannya tepat.
Sulistyono (2015) menyatakan bahwa permasalahan utama anggrek alam di Merapi adalah status Gunung
Merapi yang selalu aktif. Beberapa kali erupsi telah menghancurkan habitat dan
mengurangi populasi anggrek di alam. Perbanyakan melalui kultur in-vitro di awal tahun 2000 gagal pada
saat aklimatisasi. Kultur in-vitro
dilakukan lagi pada tahun 2011 dengan bekerja sama dengan anggota Perhimpunan
Anggrek Indonesia Yogyakarta dan dihasilkan ‘bayi-bayi’ anggrek yang berjumlah
ratusan yang sudah diaklimatisasi di greenhouse
di Turgo.
Koleksi anggrek di greenhouse
membawa manfaat lain yaitu sebagai tempat studi keragaman anggrek di Merapi.
Beberapa mahasiswa dari UGM, UNY, UIN dan INSTIPER Yogyakarta melakuan
penelitian anggrek dan magang budidaya anggrek di Kelompok Pelestari Anggrek
ALAMI. Sudah dilakukan inisiasi untuk kegiatan ekowisata berbasis anggrek
alam di Merapi oleh LSM lokal Yogya yang melibatkan Kelompok Pelestari Anggrek
ALAMI dan juga anggota masyarakat sekitar Turgo.
Kerja sama lebih luas dilakukan antara Kelompok Pelestari Anggrek
ALAMI, Balai TNGM dan Yayasan Kanopi Indonesia untuk kegiatan Adopsi Anggrek
yang telah dimulai pada bulan Maret 2015. Upaya konservasi
tidak hanya berbasis konservasi jenis saja namun juga berbasis kawasan dan
disinergikan dengan masyarakat di sekitar kawasan. Diperlukan riset-riset dasar
yang kolaboratif dengan lembaga penelitian ataupun perguruan tinggi untuk
menghimpun data dasar. Data inilah yang menjadi basis untuk menentukan
kebijakan dan juga basis untuk menentukan pola kegiatan yang sebaiknya
dilakukan oleh pemangku wilayah atau pengelola kawasan konservasi bekerjasama dengan para pihak kunci.
2.
TWA Teluk Kupang : Sponge sebagai
Materi Anti Cancer
Pengelolaan
kawasan konservasi tidak hanya mengatasi masalah. Kelola kawasan konservasi
harus mampu mengungkap rahasia di balik keindahan kawasan-kawasan konservasi
tersebut. Hanya dengan penguasan IPTEK atau science,
dan membangun jejaring kerja kepakaran, maka rahasia yang terpendam di dalam
kawasan konservasi itu dapat diungkap secara bertahap. Satu bukti adalah riset sponge sebagai bahan anti kanker yang dimulai pada tahun 2009 - 2010,
dimana Tim Peneliti dari Universitas Diponegoro (Ir. Agus Trianto, M.Sc.,
Ph.D), Universitas Lampung (Prof. Andi Setiawan, Ph.D dan Idam Setiawan,
ST.,M.Sc.) dan Universitas Ryusyhu, Jepang (Prof. Kobayashi – Dekan Kimia Bahan
Hayati Laut, Prof. Junichi Tanaka dan DR. Arai) bekerjasama dengan BBKSDA NTT.
Tujuan kerjasama
adalah mengeksplorasi jenis sponge di
TWL Teluk Kupang. Dalam riset ini berhasil dikumpulkan 80 sampel sponge dengan satu jenis di antaranya
belum dapat diidentifikasi, yang kemungkinan adalah spesies baru.
Candidaspongia, sp |
Sponge yang kemungkinan merupakan spesies baru |
Tahun 2011, menggunakan sampel sponge dengan tagging K09-02 yang
diidentifikasi sebagai Candidaspongia sp yang
merupakan endemik perairan Teluk Kupang hasil koleksi tahun 2009 yang
dibekukan, mendapatkan ekstrak kasar senyawa yang mampu menghambat sel NBT-T2
(sel kanker kandung kemih tikus putih) dengan lC50 sebesar 0,1m/mL.
Pemurnian ekstrak tersebut menghasilkan senyawa Candidaspongiolide beserta dua derivat baru yang sangat kuat
menghambat sel kanker dengan IC50 sebesar 37,0; 4,7 dan 19,0 ng/mL
(nanogram/mililiter). Keunikan dan potensi
Candidaspongiolide tersebut membuat group NCl (National Cancer Institute, AS) terus menerus mengembangkan senyawa
tersebut.
Tahun 2012
dilakukan marine culture secara in-situ dan ex-situ untuk memperbanyak sampel stok dari senyawa Candidaspongiolide. Diperoleh kesimpulan
bahwa hasil budidaya di Teluk Kupang (in-situ)
lebih banyak daripada yang non budidaya (langsung diambil dari alam). Secara ex-situ, di perairan Pulau Panjang
Jepara, budidaya tidak berhasil. Hal ini menunjukkan Candidaspongia sp adalah diduga kuat tergolong endemik di TWL
Teluk Kupang.
Tahun
2013, dilakukan tiga kegiatan, yaitu : (1) koleksi sampel mikroba simbion di
TWA 17 Pulau (11-15 Oktober 2013), dan telah diperoleh 19 sampel sponge yang berbeda jenis pada kedalaman
10-20 meter. Koleksi sampel tersebut digunakan untuk bahan inokulasi mikroba
simbion yang bertujuan untuk mendapatkan isolat murni mikroba yang bersimbiose
pada sponge. Isolat murni tersebut nantinya akan dikembangkan sebagai bibit
kultur massal mikrosimbion dan akan digunakan untuk bahan analisis kandungan senyawa anti kanker, (2) penyerahan bahan dan
peralatan laboratorium dari BBKSDA NTT kepada Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan UNDIP dalam rangka kerjasama eksplorasi sponge di TWL Teluk Kupang sebagai bahan anti kanker, yaitu Malt
Extract Agar (MEA), Malt Extract Broth
(MEB), Nutrient Agar (NA), Nutrient Broth (NB), Bacto Agar (BA), Peptone, Yeast
Extract, Aceton Hexane, Methanol, Ethylacetate, Asam sulfat sebagai bahan
laboratorium untuk kultur simbion sponge. Untuk peralatan berupa petri disk, magneting stiring rod, pasteur
pipet, filter paper watham, vanilin, rak kultur yang mendukung ekstraksi
sponge hasil eksplorasi di TWL Teluk
Kupang, dan (3) kegiatan lapangan
eksplorasi sponge di TWL Teluk Kupang berupa monitoring kultur sponge Candidaspongia sp yang telah dilakukan tahun 2012 di sekitar
Dermaga Polair NTT di dalam TWL Teluk Kupang, dengan didukung monitoring
parameter perairan berupa suhu, pH, salinitas, nitrat, fosfat, silikat,
densitas, dan kenaekaragaman bakteri dan plankton.
Smart Staff-Smart Investment
Menurut
Isai Yusidarta (komunikasi pribadi, 23 Juli 2015), dinyatakan bahwa investasi selanjutnya adalah "produksi
massal" untuk uji Efikasi in vivo dan uji Pra-klinis sebelum bermuara pada
hak paten dan produksi obat. Secara
teori produksi massal dilakukan dengan : kultur, rekayasa genetik, semi
sintetis dan sintetis total. Kita telah melakukan kultur dengan teknis
marikultur secara eksitu di perairan P. Panjang, Jepara (hasilnya mati). Upaya in-situ
(hasilnya tumbuh optimal pada kedalaman 20 m ke bawah dan berarus deras;
Marikultur kedalaman 5 m, 10 m dan 15 meter hasilnya kerdil). Sedangkan kultur
dengan teknis semi-enclosed system, close system/bioreactor dan
jariangan/primmorph belum pernah dilakukan.
Saya sampaikan, kegiatan akhir Mei – awal Juni 2014
dengan biaya BBKSDA NTT, saya dan Dr. Agus telah melakukan penyelaman pada
areal marikultur untuk mendapatkan mikrosimbion pada Candidaspongia sp.
Mikrosimbion adalah mikroba yang bersimbiosis pada sponge Candidaspongia sp
sebagai hostnya, yang mampu menghasilkan senyawa candidaspongiolide dan
turunannya. Sewaktu dilakukan kultur potongan Candidaspongia sp pada media tanam yang sudah diberi
antibiotik di hotel tempat menginap, hasilnya tumbuh cendawan.
Isai
menegaskan bahwa Ekstrak
kasarnya mampu menghambat sel NBT-T2 (sel kanker kandung kemih tikus) dengan
IC50 sebesar 0.1 μg/mL. Pemurnian ekstrak sponge tersebut menghasilkan senyawa
candidaspongiolide beserta dua derivat baru yang sangat kuat menghambat sel
kanker dengan IC50 sebesar 37.0, 4.7 dan 19.0 ng/mL (nanogram/mililiter).
Sumber : Isai Yusidarta, 23
Juli 2015.
3.
TWA Ruteng : Uji Fitokimiawi Tumbuhan Obat
Riset S2 dengan tema tumbuhan yang
memiliki potensi obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat, telah dilakukan oleh
Elisa Iswandono pada tahun 2007. Terdapat minimal 60 jenis tumbuhan yang
berkasiat untuk berbagai jenis penyakit. Pada tahun 2013, BBKSDA telah
mengirimkan sampel sebanyak 40 jenis tumbuhan dari TWA Ruteng dan 26 jenis
tumbuhan dari TWA Camplong ke Laboratorium Farmaka IPB, untuk dilakukan uji
fitokimia. Fitokimia merupakan studi mengenai
tumbuhan yang berkaitan dengan kandungan senyawa kimia aktif farmakologis.
Penelitian dasar ini penting untuk mengetahui khasiat dan kegunaan tumbuhan
yang meliputi ekstraksi, isolasi dan skrining fitokimia. Tujuannya untuk
mengetahui senyawa kelompok obatnya.
Hasil uji fitokimia tersebut
diharapkan dapat dijadikan dasar untuk pengembangan lebih lanjut penangkaran di
tingkat masyarakat, sebagai bagian dari pengembangan daerah penyangga dalam
upaya peningkatan pendapatan masyarakat sekitar TWA Ruteng. Upaya-upaya
pengembangan daerah penyangga ini akan ditempuh melalui pendekatan Tiga Pilar,
sehingga peran gereja, dan pemerintah kabupaten dengan SKPD-nya akan semakin
jelas dan dapat dipadukan dengan program-program yang dikerjakan oleh BBKSDA
NTT.
Secara kimia, tumbuhan mengandung
berbagai bahan kimia aktif yang berkhasiat obat. Komponen-komponen tersebut
berupa senyawa-senyawa golongan alkaloid, steroid dan triterpenoid, flavonoid
dan saponin. Hasil kajian dari Lab Biofarmaka IPB terhadap tumbuhan obat di TWA
Ruteng adalah sebagai berikut :
·
Alkaloid pada kegiatan Biofarmaka di
TWA Ruteng ditemukan dalam: (1) Kulit kayu dan akar boto (Tabernaemontana sphaerocarpa) yang dalam pengobatan tradisional
Manggarai digunakan dalam pengobatan malaria dan juga demam, (2). Kulit kayu wuhar (Cryptocarya densiflora) yang dalam pengobatan tradisional Manggarai
digunakan dalam pengobatan TBC, disentri dan sakit pinggang. Suatu kebetulan
yang menakjubkan bahwa orang Manggarai seakan mengerti ada kesamaan manfaat
untuk pengobatannya.
·
Steroid pada kegiatan Biofarmaka di
TWA Ruteng ditemukan pada 36 sampel atau 90% dari sampel tumbuhan obat kecuali
pada kulit kayu redong (Trema orientalis),
rebak (Macaranga tanarius), ajang (Toona sureni), garit (Canarium sp). Banyaknya sampel yang mengandung steroid ini
mungkin dalam pengobatan tradisional berdampak pada pereda nyeri atau sakit
sehingga memberikan efek perasaan cepat sembuh.
·
Flavonoid merupakan senyawa fenolik
alam yang potensial sebagai antioksidan dan mempunyai bioaktifitas sebagai
obat. Flavonoid pada manusia berfungsi sebagai antioksidan sehingga sangat baik
untuk pencegahan kanker. Manfaat flavonoid adalah melindungi struktur sel,
meningkatkan efektivitas vitamin C, antiinflamasi, mencegah keropos tulang dan
sebagai antibiotik. Sebanyak 23 dari 40 sampel atau lebih dari 50% sampel
mengandung flavonoid. Beberapa sampel
yang mengandung flavomoid adalah kulit kayu puser, waek, kenda lagkok, redong,
ndingar, ara, garit, sita; daun cawat, wua, menangis, kampel, rao, karot diong,
cigir, mulu, nangker, renggong, ngelong, sandal urat, cangkar, randiawang,
ntila, puser, wase wanger, sensus, tongkak, rukus, garit; dan akar boto.
·
Kegunaan tanin dalam pengobatan
modern adalah sebagai anti septik pada jaringan luka, misalnya luka bakar yaitu
dengan cara mengendapkan protein, campuran obat cacing dan anti kanker.
Sebanyak 31 dari 40 sampel biofarmaka TWA Ruteng mengandung tanin, yaitu: kulit
kayu puser, waek, kenda langkok, redong, ndingar, ara, mulu, garit; daun cawat,
wua, menangis, kampel, rao, karot diong, cigir, nangker, renggong, ngelong,
sandal urat, randiawang, ntila, puser, wase wanger, sensus, tongkak, rukus,
garit, tepotai, laso ular, ta’i ntala, dan legi.
·
Saponin mempunyai aktifitas
farmakologi yang cukup luas diantaranya meliputi: immunomodulator, anti tumor,
anti inflamasi, antivirus, anti jamur, dapat membunuh kerang-kerangan,
hipoglikemik, dan efek hypokholesterol. Saponin juga mempunyai sifat
bermacam-macam, misalnya: terasa manis, ada yang pahit, dapat berbentuk buih,
dapat menstabilkan emulsi, dapat menyebabkan hemolisis. Dalam pemakaiannya
saponin bisa dipakai untuk banyak keperluan, misalnya dipakai untuk membuat
minuman beralkohol, dalam industri pakaian, kosmetik, membuat obat-obatan, dan
dipakai sebagai obat tradisional1. Dalam kegiatan biofarmaka di Ruteng,
sebanyak 36 dari 40 sampel atau sebanyak 90% mengandung tanin yang ditemukan
dalam kulit kayu puser, lui, waek, redong, ndingar, boto, teno, rebak, wuhar,
ara, mulu, ajang, garit, sita; daun cawat, wua, menangis, kampel, rao, karot
diong, cigir, nangker, cangkar, randiawang, ntila, puser, wase wanger, sensus,
tongkak, rukus, garit, tepotai, laso ular, ta’i ntala, legi, dan akar boto.
Potensi Tanaman Obat di TWA Ruteng, Kabupaten Manggarai dan Manggarai Timur
Temuan
beragam tumbuhan obat di lantai hutan TWA Ruteng yang lembab, juga membuktikan bahwa kawasan taman wisata
alam ini bukan saja indah, merupakan sumber air bagi kehidupan masyarakat di
Kabupaten Manggarai dan Manggarai Timur. Ia menjadi bagian dari landscape budaya Manggarai, dan landscape alam, termasuk keragaman
hayati, yang sangat penting dan berfungsi sebagai penyangga kehidupan ummat
manusia, bukan saja di NTT tetapi juga bagi kemaslahatan masyarakat
Indonesia.
4.
Manfaat Mikroba dari TN Batang Gadis, Sumatera Utara
TN Batang Gadis, di Kabupaten mandailing Natal, semula
hutan lindung yang memiliki potensi tambah emas yang besar. Namun demikian,
Bupati Mandailing Natal dan Kepala Dinas Kehutanannya sangat antusias
menjadikannya sebagai taman nasional, dan didukung oleh Conservation
International Indonesia. Pada masa itu, belum diketahui kandungan mikrobanya,
dan akhirnya dilakukan riset oleh LIPI,
Sdri Harmastini I. Sukiman menyampaikan hasilnya dalam uraian berikut
ini.
(Harmastini I. Sukiman, Pusat
Penelitian Bioteknologi LIPI, Jl. Raya Bogor KM 46 Cibinong, Bogor)
Keanekaragaman mikroba endofitik asal Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara sudah berhasil dikumpulkan dan menghasilkan sejumlah besar koleksi mikroba diantaranya berkhasiat sebagai anti bakteri.
Koleksi mikroba yang dikumpulkan dari TN Batang Gadis tersebut adalah terdiri dari kapang dan bakteri endofitik . Mikroba endofitik adalah mikroba yang hidupnya didalam jaringan tanaman, khususnya xylem dan phloem, dan mempunyai hubungan khusus yang dapat bersifat saling menguntungkan dan pathogenesis dengan tanaman induknya. Biodiversitas mikroba tersebut dikumpulkan dari sejumlah tanaman hutan yang dinilai mempunyai peran dalam keseimbangan ekosistem hutan.
Koleksi mikroba endofitik dengan kode MSCI ( Micro Save Conservation Indonesia) ini disimpan dengan baik di Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI dan secara bertahap dilakukan skrining terhadap berbagai potensi yang dimilikinya. Salah satu yang menarik adalah kemampuannya dalam menghasilkan senyawa antibakteri. Mengantisipasi perkembangan kualitas obat di Indonesia sejalan dengan berkembangnya resistensi bakteri pathogen terhadap sejumlah obat antibiotika mendorong kita untuk menggali berbagai macam sumber penghasil senyawa bioaktif yang berpotensi sebagai antibakteri.
Bakteri patogen Salmonella thypi dan Staphylococcus aureus merupakan bakteri penyebab penyakit yang berbahaya bagi kehidupan manusia. Salmonella thypi menyebabkan penyakit thypus yakni demam tifoid yang dapat menyerang semua organ tubuh manusia secara sistemik. Deman tifoid dapat menyebabkan perdarahan intestinal, komplikasi jantung, paru, dll. Penanganan penyakit thypus dilakukan dengan cara memberikan antibiotika yang dapat membunuh bakteri tersebut secara khusus maupun antibiotika dengan spektrum luas. Demikian pula halnya dengan Staphylococcus aures yang menyebabkan penyakit infeksi pada manusia seperti pneumonia, meningitis, osteomyelitis, endocarditis ,infeksi saluran kemih, dll.
Pencarian sumber obat baru dapat dilakukan dengan menskiring secara umum mikroba endofitik asal TN Batang Gadis terhadap kemampuannya menghasilkan senyawa antibakteri yang diperuntukkan melawan serangan infeksi bakteri Salmonella thypi dan Staphylococcus aureus. Skrining dilakukan terhadap sepuluh jenis bakteri endofitik secara kualitatif maupun kuantitatif. Hasil skrining menunjukkan bahwa beberapa isolat yang diuji menunjukkan adanya produksi senyawa bioaktif yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri pathogen. Dari 10 isolat yang diuji, 5 di antaranya menunjukkan hasil positif yang dapat menghasilkan senyawa bioaktif terhadap Staphylococcus aureus. Satu diantaranya yakni MSCI 87.4 menunjukkan hasil yang superior dibandingkan dengan keempat isolate lainnya MSCI 53.1, MSCI 16.1, MSCI, 37.3, MSCI 46.5.
Sementara itu tidak satupun dari kesepuluh isolate yang diuji menunjukkan kemampuan dalam menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella thypii. MSCI 87.4 adalah bakteri yang diambil dari tanaman Beilschemeidia sp Ness , famili Lauraceae yang tumbuh di Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara. Di Indonesia tanaman ini dikenal dengan nama ‘huru” sedangkan di Filipina dikenal dengan nama “bagaoring”. Beilschemedia terdiri dari 200 species yang tersebar di Negara subtropical seperti China Taiwan Afrika dan Amerika. Tanaman ini dikenal sebagai tanaman obat yang kayunya apabila direbus dapat digunakan sebagai obat antimalaria selain obat sakit perut. Beranjak dari kegunaannya sebagai obat tradisional maka sangat memungkinkan bahwa senyawa antibakteri yang berperan menangkal bakteri pathogen itu dihasilkan oleh bakteri endofitik yang berasosiasi dengan tanaman di dalam jaringan batang. Tanaman ini dikenal dengan nama Medang karena kayunya ringan dan atau kayu keras medium.Kayunya cukup baik untuk digunakan sebagai furniture, ukiran, atau bahan kayu kontruksi ringan. MSCI 87.4 adalah bakteri Gram negatif berbentuk batang .mempunyai bentuk koloni putih bening dan apabila ditumbuhkan di media Nutrient Agar, warna media akan berubah dari kuning menjadi ungu muda.Perubahan warna media tersebut diduga disebabkan karena adanya sekresi senyawa bioaktif.
Hasil pengujian kualitatif terhadap kemampuannya menghasilkan senyawa bioaktif pada media agar menunjukkan bahwa bakteri MSCI 87.4 mampu menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus yang ditunjukkan dengan terbentuknya zona hambat disekitar koloni bakteri MSCI 87.4 yang cukup besar ( 24 -32 mm). Senyawa bioaktif tersebut mulai diproduksi pada jam ke 23 yakni pada awal fase pertumbuhan stasionari dimana sel bakteri tidak lagi membelah dan tetap stabil hingga masa kematian. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ekstraksi senyawa bioaktif sebaiknya dilakukan pada saat bakteri sudah berumur 23 jam.
Ekstraksi senyawa bioaktif dapat dilakukan dengan menggunakan pelarut organik chloroform karena chloroform dapat menyerap senyawa bioaktif secara optimal. Hasil pengujian Khromatografi Lapis Tipis ( KLT ) menunjukkan bahwa ekstrak senyawa bioaktif yang dihasilkan dengan pelarut chloroform dapat melakukan penghambatan pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus secara optimal. Hal ini ditunjukkan dengan terbentuknya luas zona hambat 13.66 cm2 sementara ekstrak yang dilarutkan dengan air menunjukkan luas zona hambat 4.83 cm2.
Kegiatan skrining ini menghasilkan informasi adalah bahwa bakteri MSCI 87.4 mampu menghasilkan senyawa bioaktif yang berpotensi membunuh bakteri pathogen Staphylococcus aureus. Senyawa tersebut dapat diekstrak dengan cara memperbanyak biomasa bakteri MSCI 87.4 dan selanjutnya mengekstraknya dengan pelarut organik, chloroform. Data ini ditunjang dengan batasan daya hambat bakteri terhadap senyawa bioaktif yang dilarutkan dalam air adalah 6.25 % sementara senyawa bioaktif yang dilarutkan dengan chloroform adalah 1.56 %. Skrining terhadap kemampuan mikroba endofitik dapat pula dilakukan dengan tujuan yang berbeda untuk menghasilkan suatu target tertentu. Dalam hal ini keberadaan koleksi mikroba endofitik menjadi sangat penting.
Koleksi mikroba endofitik asal Taman Nasional Batang Gadis hasil program Rapid Assesment Program yang dilaksanakan oleh Conservation International Indonesia beberapa waktu silam membuka tabir kekayaan alam Indonesia akan penemuan sumber obat baru yang sangat diperlukan untuk kelangsungan hidup manusia. Harapannya adalah bahwa kelestarian hutan TN Batang Gadis akan terus terjaga sehingga sumber obat dari mikroba alam juga akan tetap lestari.
Bahan Diskusi
Keempat contoh yang dapat penulis kategorikan sebagai ‘smart invensment’ di atas, memberikan
pembelajaran kepada kita semua, khususnya para perencana kawasan konservasi dan
pengambil kebijakan di Jakarta tentang hal-hal sebagai berikut :
1.
Potensi yang dikandung di dalam hutan
kawasan konservasi dan perairan laut kawasan konservasi di Indonesia dapat
diungkap hanya dengan pendekatan keilmuan dan kerjasama dengan peneliti,
lembaga penelitian, dan keberanian para pengelola kawasan konservasi untuk
mengambil inisiatif baru, mencoba inovasi, mendorong ‘proyek’ perubahan dan
tidak mau terjebak pada sekedar mengusulkan suatu kegiatan yang tidak
berbasiskan fakta dan kajian ilmiah dari awal. Diperlukan modal dasar seorang birokrat
pengelola kawasan konservasi (yang di lapangan dan di Jakarta) yang open mind dan open heart, yang sejak awal tidak bekerja sendiri namun sudah mulai
membuka kerjasama multipihak.
2.
Diperlukan waktu yang panjang untuk
dapat membuktikan hasil kajian ilmiah. Jawaban untuk ancaman kepunahan Vanda tricolor perlu waktu 14 tahun (dan
saat ini masih terus diupayakan). Riset soft
coral untuk anti kanker sudah berjalan 6 tahun (2009-2004), dan seharusnya
terus didukung dengan konsistensi kebijakan dan pendanaannya. Riset tumbuhan
obat-obatan dari TWA Ruteng telah dimulai sejak 2006 dan terkahir diuji di
Laboratorium Farmaka IPB 2013, dan masih diperlukan upaya untuk membangun
penangkarannya di daerah penyangga TWA Ruteng serta strategi pemasarannya ke
depan, seperti yang
telah dilakukan dengan kelompok pelestari Anggrek Merapi tersebut.
3.
Perencana Kawasan Konservasi segera membangun kerjasama multipihak
berjangka panjang dengan lembaga penelitian di dalam negeri yang lebih
diutamakan, serta LSM terkait, untuk
melanjutkan riset-riset terapan fokus pada upaya menemukan berbagai manfaat
obat-obatan modern, mendapatkan patent, dan manfaat ekonomi dari kawasan
konservasi. Maka perlu disiapkan skala prioritas bagi kawasan konservasi yang
telah memulai inisiatif tersebut. Costa Rica mungkin bisa jadi tempat
pembelajaran tentang inisiatif ini. Namun patut disayangkan, strategi “smart”
seperti ini belum masuk dalam RPJMN maupun Nawacita.
4.
Kawasan konservasi seluas 27,2 juta Ha dimana 5 juta Ha di antaranya
adalah perairan laut adalah aset nasional yang harus dapat dilestarikan untuk
jangka sangat panjang, lintas generasi, 100-200 tahun ke depan.
Penemuan-penemuan awal saat ini harus dapat menambah keyakinan perencana
pembangun nasional bahwa pembangunan tidak boleh tidak harus menghiraukan dan
mempertimbangkan kelestarian kawasan konservasi. Jika tidak, kita akan kehilangan
nilai potensialnya tanpa mampu lebih dahulu mengetahui manfaatnya untuk
kemanusiaan dalam spektrum yang luas dan mendalam. Hutan hujan tropika
Indonesia telah mengalami kerusakan dalam tempo yang sangat cepat dan masif 35
tahun terakhir ini. Materi genetik dari hutan hujan tropis da perairan laut
harus segera diteliti dan diselamatkan. Harus disusun strategi nasional yang
konsisten. Riset bioteknologi harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
strategi kelola kawasan konservasi saat ini dan ke depan.
5.
Riset-riset terkait dengan potensi obat-obatan di kawasan TN Batang
Gadis, TWA Ruteng, TWA Teluk Kupang yang belum selesai, namun menunjukkan
indikasi hasil yang sangat menjanjikan, seharusnya terus didukung dengan
pendanaan dan program jangka panjang yang
disiapkan oleh Kementerian LHK. Program kerjasama di daerah penyangga dengan
masyarakat, seperti inisiatif penyelamatan Vanda
tricolor, sebaiknya dilanjutkan dengan menjadikannya Sekolah Lapangan bagi
Kepala Balai (Besar) TN/KSDA di seluruh Indonesia, sebagai bentuk “Learning Organization” yang semakin
sehat dan cepat dalam merespon perubahan dan persoalan di lapangan. Cara ini
satu-satunya upaya agar birokrasi dan organisasi tidak terjebak pada fenomena “reinventing the wheel”, atau business as usual (BAU), yang jelas
nyata tidak responsif terhadap perubahan zaman dan tuntutan publik. Masyarakat
bagian dari solusi dan diposisikan sebagai subyek dalam penyelesaian dan
pengelolaan di kawasan konservasi dan di kawasan hutan dalam arti luas.
Kelompok Tani Anggrek Merapi mampu membuktikan mereka menjadi penjaga hutan,
bahkan menjadi explorer yang handal
dan patut dibanggakan. Banyak inisiatif seperti ini di tempat lain (misalnya
Tangkahan, TN Gunung Leuser, community based ecotorism), dan harus
menjadi modal dasar dan input review kebijakan
di KementeriaLHK. Perambah hutan harus dirubah menjadi penjaga hutan yang
handal melalui program-program di Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan
Lingkungan, kerjasama dengan Kementerian Desa, Kemendagri, dan banyak LSM lainnya.
6.
Penghargaan seharusnya diberikan kepada staf lapangan, yang bekerja
sangat luar biasa. Penghargaan juga perlu diberikan kepada para peneliti yang
nyata-nyata mendukung riset terapan yang akan bermanfaat bagi kemanusiaan
secara luas. Penghargaan perlu juga diberikan kepada pendamping kelompok
masyarakat, LSM, local champion yang
secara terus menerus mendukung dan memberikan semangat kepada para pelestari
lingkungan tersebut. Penghargaan yang dimaksudkan juga dalam bentuk dukungan
kebijakan dan konsistensi dukungan anggaran atau membantu membangun kolaborasi
dengan banyak pihak, termasuk pelaku usaha, perguruan tinggi, lembaga riset,
dan penggerak pelestarian lingkungan.***
Ucapan Terima Kasih dan Penghargaan:
Artikel bahan diskusi dengan pakar ini tidak dapat
selesai tanpa dukungan dari sejawat, Sdr.Sulistyono, M.Si, pendamping kelompok tani anggrek Merapi yang konsisten
selama 12 tahun lebih; Ir.Edy Setyarso,M.Si, Kepala TN Gunung Merapi,
Ir.Kuspriyadi, M.Si, mantan Kepala TN Gunung Merapi, yang melanjutkan program breeding Vanda dan
mengembangkannya; sampai dengan saat ini;
Nurpana S,Hut, MT- Kepala SPTN1 TN Gunung Merapi; Dr. Tri Atmojo-KBTU
Balai TN Gunung Merapi, Sdr Isai Yusidarta, koordinator PEH BBKSDA NTT
(2012-2013), Agus Trianto, PhD- Dosen
dan Peneliti pada Fakultas Biologi dan Perikanan, UNDIP yang telah memulai
riset anti cancer sejak 2009; Suer Surjadi-praktisi konservasi, praktisi hukum
lingkungan, dan pemikir kritis; Nurman Hakim-pekerja dan pemikir handal di
bidang landscape management; Dr.Jatna
Supriatna, Executive Director Conservation International Indonesia, ketika
penulis membantu menjadi Policy Analyst
(2001-2004). Ir. Wahjudi Wardojo, M.Sc, pelaku sejarah dan birokrat pada
Kementerian Kehutanan lebih dari 35 tahun, yang menemukan konsep kelola kawasan
konservasi ketika menjadi Kepala TN Gunung Gede Pangrango dan TN Halimun;
Dr.Ir.Tachrir Fathoni, M.Sc yang memiliki tanggungjawab mengembangkan 27,2 juta
Ha kawasan konservasi untuk pengembangan IPTEK yang bermanfaat bagi kemanusiaan,
kesejahteraan, dan peradaban manusia Indonesia; Dr.Hadi Daryanto DEA-Dirjen
PSKL-yang mendorong proses review kebijakan perhutanan sosial melalui dialog
multipihak penuh semangat; Prof Dr.Ir. San Afri Awang, M.Sc, dan generasi
selanjutnya-Heri Santoso, Irfan Bachtiar, Rahmat_WARSI, Dr.Ir. Hariyadi
Himawan-peletak dasar kebjakan Perhutanan Sosial 5 tahun terakhir; para
penggerak-inisiator Perhutanan Sosial di Indonesia; Ir. Suhariyanto-tokoh yang
dikenal tegas-pemberani dan penggerak banyak insiatif ketika menjadi birokrat
Kementerian Kehutanan puluhan tahun dan Ketua RJR yang membangun tradisi dialog
dan perdebatan konstruktif berbagai kebijakan kehutanan dan lingkungan hidup,
melalui Forum Reboan selama 1,5 tahun terakhir ini. Pak Suhariyanto memberikan
kontribusi yang besar pada proses penullisan
Buku berjudul : “ Tersesat di Jalan yang Benar, Seribu Hari Mengelola
Leuser”, buku yang penulis siapkan dengan banyak kolega di 2013, diterbitkan
oleh UNESCO Jakarta Office; Prof Dr.Djoko Marsono-senior penjaga spirit deep
ecology di Fahutan UGM, yang sedang mengembangkan “self healing”, suatu alternatif penyembuhan dan utamanya
pencegahan berbagai gangguan-ketidakseimbangan pada tubuh, pikiran, jiwa manusia,
melalui pemahaman, pendalaman, dan laku selaras dengan mekanisme alam;
Dr. Satyawan P-Dekan Fahutan UGM dan Mas Dr. Ir. Teguh Yuwono-Waka Dekan, untuk
dukungan kepada penulis agar terus berkarya;
Dr. Siti Nurbaya-Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Era Kabinet
Kerja Presiden Joko Widodo-yang telah membuka ruang seluas-luasnya bagi
birokrat Kementerian LHK untuk berinteraksi dengan semua pihak dalam proses
review kebijakan, membangun integrated quick respond team, dan kerjasama
multipihak. Kepada mereka, penulis berhutang budi, pengalaman, spirit,
inspirasi, sharing, dukungan, dorongan, pendampingan, contoh nyata, dan semangat untuk bangga terlahir sebagai “orang
Indonesia” dan mendapatkan kesempatan untuk ambil bagian dari perubahan di
Indonesia. Working Document atau Working Paper ini bisa dibongkar pasang.
Working Document ini disusun dengan maksud untuk “menantang” para pakar,
pemikir, pelaku, birokrat, perencana, LSM, dan
penggerak konservasi alam di seluruh Indonesia, untuk mau mengkaji ulang
model investasi di kawasan konservasi saat ini dan menata kembali model-model
investasi yang “smart” dan menguntungkan bagi pengembangan ilmu pengetahuan,
dan bermanfaat bagi kemanusiaan dalam arti luas..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar