Penetapan satu kawasan konservasi perairan, yaitu TNP Laut Sawu seluas 3,55 juta
hektar di Provinsi NTT (Kompas, 30/01/14) adalah sebuah langkah besar. Kenapa merupakan berita yang
cukup mencengangkan? Ini merupakan taman nasional terluas di Indonesia yang
ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. Selama ini Kementerian Kehutanan cq Ditjen
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), melalui 77 Unit Pelaksana
Teknik-nya yang tersebar di seluruh Indonesia, mengelola 27,2 juta hektar kawasan
konservasi, dimana sekitar 4,7 juta hektar diantaranya adalah kawasan
konservasi perairan yang tersebar di 30 lokasi. Jadi, TNP Laut Sawu ini
merupakan taman nasional laut terluas di Indonesia. Yang mencengangkan adalah
bagaimana cara pengelolanya, bagaimana cara menjaganya?
Tantangan ke
Depan
Salah satu tantangan yang terbesar akan dihadapi oleh
pengelola TNP Laut Sawu adalah bagaimana mengatur akses para pihak untuk dapat
memanfaatkan hasil lautnya secara lestari. Terutama kepentingan masyarakat
nelayan. Tentu akan dibuat zonasi. Akan ada Zona Perlindungan Laut, dimana
nelayan tidak boleh masuk karena untuk kepentingan konservasi terumbu karang, misalnya. Zona
Pemanfaatan Tradisional, untuk masyarakat nelayan; Zona Wisata Bahari, Zona
Pelayaran Internasional, dan lain sebagainya. Tantangannya adalah bagaimana
melibatkan
berbagai komponen masyarakat untuk menyusun zonasi. Bukan hanya terbatas pada tingkat bupati dengan
SKPDnya, tetapi juga sampai ke tingkat masyarakat, sehingga sejak awal
masyarakat mengetahui konsekuensi dari penetapan taman nasional ini.
Penulis memprediksi, apabila kawasan ini akan dikelola
dengan serius, akan diperlukan pendanaan yang sangat besar dari Kementerian
Kelautan dan Perikanan, dan akan menyedot APBD Kabupaten Sumba Timur, Sumba
Barat, Sumba Tengah, Sumba Barat Daya, Rote Ndao, Sabu Raijua, dan sebagainya.
Tantangannya adalah bagaimana menyediakan pendanaan yang cukup untuk mengelola
kawasan yang sangat penting ini. Apabila satu hektar diperlukan 5 USD/tahun,
maka setiap tahun diperlukan dana sebesar 17,75 juta USD atau Rp. 39,050 Milyar
(dengan asumsi 1 USD = Rp.11.000,-). Sebagai perbandingan, TN Komodo yang sudah sangat
terkenal sebagai Cagar Biosfer (1977), World
Heritage atau Warisan Dunia UNESCO (1991), The Real Wonders of teh World
(2011), dan The New 17 Wonders of Nature (2012), dengan luas 173.300 Hektar, dan jumlah
pengunjung di 2012 sebanyak 41.972 orang per tahun, baru bisa menghasilkan PNBP
sebanyak Rp 3.319.860,-.
Tantangan untuk TNP Laut Sawu adalah bagaimana mencari
dana untuk pengelolaannya dan bagaimana cara menghasilkan uang melalui pengembangan
wisata baharinya. Maka sangat penting menetapkan visi, misi, dan strategi pengelolannya,
secara terbuka dan partisipatif, sehingga dapat dihindarkan dari pencitraan
bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menetapkan (baca: menerbitkan) suatu surat keputusan
khusus tentang tentang kawasan konservasi perairan (terluas) baru di Indonesia.
Hal ini juga tentu berimplikasi pada revisi tata ruang provinsi NTT ke depan.
Peluang ke Depan
Terlepas dari latar belakang penetapan TNP Laut Sawu
ini, kawasan ini berada pada Segi Tiga Karang Dunia (Coral Triangle), wilayah yang konon kabarnya memiliki sumberdaya
laut, sumberdaya ikan dan perikanan,
padang lamun, terumbu karang, dan pantai yang sangat subur dan paling
tidak terkena
polusi, dan oleh karena itu menjadi “rebutan” berbagai kepentingan
negara-negara di dunia, termasuk kepentingan ilmu pengetahuan, ekonomi dan
politik. Maka, TNP Laut Sawu semestinya juga dapat diproyeksikan sebagai Pusat
Kajian Sumberdaya Kelautan di Wilayah Selatan Segitiga Karang Dunia. Kepakaran pada
ilmu kelautan dan pendanaan untuk research and development di bidang kelautan seharusnya menjadi
prioritas, selain untuk pengamanannya. Kerjasama dengan beberapa fakultas dan
pakar biologi kelautan sebaiknya menjadi pemikiran yang serius dan menjadi
agenda prioritas. Balai Besar KSDA NTT telah memulai kerjasama riset untuk mendapatkan senyawa anti
kanker dari sponge di Taman Wisata Laut Teluk Kupang,
bekerjasama dengan pakar dari Fakutas Kelautan dan Perikanan UNDIP Semarang.
Tidak tertutup kemungkinan, TNP Laut Sawu menyimpan rahasia bawah lautnya yang
luar biasa, disamping sebagai daerah jelajah whales. Utamakan kerjasama dengan pakar dari dalam negeri dan
jangan menggantungkan dari bantuan internasional, apalagi berupa loan.
Dewan Maritim (Kelautan)
Daerah
Provinsi NTT yang telah memiliki Dewan Maritim (Kelautan) Daerah yang
beranggotakan multipihak, tentu berarti memiliki keunggulan komparatif
dibandingkan provinsi lainnya. Maka, diperlukan
juga upaya
menggandeng Bappenas, Lembaga Oceanografi (LON)-LIPI, dan berbagai universitas di
tanah air, serta seluruh kabupaten di sekitar TNP Laut Sawu, untuk membangun strategic plan Pengelolaan TNP Laut
Sawu, yang disusun secara partisipatif, termasuk agenda risetnya. Jangan
lupakan, nilai-nilai budaya dan kearifan tradisional NTT yang terkenal
dijadikan bagian dari proses untuk menyusun dan memberikan spirit yang positif
dalam membangun TNP Laut Sawu ke depan.
Dewan Kelautan Daerah memegang peranan yang besar dan
penting, dalam mengawal proses dialog muntipihak penyusunan Strategic Plan tersebut. Apabila sudah
disusun, maka proses sosialisasinya juga merupakan bagian yang sangat penting
dalam membangun kesadaran bersama, sebagai modal dasar untuk aksi bersama,
mengamanankan TNP Laut Sawu ini, untuk masa depan pengelolaan sumberdaya
kelautan yang lebih baik, lebih bertanggungjawab, dan memenuhi rasa keadilan
dan kesejahteraan masyarakat NTT.
Masyarakat NTT sejak dari awal harus diposisikan sebagai subyek
(pelaku) dalam pembangunan TNP Laut Sawu ini, tidak (hanya) dijadikan obyek
semata-mata, karena hal ini menyinggung harga diri masyarakt NTT yang kaya akan
nilai-nilai kearifan tradisional tersebut. Pemerintahan Jokowi-JK nampaknya akan mendorong proses-proses
partisipatif di semua lini. Lebih mengedepankan dialog multipihak daripada
proses yang top-down otoriter.
Partisipasi dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi dan memastikan
bahwa apa yang direncanakan kena ke sasaran. Fungsi kontrol menjadi salah satu
elemen yang diutamakan dalam proses menajemen JKW-JK. Semoga proses yang
dibangun di TN Laut Sawu ini juga diinspirasi
dan disemangati dengan dialog yang mencerahkan dan membuat dorongan kesadaran
para pihak untuk menjaga sumberdaya alamnya, dan memanfaatkannya dengan lebih
bertanggungjawab.***