Artikel ini merupakan
sambutan Kepala Balai TN Gunung Leuser, untuk Bulletin “Jejak Leuser”, yang
disiapkan 24 Maret 2007, saat itu penulis masih menjadi Kepala Balai TN Gunung
Leuser. Artikel ini dimasukkan ke dalam blog, sebagai pengingat, bahkan hal-hal
yang penulis ungkapkan 6,5 tahun yang lalu, ternyata masih relevan sampai
dengan saat ini, Agustus 2014. Penegakan hukum untuk master mind perambahan,
dan masyarakat setepat harus diajak bekerjasama mengamankan kawasan. Kasus
perambahan di Besitang – Kabupaten Langkat, sampai kini belum dapat
diselesaikan melalui penegakan hukum.
Pengelolaan taman-taman nasional di Indonesia menghadapi berbagai
persoalan-persoalan yang mendasar dan klasik. Namun, sampai dengan saat ini
belum ditemukan solusi yang tepat. Taman Nasional Gunung Leuser merupakan
contoh rumitnya persoalan pengelolaan kawasan. Di satu sisi manajemen yang
lemah di masa lalu mengakibatkan sebagian kawasan TNGL yang berbatasan langsung
dengan lahan masyarakat, dianggap sebagai ”no
man land” atau lahan tidur dan lahan yang terjebak ke dalam klasifikasi ”open access”. Sumberdaya lahan yang
tidak dimiliki oleh siapapun (karena di masa lalu Polhut atau ”pemilik kawasan”
tidak pernah ada di tempat), tetapi sekaligus juga ”milik setiap orang” (siapa
kuat ia dapat). Kondisi open access
ini juga terjadi di logged-over area
(LOA), bekas tebangan HPH.
Apabila di suatu taman nasional, terdapat areal dalam kategori open access, maka yang seringkali
terjadi adalah spekulasi. Satu atau beberapa orang mencoba untuk merambah, baik
yang akhirnya bertempat tinggal ataupun yang memakai beberapa perantara untuk
dapat “menguasai” lahan tersebut dengan menanam berbagai komoditi. Dalam kasus
di TNGL, di Kecamatan Besitang - Kabupaten Langkat, kondisi open access ini telah terjadi beberapa
tahun yang lalu, sehingga pendudukan, perambahan dan spekulasi lahan menjadi
suatu keniscayaan. Pada awal tahun 2000, terjadi gelombang pengungsi dari Aceh
Timur, yang semula hanya 6 kepala keluarga. Ketika tidak dilakukan penyelesaian
secara tuntas dan bahkan terjadi proses ”pembiaran” sekian tahun, maka jumlah
pengungsi telah mencapai 600-700 KK. Hal yang sama juga terjadi pada perambah
yang menguasai ribuan hektar lahan TNGL dan dijadikan perkebunan sawit.
Ketika proses penegakan hukum dilakukan terhadap 38 perambah di Resort
Sekoci, pada akhir 2006 dan dilanjutkan dengan penumbangan sawit ilegal pada
Januari 2007, Balai TNGL beserta Polres Langkat dituduh telah melakukan
pelanggaran HAM berat oleh LBH Medan.
Saat ini telah divonis 13 perambah dan 1 dalang perambah oleh PN Stabat. Dengan kasus yang
sama, dua mantan anggota dewan masih dalam proses pengadilan. Kerusakan yang
diakibatkan oleh pola-pola perambahan terorganisir seperti ini sangat massif.
Tidak kurang dari 10.000 hektar kawasan hutan hujan tropis dataran rendah di
Resort Sekoci - Besitang, telah hancur. Pembakaran yang berulang untuk
menanaman sawit telah menghentikan proses suksesi alami di wilayah ini. Berdasarkan
penelitian dengan mengamati plot permanen di Besitang, diperlukan waktu lebih
dari 100 tahun untuk mengembalikan hutan pada kondisi awalnya. Kerusakan di
wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang dan Sei Lepan mencapai 37%. Selain
faktor curah hujan, hancurnya DAS inilah yang menjadi salah satu faktor pendorong
banjir bandang di Kabupaten Langkat dan sekitarnya pada 21-22 Desember 2006
tersebut.
Penegakan hukum yang sedang dilakukan oleh Balai TNGL beserta jajaran
penegak hukum lainnya adalah sebagai “shock
therapy” bagi siapapun yang mencoba untuk berspekulasi melakukan
perambahan. Sejak dilakukannya penegakan hukum dan ujicoba pemusnahan sawit
ilegal telah berdampak pada menurunnya upaya spekulasi pada cukong-cukong lahan
dan atau kelompok-kelompok yang tidak bertanggungjawab, untuk memperluas
perambahannya. Kelompok-kelompok terorganisasir ini bukanlah orang miskin atau
tak berlahan. Mereka memiliki lahan di tempat asalnya. Sementara, beberapa
keluarga yang mencoba berspekulasi telah dimanfaatkan oleh kelompok
terorganisir tersebut untuk merambah masuk ke dalam wilayah taman nasional.
Ke depan, pola pengelolaan TNGL akan melibatkan berbagai komponen
masyarakat setempat. Diakui bahwa penegakan hukum saja tidaklah cukup untuk
menghentikan laju kerusakan hutan tersebut. Oleh karena itu, berbagai pola
kolaborasi dan kerjasama dengan masyarakat akan terus dilakukan secara
intensif. Pertama, masyarakat akan mendapatkan manfaat atau lapangan pekerjaan
dengan melakukan reboisasi kawasan dan atau melakukan penjagaan/patroli
bersama. Kedua, pihak Balai TNGL akan sangat terbantu dalam mengemban tugasnya
menyelamatkan sisa-sisa hutan hujan tropis terpenting di Propinsi Sumatera
Utara tersebut. Upaya win-win solution
inilah yang akan ditempuh dalam mensikapi perkembangan pengelolaan TNGL di
wilayah propinsi itu.
Oleh karena itu, membangun kelembagaan kerjasama yang kuat merupakan
tantangan ke depan. TNGL akan dijaga oleh masyarakatnya sendiri sebagai salah
satu pilar konservasi taman nasional ke depan. Dan membangun suatu kelembagaan
lokal, bukanlah tugas yang mudah, namun juga bukanlah hal yang tidak mungkin
dilakukan. Francis Fukuyama dalam bukunya berjudul ”Memperkuat Negara” (2005),
menyatakan bahwa: ” Suatu negara yang
kuat ditandai dengan kemampuannya menjamin bahwa hukum dan kebijakan yang
dilahirkannya ditaati oleh masyarakat, tanpa harus menebarkan ancaman, paksaan,
dan kecemasan berlebihan. Elemen dasar yang ada pada negara yang kuat adalah
otoritas yang efektif dan terlembaga”.
Dalam konteks pengelolaan TNGL, maka persoalan kelembagaan menjadi salah
satu isu sentral yang harus dilakukan penguatan. Kolaborasi pengelolaan
merupakan salah satu pilihan di mana diharapkan kebijakan konservasi di tingkat
global dan nasional dapat diterjemahkan menjadi paket-paket kelembagaan
pengelolaan yang tetap mempertimbangkan keseimbangan antara aspek (mikro)
ekonomi-sosial/budaya-lingkungan. Tiga aspek pembangunan yang terlanjutkan ini
menjadi pilar dari berbagai inisiatif kelembagaan pengelolaan TNGL ke depan. Dalam
beberapa tahun, diharapkan terbentuk kelembagaan kolaborasi desa-desa mitra
TNGL atau TNGL mitra desa, di sepanjang batas taman nasional.
Ketika hal ini dapat
terwujud, penegakan hukum tidak lagi berwajah garang dan menimbulkan kecemasan.
Ia akan diposisikan menjadi sekedar ”shock
therapy” saja, dan oleh karenanya hanya ditujukan kepada master mind-nya atau aktor
intelektualnya. ***