"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

11 Januari 2012

EVOLUSI PEMIKIRAN DAN PRAKTIK RESORT-BASED MANAGEMENT

LATAR BELAKANG

Pada tahun 2006, paper pertama yang ditulis oleh Wiratno-saat itu Kepala TN Gunung Leuser (TNGL), dengan icon resort-based management (RBM) didasari pada latar belakang bahwa terjadi fenomena yang disebut sebagai “paper park” di TNGL. Yaitu kondisi lapangan yang tidak dijaga oleh staf dalam jangka waktu yang (sangat) lama, sehingga menimbulkan berbagai persoalan yang kronis. Akar masalahnya beragam, mulai dari lemahnya leadership, konflik sipil-militer di Aceh, dan lain sebagainya. Ide-ide tersebut terus bergulir dan akhirnya pada suatu kesempatan, dikomunikasikan kepada Hartono yang saat itu menjabat sebagai Kasubdit Evaluasi Biro Perencanaan. Pada tahun 2007, Hartono menjabat kepala Balai TN Alas Purwo. dan selama 3 tahun penuh mulai dipraktikkan konsep RBM di TNAP, dengan tahapan 2 tahun pertama adalah mengumpulkan data lapangan, sebelum akhirnya mampu dibangun sistem informasi yang lengkap dan canggih sampai dnegan saat ini.Kunci keberhasilan RB< di TNAP, menurut Pak Gunung Nababan-Kepala TN Karimunjawa, adalah leadership dari puncuk pimpinan organisasi.

Tahun 2009 pada Rakernis PHKA, Subdit PP mengusulkan kegiatan RBM dan penanganan perambahan di KK, walaupun belum terbit Renstra PHKA yang mengamanatkan diberlakukannya pengelolaan taman nasional berbasis reosrt di 50 TN. Renstra PHKA baru terbit pada tahun 2011, untuk Renstra periode 2010-2014.

Kondisi riil di UPT sangat diwarnai dengan pola blue-print, yang sebagian menuntut adanya dukungan atau kejelasan peraturan/perundang-undangan dan pendanaan tentang RBM. Hanya ada beberapa UPT TN yang telah memulai RBM dengan berbagai varian dan pemahamannya, seperti di TNGHS (dimana sejak ditunjuknya TNGHS telah didampingi dan didukung oleh JICA, selama 15 tahun); TNAP (inisiatif Kepala Balai), TNKJ (inisiatif Kepala Balai berdasarkan pengalaman di TN Teluk Cenderawasi), TN Baluran (inisiatif KepalaBalai yang didukung PEH), TN Tanjung Puting (inisitaif Kepala Balai dan tim inti yang sangat aktif membangun SIM RBM UPT); TN Merbabu (inisiatif Kepala Balai mendukung kelengkapan laptop/GPS untuk setiap Resort); TN Komodo (telah lama dilakukan penjagaan di lapangan dan RBM merupakan inisiatif Kepala Balai yang diwujudkan dalam alokasi anggaran SIM 2011 dan logistik resort di seluruh pulau); dan TN Ujung Kulon, yang sebenarnya telah lama membangun pola patroli lapangan, khususnya yang lebih diberdayakan ketika Pak Tri Wibowo menjadi Kepala Balai (1998-2003), dan saat ini terus dilanjutkan khususnya oleh tim khusus untuk monitoring badak Jawa. Tri Wibowo merupakan tokoh di TN Meru Betiri pada periode 1988-1993, ketika membangun pola-pola hubungan dengan masyarakat di daerah penyangga. Ia salah satu dari Kepala Balai TN yang lebih sering ke lapangan daripada di kantor; membangun terobosan-terobosan pengelolaan taman nasional yang saat itu belum ada arah kebijakan yang jelas. Di TNBBS, pola-pola kerja lapangan yang serupa dengan RBM lebih didominasi oleh Rhino Patrol Unit (RPU) yang dilakukan oleh WCS dengan melibatkan staf Balai Besar TNBBS. Sedangkan WWF Riau lebih fokus pada program camera trap untuk monitoring dan pendugaan populasi harimau Sumatera, khususnya di kawasan TN Bukit Tigapuluh, SM Rimbang Baling, TN Tesso Nilo.

Penjagaan lapangan sangat penting, khususnya di wilayah yang rawan, sebagaimana dicontohkan oleh Keleng Ukur-yang menjaga Pondok Restorasi Sei Serdang, di TNGL selama hampir 2,5 tahun secara terus menerus (2008-Juli 2010 dan dilanjutkan sampai saat ini), dengan pendekatan kemasyarakatan tanpa menimbulkan konflik sosial.

EVOLUSI RBM DI TINGKAT UPT

Memahami berbagai perkembangan yang terjadi di UPT, tentang penerapan kerja lapangan, yang kemudian disebut sebagai RBM, ada berbagai pola dan tahapan yang menarik untuk dicermati. Hal ini penting agar Tim RBM Pusat dapat memberikan pendampingan yang sesuai dengan kebutuhan setiap UPT yang sangat beragam tersebut.

Mencoba membuat potret persoalan lapangan yang beragam. Sedangkan kondisi di tingkat Pusat yang juga menghadapi fenomena kerja parsial dan kerja rutin, maka akan sangat sulit untuk dapat membangun perubahan yang substansial di tingkat UPT (ide RBM) tanpa melakukan perubahan yang cukup berarti di tingkat Pusat. Banyak pedoman yang disiapkan oleh Pusat hanya menjadi sekedar dokumen yang tidak memiliki “jiwa”, mengandung “spirit”; dokumen yang tidak mampu mendorong UPT untuk membaca apalagi mencoba untuk menerapkannya. Tentu saja hal ini merupakan masalah yang sangat penting untuk dicarikan jalan keluarnya. Proses penyusunan pedoman mungkin harus diperhatikan. Apakah melibatkan UPT atau hanya disusun oleh Tim Pusat. Apabila pedoman memang sudah disusun secara partisipatif, apakah dalam penerapannya, masih diperlukan pendampingan oleh Tim Pusat. Berbagai pertanyaan tersebut mendorong dilakukannya perubahan strategi sejak dari perencanaan awal di tingkat Pusat.


Minimal terdapat 4 generasi pengembangan RBM di UPT, yaitu:

Generasi Pertama

Pemahaman RBM lebih didominasi dengan mentalitas “fisik”, dengan cara melengkapi kebutuhan kelengkapan RBM, berupa kantor, speda motor, dana operasi, tanpa menghiraukan apa yang harus dilakukan oleh staf ketika di lapangan. Pada tahapan ini, berbagai kegiatan lapangan belum sepenuhnya dikoordinasikan dan dimasukkan dalam konteks RBM. Diterbitkannya SK Resort sebagai sekedar formalitas pemenuhan SE Dirjen PHKA.

Generasi Kedua

Selain hal-hal yang terkait dengan fisik,dan formalitas SK kepala Balai tentang Resort, mulai dibangun sistem kerja RBM yang masih bersifat rutin dan mekanistik, dan resort beroperasi di tingkat lapangan, terbatas pada patroli kawasan, operasi gabungan, operasi fungsional, apabila memang dialokasikan pendanaan dari Balai, dengan hasilnya dilaporkan dalam bentuk laporan keproyekan. Perencanaan DIP UPT belum didasarkan pada hasil laporan-laporan RBM.

Generasi Ketiga

Generasi ke 2 yang ditingkatkan dengan kelengkapan SIM RBM, data lapangan dikumpulkan berdasarkan tallyshit yang telah disiapkan. Hasil tallyshit dimasukkan ke dalam SIM. Pada level ke 3 ini telah mulai dibangun dan difahaminya prinsip-prinsip dasar atau paradigma RBM. Hasil RBM mulai dijadikan dasar untuk dimulainya perencanaan kegiatan di tahun mendatang (bottom-up planning). Pada level ini, UPT belajar dari UPT lain yang telah menerapkan RBM. Dalam proses aplikasi RBM, terjadi berbagai konflik internal, antara yang menerima dan yang kurang bisa menerima konsep RBM, yang mensyaratkan perubahan pola kerja, khususnya adanya keharusan untuk ke lapangan, pola perencanaan yang partisipatif, membuat skala prioritas kegiatan, membangun tipologi resort, serta distribusi anggaran yang cenderung mulai dialokasikan ke lapangan. Terdapat kegamangan karena sebenarnya RBM belum didukung dengan kebijakan yang jelas (pedoman yang ditetapkan dengan SK Dirjen).

Generasi Keempat

Telah menerapkan Gen-3, data sudah mulai terkumpul banyak , mendukung baseline dan telah mulai diketahui pola dan trend karena data telah dikumpulkan multiyears dan dianalisis, serta dijadikan dasar untuk menemukenali tipologi resort-resort. Pada level 4 ini mulai muncul berbagai pertanyaan tentang manfaat data, informasi, dan knowledge yang telah berhasil dikumpulkan tersebut. Hal ini terjadi karena data dan informasi dari lapangan telah terkumpul dan semakin banyak, namun belum sepenuhnya diantisipasi kegunaan dan dan informasi yang telah dikumpulkan atau dianalisis tersebut.

Implikasi dari Gen-4 RBM:

Ketika pengelolaan suatu kawasan konservasi telah mencapai Ge-4, maka diprediksi akan muncul implikasi baru yang menyangkut hal-hal sebagaiberikut :

  1. Dalam “teologi” konservasi yang menggemakan strategi : “save it”, “study it”, “use it”, atau perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan, semestinya Gen-4 ini harus mulai didorong untuk memulai tahapan akhir dari teologi konservasi tersebut, adalah bagaimana tugas “pemanfaatan” dapat dilaksanakan, sehingga dapat memenuhi tanggung jawab pemerintah tentang Pasal 33 UUD 1945.
  2. Pada level ke 4 ini, pola-pola “pemanfaatan” harus dapat didorong dari tingkat ekosistem (ekosistem menjadi sehat/normal), ke spesies (dinamika populasi), dan mengarah pada tingkatan tertinggi, yaitu genetik, untuk kemanfaatannya bagi manusia. Pemanfaatan genetik menjadi tantangan tertinggi bagi pengelola dan Litbang Konservasi Alam. Tetapi sebelum ke tingkat genetik, berbagai informasi atau knowledge masih dapat dikemas ke dalam berbagai guideline tentang topik tertentu, misalnya tentang pembinaan habitat, manfaat, manajemen, dan sebagainya.
  3. Persoalan meningkatnya populasi suatu spesies yang dilindungi, untuk dapat dimanfaatkan. Hal ini perlu didukung oleh perubahan kebijakan dari pusat yang dipanyungi oleh hukum. Wilayah ini pun masih kosong, dan belum pernah dipikirkan oleh pengambil kebijakan di pusat.
  4. Seluruh hasil Gen-4 RBM masih berpotensi untuk dikembangkan dengan cara membangun jaringan yang melibatk an pakar, praktisi, swasta, lembaga riset lintas kementerian, promosi, dan sebagainya. Hal ini dalam rangka membangun gelombang baru pemahaman dan penyadartahuan masyarakat dan kemungkinan besar dapat membangun segmentasi pasar baru tentang produk-produk tertentu yang sangat berpotensi dapat dihasilkan dari kawasan konservasi.

EVOLUSI STRATEGI TIM RBM PUSAT

Strategi Awal

Tim RBM sejak awal telah dibangun melalui pola-pola multipihak, dengan melibatkan unsur-unsur dari luar birokrasi Dit KK dan BHL. Kelompok tersebut antara lain figur-figur yang memiliki kapasitas di bidangnya, seperti Agus Mulyana-eks CIFOR (fasilitator), Iwan Setiawan-fasilitator (PILI), Suer Suryadi (praktisi biologi konservasi dan ahli hukum), Robi Royana (praktisi konservasi). Tim juga terdiri dari beberapa figgur di luar Subdit Pemolaan dan Pengembangan, khususnya lintas Subdit di Dit KK dan BHL.

Walaupun RBM sering dinyatakan sebagai HP lama dengan “chasing” baru, namun RBM yang digagas bukan sekedar bungkus baru. RBM yang dibangun adalah upaya untuk merubah sebagian besar pola pikir dan sikap mental, utamanya yang cenderung “project –oriented” semata, perencanaan yang dilakukan dari belakang meja oleh kelompok kecil di Balai, transparansi penggunaan anggaran yang sangat rendah, munculnya frustasi staf lapangan dan kelompok sarjana yang mulai tidak puas dengan pola kerja “proyek”, tanpa adanya perubahan yang cukup substansial di tingkat lapangan. Hal ini di beberapa kasus, telah meningkat pada level frustasi akibat kebuntuan komunikasi dan tidak hadirnya leadership riil di tingkat lapangan.

Dalam perkembangan terbaru di Januari 2012 , muncul kegelisahan tentang filosofi dan makna dibalik RBM. Mengapa RBM sedemikian penting untuk diterapkan di seluruh Indonesia. Mengapa banyak pemahaman yang sangat dangkal tentang “gerakan kembali ke lapangan Ini”, dan masih banyak berbagai kegundahan di antara anggota tim pusat. Muncul soal-soal yang berkaitan dengan spiritualitas, religiositas, dan sebagainya.

SPIRITUALITAS RBM

RBM ternyata dapat diintepretasikan sebagai perintah untuk “membaca”. Perintah Iqra ini pertama kali diterima Muhammad di Gua Hira” beberapa Abad yang lalu. “Membaca” dalam arti luas, ternyata juga perintah kepada manusia untuk mempelajari alam semesta (termasuk kawasan konservasi). Mengapa kita diminta membaca alam semesta. Tentu agar kita mau berfikir dan menggunakan akal dan nurani untuk memahami dan mengetahui isi serta manfaat dari alam ciptaan Tuhan ini. Interpretasi lanjutannya adalah, bahwa agar manusia tidak buta huruf dan terjebak ke dalam zaman “kegelapan” konservasi, jaman jahiliyah konservasi. Dengan “membaca”, yang berarti kita harus bekerja di lapangan, maka kita mulai mengetahui isi kawasan, memahami manfaatnya, dan akhirnya memanfaatkannya untuk kepentingan manusia itu sendiri. Maka dalam konteks pemahaman seperti ini, RBM menjadi tugas mulai kita bersama. Dengan ilmu pengetahuan, data yang dihimpun, lalu dikelola dalam SIM RBM, yang diolah menjadi informasi, dan pengetahunan. Dengan semakin lengkapnya data dan informasi, maka secara bertahap kita berhijrah dari era kegelapan menuju zaman terang bendarang. Masa depan seperti inilah yang kita harapkan terjadi, sehingga kawasan konservasi dapat dipertahankan untuk dikembalikan kepada generasi mendatang 100-500 tahun ke depan (dalam keadaan yang tidak terlalu rusak), karena kawasan konservasi hanya titipan anak cucuk kita yang saat ini belum lahir. RBM harusnya dilihat dalam konteks lintas generasi dan mandat Tuhan kepada manusia yang seperti itu.

TUJUAN AKHIR RBM

Membangun kelembagaan pengelolaan yang memiliki kemampuan untuk mampu menghadapi tantangan yang berkembang dan potensi kawasan yang beragam dan dapat dikembangkan secara dinamis, sekaligus dapat melakukan adaptasi ke dalam dan keluar.

Ciri-ciri kelembagaan UPT yang telah menerapkan RBM adalah:

  • Antisipatif : dapat melakukan antisipasi munculnya berbagai persoalan.
  • Responsif : mampu melakukan tanggapan dengan cepat terhadap berbagai persoalan dan potensi yang dapat dikembangkan.
  • Inovatif : berani melakukan berbagai inovasi atau terobosan menghadapi persoalan internal dan eksternal.
  • Adaptif : mampu melakukan penyesuaikan strategi, taktik, dan mobilisasi sumberdaya dalam merespon beragamnya perubahan situasi dan kondisi yang akan berdampak pada kelestarian kawasan dan fungsinya.
  • Transparan : berani melakukan perubahan paradigma menjadi lebih terbuka dan melibatkan berbagai pihak kunci dalam “siklus manajemen”.
  • Akuntabel : memenuhi kaidah-kaidah tertib administrasi keuangan, tertib pelaporan, dan kualitas pekerjaan.
  • Menjadi Leading Agency dalam penyusunan dan menerapkan kebijakan pembangunan yang berkelanjutan.
  • Berhasilnya dibangun leadership di berbagai tingkatan khususnya di lingkungan internal dan jaringan kerja ke lingkungan eksternal.
  • Terkelolanya berbagai persoalan dan potensi dengan lebih manusiawi dan memberikan kemanfaatan nyata bagi masyarakat, tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip kelestariannya.
  • Memulai kesadaran (spiritual dan intelektual) tentang pentingnya budaya “membaca” yang didisain untuk mempercepat proses pemahaman dan penguasaan data, informasi, dan pengetahuan tentang kawasan dan isinya, termasuk kemanfaatannya bagi masyarakat dan ilmu pengetahuan.

PERBANDINGAN NON RBM vs RBM

Aspek

Sebelum RBM

Sesudah RBM

Identifikasi Akar Masalah dan Potensi

Berdasarkan telaah dokumen, atau hasil survai terbatas dan belum mendalam, teknik survai belum teruji, kegiatan terbatas dilakukan oleh internal, belum melibatkan pakar/praktisi, hasil belum dapat dibandingkan untuk memprediksi trend, baru bisa memotret sympton bukan core problem-nya

Berdasarkan hasil survai dan kajian yang cukup mendalam, dengan teknis pengambilan data yang lebih akurat, melibatkan pakar/praktisi, masyarakat, bersifat time series sehingga dapat memprediksi trend, ,dapat diidentifikasi akar masalah, potensi yg layak dan prioritas dikembangkan.

Perencanaan untuk penyusunan DIPA

Disiapkan oleh kelompok kecil di Balai; Nuansa top-down masih sangat dominan.


Belum didasarkan pada data, fakta, dan analisa kebutuhan riil di lapangan.

Kualitas perencanaan masih rendah, kurang tepat sasaran, masih ada gap antara kebutuhan lapangan dengan ketersediaan perencanaan dan alokasi anggaran

Disiapkan dengan melibatkan Kepala Seksi, Kepala Resort, dan sebagian besar staf Balai. Nuansa keterbukaan komunikasi dan proses bottom-up sangat kental.

Didasarkan pada data dan informasi serta kebutuhan riil dan prioritas kebutuhan di setiap Seksi dan Resort

Kualitas perencanaan lebih baik, lebih realistis, dibuat berdasarkan skala prioritas sesuai tipologi resort, ,lebih tepat sasaran

Pelaksanaan Kegiatan

Nuansa top-down masih kental, Seksi dilibatkan secara terbatas, di tingkat resort suasana menunggu masih dropping dana, untuk melaksanakan berbagai kegiatan. Hal ini diiringi dengan kurang jelasnya sistem kerja, SPJ,pelaporan; peran Kepala Seksi atau “Tim Balai” untuk memberikan bimbingan bleum nampak

Persiapan pelaksanaan kegiatan, dimulai dengan pembahasan bersama, minimal melibatkan Seksi, Tim Balai, menyiapkan ToR untuk setiap kegiatan; mengoptimalkan mekanisme rapat bulanan, atau triwulan, untuk membicarakan persiapan pelaksanaan kegiatan (metode kerja, teknik pengambilan data, SPJ,tata waktu, tim kerja, dsb).

Monitoring dan Evaluasi

Dilakukan secara terbatas oleh Satuan Pengawas Internal (SPI), hanya fokus pada realisasi kegiatan fisik dan keuangan.

Dilakukan oleh SPI dengan melibatkan Seksi dan Resort, serta masyarakat (apabila diperlukan); proses pembelajaran berlangsung dengan intens;

Arahan dan bimbingan diberikan tepat waktu ketiak proses monitoring, sehingga setiap kegiatan dapat mencapai sasarannya.

Evaluasi dilakukan setiap akhir tahun untuk mengetahui capaian fisik (output) dan outcomes-nya.

Hasil evaluasi dijadikan dasar perbaikan perencanaan di tahun yang akan datang.

Leadership

Kepemimpinan masih sangat lemah, arah organisasi kurang jelas, transparansi sangat rendah, muncul berbagai kelompok di Balai (PEH, Polhut, Tim Proyek,dsb); reward dan punishment tidak jelas, suasana kerja tidak kondusif. Kondisi ini berdampak pada tidak selesainya persoalan kawasan, dan berbagai inisiatif kemitraan tidak jalan.

Transparansi yang dikembangkan di berbagai level mulai menghasilkan terbangunnya rasa saling percaya (trus) di hampir seluruh jajaran balai, Seksi, Resort; tumbuh kembangnya rasa sebagai “satu keluarga” besar, saling menghargai, saling menyapa, saling mengingatkan; suasana kerja menjadi lebih kondusif dan nyaman untuk dibangunnya komunikasi yang sehat; Kepala Balai berperan sebagai “orang tua”, yang membimbing, mengarahkan, dan menegur “anak-anaknya”; energi positif mengalir ke berbagai lini, termasuk kepada mitra; arah organisasi menjaid semakin jelas; data dan informasi kawasan semakin lengkap dan kawasan dapat dikelola dan mulai dapat memberikan manfaat nyata bagi masyarakat (riil jangka pendek) dan pengembangan ilmu pengetahuan (jangka panjang).

Perubahan sikap mental

Sebagian besar staf dan pimpinan belum menunjukkan sikap mental tentang pentingnya kualitas dan validitas data dan informasi yang dikumpulkan dari lapangan.

Sebagian besar staf dan pimpinan telah menyadari pentingnya kualitas data dan informasi yang diambil dari lapangan, pentingnya ketepatan metode pnegambilan data, analisis data, melakukan check, cross check, dan recheck (prinsip triangulasi, mengawal proses pembelajaran untuk meningkatkan kapasitas dan kapablitas staf, sebagai bagian dari upaya membangun “learning organsization”, sebagai modal dasar membangun profesionalisme dan menata sikap mental staf yang cinta kejujuran ilmiah dan kejujuran spiritual.

Culture Organisasi

Organisasi diwarnai dengan situasi pasif, reaktif, business as usual, blue-print attitude, menunggu petunjuk atasan, Jakarta.

Organisasi sangat aktif, proaktif, banyak melakukan innovatif, adapsi terhadap berbagai perubahan, membangun network kerja, membangun strategi komunikasi dan marketing dan bahkan mulai dipikirkan membangun kultur dan icon atau branding organization.Dengan indikasi liputan media positif terhadap performa organisasi.


Catatan:

Pemikiran bersama ini masih terbuka untuk dikritisi oleh para pihak, khususnya UPT yang akan, sedang, dan telah menerapkan konsep RBM di wilayah kerjanya. Semoga dokumen ini menjadi bagian dari proses pemikiran kolektif dan akhirnya bisa menjadi miliki bersama dan kesadaran kolektif.

Disusun oleh: KELOMPOK JUANDA 15 (5 Januari 2012)

06 Januari 2012

Negara dalam Penanggulangan Krisis

Fungsi dan peran Negara dalam pranata sosial dan ekonomi seringkali diperhadapkan pada luasan dan cakupan peran Negara dalam menata entitas-entitas dalam suatu wilayah kekuasaannya. Pada tataran sistem dan ideologi, peran dan fungsi Negara dapat dipahami dan dipetakan dalam satu kontinum yang menggambarkan hubungan antara state-business-society (atau kadang dengan istilah public-pivate-community).

Demarkasi fungsi dan peran ketiga entitas tersebut kemudian dijadikan model pengelolaan dan sistem kenegaraan oleh para penyelenggara Negara mulai dari sistem liberalis, komunis dan sosial demokratis. Yang menjadi menarik jika ditelusuri bahwa ketiga sistem penyelenggaraan Negara tersebut senantiasa menempatkan ketiga entitas (state-business-society) sebagai pilar utama penyelenggaraan Negara walaupun dalam komposisi dan kekhasan yang berbeda. Pesan yang menarik dalam konteks kekinian dunia yakni ketiga model penyelenggaraan tersebut telah memperlihatkan bagaimana interdependensi ketiga entitas, baik dari sisi ekonomi, politik, sosial budaya, pertahanan dan keamanan.Krisis ekonomi yang mendera Amerika dan Uni Eropa menghembuskan kekhawatiran yang mendalam akan potensi resesi global.

Berbagai upaya dilakukan untuk menyelamatkan dunia dari resesi global akibat contagion effect krisis Amerika dan Eropa. Mulai dari pengurangan pengeluaran Negara bagi negara-negara yang terbelit utang hingga pada efisiensi dan pemangkasan tenaga kerja yang berdampak pada tingginya angka pengangguran pada kedua benua tersebut. Berita terbaru yang dari upaya penanganan krisis zona Eropa juga diperoleh dari hasil Konferensi Tingkat Tinggi Uni Eropa di Brussel, 23 Oktober 2011. Beberapa poin penting dari hasil pertemuan para pemimpin Uni Eropa setelah melalui pembicaraan yang alot, yakni, pertama, kesepakatan memberikan dana talangan tambahan menjadi US$ 1,4 triliun (dari angka US$600 miliar sebelumnya yang disepakati melalui skema Europe Financial Stability Facility).

Skema talangan ini diharapkan dapat menarik investasi dari Negara-negara, seperti China, Brasil, India melalui dua mekanisme, yakni penjaminan ganti rugi atas pembelian utang zona euro dan mekanisme khusus yang akan dibicarakan lebih lanjut. Kedua, kesepakatan sektor swasta (private) dan perbankan Eropa untuk melakukan pemotongan utang obligasi Yunani sebesar 50 persen. Ketiga, yakni kebijakan rekapitalisasi perbankan zona Euro dengan menaikkan modal minimum perbankan menjadi 106 miliar Euro pada Juni 2012. KTT G20, KTT ASEAN dan EASUpaya penanganan krisis di zona Euro yang dipandang sebagai pusat krisis global juga diagendakan dalam perhelatan kelompok G20 yang akan diselenggarakan 3-4 November 2011 di Cannes, Perancis. Kelompok G20 yang menguasasai 85 persen output dunia dan kontributor pertumbuhan ekonomi dunia dipandang perlu mengambil langkah-langkah strategis dalam mengatasi krisis berkepanjangan di zona euro dan perlambatan ekonomi dunia. Otoritas fiskal dan moneter dari Negara kelompok G20 beserta pelaku usaha (private sector) akan memulai menemukenali dan memetakan upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam menanggulangi krisis zona euro yang berpotensi merambat ke kawasan lainnya.

Persoalan yang mengemuka seperti tekanan kredit sovereign, kerentanan sistim finansial, turbulensi pasar, perlambatan ekonomi dunia dan pengangguran merupakan agenda sentral pertemuan KTT G20 di Cannes. Setelah perhelatan G20 di Cannes, maka agenda kawasan lainnya, yakni KTT ASEAN dan EAS yang akan diadakan 17-19 November 2011 di Bali. KTT ASEAN dan EAS disamping membahas kesiapan kawasan menuju ASEAN Community 2015, lanskap kerjasama ASEAN dengan negara-negara sekitarnya, pembahasan penanganan krisis energy, krisis pangan dan perubahan iklim juga diharapkan mengagendakan upaya penangangan krisis zona euro yang memiliki efek yang cukup signifikan pada kawasan Asia. Seperti yang telah diketahui sekitar 40-45 persen pendanaan perbankan Asia diperoleh dari perbankan Eropa, sehingga krisis perbankan di zona Euro memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap perbankan di kawasan Asia. Jika perbankan Asia, termasuk Indonesia, terkena dampak dari krisis zona euro maka bukan mustahil sektor riil juga akan terseok karena terganggunya pendanaan perbankan. Dikotomi Public-PrivateAncaman krisis global yang terjadi dalam dua tahun terakhir merupakan refleksi dari separasi dan dikotomi yang berlebihan terhadap peran Negara dan Swasta (Public-Private), sehingga berdampak pada ter-gradasi-nya interdependensi antar kedua entitas tersebut.

Krisis yang terjadi di Amerika dan kemudian memicu gerakan Occupy Wall Street merupakan manifestasi kegagalan yang didominasi sektor swasta (private sector). Sedangkan krisis di zona Euro merupakan refleksi dari kegagalan yang didominasi oleh Negara (Public sector). Kedua model kegagalan ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi pertemuan KTT ASEAN dan EAS di Bali dalam menempatkan entitas Public-Private pada porsi yang tepat di tengah-tengah masyarakat (society) sebagai penerima manfaat sekaligus risiko dari aktifitas kedua entitas tersebut. Keterlibatan sektor swasta yang dilakukan pada KTT G20 merupakan awal yang baik dan patut dipetimbangkan dalam pertemuan KTT ASEAN dan EAS. Keterlibatan swasta dalam penyelenggaraan Negara tentunya bukan hal baru lagi namun kadangkala terabaikan atau bahkan berlebihan (melewati demarkasinya).Begitu pula kewenangan Negara kadang terasa minim (pada titik ekstrem menuju statelessness) dan kadang pula berlebihan dengan kadar yang tidak berimbang, sehingga berpotensi merusak pranata ekonomi sekitarnya. Keterpaduan dan interdependensi entitas Public-Private dalam melayani Society merupakan pijakan dasar bagi good policy yang kemudian dijadikan instrumen untuk mereduksi instabilitas ekonomi, sosial, budaya dan politik. Merekonfigurasi fungsi dan peran Public-Private-Society dalam tatanan sosial ekonomi Negara menjadi kritikal dan substantif untuk memperkuat basis kebijakan dan belajar dari kegagalan Amerika dan Uni Eropa.


Prof. Firmanzah, PhD, Guru Besar dan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis University Indonesia - 5 November 2011

03 Januari 2012

Tipologi Konflik-Konflik Sosial di Kawasan Konservasi dan Upaya Solusinya


Memperhatikan perkembang konflik-konflik pertanahan di Mesuji, Pulau Padang, Bima, dan masih banyak lagi di berbagai tempat lainnya, maka sangat layak para pengelola konservasi yang mengelola 27,2 juta Ha kawasan konservasi, tersebar di lebih ari 521 lokasi di seluruh Indonesia, untuk terus waspada dan berhati-hati dalam menangani berbagai potensi konflik maupun konflik riil antara pengelola dengan masyarakat.

S Rahma Mary H (Huma) dan Noer Fauzi Rachman (Fak.Ekologi Manusia-IPB) dalam artikelnya berjudul: “Mesuji, Cermin Konflik agraria yang Kronis” (Media Indonesia, 26 Desember 2011) menguraikan berbagai persoalan konflik agraria antara masyarakat dan pengusaha, yang cenderung direspon represif oleh aparat negara da perusahaan. Kedua penulis mengungkap bukti-bukti bahwa selama 10 tahun terkahir terjadi 108 konflik agraria di 10 provinsi yang didominasi konflik tenurial di kawasan hutan (69 kasus), dan konflik perkebunan (23 kasus); BPN mencatat 8.000 konflik agraria. Sawit Watch mencatat konflik tanah di perkebunan kelapa sawit mencapai 663. Konflik agraria ini melibatkan perusahaan perkebunan swasta dan BUMN, perusahaan pertambangan, taman nasional, dan Perhutani.

Tipologi Konflik di Kawasan Konservasi

Menarik untuk mengungkap berbagai konflik khususnya yang terjadi di kawasan konservasi, mengingat anatomi persoalannya sangat beragam dan kemungkinan besar tidak diungkap oleh kedua penulis tersebut. Selama 2 tahun penuh, Pokja Penanganan Perambahan di Kawasan Konservasi telah bekerja. Berdasarkan keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Pokja ini mencoba mendalami berbagai persolan di kawasan Besitang, di TN Gunung Leuser, wilayah Kab.Langkat (pendudukan kawasan oleh eks pengungsi Aceh sejak 1999 yang memicu perambahan sawit), Suaka Margasatwa Langkat Timur Laut (ekosistem bakau yang dirambah untuk tambak, perkebunan sawit, dan pendudukan oleh masyarakat dan pihak lain), areal perluasan TN tesso Nilo –Riau, yang diduduki perambah sawit dari wilayah perbatasan Sumut-Riau, perambahan kopi di TN Bukit Barisan Selatan, eks peserta program PHBM di TN Gunung Ciremai-Jawa Barat, pendudukan masyarakat dalam jangka waktu yang lama di pemukiman yang telah menjadi desa-desa di TN Kutai, Kalimantan Timur, perambahan coklat di TN Rawa Aopa Watumohai-Sulawesi Tenggara, dan sebagainya. Selama 2 tahun penuh persoalan masyarakat di dalam kawasan konservasi ini didalami dan dicoba untuk ditelaah dan dicari upaya solusinya.

Penyusunan tipologi adalah upaya untuk mengelompokkan suatu persoalan berdasarkan analisis terhadap aspek-aspek sejarah pembentukan kawasan konservasi, sejarah pemukiman/pendudukan, hak-hak ulayat masyarakat setempat, kesalinterhubung intensitasdan efektivitas pengelolaan kawasan konservasi, an dan talitemali antara masyarakat tidak bertanah, kordinator lapangan, pemodal, faktor-faktor pendorong-pemicu dari luar, seperti trend pasar global (baca: sawit), pertumbuhan penduduk yang disebabkan oleh migrasi sebagai konsekuensi dari pertumbuhan kota-kota dan lapangan pekerjaan di sekitar kawasan konservasi, meningkatnya akses akibat pembangunan jalan, dan sarana prasarana pendukungnya, dominannya alokasi lahan-lahan produktif untuk kepentingan pemiliki modal besar, lemahnya pendampingan kepada masyarakat yang biasanya tidak memiliki akses kepada pasar, modal, dan sarana prasarana pendukung kegiatan produktinya. Maka, dapat dikatakan bahwa persoalan-persoalan konflik masyarakat di kawasan konservasi tidak dapat dipisahkan dari faktor-faktor internal dan eksternal sebagaimana diuraikan di atas.

Tipologi 1 : Kasus Perambahan di Besitang, TNGL

Kasus ini dipicu oleh kesalahan kebijakan di masa lalu, dimana diijinkan pembinaan habitat dengan menebang pohon, yang diberikan kepada PT Raja Garuda Mas selama 7 tahun yang akhirnya dihentikan. Namun dampaknya sangat luar biasa. Kawasan eks SM Sekundur yang akhirnya menjadi bagian dari TNGL menjadi wilayah yang terbuka dan karean kondisinya yang berdekatan dengan desa-desa dan jalan lintas Medan-Aceh, maka tidak pelak lagi, secara bergelombang, masyarakat mulai menggarap kawasan ini, dengan tanaman karet. Gelombang pendudukan semakin membesar sejak 1990an dan 1999 terjaid pendudukan kawasan oleh beberapa keluarga pengungsi asal Aceh Timur. Lemahnya pengelolaan, menyebabkan semakin bertambahnya jumlah pengungsi yang berbaur dengan perambahan oleh masyarakat di sekitar kawasan, khususnya untuk penanaman sawit. Jumlah pengungsi yang sempat sampai 500 KK pada tahun 2005, dijadikan semacam tameng oleh perambah lokal yang didukung oleh pemodal kuat untuk terus melakukan aksinya. Konflik dipicu lagi adanya perusahaan yang batas HGU-nya masuk ke dalam kawasan TNGL (PT Putri Hijau), yang akhirnya diputus PN Stabat dan sawitnya ditumbang pada akhir 2006.

Dapat disimpulkan bahwa kasus perambahan TNGL murni akibat dari kelemahan pengelolaan secara internal. Secara eksternal dipicu dengan merebak dan meningkatnya permintaan tandan buah segar (TBS) sawit sejak era 1990 sampai dengan saat ini. Eks pengungsi dari Aceh Timur hanya dijadikan tameng oleh para perambah kaya untuk menguasai dan memperjualbelikan tanah dan sawit. Penegakan hukum sejak 1990 dan 2006-2007 telah berhasil memenjarakan 17 orang termasuk 1 tokoh perambah, termasuk menumbangkan 1000 Ha sawit, namun sayangnya tidak diikuti dengan pendekatan partisipatif dan penggalangan masyarakat setempat (yang tidak turut merambah) untuk turut menjaga kawasan. Penegakan hukum. Sebanyak 30 kepala keluarga eks pengungsi tekah berhasil dipindahkan ke Kab Muba, dan berhasil meningkatkan taraf hidupnya. Terdapat kekosongan penegakan hukum sejak akhir 2007 sampai 2010 dan baru pada akhir tahun 2011 dilakukan lagi, namun belum mampu menyelesaikan persoalan secara tuntas, walaupun telah didukung oleh TNI, Polri, dengan penumbangan sawit dan penanaman kembali.

Tipologi 2 : Pendudukan Kawasan di TN Tesso Nilo

Terdapat dua kasus, yaitu pada kawasan TNTN sebelah timur, yang semula eks PT Inhutani dan dirubah fungsi menjadi taman nasional. Sebelum dirubah fungsi telah terdapat kegiatan penanaman sawit oleh suatu koperasi, dan ketika menjadi taman nasional, mereka menuntut areal kerjanya dikeluarkan dari batas TNTN. Solusi yang diajukan adalah ditetapkannya kawasan tersebut sebagai Zona Khusus seluas 1500 Ha dari tuntutan masyarakat seluas hampir 12.000 Ha. Namun muncul lagi tuntutan dari Desa Air Hitam, untuk tetap meminta pelepasan dari TNTN, dengan alasan mereka memiliki bukti-bukti peta sejak zaman Belanda bahwa mereka telah tinggal dan diberi hak hidup di kawasan tersebut. Bahkan kepala Desa Air Hitam telah mengirimkan surat kepada Gubernur Riau tentang usulan revisi tata batas kawasan HPT Tesso Nilo (surat No.03/PEM/AH/01/2011, tanggal 9 Januari 2011.

Kasus besar lainnya adalah pendudukan areal eks HPH Nanjak Makmur yang ditetapkan sebagai areal perluasan TNTN. Pada areal ini, sebagian besar dari perambah berasal dari Medan yang terdiri dari 7 kelompok perambah/pemukim. Data sampai dengan 2007, luas kawasan yang dirambah mencapai ± 8.768 Ha.

Berdasarkan kajian WWF tersebut, menunjukkan fakta yang sangat mengkhawatirkan. Dari tahun 2002 sampai dengan 2007 atau selama 5 tahun, telah terjadi kenaikan luas perambahan seluas 7.791 ha dari 977 ha menjadi 8.768 ha. Maka rata-rata luas perambahan per tahun 1.558 ha, atau per bulan 129,8 ha, yang berarti dalam sehari terjadi perambahan rata-rata seluas 4,3 ha.

Kasus ini menunjukkan anatomi kawasan-kawasan eks HPH di Sumatera yang tidak dikelola dan sekaligus sama sekali tidak ada upaya penegakan hukum dalam waktu yang lama. Ketika kawasan ini ditunjuk sebagai bagian dari perluasan TNTN, persoalan perambahan menjadi bagian dari tanggungjawab Balai TNTN, dengan tambahan beban yang semakin berat. Fenomena eksudos masyarakat lapar lahan yang penulis sebut sebagai fenomena “land seeking society”, kelompok haus lahan untuk penanaman sawit yang tentu saja didukung oleh kelompok pemodal di belakangnya. Di beberapa desa di sekitar TNTN, terjadi fenomena meningkatnya pertambahan penduduk yang sangat tinggi. Hal ini berkorelasi langsung dengan adanya kawasan eks HPH yang seolah-olah lahan terlantar, sehingga kesempatan untuk menduduki dan menggarap lahan tersebut sangat terbuka. Dinamika sosial ini harus menjadi bagian dari analisis perambahan di kawasan TNTN dan di banyak kawasan konservasi lainnya.

Tipologi TN Bukit Duabelas

Taman nasional ini dibentuk pada tahun 2000, seluas 60.500 Ha merupakan perubahan fungsi dari hutan-hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas eks HPHTI PT Sumber Hutani Lestari, kawasan suaka alam (cagar biosfer) Bukit Duabelas, dan Areal Penggunaan Lain, dengan tujuan utama untuk melindungi hak-hak suku Anak Dalam. Pernyataan untuk kepentingan Suku Anak Dalam ini secara eksplisit disebutkan dalam keputusan Menteri Kehutanan. Dalam perkembangannya, memang terdapat beberapa, tepatnya 6 desa yang dihuni oleh masyarakat dari suku Melayu, di bagian selatan, yang telah lama pula berada di sekitar TNBD dan beraktivitas di dalam kawasan taman nasional, yang pada umumnya berkebun karet. Yang menarik, tokoh-tokoh di 6 desa tersebut meminta kawasannya dijadikan Zona Khusus, mereka tidak meminta pelepasan. Pemahaman tentang zona khusus ini, nampaknya dibantu oleh KKI-WARSI Jambi yang terlibat dalam proses inventarisasi kebun-kebun karetnya. Dalam proses sialog publik penyusunan zonasi TNBD, diperoleh kesepakatan sebagai berikut :

1. Terhadap usulan Zona Khusus seluas 2.777 Ha di 6 Desa (Desa Bukit Suban, Desa Pematang Kabau, Desa Lubuk Jering, Desa Jernih, Desa Semurung, dan Desa Baru), Kec.Air Hitam, Kab.Sarolangun, yang telah melakukan kegiatan perladangan/perkebunan di dalam kawasan TN Bukit Dua Belas, perlu dibentuk Tim yang dibentuk oleh Balai TN Bukit Dua Belas, dengan melibatkan KKI-WARSI, perwakilan 6 desa di Kecamatan Air Hitam, Persatuan Desa Penyangga (PDP), Kecamatan dan Kabupaten.

2. Perlu dipertimbangkan penetapan Daerah penyangga TN Bukit Dua Belas. Di Kab.Sarolangun, di Kecamatan Air Hitam. Terdapat 6 dari 9 desa yang layak ditunjuk sebagai Desa Penyangga TN Bukit Dua Belas. Untuk itu, perlu dipertimbangkan Kecamatan Air Hitam sebagai Kecamatan Konservasi Daerah Penyangga, sehingga jasa lingkungan dan wisata alam dapat dikembangkan di ke 6 desa penyangga tersebut.

3. Dalam rangka meningkatkan pengelolaan di tingkat lapangan, petugas-petugas TN Bukit Dua Belas perlu lebih banyak ditugaskan ke lapangan, sehingga pendekatan kepada masyarakat baik Suku Anak Dalam maupun masyarakat desa-desa penyangga, dapat dilakukan lebih intensif dan komprehensif.

4. Pemerintah perlu memikirkan suatu kebijakan terpadu lintas sektor di pusat dan daerah, dalam pengembangan masyarakat Suku Anak Dalam, yang berada di dalam kawasan TN Bukit Dua Belas, dengan mempertimbangkan tujuan pengelolaan taman nasional, tujuan-tujuan konservasi, dan program pengembangan kesejahteraan Suku Anak Dalam dan Masyarakat Desa-desa Daerah Penyangga, dengan mempertimbangkan aspirasi masyarakat.

Kasus masyarakat di TNBD menunjukkan pelajaran yang menarik, bahwa masyarakat setempat tidak selalu menuntut hak atas tanahnya. Mereka cukup memohon kepada pemerintah diberikan hak untuk mendapatkan akses mengelola lahan-lahan yang telah lama mereka tanami karet. Selanjutnya mereka bermaksud turut mengamankan kawasan TNBD. Dalam konteks suku Anak Dalam, maka penyusunan zonasinya telah melibatkan seluruh tokoh-tokoh Suku Anak Dalam. Keberpihakan kepada hak-hak suku Anak Dalam tersebut diwujudkan dalam besarnya porsi zonasinya yang diusulkan sbb: Zona Inti (16%), Zona Rimba (1,3%), Zona Pemanfaatan Tradisional (68,3%), dan Zona Pemanfaatan Umum (0,9%). Usulan Zona Khusus tentu akan merubah proporsi zonasi kawasan ini, dan akan ditindaklanjuti dengan detil kajian lapangannya, dengan melibatkan suku Anak Dalam dan masyarakat melayu di ke 6 desa tersebut.

Zonasi yang disusun dan ditetapkan secara partisipatif, dalam beberapa kasus, mungkin akan menjadi salah satu “Katup Pengamanan Sosial” di kawasan konservasi di Indonesia. Hal ini juga dibuktikan adanya dominasi Zona Pemanfaatan Tradisional, seperti di TN Kayan Mentarang (67,8%), TN Wakatobi (57,2%), TN Karimunjawa (93%), dan TN Taka Bone Rate (54%). Zona pemanfaatan tradisional tersebut memang ditujukan untuk mengatur akses masyarakat di dalam kawasan.

Tipologi TN Kutai

Penunjukan kawasan ini telah melalui sejarah panjang. Pada tahun 1936, Pemerintah Kerajaan Kutai menetapkan kawasan ini sebagai Suaka Margasatwa melalui Keputusan Zelf Bestuur No. 80-22/1936 dengan luas 306.000 hektar. Selanjutnya, Menteri Pertanian menetapkan sebagai Suaka Margasatwa Kutai dengan SK No. 110/UN/1957 tanggal 14 juni 1957. Pada tahun 1971, Menteri Pertanian melalui SK Nomor 280/Kpts/Um/VI/1971, mencabut sebagian areal Suaka Margasatwa Kutai seluas 106.000 hektar, sehingga luas Suaka Margasatwa Kutai berkurang menjadi 200.000 hektar. Pada tahun 1982, Menteri Pertanian kemudian mendeklarasikan kawasan Suaka Margasatwa Kutai seluas 200.000 hektar sebagai taman nasional, dalam Kongres Taman nasional Se-Dunia di Bali melalui SK Menteri Pertanian No. 736/Mentan/X/1982.

TN Kutai yang saat ini berada di wilayah administratif Kab.Kutai Timur, Provinsi Kaltim, merupakan contoh yang sangat tepat untuk menggambarkan dampak dari pertumbuhan kota-kota (Balikpapan-Bontang-Sangatta-Samarinda), yang menjadi kota industri, terhadap eksistensi dan meningkatnya ancaman bagi kelestarian taman nasional. TN Kutai juga satu-satunya taman nasional yang dikelilingi oleh raksasa pertambangan yaitu, Kaltim Prima Coal di Utara, sebelah timur oleh poros jalan Bontang-Sangatta, PT Tambang Damai di sebelah Selatan. Saat ini, tutupan hutan alamhya tinggal 30%. Walaupun demikian, survai terakhir yang dilakukan oleh Tim TN Kutai, dipimpin Dr Yaya dari Fahutan Unmul, didukung pendanaan dari OCSP-USAID, pada tahun 2010, masih ditemukan tidak kurang dari 2000 individu orangutan.

Kasus yang mencuat adalah permintaan pelepasan kawasan di 7 Desa (2 Kecamatan) dari kawasan TN Kutai. Usulan dari Pemkab Kutai Timur ini memohon 23.000 Ha kawasan di 7 desa tersebut untuk dilepaskan. Kajian Tim Terpadu 2007, menemukan fakta bahwa sebagian besar dari ke 7 Desa di 2 Kecamatan, dengan penduduk pada tahun 2008 sejumlah 6.037 KK (25.791 jiwa) tersebut menyatakan pada prinsipnya menerima opsi Zona Khusus. Namun demikian, masih ada sekelompok masyarakat yang meragukan dapat diterapkannya konsep ZK tersebut, khususnya masyarakat di desa Teluk Pandan. Tim juga menemukan bahwa yang bermukim di 7 Desa tersebut bukan hanya penduduk dari sekitar kawasan, namun telah bercampur dengan pendatang bahkan dari Jawa.

Grafik ini menunjukkan titik-titik puncak masuknya pemukim dari luar, seperti yang terjadi pada tahun 1980, 1990, 1999/2000, 2003, dan mencapai puncaknya pada tahun 2004. Balai TN Kutai sebenarnya dapat mengantisipasi ancaman eksodus pemukim ini hanya apabila Balai TNK aktif melakukan pendataan di lapangan. Grafik ini berhasil dibuat ketika Tim Terpadu melakukan kajian lapangan pada tahun 2007, dan melakukan analisis terhadap lebih dari 3000 kartu keluarga.

Di Desa Sangatta Selatan, didominasi oleh pemukim dari Sulawesi Selatan,Sulawesi Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Barat, Kalimantan Tengah, dan Jawa Tengah. Tim Terpadu juga menemukan motif upaya pelepasan 7 Desa tersebut sebenarnya untuk kepentingan eksploitasi tambang batubara. Tim Terpadu menemukan potensi batubara di areal seluas 23.000 Ha tersebut tidak kurang dari 2,1 milyar metrik ton. Memang sebagian besar dari TN Kutai memiliki potensi batubara yang sangat besar. Dalam kondisi seperti ini, maka Zona Khusus tidak akan pernah laku dan diterima. Dalam konsep Zoan Khusus, maka mereka hanya memiliki hak untuk bertani dan berkebun, dan bukan untuk mengeksploitasi batubaranya.

Analisis

Mempertimbangkan keragaman sejarah pembentukan taman nasional, letaknya yang akan berimplikasi pada tipe dan dinamika perubahan tata guna lahan di daerah penyangganya, aksesibilitas, pertumbuhan kota-kota baru, pusat-pusat industri yang akan berhubungan dengan gelombang migrasi penduduk, dampak otonomi daerah-lahirnya desa-desa, kecamatan, kabupaten, dan provinsi baru. Secara keseluruhan, berbagai faktor eksternal tersebut berdampak baik langsung maupun tidak langsung pada kelestarian kawasan taman nasional.

Dalam hubungannya dengan potensi konflik-konflik sosial di kawasan taman nasional, maka sangat penting untuk dilakukan analisis terhadap :

1. Aspek sejarah pembentukan kawasan, konflik tata batas, tingkat efektivitas dan pola-pola pengelolaan kawasan taman nasional, termasuk upaya membangun transparansi perencanaan dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan pengelolaan, dan sebagainya;

2. Aspek sejarah pemukiman, hak-hak ulayat, ada tidaknya masyarakat hukum adat, masyarakat pemukim lama, musiman, pendatang baru; motif penggarapan lahan (subsisten vs komersial vs komersial terorganisir), dan sebagainya;

3. Untuk melakukan kajian tersebut, diperlukan dukungan Tim Terpadu (lintas disiplin keilmuan, lintas birokrat-LSM/masyarakat sipil) dengan menggunakan berbagai metoda analisis baik spasial (time series), maupun non spasial, dengan pendekatan partisipatif dan dialogis.

4. Potret yang dihasilkan oleh Tim Terpadu selanjutnya dijadikan bahan masukan untuk pegambilan keputusan di tingkat UPT maupun Ditjen PHKA, apakah solusinya dilakukan melalui pendekatan litigasi, non litigasi, atau kombinasi dari keduanya, penetapan zona pemanfaatan tradisional, atua zona khusus, dan sebagainya. Penegakan hukum sebaiknya diprioritaskan pada aktor intelektualnya.

5. Pola penyelesaian dengan penetapan zonasi (zona pemanfaatan tradisional atau zona khusus) harus diikuti dengan proses pendampingan penguatan kelembagaannya. Hal ini sangat penitng untuk dapat menjadi bahwa prinsip-prinsip kelestarian sumberdaya, prinsip kehati-hatian tetap diterapkan dan dihormati oleh semua pihak.

6. Pola-pola kolaborasi dalam pengelolaan taman nasional, sebagaimana yang dikembangkan dan difasilitasi oleh WWF di TN Kayan Mentarang dalam 10 tahun terakhir, termasuk dalam proses penyusunan zonasinya, menunjukkan arah yang positif, sehingga banyak kesalahfahaman tentang kebijakan penetapan taman nasional, dapat dijelaskan dengan sangat bijak dan guinine. Bahkan dengan ditetapkannya Dewan Penentu Kebijakan Pengelolaan TNKM (yang salah satu anggotanya adalah perwakilan dari 11 suku besar), menunjukkan upaya pemerintah untuk legowo membagi otoritas kewenangannya dalam pengambilan setiap keputusan terkait dengan pengelolaan TNKM, mempertimbangkan sejarah kawasannya yang secara faktual masih hidupnya masyarkat hukum adat di sana.

7. Pola-pola penyelesaian konflik sosial sebaiknya melibatkan Pemkab/Pemprov, serta para pihak lainnya, termasuk LSM, dan tokoh-tokoh masyarakat, sejak dari perencanaan, implementasi, pemantauan dan evaluasi. Hal ini sangat penting dalam membangun proses pemahaman bersama tentang kompleksitas persoalan, ragam kebijakan pusat, pusat-daerah dan faktor lintas sektor yang seringkali dapat menjadi faktor penghambat.

8. Bagi UPT Taman Nasional, menjadi syarat mutlak untuk membangun sistem kerja di tingkat lapangan (resort-based management/RBM). Hal ini penitng agar perkembangan persoalan dalam diketahui dengan lebih dini, dan potensi konflik dapat diredam melalui berbagai pendekatan dialogis. Kasus TN Gunung Leuser, TN Kutai menunjukkan absennya pengelola di tingkat lapangan dalam waktu yang lama, sehingga persoalan baru diketahui setelah skala nya menjadi sangat besar, kompleks, dan bernuansa politis. RBM juga menjadi sangat penting pada fase pasca operasi penegakan hukum. Siapa yang akan menjaga kawasan tersebut. Maka pola-pola kerjasama dengan masyarakat menjaid sangat penting untuk diterapkan.

9. Mempertimbangkan berbagai persoalan sosial memerlukan waktu penyelesaian yang relatif lama, maka pergantian pimpinan puncak di UPT akan sangat berpengaruh pada keberlanjutan penyelesaian kasus-kasus. Diperlukan mekanisme transfer of knowledge and experiences dari Kepala yang lama kepada Kepala yang baru, sehingga masa transisi dapat dikawal, dan Kepala yang baru tidak perlu memulai dari nol dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang rumit tersebut. Direktorat KK dan BHL dan khususnya Pokja Penanganan Perambahan di Pusat adalah memastikan bahwa proses penyelesaian perambahan dan konflik-konflik sosial tersebut dapat perjalan lancar ketika terjadi pergantian kepemimpinan di UPT.

10. Konsistensi kebijakan dari Pusat (Ditjen PHKA) dalam mendukung penyelesaian persoalan-persoalan konflik sosial di taman nasional menjadi sangat strategis, baik dalam bentuk program dan pendanaannya, juga yang menyangkut koordinasi dan sinkronisasi lintas Kementerian atau Menko di pusat. Sedangkan Pusdal dapat diperankan untuk memfasilitasi proses-proses dialog dan atau pendampingan di tingkat Pemkab dan Pemprov, misalnya dalam pembentukan Pokja Penyelesaian Perambahan di Daerah, seperti yang dibentuk oleh Balai Besar TN Bukit Barisan Selatan, termasuk pelibatan jajaran penegak hukumnya.***

*) working document ini disiapkan untuk merespon berbagai letupan atau konlik sosial di kawasan hutan yang terjadi di banyak tempat di Indonesia. Semoga hal tersebut tidak terjadi di kawasan konservasi, dimana jutaan masyarakat baik masyarakat (hukum) adat, masyarakt setempat, masyarakat pemukim lama, dan masyarakat lainnya sangat bergantung pada akses sumberdaya maupun akses lahan di kawasan konservasi.Pengelolaan kawasan konservasi harus mampu memberikan solusi berbagai persoalan riil masyarakat.Masyarakat harus diposisikan sebagai subyek dan menjadi bagian dari solusi persoalan dan pengembangan potensi di kawasan konservasi.