"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

28 Februari 2012

Analisis Bab 7 Buku Berkaca di Cermin Retak (Konservasi Tradisional dan Strategi Konservasi)*

Saya membaca Bab 7 (Berkaca di Cermin Retak), mengenai “Konservasi Tradisional dan Strategi Konservasi”. Saya cukup tertarik dengan konservasi tradisional atau kearifan lokal masyarakat sekitar hutan...mereka mempunyai aturan-aturan dan sanksi-sanksi yang berkaitan dengan hubungan mereka dengan tempat tinggal mereka dalam hal ini hutan...jika saja kita mau rendah hati meniru dan menerapkan aturan-aturan dan sanksi-sanksi seperti yang dilakukan oleh masyarakat tradisional,maka pengelolaan hutan di Indonesia bisa akan tetap lestari.

Selain contoh kearifan tradisional yang ada di Bab ini,saya juga mempunyai contoh kearifan tradisional yang ada di Prov.Sulawesi Selatan,tepatnya Kabupaten Bulukumba, yaitu Suku Kajang. Saya ambil contoh daerah ini karena saya mengetahui kearifan lokal daerah ini semenjak kuliah dulu...

Daerahnya disebut komunitas Ammatoa,karena dipimpin oleh seorang tokoh spiritual yang kharismatik yaitu Ammatoa. Komunitas Ammatoa hidup di dalam kawasan hutan,sehingga pola kehidupannya berlandaskan kepada pemanfaatan hutan. Hutan bagi masyarakat Kajang terutama komunitas Ammatoa memiliki arti khusus. Mereka meyakini bahwa 1) hutan adalah tempat turun naiknya arwah manusia dari langit ke bumi dan dari bumi ke langit. 2) Mereka yakin bahwa yang disebut sebagai manusia pertama (Ammatoa) turun dari langit ke bumi di daerah hutan. 3) Mereka yakin bahwa bumi yang pertama kali dibuat oleh Yang Maha Kuasa adalah terdapat di kawasan hutan. Karena kepercayaan terhadap hutan yang demikian,mereka menganggap bahwa hutan tersebut adalah wilayah sakral dan berkekuatan gaib yang dapat mensejahterakan sekaligus mendatangkan bencana jika tidak dijaga kelestariannya.

Penguasaan masyarakat terhadap hutan adat dicerminkan dengan : 1) penetapan kawasan hutan dalam beberapa zona, yaitu zona keramat atau zona inti,zona hutan batas,dan wilayah pemanfataan, 2) penerapan aturan adat untuk mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai hutan. Pada zona hutan batas, proses penebangan kayu di dalam kawasan sangat tidak diperkenankan menggunakan alat mekanis seperti chain saw atau sejenisnya, harus menggunakan alat tradisionil. Kayu yang telah ditebang harus digotong atau dipanggul (tidak boleh disarad) keluar hutan untuk mengurangi kerusakan tumbuhan lain. Hal ini sesuai dengan SK Menhutbun No.310/kpts-II/1999 yang antara lain berisi tentang pemberian hak kepada masyarakat untuk melakukan pengambilan hasil hutan kayu dan non kayu, namun tidak dibolehkan menggunakan alat mekanis.

*Oleh: Wulansari (Calon PEH Balai Besar BKSDA NTT)

Email: wulan.11087@gmail.com


Analisis Bab 4 Buku Berkaca di Cermin retak (Perubahan Tata Guna Lahan dan Fragmentasi Habitat) *

Dari segala permasalahan yang berkaitan dengan adanya deforestasi adalah kepunahan keanekaragaman hayati. Berbagai faktor terutama keberadaan aktivitas manusia mengakibatkan perubahan terhadap suatu kawasan, pertumbuhan jumlah populasi manusia yang sangat tinggi mengakibatkan banyak terjadi perubahan fungsi lahan dari kawasan hutan menjadi kawasan non hutan (perumahan, pertanian, perkebunan, pertambangan, dll). Kondisi ini lah yang mengakibatkan hilangnya kawasan hutan yang menjadi tempat hidup satwa liar menjadi hilang atau terpecah-pecah.

Satwa liar hidup di suatu habitat beradapatasi terhadap lingkungan baik lingkungan fisik dan non fisik hayati (tumbuhan dan satwa liar lainnya) . Satwa liar merupakan salah satu komponen dalam suatu ekosistem yang sangat dipengaruh oleh kondisi habitat. Dengan adanya berbagai gangguan terhadap suatu habitat, dapat dipastikan pula terjadi gangguan dalam ekosistem tersebut. Kehilangan salah satu komponen habitat dapat mengakibatkan suatu satwa liar punah, sebagai contoh: dalam kawasan karst terdapat gua-gua yang dihuni oleh kelelawar pemakan buah mengalami gangguan penambangan batu kapur sehingga mengakibatkan semakin jarangnya jenis kelelawar tersebut. Sebagai dampaknya mengakibatkan beberapa proses pembuahan tanaman yang memerlukan bantuan kelelawar menjadi terhambat, sehingga beberapa satwa liar mengalami kekurangan pakan, hal ini menjadi penyebab terganggunya jarring-jaring makan bahkan mengakibatkan satwa liar yang rentan terhadap gangguan mengalami penurunan populasi secara drastis bahkan terancam kepunahan. Ketidakseimbangan tersebut merupakan sebagian kecil saja dari adanya gangguan terhadap habitat (kawasan hutan).

Berkaitan dengan fragmentasi habitat, di Indonesia terdapat banyak kawasan konservasi. dalam kawasan konservasi ini keberadaan keanekaragaman hayati relative lebih terlindungi. Luas dan jumlah habitat berpengaruh terhadap kondisi kelestarian keanekaragaman hayati. Berdasarkan teori biogeografi pulau habitat yang bagus adalah areal yang luas (single large). Kawasan Konservasi di Indonesia tersebar dalam bentuk, ukuran dan status yang berbeda- beda dengan key species yang berbeda-beda. Kawasan yang terdiri dari several small, memerlukan koridor agar kawasan satu dengan yang lainnya. Kondisi habitat Komodo di dataran flores dapat di pastikan dalam kondisi terfragmentasi.

Di Provinsi NTT, kawasan konservasi yang merupakan habitat satwa ini hanya kawasan CA Wae Wuul yang berada di ujung barat pulau flores terpisah jauh dengan CA Riung, CA Wolo Tadho, dan TWAL 17 Pulau Riung yang berada pada bagian utara pulau flores. Pada Kawasan Konservasi di Bagian utara flores masih memungkinkan adanya koridor satwa untuk menghubungkan habitat-habitat untuk komodo tersebut. Pada populasi kecil yang terisolasi akan memiliki tingkat ancaman kepunahan yang tinggi. Pada populasi kecil rawan terjadi inbreeding, untuk satwa komodo yang merupakan satwa soliter dengan wilayah jelajah yang luas serta kondisi populasi kecil sangat juga mengakibatkan sulit terjadinya perkawinan. Ancaman lainnya adalah ketersediaan pakan, berkurangnya populasi satwa mangsa komodo seperti rusa. Selain kondisi habitat dan populasi kecil Komodo juga mengalami tekanan dari masyarakat, komodo sering diburu karena dianggap sebagai hama yang mencuri ternak penduduk.

Setiap spesies satwa liar memiliki home range yang berbeda-beda, Satwa-satwa tersebut mungkin memiliki home range di dalam dan luar kawasan hutan, adanya gajah yang memasuki areal ladang masyarakat merupakan salah satu indicakor bahwa home range gajah juga di luar kawasan taman nasional. Berapa jumlah satwa atau kelompok satwa yang dapat tertampung oleh habitat tersebut. Perlu diperhatikan juga mengenai tempat mencari pakan suatu spesies, beberapa species bergerak ke habitat yang berbeda untuk mendapatkan pakannya. Pada spesies dengan perilaku seperti itu perlu diperhatikan kondisi habitat tempat mencari pakan harus dapat menyediakan pakan bagi species tersebut. Habitat yang terfragmentasi apakah dapat memenuhi kebutuhan hidup dari suatu satwa liar? Daya dukung dalam suatu habitat sangat menentukan keberlangsungan suatu satwa liar, erat kaitanya dengan dinamika populasi. Kondisi fragmentasi habitat agar satwa liar yang hidup di dalam agar tidak punah memerlukan pengelolaan satwa liar yang baik.


*Oleh: Marliana Chrismiawati (Calon PEH, Balai Besar KSDA NTT)


27 Februari 2012

Analisis Bab I Buku Berkaca Di Cermin Retak (Prolog: Perubahan Sosial Konservasi Dan Konservasi Alam) *

Alasan saya membaca Bab I terlebih dahulu adalah, seperti pepatah yang mengatakan “Buku adalah jendela dunia”, saya mengibaratkan buku ini jendela untuk melihat diluar jendela itu, “ada apa sih,”. Sebelum saya membuka jendela itu untuk mengetahui isi dibalik jendela itu, saya harus membuka kordennya terlebih dahulu, dan saya ibaratkan korden itu adalah bab 1 yang harus dilalui dahulu sebelum saya membuka kusen jendela dan bagian-bagian yang lainnya. Saya belajar konservasi kurang lebih sejak 2005 sejak masuk di perguruan tinggi dengan program studi Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata IPB sampai sekarang, tetapi saya mengganggap ilmu konservasi bagaikan suatu iman. Maksudnya apabila iman itu tidak dipupuk, diamalkan, dan dipelajari terus menerus dapat saja akan luntur dan hilang dengan sendirinya.

Sampai saat ini dan dimulai sejak dulu periode awal revolusi perdagangan dunia telah terjadi krisis lingkungan. Dimana pada saat itu krisis ekonomi belum dianggap suatu wacana yang penting dan berarti dalam kehidupan manusia. Manusia masih terus melakukan eksploitasi secara besar-besaran, terlihat dari beberapa dampak yang terjadi adalah banjir, erosi, peningkatan permukaan air laut dan pencairan es di kutub. Setelah terjadinya dampak yang cukup berarti bagi kelangsungan kehidupan manusia, baru hal tersebut dijadikan suatu isu yang sentral dalam wacana global. Negara maju bahkan menggunakan label “eco” untuk produknya. Awal kesadaran akan pentingnya lingkungan pada akhir 1960-an hingga 1980-an disebut dengan perubahan sosial yang fenomenal di dunia.

Perubahan sosial tersebut berawal dari perubahan masyarakat primitif-agraris-industrialis, sampai pada masyarakat elektronik. Perubahan sosial ini melahirkan gagasan mendasar mengenai perubahan sosial dari zaman ke zaman sesuai dengan perkembangan zaman yang ada. Menurut Soedjatmoko (1995) dalam Wiratno, dkk (2004) terdapat tiga tahapan manusia dalam hubungannya dengan alam, yaitu manusia primitif, manusia pramodern dan manusia modern. Perubahan masyarakat menempatkan dirinya pada golongan masyaraakat primitif, pramodern atau manusia modern semua tergantung pada faktor-faktor dinamis dan rangsangan yang ada di dalamnya. Puncak dari kerusakan alam dalam manusia menempatkan posisinya pada era masyarakat modern dimana manusia menjadikan dirinya sebagai penguasa sekaligus perusak alam. Karena dengan adanya teknologi yang semakin maju, manusia mampu mendapatkan secara besar yang ada di alam secara mudah, sebagai contoh kayu dan hasil tambang. Penebangan kayu dihutan yang pada saat manusia belum mengalami modern masih relatif sederhana, tetapi saat manusia sudah memposisikan dirinya menjadi masyarakat modern sudah menggunakan alat-alat berat dalam hal ini bersifat revolusioner.

Akar muncunya gerakan preservasi dan konservasi. gerakan tersebut merupakan gerakan kesadaran masyarakat akan dampak buruk dari kegiatan eksploitasi terhadap alam yang telah terjadi. Preservasi berarti perlindungan yang mengarah pada pengawetan terhadap sisa-sisa hutan. Preservasi menjadi topik yang gentar di seuluh negara-negara didunia, baik negara Eropa, Amerika dan Indonesia sendiri menerapkan preservasi dalam pengelolaan sumberdaya alamnya. Sebagai contoh terbentuknya Taman Nasional Pertama di Dunia Yellowstone dan untuk di Indonesia terbentuknya hutan alam Depok menjadi Cagar Alam.

Dalam perkembangan jaman, preservasi dianggap sebagai pandangan yang lebih arkeologis yang sifatnya statis. Padahal sumberdaya alam untuk hal ini kawasan hutan adalah sesuatu yang sifatnya dinamis, dimana suatu ketika dapat mengalami peningkatan atau penurunan kualitas dan kuantitas. Sumberdaya alam tidak hanya diawetkan saja, tetapi juga dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Dengan alasan tersebut dibentuklah paradikma pemanfaatan dalam konsep konservasi, yaitu pendayagunaan sumber daya alam secara bertanggung jawab agar berguna bagi kesejahteraan masyarakat di dunia. Perubahan dari preservasi menjadi konservasi dirasa lebih dinamis dalam mengelola sumberdaya alam yang ada, sehingga mampu disesuaikan dengan perkembangan zaman yang ada. Konservasi yang memiliki makna pengawetan, pemeliharaan dan pemanfaatan yang lestari, dalam konteks perkembangan ideologi pengelolaan hutan dan perlindungan alam dari preservasi dan sekarang konservasi dari istilah-istilahnya pun sudah menunjukan sesuai yang dinamis dan dapat lebih bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat.

Konservasi yang secara khusus sebagai bentuk pengabdian masyarakat terhadap sumberdaya alam yang ada, begitupun perkembangan konservasi di Indonesia. Konservasi dianggap sebagai bumerang dalam hal yang sifatnya modernisasi untuk saat itu dan sampai sekarang adalah pembangunan. Istilah paradikma konservasi yang dipaksakan melekat pada bangsa Indonesia secara paksa, hal ini dengan penunjukan beberapa kawasan secara paksa pada jaman kolonial dan Orde Baru yang tanpa negosiasi dengan komunitas lokal dan masyarakat sekitar. Imbas yang terjadi hingga saat ini adalah penunjukan kawasan konservasi salah satunya adalah Taman Nasional yang penunjukannya hanya memenuhi persyaratan luas kawasan kanpa konsep pengelolaan yang jelas dan transparan. Untuk kasus di pengelolaan Balai Besar KSDA NTT dari 29 kawasan hampir semuanya mengalami penunjukan seperti itu hanya mementingkan luasan saja, tanpa di iringi dengan pengelolaan yang jelas. Pada saat tahun 1980-an hanya digunakan para elit politik negeri untuk penetapan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Selain itu keterbatasan sumberdaya manusia atau para ahli dalam mengelolaa sumberdaya alam pada saat itu belum banyak. “Apakah saat ini pada tahun 2012 ini sumberdaya manusia yang kompeten dalam mengelola sumberdaya alam sudah semakin banyak, mampu meningkatkan sumberdaya alam yang berkualitas?”. Diharapkan untuk wilayah pengelolaan sumberdaya alam hayati di seluruh Indonesia pada umumnya dan di kawasan Nusa Tenggara Timur pada khususnya dapat meningkatkan pengelolaan yang lebih representasi dalam hal kualitas, dibandingkan hanya secara kuantitatif saja.

Ideologi konservasi sampai saat ini memang sangat sulit dilaksanakan secara benar di lapangan. Hal ini diakibatkan oleh benturan-benturan terhadap beberapa kepentingan yang bertolak belakang terhadap paradikma konservasi itu sendiri. Mentransferkan ilmu konservasi pada manusiawi sangatlah sulit karena berbenturan akan kebutuhan manusia itu sendiri. Kearifan tradisional dapat mampu sebagai budaya praktik yang dapat diterapkan dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai kehidupan sehari-hari. Dalam masyarakat sekitar hutan, pengelolaan alam dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jangka panjang yang dapat dihasilkan adalah terciptanya keberadaan sumberdaya alam yang tetap lestari. Kesadaran manusia adalah bagian dari sistem mata rantai alam maka akan mampu menghindari perusakan alam yang disebabkan oleh kemajuan teknologi, kecerobohan dan keserakahan manusia.

Menanamkan diri kita menjadi manusia yang memiliki jiwa konservasi tidaklah sulit sebenarnya, asalkan kita mengamalkan dan belajar dari masyarakat yang menjunjung tinggi pemanfaatan sumberdaya alam secara arif dan tradisional. Serta mengatakan TIDAK secara tegas terhadap anti konservasi. pada bab 1 untuk buku Berkaca di cermin yang retak ini sangat menjadi inspirasi dalam memajukan bumi Nusa Tenggara Timur. Walaupun berkarang dan cukup lebih gersang dibandingkan daerah lain di Republik Indonesia, tetapi NTT memiliki sesuatu yang dapat diunggulkan, mari kita bersama-sama mencari ataupun mewujudkan mutiara yang terpendam di bumi NTT ini.***

-Salam Konservasi-
-Salam Percepatan-
------------------------------------------------------------------------------
* Oleh: Evi Heriyaningtyas - Calon PEH BBKSDA NTT
Email: heriyaningtyas.evi@gmail.com