Latar Belakang
Bahwa
kawasan konservasi di Indonesia ditunjuk/ditetapkan pada wilayah kawasan hutan (di
darat dan di perairan) yang penuh dengan klaim oleh banyak pihak. Baik dari
masyarakat hukum adat, masyarakat setempat, swasta, pemerintah daerah, dan
sebagainya. Kawasan konservasi tidak pernah akan dapat diletakkan pada wilayah
“kertas putih”, wilayah tanpa konflik. Pemahaman ini harus ada pada para pengambil kebijakan di Jakarta
dan Kepala UPT.
Klaim
negara (cq Kementerian Kehutanan) dengan ditetapkannya kawasan-kawasan hutan
(masa TGHK, 1980an), dan seterusnya, sampai penunjukan kawasan-kawasan
konservasi, bukan tanpa penolakan dari berbagai kalangan, termasuk LSM
(baca kasus TN Gunung Merapi, Wiratno
2012); potensi konflik di TN Lorentz yang masuk dalam 10 kabupaten; TN Kayan
Mentarang, yang sebagian besar wilayahnya menjadi bagian dari Provinsi (baru)
Kalimantan Utara; kasus penembakan warga Colol (6 meninggal, belasan luka-luka
dan catat), di depan Polres Manggarai 10 Maret 2004, konflik hak ulayat warga
Colol (yang ditanami kopi) dengan pihak BKSDA. Serangan dan demo harus dihadapi
oleh manajemen Balai TN Komodo sebagai
bagian dari dampak penegakan hukum, pemberlakukan zonasi. Demo didukung oleh
kelompok-kelompok yang memiliki motif politik. Masyarakat menjadi korban dari
“permainan” tersebut.
Beberapa
contoh tersebut, cukup bukti kepada kita untuk merubah haluan kelola kawasan
konservasi Indonesia ke depan. Zonasi yang dipanyungi dengan Permenhut
No.56/2006, dapat dipakai sebagai acuan untuk menetapkan zonasi, sebagai alat
manajemen kelola taman nasional. Permenhut telah mengantisipasi berbagai
persoalan terkait dengan keberadaan masyarakat dan mengarahkan agar zonasi
disusun secara partisipatif untuk mendapatkan masukan dari bawah. Namun
demikian, Permenhut tersebut tidak cukup (tepatnya tidak menetapkan) bagaimana
metode penyusunan zonasi tersebut sebaiknya dilakukan.
Kebijakan (Baru) Ditjen PHKA
Walaupun
kerjasama atau kemitraan/kolaborasi telah diinisiasi sejak lama, dan diberikan
payung hukum P.19/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan KSA/KPA, yang draft-nya
dikawal oleh beberapa LSM besar, namun sampai dengan saat ini belum ditemukan
“ramuan mujarab” yang bisa dijadikan contoh. Banyak inisiatif kolaborasi masih
menghadapi banyak persoalan mendasar dan bahkan beberapa justru diselewengkan.
Pernyataan
Dirjen PHKA di Harian Kompas (24 November 2012, Halaman 24) sangat menarik
untuk kita simak. Pada artikel yang berjudul: ”Kemenhut Meniru Korea”, Dirjen PHKA menyatakan :
“.....Kami mulai pendekatan baru menghadapi perambahan
karena penertiban atau penggusuran tak berhasil. Caranya mengajak masyarakat
sekitar hutan turut menjaga hutan” Kerjasama yang
disebut sebagai “Sister Park” ini dilakukan
di TN Gunung Gede Pangrango dengan TN Jirisan; TN Dadohaehaesang dengan calon
mitra TN Laut, yaitu TN Karimunjawa, TN Kep.Seribu, TNBunaken, atau TN
Takabonerate.