-->
WS Rendra dalam pidato kebudayaan pasca reformasi, yang
dikumpulkan dalam buku kecil berjudul “Megatruh” (2001), menyatakan bahwa kita
semestinya menkaji kembali warisan leluhur tentang penyelesaian konflik-konflik
kepentingan dalam masyarakat. Yaitu pada masa Mataram Medang dan
Sriwijaya. Prinsip-prinsip rekonsiliasi
yang dipraktikkan adalah :
Pertama, AHIMSA. Ialah menghentikan semua cara-cara
kekerasan, sehingga tidak berlanjut-lanjut ada orang yang kehilangan rummah,
nyawa, atau anggota badan yang tak akan mungkin bisa dikembalikan sebagaimana
adanya semula. Baru sesudah itu langkah selanjutnya bisa dilakukan.
Kedua, ANEKANTA. Ialah melakukan perundingan dan
perujukan tanpa menyeragamkan sifat
keanekaan yang ada dalam masyarakat manusia. Kerukunan dan persatuan dalam
masyarakat harus tetap menghormati keanekaan kepentingan-kepentingan yang ada
di dalamnya. Dalam perundingan yang menghormati keanekaan apa yang diciptakan
bersama adalah aturan main yang menguntungkan semua pihak. Inilah dinamika dari
maksud baik dalam perundingan yang menjaga dan menghormati aneka kepentingan.
Ketiga, APARIGRAHA. Ialah kesadaran semua pihak untuk
datang berunding sebagai seakan-akan tak punya rumah, tak punya atribut.
Artinya dengan kemurnian kalbu, secara bersama-sama, merenungkan nilai-nilai
universal yang membedakan mana yang benar dan salah, yang baik dan yang buruk,
yang berfaedah dan tidak berfaidah, serta yang haram dan yang halal.