-->
WS Rendra dalam pidato kebudayaan pasca reformasi, yang
dikumpulkan dalam buku kecil berjudul “Megatruh” (2001), menyatakan bahwa kita
semestinya menkaji kembali warisan leluhur tentang penyelesaian konflik-konflik
kepentingan dalam masyarakat. Yaitu pada masa Mataram Medang dan
Sriwijaya. Prinsip-prinsip rekonsiliasi
yang dipraktikkan adalah :
Pertama, AHIMSA. Ialah menghentikan semua cara-cara
kekerasan, sehingga tidak berlanjut-lanjut ada orang yang kehilangan rummah,
nyawa, atau anggota badan yang tak akan mungkin bisa dikembalikan sebagaimana
adanya semula. Baru sesudah itu langkah selanjutnya bisa dilakukan.
Kedua, ANEKANTA. Ialah melakukan perundingan dan
perujukan tanpa menyeragamkan sifat
keanekaan yang ada dalam masyarakat manusia. Kerukunan dan persatuan dalam
masyarakat harus tetap menghormati keanekaan kepentingan-kepentingan yang ada
di dalamnya. Dalam perundingan yang menghormati keanekaan apa yang diciptakan
bersama adalah aturan main yang menguntungkan semua pihak. Inilah dinamika dari
maksud baik dalam perundingan yang menjaga dan menghormati aneka kepentingan.
Ketiga, APARIGRAHA. Ialah kesadaran semua pihak untuk
datang berunding sebagai seakan-akan tak punya rumah, tak punya atribut.
Artinya dengan kemurnian kalbu, secara bersama-sama, merenungkan nilai-nilai
universal yang membedakan mana yang benar dan salah, yang baik dan yang buruk,
yang berfaedah dan tidak berfaidah, serta yang haram dan yang halal.
Menurut Rendra, ketiga konsep itu adalah ajaran Mahavira
yang hidup 599-527 SM, yang dinilainya masih sangat relevan dengan kondisi saat
ini. Menarik sekali, apabila kita mau menelaah dan mengkaji 3 prinsip
rekonsiliasi tersebut dalam hubungannya dengan konflik-konflik kelola
sumberdaya alam, khususnya di kawasan konservasi. Prinsip mengedepankan
musyawarah untuk mencapai mufakat, adalah Sila keempat Pancasila. Pendekatan
non litigasi ini sebaiknya didorong terus ke depan, untuk menyelesaikan banyak
masalah di kawasan konservasi, yang baik besarannya maupun kompleksitas dan
dinamikanya semakin meningkat. Beberapa
fakta yang tidak pernah secara serius diperdebatkan adalah sebagai berikut :
1.
Kawasan konservasi bukan “kertas putih”
Sejarah Nusantara telah memberikan pelajaran kepada kita
bahwa sebagian besar kawasan hutan terutama di luar Jawa, selalu ada klaim
khususnya oleh masyarakat. Baik yang tinggal secara turun temurun di dalamnya.
Di antaranya adalah masyarakat Mentawai di TN Siberut, masyarakat Talangmamak
di TN Bukit Tigapuluh, masyarakat suku anak dalam di TN Bukit Duabelas,
masyarakat suku Daya’ di TN Kayan Mentarang dan TN Betung Kerihun, suku-suku
pegunungan di TN Lorentz, SM Mamberamo-Foya, TN Wasur, masyarakat Adat Colol di
TWA Ruteng. Kasus di TWA Ruteng, bahkan telah memakan korban jiwa 6 orang
petani meninggal dan puluhan cacat. Di Jawa, kita masih mengakui suku Badui dan
masyarakat Kasepuhan di TN Gunung Halimun Salak. Di samping itu adalah fakta
bahwa masyarakat setempat yang berada di pinggir-pinggir kawasan hutan,
termasuk kawasan konservasi yang hidup ratusan tahun, sangat tergantung
penghidupannya dari kawasan hutan tersebut. Maka, kelola kawasan konservasi
tidak dapat mengabaikan keberadaan dan eksistensi masyarakat tersebut.
2.
Konflik Batas Kawasan
Hak-hak ulayat masyarakat (hukum) adat dan hak-hak
kelola masyarakat setempat terhadap kawasan hutan termasuk kawasan konservasi,
tidak dapat diabaikan begitu saja. Klaim negara atas lahan-lahan yang telah
lama dibudidayakan, baik berupa sawah, kebun maupun areal perladangan
berpindah, melalui pemancangan pal-pal batas kawasan hutan negara, banyak
mengalami tentangan dan penolakan. Apalagi kalau prosesnya tidak cukup
melibatkan masyarakat khususnya yang
berbatasan langsung dengan batas kawasan hutan negera tersebut. Di beberapa
kasus, tanda batas zaman Belanda berupa tumpukan batu lebih diakui oleh
masyarakat daripada pal-pal batas yang dipasang oleh pihak Kehutanan (BPKH atau
Planologi Kehutanan). Konflik batas semakin meruncing ketika proses penataan
batas tidak berhasil mencapai kondisi “clear
and clean”, yang diakui oleh masyarakat. Dalam kasus lainnya, banyak pal
yang tidak dipasang karena medan yang sangat berat atau alasan lainnya.
Prestasi kerja tata batas di kawasan konservasi juga sangat rendah. Dari 27,2
juta hektar kawasan konservasi, baru 15% yang berhasil ditata batas temu
gelang. Hal-hal tersebut, ditambah dengan lemahnya manajemen di tingkat
lapangan, menyebabkan semakin terancam dan rusaknya kawasan konservasi, baik
akibat perambahan, illegal logging,
perburuan satwa, dan lain sebagainya.
3.
Soliter vs Kolaborasi
Pengelolaan kawasan konservasi yang sangat luas dengan
segala keterbatasan leadership, tenaga, sarana prasarana, dan berbagai ancaman
dari luar, tidak akan pernah mampu dilakukan oleh pemerintah. Bukti-bukti di
banyak tempat menunjukkan ke arah itu.
Penegakan hukum tidak pula memberikan efek jera dalam jangka panjang. Karena
penegakan hukum tidak menyelesaikan core
problem-nya. Ia hanya menyentuh bagian pinggir, gejala atau sympton-nya. Penegakan hukum akan efektif apabila
sasarannya adalah aktor intelektual, para pemodal, dan cukongnya. Masyarakat
setempat, apalagi yang hidupnya sangat tergantung dari sumberdaya hutan, harus
dijadikan mitra dan diberdayakan, diberikan akses, dan didampingi dalam
memperkuat posisi tawarnya untuk pengelolaan sumberdaya pada skala mikro, skala
masyarakat. Membebaskan mereka dari cengkeraman tengkulak dan pengijon, dengan
membangun kelembagaan keuangan mikro, pemasaran hasil, dan lain sebagainya.
Masyarakat seharusnyalah diposisikan
sebagai subyek bukan obyek dari kelola kawasan konservasi. Mereka adalah mitra
utama dalam membangun pola pengelolaan kawasan konservasi secara kolaboratif,
dengan mengembangkan prinsip saling menghargai, saling percaya, dan saling
menguntungkan. Hal ini bisa dimulai oleh pemerintah, dnegan cara merubah
paragidma kelola kawasan konservasi dari soliter menuju pola-pola kerjasama
multipihak.
4.
Kasus-kasus Khusus
Beberapa konflik di kawasan konservasi, disebabkan oleh
dampak dari pergolakan politik. Sebagai contoh nyata dari kasus ini adalah
pengungsi dari Aceh Timur yang berada di Besitang, kawasan TN Gunung Leuser, di
Kabupaten Langkat. Mereka bermukim dan hidup di dalam kawasan sejak tahun 1999
(mulai 6 KK dan kini lebih dari 250 KK). Sampai dengan saat ini, persoalan
tersebut belum dapat diselesaikan secara tuntas. Mereka menanam sawit di dalam
taman nasional dan memicu meningkatnya perambahan oleh pihak-pihak yang bukan
pengungsi. Contoh lain, adalah warga Timor Timur yang pro NKRI dan eksodus ke
kawasan hutan di Atambua. Mereka tinggal di 7 pemukiman berbatasan dengan Suaka
Margasatwa (SM) Kateri. Sejumlah lebih dari 300 KK, mereka hanya diberikan
fasilitas pemukiman, namun tidak disediakan lahan ugarapan untuk hidup.
Akhirnya mereka mengusahakan lahan di dalam SM Kateri, dengan menanam jagung,
ubi dan bahan makanan lainnya. Persoalan-persoalan khusus seperti ini tidak
dapat diselesaikan dengan pola penegakan hukum. Dalam kasus seperti ini, Menko
Kesra memegang tanggung jawab utama untuk mengkoordinasikan penyelesaian
melalui kerjasama lintas kementerian.
Renungan Awal
Tahun 2013
Mempertimbangkan latar belakang sejarah penguasaan lahan
di Indonesia, pembentukan kawasan konservasi, yang tidak dapat dilepaskan dari
sejarah penguasaan tanah oleh Belanda, dan perkembangan perebutan ruang hidup,
maka patut kita renungkan usulan pola rekonsiliasi oleh WS Rendra, dengan AHIMSA, ANEKANTA, DAN APARIGRAHA. Penegakan
hukum saja tidak cuup mampu menyelesaikan masalah utama dari berbagai konflik
tersebut. Apalagi, masyarakat (hukum)
adat masih ada (exist), secara de facto, seperti halnya di sebagian
besar wilayah NTT. Pendekatan yang
mengutamakan penegakan hukum, melalui pola-pola polisional, pemaksaan, tidak akan
pernah efektif dan bahkan akan ditolak.
Kasus Rabu Berdarah, 10 Maret 2004, (terkenal dengan
Kasus Colol) di Manggarai, akibat pola-pola yang kurang mengedepankan dialog
dalam suasana kesetaraan, adalah contoh nyata bahwa ke depan pola otoriter
menggunakan kekerasan dan pemaksaan seperti ini harus ditinggalkan. Dalam momentum itu, BBKSDA NTT mengajukan
pendekatan Tiga Pilar. Pendekatan pengelolaan TWA Ruteng yang mengedepankan
dialog, kerjasama, dalam suasana guyub dan rukun, melibatkan Masyarakat Adat,
Agama (Gereja) dan Pemerintah (Kabupaten, Kecamatan, Desa) akan terus
diujicobakan dalam membangun kesepahaman dan collective awareness bagi semua pihak. Dari collective awareness
Tiga Pilar tersebut diharapkan muncul collective
action. Aksi-aksi bersama untuk menyelamatkan sumberdaya hutan, demi
kepentingan bersama pula. AHIMSA, ANEKANTA, DAN APARIGRAHA mengejawantah dan
menemukan momentumnya di Manggarai, di TWA Ruteng, dan semoga akan
menyebar-menginspirasi ke sebagian pikiran dan kesadaran para pihak kunci dalam
mengembangkan pola-pola kelola kawasan
konservasi di seluruh bumi NTT. Maka, tahun 2013 adalah tahun aksi kita bersama
untuk mewujudkan impian itu. Selamat Tahun Baru 2013. Semoga Tuhan Bersama
Kita.***