Dalam kerja konservasi, mengelola
kawasan konservasi, seringkali kita
melupakan satu aspek kunci, yaitu soal nilai-nilai budaya yang masih hidup dan
dijadikan falsafah hidup dan laku oleh masyarakat tertentu. Di Manggarai,
dikenal dwitunggal “gendang’n on’e lingko
pe’ang”. Pandangan hidup yang artinya Eka dalam Aneka. Menurut Ande Agas,
wakil Bupati Manggarai Timur (2012),
dwitunggal tersebut mengandung
lima hal pokok. Pertama, “morin”, yaitu pengakuan atas keberadaan
sesuatu yang transenden sebagai “Mori
Kraeng” atau Tuhan yang menguasai kehidupan di alam natural dan
supranatural. Kedua, “atan” yaitu
kemanusiaan yang adil dan beradab serta berkehendak bebas atas pengendalian “bongko agu lodok”. Tiang pancang utama
di dalam rumah gendang dan lodok
merupakan tiang pancang utama di pusat kebun komunal. Ketiga, “canait’, atau persatuan, yaitu
kebersamaan sebagai perwujudan saling menjadi sesama dalam kesatuan hidup
setempat yang disebut “beo”, komunitas
kampung sebagai “pa’ang olo ngaung musi”.
Keempat, “nempung”, yaitu kebebasan
berkumpul dan berpendapat untuk mengedepankan kepentingan bersama. Prinsipnya “bantang cama reje lele”. Kelima, “sormoso” yaitu pandangan hidup yang
menunjang keadilan sosial bagi siapa saja yang sanggup mengedepankan etos : ”duat gula we’e mane”. Kelima konsep budaya ini sebenarnya adalah
Pancasila.
“Lonte Leok” atau duduk bersama,
bermusyawarah, membicarakan berbagai
persoalan kehidupan masyarakat, adalah konsep keempat dari “gendang’n on’e lingko pe’ang”. Mengambil tempat di di rumah Gendang. Rumah Adat yang memiliki
nilai spiritual dan nilai sejarah, yang menghubungkan kita yang masih hidup saat
ini dengan para roh nenek moyang. Persoalan bersama tersebut antara lain tentang
lingkungan hidup, hutan, kebun, dan lain sebagainya.