Selalu menarik
mendalami karya-karya Sthephen R Covey. Salah satu karyanya sebelum ia
meninggal adalah buku dengan judul : “The 3rd Alternatives” (2011). Yaitu
alternatif Jalan Ketiga. Ia menggambarkan bahwa dimana-mana jawaban terhadap
kejahatan adalah dengan melakukan penegakan hukum, menangkap penjahat setelah
kejahatan terjadi. Menurutnya, membangun masyarakat beradab adalah tugas yang
harus dilakukan, sebuah masyarakat yang didasarkan pada hubungan kuat dalam hal
respek dan empati. Dan ini membutuhkan pemikiran Alternatif Ke-3 yang kreatif,
seperti yang dilakukan oleh Ward Clapham, dari Royal Canadian Mounted Police.
Satuan yang dipimpinnya merupkan satu-satunya satuan yang memiliki kata
“proaktif” dalam pernyataan visi mereka. Misi utama mereka adalah “menjaga
perdamaian”, yang merupakan konsep yang jauh lebih besar daripada sekedar
menegakkan hukum. Clapham mendapati bahwa di departemen kepolisian, ygaya
polisi yang reaktif, bertindak setelah terjadinya insiden, dst. Tugas mereka
adalah menangkap penjahat dan menarik anak-anak keluar dari jalanan. Tidak ada
upaya untuk membangun hubungan yang mencegah kejahatan. Clapham bertekad untuk
mengubah pola pikir ini, menciptakan kultur baru, dengan bantuan rekan-rekannya: “Pencegahan memiliki reputasi buruk, Bagi kebanyakan orang ini berarti segala
hal yang harus di depan untuk mencegah kejahatan. Ini membutuhkan perubahan
besar dalam masyarakat, menghapuskan kemiskinan, lebih terampil membesarkan
anak, sekolah-sekolah hebat. Tidak ada anak yang ditinggal. Bukankah ini semua
hebat? Ini terlalu besar, jadi polisi
melakukan pekerjaan rutin, menangkap perusuh. Mencegah mereka berbuat
onar bukan tugas kita. Namun, ini adalah kuncinya-yang perlu anda lakukan bukan
hanya melakukan tindakan terhadap
kejahatan, meskipun ini penting. Yang kami sarankan untuk tugas polisi,
pencegahan adalah tugas utamanya (halaman 382-387).
TWA Ruteng sebelum
Tahun 2012
Menarik merenungkan
hal-hal yang dilakukan oleh seorang polisi di Canada, ribuan kilometer jaraknya
dari TWA Ruteng. Sebuah taman wisata alam yang hutannya juga berfungsi penting
sebagai penyangga kehidupan karena nilai airnya yang bermanfaat bagi puluhan
ribu jiwa di dua kabupaten : Manggarai dan Manggarai Timur. Yang di masa 2004, atau sembilan tahun lalu,
terjadi korban jiwa karena petani kopi di Colol dianggap merambah kawasan hutan
tersebut. Penegakan hukum yang membawa korban jiwa dan puluhan cacat permanen
yang sebenarnya bisa dicegah. Masyarakat yang hidupnya sangat bergantung pada
hasil kopi, untuk sekolah anak-anaknya dan menyambungkan cita-cita hidup
bersahaja dalam hitungan beberapa generasi yang lalu.
Dalam perspektif
Alternatif Ke-3, maka peranan polisi-polisi hutan di TWA Ruteng, bukan hanya
menangkap petani-petani yang dianggap sebagai perambah masuk ke dalam batas
kawasan TWA Ruteng. Peranan petugas-petugas termasuk polisi hutan itu harus
dirubah. Mereka harusnya bisa mencegah terjadinya kerusakan-kerusakan,
perambahan-perambahan, penebangan kayu, perburuan satwa, dan sebagainya. Bagaimana caranya? Dalam
konsep Alternatif ke-3, yang utama adalah membangun masyarkat beradab,sebuah
masyarkaat yang didasarkan pada hubungan kuat dalam hal respek dan empati.
Sekali lagi, dalam hal respek dan empati. Mencari tahu “akar masalah” dari
berbagai tindakan kejahatan atau pelanggaran hukum tersebut, bukan hanya
gejalanya saja.
Dalam hal
pelanggaran di bidang kehutanan, akar masalahnya akan ditemukan sangat beragam.
Mulai dari kemiskinan, yang disebabkan oleh banyak hal. Mulai dari dijualnya
tanah-tanah untuk kebutuhan hidup atau karena dibujuk oleh spekulan tanah untuk
dijual, terbelitnya masyarakat desa-desa pinggir hutan oleh para pengijon, agar
menjual hasil kebunnya di masa masih muda sehingga hanya dijual dengan harga
murah sekali, ditukar dengan uang cash
karena kebutuhan yang mendesak, dan sebagainya. Tidak hadirnya petugas penyuluh
ketika tanaman perkebunan mereka terserang hama dan penyakit yang akhirnya
menyebabkan gagal panen. Semua ini adalah potret akar masalah yang berada di
luar kendali, pengetahuan, dan pengalaman polisi hutan tersebut, sehingga yang
terjadi adalah masyarakat yang dianggap melanggar, ditangkap dan diproses
hukum. Bila ini terjadi, keluarga yang
ditinggalkannya menjadi semakin miskin dan sengsara. Konflik-kondlik batas
kawasan hutan dengan lahan masyarakat yang tidak pernah diselesaikan menambah
frustasi masyarakat tersebut.
Gambaran itulah
yang terjadi di TWA Ruteng di masa tahun 2000an. Konflik batas yang tidak selesai,
sehingga banyak kebun-kebun masyarakat yang masuk ke dalam batas TWA Ruteng.
Tidak adanya forum dialog antara petugas dengan masyarakat. Mentalitas polisi
hutan yang hanya bisa menjaga hutan, menangkap pelanggar tanpa mendalami
motivasi atau latar belakang dari persoalan pelanggaran tersebut. Petani kopi
yang sudah beberapa generasi menanam kopi, perubahan dari status hutan lindung
menjadi taman wisata, yang berakibat pelarangan atau ancaman pembabatan kopi
yang dianggap (secara sepihak) masuk dalam batas TWA Ruteng, menjadi penyebab
akhirnya itmbul korban nyawa petani kopi Colol pada 11 Maret 2004 yang terkenal
dengan “Rabu Berdarah” tersebut.
TWA Ruteng di Akhir
2012
Memulai kultur baru
mengelola kawasan konservasi, seperti TWA Ruteng dengan luas 32.000 Hektar ini,
didasarkan pada kenyataan sejarah sebagaimana diuraikan di atas. Mendalami
budaya masyarakat Manggarai, bertemu dengan para tokoh-tokoh kunci di masyaraat
Adat, Gereja, LSM, dan pemerintah daerah kabupaten, menjadi bagian dari proses
untuk “memahami”, mencoba menjadi pendengar yang baik dan efektif, menelusuri
bukti-bukti sejarah. Salah satu dokumentasi dari peristiwa “Rabu Berdarah” itu
adalah diterbitkannya sebuah buku dengan judul yang provokatif : “ Gugat Darah
Pentani Manggarai”. Merupakan kumpulan tulisan dari berbagai pihak, yang
prihatin akan tragedi kemanusiaan itu. Buku, yang nampaknya tidak menjadi
perhatian staf Bidang II Ruteng ini menjadi momentum bagi penulis, sebagai
seorang kepala Balai Besar KSDA NTT, ketika berkunjung ke Ruteng. Maka,
dimulailah pertemuan-pertemuan yang tidak mengenal lelah, pesan pendek, dan
komunikasi lintas budaya, lintas batas jabatan, dan lintas birokrasi yang
biasanya sangat rigid, sangat formal. Kecurigaan antara petugas dengan
masyarakat Colol semakin mencair dan menipis, disertai kunjungan ke rumah
Gendang. Pertemuan di Gendang Tangkul, di Paroki Colol, dengan para janda yang
suaminya menjadi korban menjadi momentum
untuk proses rekonsiliasi. Suatu upacara yang dalam adat Manggarai disebut
sebagai “Wai Luuk” atau perkabungan dan penyataan dari penulis sebagai wakil
dari pemerintah untuk meminta maaf atas peristiwa yang terjadi, menjadi titik
tolak carinya “tembok” psikologis yang sudah hampir delapan tahun menjadi
penghalang. Maka, sejak saat itu gerbang terbuka lebar, untuk suatu kerjasama.
Tinggal bagaimana memelihara tali silaturahmi yang sudah ada ini untuk terus
dilajutkan dalam berbagai bentuknya mengatasi banyak pekerjaan rumah lama yang
semula tabu untuk dibicarakan.
Di seluruh
Indonesia, belum ada Balai Taman Nasional atau Balai KSDA yang berani memulai
dialog secara terbuka dengan masyarakat, khususnya terkait dengan batas kawasan
hutan. Klaim sepihak oleh pemerintah atas batas hutan di wilayahnya harus
diterima oleh masyarakat. Hal ini sebenarnya hanya akan menumpuk bara konflik
di kemudian hari. Ketika jumlah penduduk semakin banyak, ketika banyak
pendatang dengan modal mulai membeli tanah-tanah masyarakat di desa-desa, maka
mereka akan merangsek ke dalam hutan di kawasan konservasi. Bekerja dengan
masyarakat dalam berbagai bentuk penyadaran bersama, adalah satu-satunya cara,
agar kita mampu membendung degradasi lingkungan dan hutan akibat dari
persoalan-persoalan tersebut.
Forum Dialog
Forum dialog
menjadi satu-satunya cara, agar kita bersama-sama masyarakat membangun
komunikasi dan menjadi tugas Balai TN/KSDA untuk mencerdaskan masyarakat.
Masyarakat harus melek hukum, melek peta, harus bisa memakai GPS, harus mampu
membaca peta. Prose sinilah yang sedang terjdi di Colol, sesuai dengan kesepakatan
pada tanggal 12-12-12, di rumah Gendang Induk Colol. Untuk melakukan cek
bersama terhadap batas-batas TWA Ruteng dan batas-batas lingko (kebun) atau
puar (hutan) versi masyarakat.
Sebenarnya ini adalah sikap atau kebjakan yang biasa saja, bukan suatu
yang istimewa. Namun, melihat kesejarahan konflik di Colol, maka, kerja bareng
cek batas ini suatu yang luar biasa. Tidak pernah terjadi pemerintah (baca:
BKSDA Ruteng, istilah masyarakat), mau duduk berjam-jam membicarakan persoalan
yang sangat esensial bagi masyarakat, yaitu status tanah-tanah mereka, status
kebun-kebun mereka. Peranan Romo Sonny dari Paroki Colol, tokoh-tokoh adat,
Tu’a Golo, Tu’a Teno, dan seluruh staf Bidang II Ruteng yang telah merasakan
“pola kerja” baru, kultur kerja baru, menjadi faktor penentu keberlanjutan
proses ini.
Seorang Sosiolog
UNAIR menyatakan bahwa dalam sistem demokrasi,
kelembagaan dialog jadi bagian dari fungsi lembaga negara. Kelembagaan
dialog secara normatif telah diatur dalam konstitusi dan perundang-undangan
sehingga negara harus menyediakan kelembagaan dialog untuk mengelola konflik
politik secara konstruktif (Novri Susan: “Bekonflik tanpa Kekerasan”, Kompas 13
Mei 2013). Menurutnya, diperlukan
komunikasi inklusif, yaitu merupakan proses dinamis dari berbagai kepenitngan
untuk melakukan transformasi konflik, yaitu mengubah konflik menjadi pemecahan
masalah yang konstruktif. Pada komunikasi inklusif, setiap aktor berkonflik
berada pada relasi kuasa yang setara dan berpeluang sama dalam aspirasi tanpa
penggunaan kekerasan. Komunikasi inklusif sendiri membutuhkan dua materi dasar
: kelembagaan dialog dan kesadaran subyektif para aktor yang berkonflik.
Kelembagaan dialog memasukkan setiap aktor berkonflik ke dalam aturan main,
yang salah satu substansi penitngnya adalah praktik nir-kekerasan. Praktik
nir-kekerasan selalu memungkinkan terjadinya pertukaran informasi dan saling
menyelesaikan masalah secara diskursif. Fase kesalingfahaman akan diikuti oleh
kondisi konsensus di mana para aktor berkonflik harus mengikuti dan
melaksanakan isi pemecahan masalah.
Dalam kelembagaan dialog ini disyaratkan niat baik dari kepemimpinan
dari struktur kekuasaan negara. Sebab, kelembagaan dialog pada dasarnya
mengorbankan kepenitngan sempit elitis dan mengutamakan kepenitngan umum.
Dalam perspektif
peyelesaian konflik di TWA Ruteng melalui Lembaga Dialog yang disebut sebagai
Tiga Pilar, juga didorong suatu prinsip yang disebut sebagai “Tiga A”, yaitu
Ahimsa (tanpa kekerasan), Anekanta (tidak memaksakan kehendak, dan mengormati pendapat
setiap peserta dialog), Aparigraha (menghormati nilai-nilai kebaikan universal,
kemanusiaan, penghormatan pada hak azasi
manusia). Penulis setuju dengan pendapat tentang pentingnya suatu
Lembaga Dialog ini, bukan hanya untuk kepentingan penyelesaian konflik-konflik
politik, tetapi juga efektif untuk penyelesaian konflik-konflik sumberdaya
alam.
Refleksi untuk
Indonesia
Apabila benar,
30-40 juta masyarakat tinggal di pinggir-pinggir hutan atau bahkan tinggal di
dalam kawasan hutan, juga di kawasan konservasi, maka tidak ada jalan lain bagi
pada Kepala Balai TN/KSDA di seluruh Indonesia, untuk membangun sikap yang
konstruktif dalam menyelesaikan berbagai persoalan, termasuk masyarakat yang
tinggal di sekitar kawasan konservasi. Cegah terjadinya korban yang tidak
perlu. Bangun forum atua lembaga dialog yang bukan hanya terjebak pada
formalitas keproyekan, namun forum yang dibangun secara guinine. Forum yang dibangun berdasarkan niat yang baik untuk
mencari titik temu penyelesaian berbagai perbedaan pendapat dan penyelesian
konflik secara damai. Penegakan hukum
adalah pilihan terakhir ketika dialog tidak mampu menyelesaikan masalah.
Maka, perlu kita
renungkan pendapat Stephen R Covey tentang Alternatif Jalan ke-3. Membangun
respek dan empati. Membangun dan menjaga perdamaian. Utamanya bagi masyarakat yang tinggal di
pinggir-pinggir hutan atau bahkan di dalam hutan, yang kehidupannya sangat
tergantung pada sumberdaya hutan tersebut. Konservasi pada dasarnya adalah
membangun kesadaran bersama. Mendorong gerakan bersama, untuk mengelola hutan
beserta isinya secara lebih bertanggungjawab, lebih berbudaya, dan untuk
kepentingan masyarakat dan kemaslahatan ummat manusia. Dari Colol upaya itu
sedang kita rintis dan dikawal secara konsisten.***
Kupang, 7 Januari 2014