Oleh: Wiratno, Petrus Gunarso dan
Nurman Hakim **
Overview
Pengelolaan kawasan konservasi saat ini
dan ke depan tidak dapat dilepaskan dari pelibatan aktif pemerintah daerah,
masyarakat adat dan masyarakat setempat, swasta-pelaku ekonomi lokal-nasional,
pakar, praktisi, lembaga riset, lembaga keagamaan, LSM, dan media massa. Dalam
kondisi ideal, pelibatan tersebut dimulai dari perumusan akar masalah (core problem) bukan hanya memotret
gejalanya (sympton-nya), menetapkan
tujuan bersama (common agenda),
menyiapkan aksi bersama terpadu-berkesinambungan, melakukan pemantauan
(monitoring) dan evaluasi untuk mendapatkan pembelajaran bersama (lesson learnt). Proses partisipatif ini
diharapkan muncul kesadaran bersama, terjadi proses pencerahan dan pencerdasan
bersama, sebagai hasil dari kerjasama
yang intens atas dasar komunikasi asertif yang dibangun dan dikawal.
Pengelolaan
kawasan konservasi di masa datang tidak ditentukan sendirian oleh sektor
Kehutanan, tetapi harus melibatkan para pihak dalam satu platform bentang alam
(landscape). Pendekatan bentang alam
akan mengurangi bahkan menghapus ego sektor dengan menetapkan tujuan
pengelolaan bersama yaitu peningkatan produktivitas bentang alam bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Ringkasan
kebijakan ini disusun dalam rangka memberikan pemahaman membuka cakrawala dan
mengundang sinergi yang bersifat inovatif guna mengatasi permasalahan
pengelolaan kawasan hutan yang berada pada kondisi kritis dewasa ini. Pemikiran
kreatif dan inovatif dengan pelibatan para pihak dengan tetap dalam kerangka
dan dipandu oleh produktivitas dan fungsi ekosistem hutan.
Rationale
Mengapa perlu membangun proses-proses secara bersama? Beberapa
alasan logis dapat digambarkan sebagai berikut :
- Banyak pihak yang memiliki kepentingan dengan motif yang beragam terhadap sumberdaya alam. Mulai dari mereka yang berada di tataran internasional, regional, nasional, provinsi, kabupaten, sampai ke tingkat grassroot, di tataran masyarakat yang langsung berbatasan dengan sumberdaya alam tersebut. Pengelola kawasan konservasi tidak akan pernah mampu mengelola secara soliter, karena berbagai keterbatasan staf, dana, sarana dan prasarana pendukungnya.
- Untuk dapat menggali nilai dan manfaat kawasan konservasi, perlu dilakukan dengan penerapan skill dan ragam disiplin keilmuan. Oleh karena itu, hampir semua bidang keilmuan sebaiknya diperankan dalam menggali manfaat yang dikandung dari kawasan konservasi.
- Tradisi
perencanaan yang dibangun selama ini adalah melalui pendekatan pembangunan
sektoral yang bersifat parsial, soliter, rasional-topdown, tanpa didasarkan pada analisis data dan informasi yang
valid updated, yang dicirikan dengan
rendahnya proses partisipasi (participatory
planning) dalam menjaring masukan para pihak. Tradisi perencanaan yang
soliter ini berlanjut dalam proses pelaksanaan, monitoring dan evaluasinya.
- Pembangunan akan selalu mengubah bentang
alam, tetapi setiap pembangunan berupaya untuk menghindari terjadinya kerusakan
sekaligus mengurngi produktivitas. Di dalam prakteknya, karena masing-masing
bekerja berdasar pada koridor keproyekan berbasis sektor dan keberhasilannya
dilihat dari penyerapan anggaran, maka dampak terhadap bentang alam yang
dibangun menjadi tidak terlihat bahkan di banyak tempat mengalami degradasi
berat.
- Konservasi sumber daya alam dengan menyisihkan
sampai dengan 10% perwakilan ekosistem ternyata tidak menjamin perlindungan dan
pengawetan, apalagi pemanfaatannya secara lestari. Oleh karenanya, konservasi
di wilayah produksi bahkan dimulai dari konservasi ek situ di rumah dan
lingkungan perkotaan sampai ke bentang alam hutan perlu dilakukan sebagai
komplimen bagi upaya konservasi. Penilaian wilayah dengan nilai konservasi
tinggi di wilayah produksi menjanjikan sebuah upaya perlindungan, pengawetan
dan bahkan pemanfaatan lestari dari bentang alam berhutan.
Janji
Kemerdekaan
Kita seringkali melupakan bahwa dalam
paragraf keempat Pembukaan UUD 1945, terdapat Janji Kemerdekaan, yaitu : “memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Maka, sudah selayaknya dalam seluruh proses pembangunan, termasuk
pembangunan di bidang kehutanan, lingkungan
hidup dan konservasi alam, perlu melibatkan seluruh komponen anak bangsa.
Bukankah, Pasal 33 UUD 1945, Ayat 3 menegaskan bahwa : “bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kondisi
Saat Ini
Setelah 68 tahun merdeka, atau apabila
dihitung dari terbitnya UU No.5 tahun 1990, telah 23 tahun pembangunan kawasan
konservasi di Indonesia, pola perencanaan dan pengelolaannya, secara umum masih
cenderung eksklusif soliter dan tertutup. Sebagai akibatnya adalah :
- Rendahnya pemahaman para pihak di luar sektor dan berakibat pada rendahnya dukungan atau partisipasi publik akan keberadaan dan upaya pelestarian kawasan konservasi tersebut.
- Rendahnya penilaian atas eksistensi (nilai keberadaan) kawasan konservasi dan penilaian yang hanya bersifat moneter/keuangan semata, sehingga seringkali disebut sebagai cost-center, dan membebani dana pembangunan nasional. Sektor kehutanan hanya dinilai dari penghasilan kayunya saja. Nilai yang jauh lebih besar, jasa lingkungan, nilai potensial keragaman hayati, nilai keindahan, justru masih dipandang sebelah mata.
- Ancaman terhadap kelestarian kawasan
konservasi semakin meningkat akibat dari kedua faktor tersebut di atas, antara
lain sebagai akibat dari rendahnya pemahaman bahkan di tingkat nasional (DPR, Bappenas, Keuangan dan seluruh sektor
pembangunan). Hal ini mengakibatkan rendahnya dukungan kebijakan yang dapat
menjadi sinergitas atau keterpaduan lintas sektor yang menempatkan kawasan
konservasi sebagai “center of development”,
dan sebagai asset
pembangunan nasional, sekaligus
asuransi bagi ketersediaan SDA masa depan bagi generasi muda penerus bangsa
Indonesia.
- Rendahnya anggaran Kementerian Kehutanan menunjukkan betapa penghargaan atas pengelola 2/3 kawasan daratan Indonesia sangat rendah. Jika dilihat secara cermat, maka biaya pengelolaan hutan per ha di Indonesia baik untuk konservasi maupun produksi sangat rendah, sehingga tidak mungkin sanggup untuk membiayai kerusakan dan degradasi yang terakumulasi selama ini. tanpa kepedulian DPR dan Pemerintah atas keadaan ini maka keadaaan dan masa depan sumber daya hutan Indonesia akan berada di tubir jurang.
Modal
Dasar
Modal yang dapat ditawarkan oleh Ditjen
PHKA adalah 27,2 juta hektar kawasan konservasi. Luasan ini adalah 6 kali lipat
luas negeri Belanda, dimana 60% nya
adalah taman nasional. Yang mendapatkan pengakuan global sebagai cagar biosfer
sebanyak enam (TN Gunung Gede Pangrango, TN Gunung Leuser, TN Tanjung Puting,
TN Lore Lindu, Pulau Siberut-termasuk TN Siberut, dan TN Komodo). Sedangkan
yang ditetapkan sebagai Warisan Dunia (world Heritage), adalah TN Ujung Kulon,
TN Komodo, TN Lorentz, Tropical
Rainforest Heritage of Sumatra-TN Gunung Leuser, TN Kerinci Seblat, dan TN
Bukit Barisan Selatan).
Kondisi terakhir, berdasarkan data dari
Direktorat Kawasan Kosnervasi dan Bina Hutan Lindung, terdapat 2,7 juta hektar kawasan
konservasi yang terbuka (open area), yang perlu dicek oleh UPT, apakah itu
fenomena alam atau akibat gangguan kawasan. Namun, berdasarkan data dari Ditjen
Planologi, terdapat 3,7 juta hektar kawasan konservasi yang direkomendasikan
untuk direhabilitasi.
Data perambahan
dan perubahan penggunaan lahan yang seharusnya dapat terkumpul dengan telah
tersedianya unit pengelola kawasan konservasi, baik itu Taman Nasional, maupun
BKSDA dan Balai Besar KSDA sampai hari ini belum sepenuhnya terkumpul dan
terjadi pembiaran yang menahun. Upaya serupa juga tidak dilakukan oleh Dinas
Kehutanan Provinsi dan Kabupaten yang diserahi tugas pengamanan hutan lindung.
Sebagai akibatnya, terdapat wilayah open
accees yang maha luas yang tidak produktif, di tengah
ketakutan akan ketahanan dan keamanan pangan yang mendera dunia.
Kondisi
yang Diinginkan
Mempertimbangkan kondisi tersebut di
atas, dan khususnya dalam situasi otonomi daerah saat ini, maka di masa RPJM
2015-2019, diusulkan kondisi-kondisi yang diinginkan sebagai berikut :
a.
Internal Ditjen PHKA
- Eselon II Ditjen PHKA perlu memastikan bahwa UPT menguasai persoalan dan potensi di setiap kawasan konservasi yang menjadi tanggungjawabnya. Kelola dengan pendekatan Resort_Based Management (RBM) menjadi salah satu alatnya yang strategis, untuk membangun baseline data sebagai dasar membuat perencanaan spasial dengan data yang lebih valid, reliable, updated dan upaya untuk mendorong staff kembali ke lapangan bukan hanya patroli rutin, tetapi juga membangun taktik dan strategi menjaga kawasan bersama para pihak.
- Eselon
II Ditjen PHKA perlu melakukan pendampingan kepada 77 UPT (TN dan KSDA) untuk
memastikan bahwa pihak UPT melakukan konsultasi publik (kepada Pemrov, Pemkab,
masyarakat penyangga dan para pihak yang relevan). Dilakukan secara intens
bukan hanya formalitas, terhadap berbagai perencanaannya, dengan tujuan
mendapatkan masukan yang konstruktif dan aspiratif-kontekstual. Pelibatan Pusat Pengendalian Pembangunan
Kehutanan dalam pendampingan ini perlu dilakukan,
sebagaimana telah dilakukan oleh Pusdalbanghut Regional II.
- Ditjen
PHKA perlu segera membangun sistem “human
resource development, reward and punishment, stick and carrot untuk kinerja
77 UPT, termasuk untuk seluruh stafnya yang berprestasi atau melakukan
pelanggaran. Komunikasi dengan
para mitra - LSM dalam penilaian serta peningkatan kapasitas perlu terus
ditingkatkan. Berikan peran yang jelas dan tegas kepada LSM yang bergerak dalam
upaya konservasi alam untuk berbagi peran dan tidak justru menggadaikan atau
menjual kelemahan untuk dipermalukan di forum internasional bagi keuntungan
lembaga. Kemampuan berkomunikasi dengan LSM perlu ditingkatkan dengan
bekerjasama dengan lembaga-lembaga keilmuan, Universitas, dan LSM yang bergerak
di bidang pembangunan berkelanjutan.
- Eselon
II perlu melakukan kunjungan mendadak (sidak/blusukan)
di UPT-UPT untuk melihat secara langsung persoalan, upaya yang telah dilakukan,
dan upaya-upaya pengembangan potensi kawasan, kerjasama di daerah penyangga dan
dalam hubungannya dengan pemerintah daerah dan lembaga swadaya masyarakat.
Kunjungan ini juga untuk mengukur tingkat atau kemampuan leadership Kepala UPT dan pejabat struktural di bawahnya. Libatkan pihak ke tiga, wartawan dan LSM dalam
kegiatan semacam ini untuk meningkatkan efektifitas hasilnya.
b. Dukungan
Eselon I Kemenhut
- Biro Perencanaan perlu mendorong inisiatif terpadu perencanaan pembangunan, antara lain dengan memosisikan kawasan konservasi sebagai “center of development”. UPT PHKA yang mengelola suatu kawasan konservasi yang luas, dapat didukung Eselon I Kemenhut, melalui berbagai dukungan di daerah penyangganya. Skema HkM, Hutan Desa, Hutan Rakyat, KBR, dapat menjadi “Katup Pengaman Sosial”, untuk mengurangi ketergantungan masyarakat dengan kawasan konservasi, khususnya masyarakat yang tidak memiliki lahan. Forum DAS dapat menjadi kendaraan untuk pengembangan pola ini, melalui pendekatan landscape management.
- Ditjen Planologi perlu membantu dinas-dinas kehutanan provinsi dan kabupaten dalam penguasaan ilmu dan teknologi perpetaan dan pelatihan dasar terkait lainnya, melalui berbagai pelatihan dan pendampingan. Berdasarkan informasi dari Kapusdal Regional II, banyak sekali dinas kehutanan di berbagai kabupaten yang memerlukan penguatan kapasitas stafnya dalam bidang perpetaan ini. Sementara itu, BPKH perlu mendorong reformasi mekanisme tata batas yang di banyak wilayah, mengalami konflik dengan masyarakat. Participatory mapping, bersama masyarakat, menjadi salah satu alat peredam konflik dan menjadi tool atau Forum Dialog Penyelesaian Konflik batas secara damai, tanpa menimbulkan korban. Termasuk membuat masyarakat lebih “melek peta” dan cerdas karena diajari bagaimana membaca peta, menggunakan GPS, dan hal-hal lainnya terkait dengan peraturan perundang-undangan kehutanan.
- Litbang Kehutanan dapat lebih proaktif mendorong agenda riset murni dan terapan di kawasan konservasi, untuk mendukung manajemen kawasan, spesies, dan sebagainya. Sementara UPT juga aktif mempromosikan potensi kawasan ke Badan Litbang Kehutanan, untuk mencari sinergitas dan kemungkinan kerjasama yang saling menguntungkan.
- Badan Penyuluhan Kehutanan perlu memfasilitasi proses-proses penyuluhan terpadu di Bakorluh Provinsi dan Kabupaten, dalam rangka pengembangan daerah penyangga di kawasan-kawasan konservasi. Mendorong dibangunnya sistem penyuluhan terpadu lintas sektor pembangunan di daerah. Penyuluhan terpadu lebih efektif dibandingkan dengan model penyuluhan berbasis sektoral.
- Kemenhut perlu mendorong kerjasama dengan lembaga-lembaga keagamaan (Gereja, Pesantren, MUI, Keuskupan) untuk mendorong berbagai bentuk gerakan penyadaran atau penyelamatan lingkungan, antara lain melalui upaya-upaya pengelolaan kawasan konservasi dan daerah penyangganya, dalam cakupan yang beragam. Saat ini di TWA Ruteng, BBKSDA NTT mengembangkan pola pengelolaan yang melibatkan Tiga Pilar (Pemkab-Gereja-Masyarakat Hukum Adat). Mendorong terbangunnya modal sosial melalui Tiga Pilar, yang selanjutkan akan didorong suatu gerakan konservasi secara bersama-sama, terpadu, dan berkelanjutan.
- Kemenhut perlu mendorong pengembangan Jejaring Pakar-Praktisi-Swasta dalam pengembangan dan pemanfaatan keragaman hayati di dalam kawasan konservasi. Sejak 2009, BBKSDA NTT bekerja sama dengan pakar biologi kelautan, Dr Agus Trianto dari Kelautan UNDIP, melakukan penelitian potensi Candidaspongia sp yang ada di TWA Laut Teluk Kupang, untuk mendapatkan senyawa anti kanker, yang mulai menunjukkan hasil yang positif. Oleh karenanya, terus dilanjutkan sampai saat ini dengan berbagi pendanaan dan berbagi pengalaman termasuk transfer of knowledge and experiences.
c.
Dukungan Lintas Kementerian
- Peranan Bappenas dalam rangka mendorong dan mengapresiasi kabupaten-kabupaten yang telah terbukti mendukung atau membantu upaya-upaya konservasi di kawasan konservasi, antara lain melalui pendampingan dalam rangka penguatan spasial planning, mendukung Kemenhut untuk percepatan pembangunan KPHK/KPHL, dan berbagai inisiatif penguatan ekonomi masyarakat di daerah penyangga, melalui kementerian terkait. Skema DAK perlu dibangun dnegan skema yang di masa lalu disebut sebagai INPRES Kawasan Lindung. Kabupaten yang pro lingkungan mendapatkan DAK Lingkungan yang lebih besar daripada kabupaten yang kurang atau tidak mendukung penyelamatan lingkungan. Tentu dengan pendampingan yang ketat dalam perencanaan dan pelaksanaannya.
- Dalam beberapa kasus di kawasan konservasi, peranan Meko Kesra dan Kementerian Sosial sangat penting, seperti kasus perambahan yang disebabkan oleh pengungsian korban konflik Aceh, di TN Gunung Leuser wilayah Kab.Langkat (sejak 1999). Perambahan di SM Kateri, Kab Malaka, NTT, pada tahun 1999, akibat dari masuknya warga baru eks Timur Timur ke KNRI, hanya mendapatkan fasilitas rumah tanpa lahan garapan untuk hidup.
- Peranan
Kementerian Sosial dan Kementerian PDT, terkait dengan program pengembangan
masyarakat dan atau program pemukiman masyarakat yang dianggap terasing, orang
Mentawai di TN Siberut, suku Anak Dalam di TN Bukit Dua Belas, suku Talang
Mamak di TN Bukit Tiga Puluh, suku Dayak di TN Kayan Mentarang, TN Betung
Kerihun, dan sebagainya.
- Peran Badan Pertanahan dalam kerangka PRONA
dapat dilibatkan dalam memperkuat tata batas hutan dengan memprioritaskan
penataan batas kawasan hutan dengan sertifikat tanah pedesaan di batas kawasan-kawasan konservasi,
utamanya taman nasional. Kerjasama ini dapat
dilakukan terutama di daerah yang rawan perambahan sekaligus daerah yang
pertumbuhan ekonominya cepat karena terbukanya akses.
- Peranan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam hal membantu sharing data dan informasi tentang kegunungapian di kawasan konservasi, untuk kepentingan penyusunan Rencana Pengelolaan, termasuk zonasinya. Dari 128 gunung api di Indonesia, sebanyak 46 gunung api atau 36% terdapat di 35 kawasan konservasi. Maka peranan BNPB ini sangat penting.
- Peran BKKBN dalam pengentasan kemiskinan bagi masyarakat peserta KB pedesaan dapat dimanfaatkan sekaligus dalam peningkatan penghasilaan serta pengurangan kemiskinan di sekitar kawasan hutan, dan dikaitkan dengan penyuluhan tentang penyelamatan hutan di sekitar desanya. Maka, penyuluhan lingkungan dan penyelamatan hutan dapat disinergikan dengan penyuluhan KB Pedesaan.
- Peran Kementerian Dalam Negeri dalam mengakomodasi pengembangan wilayah atau pemekaran harus mengacu pada keadaan bentang alam dan bukan hanya mengacu pada etnisitas atau kepenitngan politik, yang justru akan berpotensi menimbulkan bentang alam yang terfragmentasi.
Demplot
ICDP
Dalam merealisasikan upaya keterpaduan
antara konservasi dan pembangunan atau Integrtaed
Conservation and Development Programme ((ICDP), diperlukan suatu
percontohan atau demonstration plot
(demplot). Misalnya, dalam suatu DAS kritis yang terdapat kawasan konservasi,
dan potensi hutan produksi, hutan lindung yang dapat dibangun kegiatan hutan
kemasyarakatan, hutan desa, hutan rakyat, kebun bibit rakyat, penangkaran flora
dan fauna, praktik SILIN, kebun kayu
bakar, makanan ternak, agroforestry, agrosilvopastur, dan sebagainya. Didukung
dengan pemanfaatan jasa lingkungan, seperti air untuk pertanian, air minum,
irigasi pertanian, mini-mikro hidro, panas bumi terpadu, dan masih banyak yang
lainnya.
Maka, dapat dimulai program terpadu itu
termasuk pengembangan daerah penyangganya.
Ambil satu atau dua provinsi dengan kepala dinas kehutana nprovinsi dan
kabupatennya yang proaktif dan memiliki semangat membangun kehutanan.
Alokasikan program terpadu selama lima tahun secara konsisten dengan dukungan
pendanaan multi-years.
Bappenas dapat menjadi wasit dalam
mengatur alokasi perencanaan dan penggunaan lahan di provinsi yang telah
ditunjuk sebagai demplot tersebut, sehingga dapat dijamin tidak ada intervensi
kebijakan yang kontra produktif (perubahan penggunaan lahan, proyek mercusuar
skala besar) yang dapat mengganggu proses pembangunan keterpaduan lintas sektor
(hulu-hilir) yang memosisikan kawasan konservasi dan kawasan hutan penyangga
lainnya sebagai “center of development” tersebut.
Demplot
semaacam ini kemudian dapat didaftarkan ke dalam berbagai inisiatif
internasional untuk menunjukkan bahwa kita bekerja dan berusaha memperbaiki
keadaan. Program seperti - Global Partnership on Landscape Restoration (GPFLR) - di mana di
dalamnya menonjolkan
kisah sukses dari berbagai belahan dunia, akan meningkatkaan semangat petugas lapangan.
Inisiatif lain yang dapat diacu adalah Bonn Challenge - yang mempromosikan
restorasi hutan seluas 150 juta hektar sampai dengan tahun 2020. Berbagai
inisiatif global dan regional akan mendorong kita lebih terbuka bahwa kita
hidup dalam satu planet yang sama.
Penutup
Demikian, beberapa pemikiran dan
renungan tentang kelola kawasan konservasi dalam konteks landscape yang lebih luas dalam skala DAS atau Sub-DAS, hulu-hilir
serta lintas sektor pembangunan ke
depan, yang tidak akan pernah bisa dilakukan secara ekslusif, parsial, soliter, dan tertutup.
Keadaan di lapangan sudah demikian mengkhawatirkan, dan oleh karenanya
yang harus segera dilakukan adalah tidak memperpanjang diskusi dan seminar
tetapi mempercepat kegiatan di lapangan dan melakukan kegiatan lapangan yang
tepat waktu. Penyusunan proyek atau rencana kegiatan hendaknya mengacu pada
kerangka jangka panjang pengelolaan dan bukan hanya mengejar penyerapan
anggaran semata.***
* Proposal untuk Bahan Diskusi Penyusunan RPJM Kemenhut 2015-2019 (Biro Perencanaan, Solo 14 November 2013)
** Wiratno, Kepala Balai Besar KSDA NTT;
Petrus Gunarso,Direktur Tropenbos
International, Indonesia Programme
Nurman Hakim,Karya Siswa S2 IPB, Penggerak Resort Based Management, Direktorat KKBHL, Ditjen PHKA