"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

25 April 2012

Eksotisme Sumba

Hamparan lansekap perbukitan gersang berbalur mengular merona hijau di lembahnya.
Patahan meliuk mengangakan garis tajam coklat-hitam keabuan singkapan umur geologi dasar laut.

Laksana mozaik permadani savana selimuti punggung punggungmu disangga bantalan karang getas terpanggang mentari 39 derajat celcius.

Itulah citramu yang terpetakan di ruang retina mata indera dan batinku.

Di antara punggung gersang itu, meliuk sungai jernih laksana naga bersayapkan perengan dan  lembah hijau lembut menyejukkan.
Disitulah manusia dan kebudayaan Sumba mampu bertahan-memaknainya.

23 April 2012

RBM+ untuk Kawasan Konservasi Non Taman Nasional (Artikel Menyambut Hari Bumi 2012)


Rationale
Resort Based Management (RBM), seringkali disalah-artikan. Yang paling parah hanya sekedar  sebagai telah diterbitkannya keputusan Kepala Balai (SK) tentang Resort, pembagian wilayah ke dalam resort, dan (mungkin ini yang lebih baik), ia  telah membangun kantor resort. Yang terjadi adalah banyak kantor resort yang dibangun tetapi bahkan tidak sempat dihuni dan akhirnya hancur. RBM juga difahami sebagai sekedar mengumpulkan data. Ketika data lapangan sudah banyak terkumpul, kita menjadi bingung untuk apa data sebanyak itu.  RBM bukan tujuan (end).  RBM adalah kendaraan (mean), agar kita-pengelola kawasan konservasi, dapat mencapai tujuan (goal). Tujuan pengelolaan kawasan konservasi adalah agar kawasan konservasi aman (tidak rusak oleh berbagai sebab), dan berfungsi sesuai dengan tujuan penetapannya. Kalau di dalam keputusan Menteri Kehutanan, tidak disebutkan secara spesifik latar belakang penunjukan/penetapan kawasan tersebut, maka pengelola harus menetapkannya (melalui kajian ilmiah), dan menyebutkan secara eksplisit di dalam dokumen Rencana Pengelolaannya. Dengan tujuan yang jelas (spesifik dan terukur), maka seluruh upaya pengelolaan ditujukan untuk mencapai tujuan tersebut. Sayang sekali, banyak kawasan belum ditetapkan tujuan penunjukannya dengan jelas.
RBM dalam praktiknya, dengan cara mengisi tallysheet, dengan sistem poin, memaksa staf (enumerator) untuk menjelajahi setiap jengkal kawasan, dan mencatat setiap kejadian di sepanjang jalur jelajahnya.Karena setiap poin yang dicatat di lapangan diambil koordinatnya dengan GPS, maka kemungkinan pemalsuan data (semoga) dapat dihindarkan. Suatu budaya baru yang memaksa setiap staf tidak boleh memalsu data lapangan, dimana di

10 April 2012

Kelola Minimal Kawasan*

Mengutip pidato Purna Tugas Prof.Hasanu Simon (Alm), pada tanggal 27 September 2010, di antaranya yang sangat relevan untuk kita renungkan adalah munculnya dua fenomena :
(1) Rimbawan Indonesia gagal mempertahankan warisan hutan tanaman jati di Jawa yang amat bagus, lengkap dengan sofware maupun hardware-nya. Warisan hasil jerih payah rimbawan Belanda selama lebih dari satu abad itu, hancur di tangan rimbawan Indonesia hanya dalam kurun waktu kurang dari 50 tahun.
(2) Lebih parah lagi, rimbawan Indonesia,yang sebetulnya tidak memiliki bekal imu yang cukup itu, gagal total dalam percobaannya mengelola hutan tropika basah di luar Jawa yang luasnya lebih dari 100 juta hektar itu hanya dalam waktu 25 tahun. Prestasi buruk ini lebih hebat dibanding dengan VOC yang menghancurkan 600 ribu hektar hutan alam jati di Jawa selama 150 tahun, Romawi yangmenghancurkan hutan alam di Eropa selama 1000 tahun, dan Babylonia yang membutuhkan waktu 3000 tahun untuk merusak hutan alam Mesopotamia.

Pernyataan almarhum Prof. Hasanu Simon itu tentu bukanlah isapan jempol belaka. Saat ini,kita bisa menyaksikan kerusakan sumberdaya hutan (khususnya hutan produksi), sebagian hutan lindung, di hampir seluruh Sumatera, Kalimantan, sebagian Sulawesi, dan mulai merambah ke Papua.