"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

10 Desember 2018

Kontribusi Forestry Private Sectors dalam Mitigasi Perubahan Iklim: Tantangan dan Peluang

keywords: common pool resource, kolaborasi, networking, collective leadership, Generasi Z, mitigasi perubahan iklim.
 
Mengapa?
Mengelola hutan, mengurus lingkungan hidup dan perubahan iklim tidak akan pernah mampu dan berhasil apabila dilakukan oleh pemerintah (state), atau pihak swasta (private), oleh masyarakat atau CSO secara terpisah-pisah. Bukti-bukti lapangan menunjukkan hal tersebut. Mengurus sumberdaya hutan, lautan, yang luasnya jutaan hektar adalah mission impossible (press comm., Wahjudi Wardojo, 2014). Sifat sumberdaya itulah yang tidak akan berhasil dikelola secara sepihak oleh siapapun. Sumberdaya yang tergolong ke dalam common pool resources (CPR) inilah yang semestinya dikelola secara kolaboratif, dengan berbagai model kemitraannya. Keterbatasan pendanaan, sumberdaya manusia, sarana dan prasarana pengelolaan, teknologi, tingkat kesulitan, aksesibilitas, skala luas, dan berbagai bentuk hubungan kesejarahan antara masyarakat dengan sumberdaya CPR tersebut menjadi alasan utama dan paling penting, mengapa kita harus melakukan kolaborasi.
Maka, tidak ada satu pihak pun yang berani melakukan klaim bahwa dia-lah yang berhasil melakukan kelola CPR, tidak perlu dukungan dan bantuan pihak lain. Keberhasilan kelola CPR adalah hasil kerja kolektif, yang tentu dimulai dari membangun kesadaran bersama, membangun visi dan strategi bersama.
Ada proses pembelajaran multipihak yang hal ini memungkinkan apabila dikawal dengan kemampuan leadership multipihak dan multilayer yang kuat dan konsisten.

15 Maret 2018

Jalan Damai Kelola Hutan (Konservasi) di Indonesia

"Forestry is not about trees, it is about people. And it is about trees only in so far as trees can serve the needs of the people" (Jack Westoby, 1967)
Kawasan hutan dunia termasuk di Indonesia tidak dapat kita anggap sebagai ‘kertas putih’. Interaksi masyarakat dengan hutan telah berlangsung berabad-abad lamanya, yang juga membentuk relasi sosial dan kebudayaan dengan pengetahuan tradisionalnya yang kaya dan sangat penting bahkan sampai saat ini dimana kita menghadapi perubahan iklim secara global. Oleh karena itu pernyataan Jack Westoby di atas, mengingatkan kita bahwa mengurus hutan itu sebenarnya bukan saja mengurus pepohonan atau habitat satwa liar. Tetapi pada dasarnya langsung dengan manusia atau masyarakatnya yang tentu akan lebih rumit daripada sekedar tentang pepohonan.
Laporan FAO tahun 2014 yang berjudul State of the World Forest menunjukkan antara lain bahwa kontribusi utama dari hutan untuk ketahanan pangan dan kesehatan dalam menyediakan kayu bakar untuk memasak dan mensterilkan air. Diperkirakan bahwa 2,4 milyar orang memasak dengan kayu bakar, atau kira-kira 40 persen dari populasi di less developed countries. Sekitar 764 juta dari kelompok ini memasak air dengan kayu bakar. Pemungutan hasil hutan bukan kayu yang bisa dimakan mendukung ketahanan pangan dan menyediakan nutrisi esensial bagi banyak orang. Kayu bakar seringkali sebagai satu-satunya sumber energi di wilayah pendesaan di negara kurang berkembang dan khususnya sangat penting bagi kelompok miskin. Diperkirakan 27 persen dari suplai energi primer di Afrika, 13 persen di Amerika Latin dan Karibia, dan 5 persen di Asia dan Oseania. Namun demikian, kayu bakar juga digunakan secara meningkat di negara-negara maju dengan tujuan untuk mengurangi konsumsi bahan bakar fosil. Misalnya, sekitar 90 juta orang di Eropa dan Amerika Utara sekarang menggunakan kayu bakar sebagai sumber utama mereka untuk pemanasan domestik. Data tersebut menunjukkan bukti bahwa hutan memberikan kontribusi nyata dalam ketahanan pangan dan menjamin keberlangusngan kehidupan masyarakat terutama tentu yang berada di pinggir hutan atau di dalam hutan.