"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

23 April 2009

Penataan Kawasan Konservasi Menuju Pengelolaan Berbasis Resort

Working Paper ini disiapkan oleh Subdit Pemolaan dan Pengembangan, Dir Konservasi Kawasan, Ditjen PHKA.

Pada prinsipnya, kawasan konservasi harus dibagi ke dalam unit-unit pengelolaan yang “manageable” atau doable, di tingkat lapangan. Di Perhutani unit manajemen (hutan tanaman ) ini disebut sebagai resort atau RPH. Luasnya 5.000-10.000 Ha. Pertanyaan riset terbuka lebar untuk kawasan konservasi. Bagaimana kawasan konservasi, ambil contoh suatu taman nasional, dibagi ke dalam seksi wilayah, atau balai pengelolaan wilayah, sampai ke tingkat resort. Luas suatu resort di TN.Gunung Gede Pangrango sekitar 10.000 Ha; Luas resort di TN Gunung Leuser bisa mencapai 50.000-100.000 Ha (5 sd 10 kali lebih besar). Riset belum pernah dilakukan untuk penataan kawasan sampai ke resort ini.

Penataan sampai ke resort ini akan berimplikasi perubahan tugas pokok Polisi Hutan, bukan sekedar melakukan pengamanan/patroli kawasan, tetapi akan muncul tugas-tugas tambahan, berinteraksi dengan masyarakat di desa-desa yang berbatasan dengan kawasan. ILmu-ilmu sosial, antropologi budaya, dan resolusi konflik akan diperlukan dalam memberikan pembekalan kepada Polhut maupun staf fungsional (PEH) di kawasan konservasi. Perubahan revolusioner maupun bertahap akan mendorong organisasi UPT dan Pusat untuk mereposisi perannya menjadi organisasi yang Proaktif dan bukan sekedar organisasi yang Reaktif-menjadi sekedar pemadam kebakaran. Organisasi proaktif akan berusaha mencegah terjadinya sesuatu, bukan sekedar melaksanakan hukum secara parsial dan malahan bisa salah sasaran. Harus dijaga keseimbangan antara kutub ecocentriem dan kutub antrophosentrism dalam pengelolaan kawasan konservasi. Ilmu ekologi manusia juga akan sangat bermanfaat dalam membantu membentuk pola-pola pengelolaan kawasan konservasi yang berwajah humanis, ramah, dan inklusif. Selamat membaca dan mengkritisi diskursus ini.

Wiratno

Tidak ada komentar:

Posting Komentar