Nilai/harga 1 m3 kayu sebesar Rp 5.000.000,00. Benarkah Rp 5.000.000,00? Atau kurang bahkan lebih dari Rp 5.000.000,00. Jadi sebenarnya berapa nilai yang pasti untuk harga 1 m3 kayu? Inilah pertanyaan mendasar berapa sebenarnya yang pantas untuk menghargai kawasan hutan konservasi? Kayu merupakan salah satu produk hasil hutan, selain produk-produk hasil hutan non kayu dan jasa-jasa lingkungan.
Berdasarkan definisi hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU No : 41 Tentang Kehutanan), secara mudah bolehkah orang memberikan nilai kawasan hutan konservasi sebesar Rp 5.000.000,00 dikalikan volume kayu yang dapat diproduksi (m3) di masing-masing kawasan konservasi tersebut? Apakah setiap orang sepakat dengan analog ini?
Apakah si penjual kayu kayu setuju dengan nilai Rp 5.000.000,00? Apakah si pembeli setuju kayu dengan nilai Rp 5.000.000,00? Bisa iya bisa tidak.
Apakah Nilai Ekonomi?
Nilai merupakan suatu hasil penilaian atau pertimbangan moral disertai emosi terhadap objek. Ada juga definisi nilai adalah gambaran mengenai apa yang diinginkan, yang pantas, berharga, dan dapat memengaruhi perilaku sosial dari orang yang menilai. Nilai merupakan penghargaan atas manfaat suatu benda.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa nilai merupakan sesuatu yang bersifat subjektif dipengaruhi oleh diri si penilai berdasarkan pandangan dan persepsi masing-masing dan bergantung pada tempat dan waktu tertentu, sehingga menjadi tidak pasti-pasti amat.
Bisa dikatakan bahwa Rp 5.000.000,00/m3 kayu di atas merupakan suatu nilai yang disetujui (kompromi) sebagai jalan tengah antara si penjual dan si pembeli karena pengaruh kepentingan masing-masing pihak. Nilai yang telah disetujui merupakan harga riil yang berlaku di pasar/ market (traded in the market) dan disebut nilai finansial.
Sedangkan tempat tumbuh pohon dan satuan-satuan ekosistem lainnya di kawasan hutan konservasi yang mempunyai manfaat ekologis apakah tidak mempunyai nilai? Kalau mempunyai nilai, berapa nilainya? Bagaimana cara menilainya?
Tabel 1. Contoh skema penilaian sumber daya kawasan hutan konservasi.
Sumber : Pearce et al (1990); Suparmoko dan Nurrochmat (2005)
Berdasarkan Tabel 1 terlihat hasil yang dapat dikonsumsi langsung telah mempunyai nilai (harga) di pasaran (traded in the market). Kayu, buah-buahan, biji, getah, rotan, bahan pangan, hewan (daging) dan tumbuhan obat telah menjadi komoditi yang dapat diperjualbelikan di pasar. Harga komoditi tersebut dapat diukur melalui pendekatan pasar dan ditetapkan dengan mudah antara pedagang dan pembeli. Dapat dikatakan komoditi tersebut telah mendapatkan nilai finansial.
Nilai-nilai fungsi ekologis, pengendalian banjir, perlindungan terhadap angin, rekreasi, plasma nutfah, ekosistem, suaka margasatwa, habitat, spesies langka, biodiversity, pemandangan dan lain-lain tidak dapat diukur dengan pendekatan pasar, tetapi dengan pendekatan penilaian jasa-jasa lingkungan yang di-proxy dengan berbagai teknik. Teknik-teknik untuk untuk memproxi nilai jasa-jasa lingkungan antara lain dengan shadow prices, pendekatan produksi, pendekatan pengeluaran, beaya perjalanan, contingent valuation, beaya pencegahan dan lain-lain. Nilai ekonomi beberapa Taman Nasional di Indonesia dengan berbagai teknik pendekatan penilaian jasa lingkungan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai Ekonomi Beberapa Taman Nasional di Indonesia
Lokasi | Metode Penilaian | Hasil | Peneliti/ Lembaga | Tahun |
Teluk Bintuni, Irian Jaya | Shadow prices, pendekatan produksi | Nilai ekonomi total dari produksi lokal dalam nilai pasar dan non pasar kurang lebih 5,1 juta dan 9 juta rupiah per tahun per rumah tangga | Jack Ruitenbeek/ EMDI | 1992 |
TN Gn. Gede Pangrango | Watershed modeling – hydrological benefitd | 280 juta rupiah per ha per tahun | Darusman/IPB | 1993 |
TN Gn. Gede Pangrango | Pendekatan pengeluaran | Ada 13 sektor ekonomi yang terkait dengan TN dengan total pengeluaran 471 juta rupiah, pendapatan 80 jt rupiah, dan 155 orang tenaga kerja | Adi Susmianto/ M.Sc. Thesis | 1995 |
TN Bunaken | Pendekatan produksi | Nilai ekonomi perikanan oleh nelayan full time masing-masing 3,8 juta dan 330 ribu dolar per tahun | Sounders/ NRMP/ USAID | 1996 |
TN Bunaken | Biaya perjalanan (Travel cost) | Nilai rekreasi mencapai 9,8 miliar rupiah per tahun | Sounders/ NRMP/ USAID | 1996 |
TN Bunaken | Continget valuation | Nilai preservasi mencapai 9,6 miliar rupiah per tahun | Sounders/ NRMP/ USAID | 1996 |
TN Bukit Baka Bukit Raya | Continget valuation | Nilai preservasi mencapai 10 miliar rupiah per tahun | Sounders/ NRMP/ USAID | 1996 |
Sungai Ciliwung | Continget valuation | Manfaat ekonomi perbaikan kualitas air mencapai 30 juta dolar per tahun | Sounders/ NRMP/ USAID | 1996 |
Kawasan Siberut dan Ruteng | Pendekatan produksi, travel cost and contingent valuation | Willingness to pay (WTP) tarif masuk 23 dolar per pengunjung. Manfaat , konservasi air sebesar 35 dolar per rumah tangga per tahun | Kramer et al/ ADB | 1997 |
Kasus kebakaran hutan | Pendekatan produksi, travel cost and contingent valuation | Kerugian ekonomi mencapai 4,5 miliar dolar | WWF/ EEPSEA | 1998 |
TN Gn. Leuser, Sumut - Aceh | Pendekatan produksi dan pengeluaran | Manfaat air untuk berbagai kebutuhan industri, irigasi dan rumah tangga mencapai 34,3 juta dolar per tahun | Elfian/WWF and Cofor | 1998 |
TN Togean | Pendekatan produksi dan pengeluaran | Dengan diskon 5% selama 25 tahun; diperoleh NPV 5,3 dan 4,1 miliar rupiah pada ekowisata dan kehutanan; serta manfaat ekonomi perikanan tradisional sebesar 6,3 hingga 196 miliar rupiah. | Cannon/NRM2/ USAID | 1999 |
Sumber : Rothberg (1999) dalam Nugroho (2011)
Berdasarkan uraian di atas, nilai ekonomi adalah nilai-nilai yang belum memiliki harga di pasaran (non traded in the market) tetapi dapat didekati (proxi) dengan teknik-teknik tertentu sehingga dapat dikuantifikasi dengan nilai mata uang. Total nilai ekonomi merupakan hasil penjumlahan antara nilai yang traded in the market ditambah dengan nilai non-traded in the market.
Opportunity Cost of Capital (OCC) dari Kawasan Konservasi
Berdasarkan Tabel 2, kawasan konservasi memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Pertanyaan mendasar “mengapa issu pembangunan kawasan konservasi tidak seksi dibandingkan dengan perencanaan pembangunan non-kehutanan. Issu biodiversitas, kelangkaan dan keunikan, endemik merupakan issu-issu yang bernilai jual tinggi bagi kawasan konservasi, tetapi issu pengelolaan kawasan konservasi merupakan kebalikannya.
Dalam pengelolaan kawasan konservasi, maka Opportunity Cost of Capital kawasan konservasi selalu kalah bersaing dengan pengelolaan hutan produksi bahkan pembangunan infrastruktur yang melalui kawasan konservasi. Opportunity Cost of Capital adalah nilai ekonomi yang hilang akibat pemilihan penggunaan modal suatu investasi, ketika memilih investasi yang lainnya. Pada umumnya Opportunity Cost of Capital diukur melalui tingkat IRR (Internal Rate Return) suku bunga pinjaman bank antara 12 – 14%.
Berdasarkan Tabel 3. Pengelolaan kawasan konservasi (Taman nasional) memberikan pemasukan 12,6% dari biaya pengelolaan oleh Dirjen PHKA. Kondisi ini dari segi kelayakan bisnis oleh pihak swasta merupakan hal yang tidak menguntungkan.
Tabel 3. Pendapatan dari Tiket Masuk pada Beberapa Taman nasional dan Biaya Operasional Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
1993/94 | 1994/95 | 1995/96 | 1996/97 | 1997/98 | Total | |
-----------------------------------------Dalam jutaan rupiah ------------------------------------------------ | ||||||
Pendapatan dari tiket masuk taman nasional | ||||||
Gn. Leuser | 15,6 | 39,1 | 43,8 | 26,1 | 37,6 | 162,3 |
Kerinci Seblat | 1,3 | 2,1 | 426,0 | 1,9 | 0,0 | 5,8 |
Ujung Kulon | 15,1 | 11,6 | 9,6 | 14,1 | 14,6 | 65,0 |
Gn. Gede Pangrango | 67,0 | 52,5 | 72,5 | 56,0 | 68,4 | 316,5 |
Baluran | 35,0 | 16,7 | 29,2 | 27,6 | 22,9 | 131,4 |
Bromo Tengger | 0,0 | 327,0 | 246,3 | 339,8 | 348,2 | 1261,2 |
Bali Barat | 67,5 | 66,8 | 67,1 | 82,6 | 70,3 | 354,4 |
Komodo | 68,6 | 55,3 | 68,2 | 74,5 | 400,5 | 667,1 |
Tanjung Puting | 10,6 | 14,6 | 17,9 | 17,2 | 14,9 | 75,2 |
Bukit Barisan Selatan | 0,0 | 0,0 | 0,0 | 0,2 | 0,0 | 0,2 |
Total | 280,8 | 585,8 | 555,1 | 640,0 | 977,3 | 3038,9 |
Anggaran operasional | ||||||
Dephut | 488.508,0 | 655.972,0 | 657.109,0 | 636.590,0 | 564.896,0 | 3.003.075,0 |
Dirjen PHKA | 52.904,0 | 57.682,0 | 62.159,0 | 78.915,0 | 126.888,0 | 378,548,0 |
Prosentase | 10,8 | 8,8 | 9,5 | 12,4 | 22,4 | 12,6 |
Sumber: Nugroho, 2011.
Penerapan otonomi daerah memberikan dampak tekanan yang tinggi terhadap pengelolaan kawasan konservasi. Menimbulkan negoisasi-negoisasi dengan pemerintah daerah setempat terutama pemanfaatan lahan. Tidak jarang menimbulkan konflik kepentingan antara pengelola kawasan konservasi dengan pemerintah daerah setempat dimana secara teritorial kawasan konservasi terletak di daerah setempat. Apalagi kepentingan mengejar PAD (Pendapatan Asli Daerah) oleh pemerintah daerah setempat dan pertimbangan Opportunity Cost of Capital kawasan konservasi yang lebih menguntungkan apabila dapat digunakan sebagai peruntukan lainnya seperti pertanian.
Kawasan TB Dataran Bena ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor : 05/Kpts/Um/1/1978, tanggal 20 Januari 1978, dengan luas 11.000 hektar. Berdasarkan BA Tata Batas Sebagaimana tersebut di atas, Kawasan Hutan TB Dataran Bena Ditetapkan Berdasarkan Surat Keputusan Meteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : 74 /Kpts-II/1996 tanggal 27 Pebruari 1996 tentang Penetapan Kelompok Hutan Bena (RTK.190) yang terletak di Kabupaten Timur Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur , seluas 2.000.64 hektar, sebagai Kawasan Hutan dengan Fungsi Taman Buru. Dalam penataan batas akhirnya disepakati untuk mengganti kawasan konservasi TB Dataran Bena di area lain yang sekarang bernama SM Ale Aisio seluas 5.601,10 hektar dengan topografinya perbukitan berbatu karang.
Topografi TB Dataran Bena relatif datar, dengan kemiringan 0-3 %. Kedalam tanah berkisar antara 30 cm s/d 90 cm (Direktorat Agraria Provinsi NTT, 1978), kondisi ini sangat cocok untuk lahan pertanian dan lokasi seperti ini sangat jarang di temui di Pulau Timor. Sehingga nilai Opportunity Cost of Capital lahan dataran Bena lebih tinggi apabila digunakan sebagai kawasan lahan pertanian.***
Rujukan:
Nugroho, I. 2011. Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 363 hal.
Pearce,D.W. and R.K. Turner. 1990. Economics of Natural Resources and The Environment. Harvester Wheatshef, New York.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar