Pembangunan hutan
dan kehutanan yang beretika adalah upaya-upaya
membangun hutan atau mengelola hutan Indonesia dengan sejauh mungkin
memberikan kemanfaatan secara luas kepada masyarakat umum, dengan tetap
memperhatikan prinsip-prisip kelestarian. Ciri-ciri penerapan etika dalam
pembangunan kehutanan atau dalam pengelolaan hutan untuk sebesar-besarnya
kemaslahatan rakyat, adalah apabila rimbawan dan pelaku-pelaku lainnya
mempertimbangkan sepuluh nilai-nilai atau etika yang penulis ajukan ini. Dalam
setiap langkah dan geraknya untuk mengelola hutan dan mengembangkan berbagai
kebijakan pembangunan kehutanan di tanah air. Kesepuluh etika tersebut diuraikan
dalam ringkasan berikut:
Pertama: Kerisalahan, Kekhalifaan, dan Rahmatan
Adalah modal dasar bagi seluruh
pelaku-pengurus hutan di Indonesia. Seorang rimbawan juga sebagai pembawa
risalah, pendakwah untuk pelestarian lingkungan.
Sebagai
khalifah, ia menjadi seorang pemimpin dalam mendorong pembangunan hutan,
pengelolaan hutan, melestarikan alam ciptaan-Nya. Seorang pemimpin
yang memiliki integritas, satunya kata dengan perbuatan. Sebagai pembawa
rahmat, ia seharusnya bisa mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakatnya.
Program-program pembangunan hutan harus mampu menciptakan lapangan pekerjaan,
memajukan masyarakat, dan memandirikan masyarakat tersebut. Masyarakat memiliki
harga diri ketika menjaga hutan, dan mendapatkan manfaatnya bagi mereka dan
anak cucunya. Bagi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan, di dalam hutan
yang kehidupannya bergantung baik sebagian maupun seluruhnya pada sumberdaya di
dalam hutan itu. Rimbawan adalah seorang manusia dengan Tri Tugas seperti
tersebut di atas. Tugas yang berat namun mulia dan ditunggu-tunggu oleh
masyarakatnya, di pinggir-pinggir hutan.