Frans
Sarong, seorang wartawan senior Harian Kompas, saya kenal pertama ketika awal
penugasan saya di Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BBKSDA) NTT pada
sekitar Maret tahun 2012. Pada saat itu, langsung saya “pamer” kawasan konservasi apa saja yang kita kelola.
Pak Frans sangat surprise ketika saya
tunjukkan foto TWA Menipo. Tak lama setelah itu, kami sudah sepakat untuk ke
lapangan bersama-sama. Taman wisata alam yang terletak di Desa Enoraen, Kecamatan
Amarasi Timur, Kabupaten Kupang, berjarak 119 km dari kota Kupang dimuat di Harian
Kompas tanggal 21 September 2012. Saya takjub dengan judulnya : “Mengamankan
Menipo, Menghormati Leluhur Menifon”.
Kami
yang bekerja di konservasi, seringkali fokus mengurus fauna, seperti rusa
timor, kakatua kecil jambul kuning, dan penyu lekang serta habitatnya di hutan savana
campuran. Pak Frans dengan kepekaan budaya seorang wartawan senior “memotret”
Menipo dari persepktif yang jauh lebih dalam. Ia mampu menggali sejarah Menipo
yang ternyata terkait dengan leluhur terhormat masyarakat Enoraen dan
sekitarnya. Kawasan aslinya bernama Menifon, kata ini berasal dari paduan nama
suami istri, Meni dan Fon. Merekalah yang mengupayakan pelestarian rusa timor
di Menipo. Maka, tradisi pelestarian rusa timor dan habitatnya berakar dari
sejarah dan penghormatan masyarakat kepada leluhurnya. Temuan Pak Frans ini sangat menarik bagi
pengelola kawasan konservasi, apabila ingin mendapatkan dukungan dari
masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi di masa depan.
Bukan “Kertas Putih”
Kawasan
hutan, kawasan konservasi di Indonesia tidak bisa dipandang atau dianggap
sebagai hamparan kertas putih, tanpa persoalan, tanpa klaim, konflik, dan
sebagainya. Kawasan hutan, kawasan konservasi di Indonesia memiliki sejarah
panjang, terutama interaksi masyarakat dengan kawasan tersebut sebagai sumber
penghidupannya, yang juga menjadi bagian dari lahirnya kebudayaan di wilayah
itu. Ketika negara klaim suatu kawasan hutan menjadi hutan negara, sejak saat
itu pula muncul berbagai persoalan dengan masyarakat, khususnya masyarakat yang
telah tinggal di sekitar hutan atau bahkan di dalam hutan dalam tempo yang
panjang, dari generasi ke generasi. Bahkan tidak semua batas kawasan hutan yang
ditetapkan pada zaman penjajahan Belanda, disepakati oleh masyarakat, terutama
masyarakat (hukum) adat. Maka, pengelolaan hutan bukan semata-mata berbekal
ilmu biologi, ilmu ekologi, ilmu zoologi, ilmu taxonomi, dan lain sebagainya.
Kelola hutan memerlukan dukungan ilmu-ilmu sosial, antropologi, arkeologi,
budaya, sejarah dan sebagainya.
Dalam
perspektif inilah, maka buku Pak Frans, berjudul “Serpihan Budaya NTT” menjadi
sangat relevan dan menemukan momentumnya. Sebanyak 43 ficer yang membentang
dari kunjungan lapangan seorang Frans Sarong dari tahun 1990 (yang menghasilkan
ficer tentang “etu” di Boawae, kampung tradisional sebelah timur Ngada dan
perkampungan kebudayaan di Wolotopo, Ende) sampai dengan tahun 2012. Perjalanan spiritualnya
sebagai bukan sekedar seorang wartawan, tetapi menurut saya, Pak Frans lebih
tepat disebut sebagai seorang “budayawan” yang wartawan. Ia bukan hanya
“memotret” masyarakat dan serpihan budayanya, ia juga seringkali merujuknya ke
berbagai teori dan para pakar lalu membiarkan pembacanya membangun persepsi
atas apa yag dituliskannya. Ini yang menarik dari percikan perenungan seorang
Frans Sarong.
Potret
yang dituliskannya dari ke 43 ficer nya, adalah bukti nyata daya tarik NTT
bukan hanya dari sejarah alamnya yang unik. Tetapi juga dari pembentukan
budayanya yang sangat tua dan menarik untuk terus diteliti, agar kita lebih
memahami kosmologi manusia NTT dalam kaitan dan persetuhannya dengan alam, yang
pembentukannya masih dalam perdebatan panjang bagi para pakar geologi.
Di
dalam kawasan konservasi dan daerah penyangganya, bukalah kawasan tanpa
masalah. Wilayah tanpa dinamika. Ia bukanlah sebuah “kertas putih” tak bernoda,
atau bahkan sobek, tergores, kumal dan centang perenang. Sepanjang sejarahnya,
manusia telah berinteraksi dengan hutan dalam berbagai bentuknya. Bahkan
sebelum republik ini lahir, manusia telah hidup dari hutan dan menggantungkan
kehidupannya dari hutan. Kayu untuk rumah, untuk perahu, keperluan kayu bakar,
rotan, buah-buahan, obat-obatan tradisional. Di banyak tempat, hutan adalah
bagian dari tempat dan siklus perladangan berpindah. Di Mentawai, misalnya, hutan
juga sumber pangan, terutama ia menyediakan sagu; sumber protein dari hasil
perburuan tradisional, dan lain sebagainya. Bahkan hutan dipandang oleh
sebagian besar masyarakat nusantara
yang tinggal di dalam dan di sekitarnya bukan sekedar wilayah untuk pemenuhan
hajad hidupnya. Ia juga dipandang sebagai wilayah sakral.
Budaya
mereka dibentuk atas interaksinya dengan hutan. Tempat asal mula nenek moyang
mereka hidup dan mempertahankan kehidupan dan keturunannya beratus tahun. Dalam
perkembangannya, dan
dalam persentuhannya dengan kehidupan modern, semakin terbukanya akses,
komunikasi, transportasi, perpindahan
penduduk, tumbuhnya kota-kota baru, telah mempengaruhi pola-pola kehidupan,
orientasi hidup, dan interaksi
masyarakat dengan hutannya. Nilai-nilai adat dan budaya di banyak tempat, mulai
terkikis, pelan tapi pasti, menuju situasi dimana adat dan budaya hampir
kehilangan ruhnya. Penghormatan terhadap nilai-nilai itu semakin luntur seiring
dengan meningkatnya kebutuhan hidup dan tuntutan hidup yang disebut sebagai
“modern”.
Perkembangan
di atas di banyak tempat, diperparah dengan semakin meningkatnya konflik antara
pengelola kawasan konservasi dengan masyarakat di sekitarnya atau yang tinggal
di enclave dalam kawasan tersebut. Dalam
kasus di TWA Ruteng. Dilema dan konflik itu nyata. Puncaknya adalah peristiwa “Rabu
Berdarah” tanggal 11 Maret 2004.
Konstruksi Pengetahuan tentang “Hutan”.
Prof
San Afri Awang, dalam pengukuhannya sebagai Guru Besar Perhutanan Sosial (Social Forestry), UGM, ternyata sejalan dengan pandangan bahwa hutan
bukan “kertas putih”. Hutan bukan sekedar kumpulan flora dan fauna. Ontologi
(hakekat ilmu hutan/kehutanan) atau OH konvensional sebagai fungsi flora, fauna
dan ekosistem atau OH = f (flora, fauna, ekosistem). Ontologi pengetahuan
kehutanan ini dibentuk dan dikonstruksikan oleh asupan substansi yang terkait
dengan flora, fauna, dan ekosistemnya saja. Selanjutnya dinyatakan bahwa
pengertian hutan (forest) sebagai satu ekosistem yang ditandai oleh tutupan
pohon padat atau kurang padat dan menempati areal yang luas, sering terdiri
dari tegakan yang variatif di dalam karakternya seperti komposisi jenis,
struktur, kelas umur, dan secara bersama-sama berasosiasi dengan padang rumput,
sungai, ikan, dan hewan-hewan liar (Helms, 1998 dalam Awang (2013).
Pengertian
seperti itu juga dikembangkan di perguruan tinggi kehutanan di Indonesia, dan
menghasilkan lulusan yang bekerja di instansi pemerintah. Akibat dari ontologi tersebut, maka
epistemologi (proses pembentukan pengetahuannya) dan metodologi yang terbangun
memposisikan manusia (masyarakat) berada di luar konstruksi pengetahuan/ilmu
pengetahuan kehutanan dan kebijakan kehutanan. Semua ini menghasilkan model
pembanguann dan tindakan manajemen hutan dalam semua fungsinya yang tidak pro
rakyat dan tidak pro-poor. Prof San
Afri Awang mengajukan konsep Eco-Friendly
Forest Management (EFFM). EFFM
adalah pengetahuan hutan yang menjadi alternatif, yang didasarkan pada
perubahan ontologi baru hutannya menjadi OH = (flora, fauna, manusia, ekologi).
Ontologi hutan seperti ini sangat realistik dan dapat lebih diterima oleh
pengetahuan lokal masyarakat Indonesia. Konstruksi pembangunan hutan seperti
ini secara pasti dapat menjamin eksistensi manusia, rakyat, dan masyarakat yang
bergantung pada sumberdaya hutan yang
didasarkan atas pengetahuan ekologi bersahabat antar subsistemnya, sebagai
proses kebudayaan masyarakat. Prinsip-prinsip bio etik, bio ekonomi, dan bio
ekosistem, merupakan sumber pengetahuan sosial yang layak dan wajib diadopsi
oleh pemerintah/Kementerian Kehutanan
dan institusi pendidikan yang menyelenggarakan pembangunan hutan dan
pengembangan ilmu kehutanan (Awang, 2013). Aliran pemikiran Prof San Afri Awang
ini sebenarnya sama dengan pemikiran dan konsep Arne Naess tentang Deep Ecology atau “Ekologi Dalam”.
Pandangan baru tentang ekologi yang digagas oleh Arne Naess, yaitu
Deep Ecology atau “Ekologi Dalam”,
yang berseberangan dengan pandangan Swallow
Ecology atau Ekologi Dangkal. Ekologi Dangkal bersifat antroposentris, atau
berpusat pada manusia. Memandang manusia berada di atas atau di luar alam,
sebagai sumber nilai, dan alam dianggap bersifat instrumental atau hanya
memiliki nilai “guna”. Ekologi Dalam tidak memisahkan manusia atau apapun dari
lingkungan alamiah. Benar-benar melihat
melihat dunia bukan sebagai obyek-obyek yang terpisah tetapi sebagai suatu
jaringan fenomena yang saling berhubungan dan saling tergantung satu sama lain
secara fundamental. Sedangkan ekologi sosial membahas tentang ciri-ciri
kultural dan pola-pola organisasi sosial yang telah mengakibatkan krisis
ekologi dewasa ini (Capra, 2001).
Nilai Budaya Manggarai
Dalam
kerja konservasi, mengelola kawasan konservasi, seringkali kita melupakan satu aspek kunci, yaitu soal
nilai-nilai budaya yang masih hidup dan dijadikan falsafah hidup dan laku oleh
masyarakat tertentu. Di Manggarai, dikenal dwitunggal “gendang’n on’e lingko pe’ang”. Pandangan hidup yang artinya Eka
dalam Aneka. Menurut Ande Agas, wakil Bupati Manggarai Timur (2012), dwitunggal tersebut mengandung lima hal
pokok. Pertama, “morin”, yaitu pengakuan atas keberadaan sesuatu yang
transenden sebagai “Mori Kraeng” atau
Tuhan yang menguasai kehidupan di alam natural dan supranatural. Kedua, “atan” yaitu kemanusiaan yang adil dan
beradab serta berkehendak bebas atas pengendalian “bongko agu lodok”. Tiang pancang utama di dalam rumah gendang dan lodok merupakan tiang
pancang utama di pusat kebun komunal. Ketiga, “canait’, atau persatuan, yaitu kebersamaan sebagai perwujudan saling
menjadi sesama dalam kesatuan hidup setempat yang disebut “beo”, komunitas kampung sebagai “pa’ang olo ngaung musi”. Keempat, “nempung”, yaitu kebebasan berkumpul dan berpendapat untuk
mengedepankan kepentingan bersama. Prinsipnya “bantang cama reje lele”. Kelima, “sormoso” yaitu pandangan hidup yang menunjang keadilan sosial bagi
siapa saja yang sanggup mengedepankan etos : ”duat gula we’e mane”.
Kelima konsep budaya ini sebenarnya adalah Pancasila.
“Lonto
Leok” atau duduk bersama, bermusyawarah,
membicarakan berbagai persoalan kehidupan masyarakat, adalah konsep
keempat dari “gendang’n on’e lingko
pe’ang”. Mengambil tempat di di
rumah Gendang. Rumah Adat yang memiliki nilai spiritual dan nilai sejarah, yang
menghubungkan kita yang masih hidup saat ini dengan para roh nenek moyang.
Persoalan bersama tersebut antara lain tentang lingkungan hidup, hutan, kebun,
dan lain sebagainya.
Peran Budaya dalam Menjaga Hutan
Selain
kisah tentang Meni dan Fon, leluhur terhormat masyarakat
Enoraen, di dekat TWA Menipo,
sebagaimana diungkapkan pada awal tulisan ini, Frans Sarong dalam ficernya
tertanggal 24/11/2012, halaman 51,
mengungkapkan tentang ritual “Paonasi”. Kata Pao berarti larangan dan nasi berarti hutan. Terjemahannya secara
bebas adalah larangan menyerobot atau merambah kawasan hutan. Ritual ini
dilakukan oleh warga desa Tutem dan sekitarnya di Kecamatan Tobu. Tujuannya
untuk menyelamatkan kawasan hutan, yaitu Cagar Alam Mutis. Kelestarian hutan di
Mutis ini terkait dengan hasil madu hutan yang dipanen secara turun temurun dan
menghasilkan nilai ekonomi yang cukup berarti bagi masyarakat. Ritual lain
adlaah tut fatu atau meniti batu.
Merupakan sumpah adat masyarakat untuk mematuhi larangan melakukan berbagai
kegiatan yang berpotensi merusak kawasan hutan.
Beberapa
contoh di atas, sebagai hasil perjalanan jurnalisme seorang Frans Sarong telah
membuktikan kepada kita bahwa nilai-nilai adat dan budaya masyarakat di NTT compatible atau seiring sejalan dengan
upaya-upaya pemerintah dalam rangka menjaga hutan untuk kepentingan masyarakat
itu sendiri. Menggali nilai-nilai itu menjadi faktor kunci untuk lebih memahami
sejarah dan terutama pandangan masyarakat tentang pelestarian lingkungan atau
hutan. Maka, konsep menjaga hutan harus dirubah dari pendekatan polisional,
pendekatan represif, menuju pola-pola persuasif dengan melibatkan berbagai
komponen masyarakat itu sendiri. Membangun kesadaran bersama bahwa hutan
dikelola untuk kepentingan bersama dan khususnya bagi masyarakat yang tinggal
secara turun temurun di dalam atau di sekitar kawasan hutan tersebut.
Pola
pendekatan inilah yang kami terapkan di TWA Ruteng sejak Mei 2012 sampai dengan
saat ini, dengan mengusung konsep kelola TWA Ruteng melalui Tiga Pilar. Ketiga
pilar tersebut adalah unsur pemerintah (KSDA, Pemkab, Pemkec, dan Pemdes),
unsur masyarakat (hukum) adat, dan unsur lembaga agama (gereja). Musyawarah
Besar yang melibatkan ketiga pilar tersebut telah dilaksanakan di Kisol, Borong
pada tanggal 28-29 Mei 2013 untuk wilayah Kabupaten Manggarai Timur, dan di
Ruteng pada tanggal 18-19 Juni 2013 untuk wilayah Kabupaten Manggarai.
Laporan hasil Musyawarah Besar tersebut
dapat dibaca dalam artikel yang penulis siapkan secara terpisah, dengan judul :
Lonto Leok sebagai Modal Sosial. Dan sebagian kisahnya telah dimuat di Harian
Kompas, tanggal 26 Juli 2013 9(halaman 49) dalam rubrik SOROTAN, dengan judul :
Pengelolaan TWA Ruteng Menunggu Mubes Tiga Pilar.
Renungan
Kerja
jurnalisme Frans Sarong yang akhirnya dibukukan ini sebenarnya sangat penting
dan strategis. Secara umum, temuannya terkait dengan nilai-nilai budaya di satu sisi dan dalam hubungannya dengan
upaya pelestarian hutan, flora, fauna di sisi yang lain telah menunjukkan
kepada kita tentang pentingnya aspek “manusia” dalam menyelamatkan lingkungan.
Frans Sarong mampu menjawab dan emnguraikannya dengan sederhana dan lugas bahwa
Teori “Deep Ecology” dimana “manusia”
adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan atau terpisahkan dari alam, memang
benar adanya. Frans Satong juga mampu menjawab Ontologi Hutan yang baru yang
diajukan oleh Prof San Afri Awang dalam Pidato Pengukuhan Guru Besarnya di
Bidang Sosial Forestry. Dalam
Ontologi Hutan yang baru tersebut, manusia adalah unsur yang masuk di dalamnya,
yang dinyatakan dalam rumus, OH = (flora, fauna, manusia, ekologi).
Definisi
tentang hutan ini cocok dengan situasi dan nilai historis hutan di tanah air. Maka,
“memanusiakan manusia” yang hidupnya tergantung dari sumberdaya hutan adalah
suatu keharusan. Pendekatan sosial budaya akhirnya menjadi pilihan yang tidak
boleh dilupakan. BBKSDA NTT melakukan uji coba pola ini dalam menyelesaikan
berbagai persoalan di TWA Ruteng. Juga bagaimana mengembangkan potensi-potensi
di dalamnya, untuk kesejahteraan masyarakat Manggarai Raya, dan bagi
pengembangan ilmu pengetahuan secara luas. Ilmu tentang kelola kawasan
konservasi yang lebih manusiawi dan “bercitarasa” Indonesia, bukan sekedar
meng-copy ilmu-ilmu dan teori dari
Barat. Apabila ujicoba ini berhasil, maka kita bisa dengan lantang menyerukan :
“Dari NTT untuk Indonesia”.***
Daftar Referensi
Awang.,
S.A., 2013. Deforestasi dan Konstruksi
Pengetahuan Pembanguan Hutan Berbasis Masyarakat. Artikel Utama. Jurnal Rimba
Indonesia Volume 51, Mei 2013.
Capra,
F., 2001. “Jaring-jaring
Kehidupan” Visi Baru Epistemologi dan Kehidupan.
Sarong.
F., 2013. Serpihan Budaya NTT (Kumpulan Ficer di Harian Kompas). Tony Kleden
dan Maersel Robot (Editor). Penerbit Ledalero. Cetakan I-Mei 2013.
Eman.,
J.E & R.Mirse. (Ed)., 2004. Gugat Darah Petani Kopi Manggarai. Penerbit
Ledalero. Cetakan I 2004.