Pengelolaan
“Bentang Alam” menjadi wacana yang semakin mendapatkan respon menarik beragam. Mungkinkah birokrasi
pemerintah mampu melakukan model pengelolaan
lintas batas-multistakeholder?
Pada umumnya pemerintah bekerja berdasarkan sistem penganggaran yang sektoral.
Di Kementerian LHK, masing-masing Eselon 1 telah merencanakan kegiatan
tahunannya sesuai dengan tugas dan fungsinya, yang kemungkinan besar tidak
(sempat) secara intensif saling dikomunikasikan. Direktur Kawasan
Konservasi -
Ditjen KSDAE
di satu sisi, yang mengelola kawasan konservasi dan Ditjen PSKL, dimana
terdapat Direktorat Penyiapan Kawasan
Perhutanan Sosial (PKPS), yang mendapatkan tugas memberikan akses kelola hutan
lindung dan hutan produksi untuk masyarakat setempat, bisa bekerja sendiri dan
terpisah. Sementara kondisi di lapangan, sangat dimungkinkan dan menuntut
kerja-kerja terpadu dan saling bersinergi. Berbagai persoalan yang dihadapi
pengelola kawasan konservasi dapat dibantu dicarikan solusinya dengan penerapan
perhutanan sosial di daerah penyangganya.
Pendekatan
keterpaduan ini juga dapat diperkuat dengan kehadiran para mitra yang bekerja
di tingkat lokal, baik swasta, LSM, dan yang tidak kalah pentingnya adalah
pemerintah daerah dan masyarakat yang tinggal di desa-desa sekitar kawasan
konservasi, dan bahkan di dalam kawasan hutan negara. Para mitra itu dapat
berupa individu, para local champion,
penggerak lingkungan, perkumpulan di kampung dan desa-desa, tokoh adat, tokoh
informal, maupun lembaga-lembaga keagamaan dan lembaga informal lainnya. Semua
pemain lokal sangat penting dan merupakan stakeholders
kunci dalam kerja-kerja kolaboratif berskala bentang alam.
Salah
satu kunci keberhasilan awal dari inisiatif kerja multipihak ini adalah adanya
pihak yang menjadi “motor penggerak” yang mampu mendorong para pihak lainnya
untuk “duduk bersama”, membangun komunikasi lintas batas. Mereka ini disebut
sebagai local champion. Bisa berasal
dari kalangan pemerintah (birokrasi), LSM, masyarakat, dan pihak lainnya.