Prolog
Tanpa sikap “Keberpihakan”,
sulit kita bisa membayangkan terjadinya “change”.
Suatu perubahan nyata dan bukan hanya wacana. Perubahan dalam cara berfikir,
cara bertindak, dan cara kita bersikap dalam mengurus, mengelola sumberdaya
hutan di Indonesia. Tanpa kerja nyata “Kepeloporan” untuk menjadi yang
terdepan berani melakukan berbagai inisiatif, inovasi, ujicoba,
“trial and error” di lapangan, di tingkat tapak, kita akan terjebak dalam
pusaran wacana, atau terbatas hanya pada ranah kebijakan, rencana, regulasi, kegenitan
intelektual-keilmuan atau hanya mampu memproduksi kebijakan-kebijakan yang
tidak membumi, yang “tasteless”.
Kebijakan yang menjadi “macan kertas” belaka yang jauh dari apa yang menjadi
harapan masyarakat di lapangan. Tanpa “Kepemimpinan”,
perahu kebijakan berputar tanpa arah yang jelas dan tidak kemana-mana, karena
tidak jelas mau kemana perahu akan dibawa oleh seorang nakhoda.
Perhutanan Sosial = “Bayar Hutang”
Kebijakan satu-satunya sejak 71 tahun Indonesia merdeka, yaitu dialokasikannya
ruang kelola masyarakat seluas 12,7 juta hektar atau 10% dari luas kawasan
hutan negara, hanya akan menjadi “macan kertas” apabila semua pihak tidak
memiliki sikap atau spirit “5K” tersebut.
Betapa besar skala program PS ini, hampir seluas negara Inggris di Eropa
(luas Inggris: 13,04 juta hektar), atau sepertiga luas Malaysia (luas Malaysia:
33,08 juta hektar), atau lima kali lipat luas negara Singapura (luas Singapura:
0,719 juta hektar). Dengan kemampuan Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, merujuk pengalaman 2010-2014 dan berlanjut pada 2015 - Juli 2016,
yang hanya mampu menyerahkan hak kelola kepada masyarakat desa pinggir hutan
negara seluas 200.000-300.000 hektar, maka target 12,7 juta hektar tersebut
atau rata-rata 2,5 juta hektar per tahun pada periode 2015-2019 sudah pasti
tidak akan tercapai. Target yang sepuluh kali lipat lebih besar daripada
kemampuan pemerintah, dengan struktur kelembagaan, regulasi, dana, dan kekuatan
jaringan kerja multipihak yang telah dimiliki saat ini.
Namun demikian, masuknya angka “sakti” 12,7 juta hektar dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019, sebagai alokasi wilayah kelola
masyarakat untuk masyarakat menjadi minimal pernyataan politik. Politik Ruang
Kelola, yang sudah dideklarasikan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo, yang
sangat penting dan mungkin akan dicatat dalam sejarah kelola hutan di tanah
air. Semoga akan terus dilanjutkan pasca 2019, apabila target tersebut tidak
tercapai pada akhir tahun 2019.
Pelaksanaan program Perhutanan Sosial (PS) ini seolah-olah kebijakan “bayar
hutang”. Kepada siapa? Kepada masyarakat desa-desa pinggir kawasan hutan negara
atau bahkan di dalam kawasan hutan negara, yang jumlahnya 25.800 desa dari
72.000 desa di seluruh tanah air saat ini atau 35,8%. Hasil identifikasi
sementara, luas pencadangan 12,7 juta hektar tersebut diidentifikasi akan
meliputi 9.800 desa atau hanya 37,9% dari total desa-desa di pinggir/di dalam
kawasan hutan negara. Hasil cek pada citra resolusi tinggi, dari 12,7 juta
hektar tersebut yang masih berhutan alam hanya 10 %. Sedangkan yang berhutan
sekunder 28%. Pertanian lahan kering (di Sumatera sudah dapat dipastikan
didominasi oleh sawit illegal) lebih dari 11%. Artinya alokasi ruang kelola
untuk masyarakat ini memang tinggal ruang yang tersisa saja. Boleh dikatakan,
program ini hampir saja terlambat dimulai. Secara nasional memang baru dimulai
tahun 2010, dengan target 2,5 juta hektar.
Apabila program ini dimulai setelah Kongres Kehutanan Sedunia ke VIII di
Jakarta pada tahun 1978, maka keterlambatan itu telah mencapai 32 tahun. Kita
faham apa artinya rentang waktu 32 tahun tersebut dikaitkan dengan
perubahan-perubahan tutupan hutan.
Banyak sekali sinisme tentang keberhasilan program ini. “Benarkah masyarakat
mampu mengurus hutan secara lestari? Apakah pemberian akses kelola yang sampai
35 tahun itu mampu meningkatkan pendapatan masyarakat penerima izin/hak?
Bagaimana memastikan bahwa yang menerima izin/hak adalah mereka yang memang
berhak mendapatkannya (kelompok masyarakat yang sebagian besar hidupnya
tergantung pada hutan, kelompok masyarakat yang hanya memiliki lahan sangat
sempit atau bahkan tidak memiliki lahan garapan sama sekali)?
Nilai strategis yang pertama dan utama dari program PS adalah “sikap
politik” pemerintah yang memandang masyarakat desa pinggir hutan sebagai bagian
dari unsur utama atau subyek dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Mereka harus
“diwongke” (bahasa Jawa: dimanusiakan). Diposisikan sebagai salah satu subyek
dalam pembangunan hutan dan kehutanan di Indonesia. Sikap politik pemerintah ini sebenarnya
merupakan akumulasi dari perjuangan tokoh-tokoh PS Indonesia sejak periode 1980
yang salah satu pelopornya adalah Alm. Prof Hasanu Simon Ketua FKKM pertama, Prof
San Afri Awang, dan terus diperjuangkan oleh banyak tokoh pemikir, pejuang,
praktisi, yang memiliki sikap “5K” tersebut di atas. Tanpa kelima sikap tersebut rasanya sulit program
PS ini akan berhasil, walaupun telah didukung oleh struktur kelembagaan di Kementerian
LHK setingkat Eselon I dengan nama Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan
Lingkungan. Namun demikian hanya didukung oleh Unit pelaksana Teknis (UPT)
Balai PSKL yang berskala regional di Sumatera, Kalimantan, Bali-Jawa Nusa
Tenggara, Sulawesi dan Maluku-Papua.
Kita sedang membayar “hutang” kepada masyarakat desa hutan yang selama tiga
dekade ini seolah dipandang sebelah mata. Mereka seringkali memiliki stigma
“ilegal” karena menggarap kawasan hutan negara tanpa izin. Seringkali mereka
berhadapan dengan aparat penegak hukum. Konflik horizontal pun seringkali tidak
dapat dielakkan. Jumlah dan skala konflik tenurial menjadi semakin besar dan
kompleks. Hal ini juga dihadapi oleh masyarakat hukum adat di banyak tempat di
seluruh tanah air.
Di berbagai kesempatan, kelompok masyarakat yang telah menerima izin Hutan
Kemasyarakatan atau Hak Pengelolaan Hutan Desa, menyatakan kegembiraannya.
Mereka merasa dihargai oleh pemerintah. Merasa “diwongke”, dianggap bagian dari unsur masyarakat yang
diperbolehkan secara legal mengelola sebagian kawasan hutan negara, yang selama
ini tabu dan dianggap daerah terlarang.
Mungkin situasi psikologis seperti inilah yang terutama harus menjadi
perhatian atau tolok ukur keberhasilan PS oleh para pemikir, akademisi,
penggerak, pelopor, dan pengkritik program perhutanan sosial. Kita tidak boleh
melupakan sejarah bahwa hampir 90% izin kelola kawasan hutan di tanah air jatuh
pada kelompok menengah ke atas. Ini bagian dari sejarah pengelolaan hutan
Indonesia yang saat ini sedang dikoreksi melalui program PS. Dalam perspektif
inilah, PS dapat dikatakan sebagai politik “bayar hutang” kepada masyarakat
desa hutan di seluruh Tanah Air. Ada ruang kelola untuk masyarakat yang
disediakan secara sah oleh negara. Ini merupakan langkah strategis dan menorehkan
sejarah baru, Berbagai sinisme pasca pemberian izin harus dijawab dengan
kerja-kerja nyata di lapangan.
Dari Kesadaran Kolektif menuju Aksi Kolektif
Walaupun masuk ke dalam RPJMN, perhutanan sosial sebenarnya tidak
diberlakukan hanya sebagai program pemerintah.
Penggodokan program ini sebenarnya telah dilakukan di “Rumah Transisi”
yang melibatkan banyak pihak, termasuk CSO, akademisi, praktisi dan pemerintah.
Oleh karena itu, PS seharusnya bisa menjadi suatu program yang dibangun atas
kesadaran kolektif para pihak tersebut (collective
awareness). Dari munculnya kesadaran kritis secara kolektif tersebut, maka
pelaksanaan program PS ini tentunya harus dikawal secara bersama dan secara
bertahap menjadi aksi bersama secara kolektif (collective action).
Gotong royong dan bahu membahu antara pemerintah, CSO, dan bahkan pihak
swasta. Untuk mampu mentransformasikan dari kesadaran kolektif menuju aktif
nyata secara kolektif, diperlukan sikap mental “5K”, Keberpihakan, Kepeloporan,
Kepedulian, Kepemimpinan yang istiqomah, yang Konsisten. Memperkuat dan
mendampingi kelompok pinggiran, terpinggirkan, dan dipinggirkan, dengan variasi sosial ekonomi dan budaya yang
beragam terpecar di berbagai daerah terpencil, bukanlah pekerjaan yang mudah.
Diperlukan suatu proses panjang. Maka, konsistensi merupakan syarat penting.
Konsistensi dalam mengawal proses perubahan atau transformasi dari
ketidakberdayaan ke situasi kesadaran akan ketidakberdayaannya dan mulai
bangkit bersama, mengembalikan kepercayaan dirinya. People center development yang sudah dicetuskan oleh Soedjatmoko (Alhm) dan Arief Budiman di awal
dekade 1980 tetap dan semakin sangat
relevan saat ini.
Kisah kebangkitan masyarakat Kampung Merabu di Berau, Kalimantan Timur,
yang mendapatkan hak kelola Hutan Desa seluas 8.000 Ha di kawasan ekosistem
karst bagian dari Karst Sangkulirang-Mangkulihat; kisah ribuan petani di Hutan
Lindung Lampung yang telah mendapatkan
izin hutan kemasyarakatan seluas 110.000 Ha dari 300.000 Ha hutan lindung, yang
saat ini telah dengan tenang bekerja mengelola kopi hutannya; ribuan hektar
kawasan hutan lindung di Sumatera Barat yang saat ini dikelola sebagai Hutan
Nagari.
Kultur (Baru) Kerja Multipihak
Aksi kolektif bukan saja perlu dilakukan di jajaran pemeirntah, tetapi
justru yang perlu dikembangkan adalah aksi kolektif multipihak. Kerjasama
pemerintah dengan LSM, swasta, perguruan tinggi, aktivis lingkungan, praksisi
perhutanan sosial menjadi sangat penting. Namun hal ini tentu tidak mudah.
Kerja-kerja multipihak merupakan kultur baru, walaupun cikal bakalnya sudah
cukup lama diinisiasi oleh banyak figur, baik di birokrasi maupun di luar
lingkungan masyarakat sipil. Berbagai
kelompok kerja multipihak telah tumbuh subur dan menginspirasi tumbuhnya
kelompok-kelompok sejenis di berbagai provinsi. Pokja Community Based Forest Management (CBFM) di Sumatera Barat tumbuh
dengan cepat dalam waktu dua tahun terakhir ini. Pokja Hutan Kemasyarakatan di
Provinsi Lampung merupakan Pokja yang pertama dan yang semakin mengakar mulai
dari provinsi ke banyak kabupaten. Menyusul di kemudian hari Pokja Perhutanan
Sosial di Sulawesi Tengah, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur,
NTT, dan akan masih terus bermunculan ke depan adalah Aceh, Sumatera Selatan,
Jambi, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan
seterusnya. Bahkan Pokja di Lampung dan
Sumatera Barat telah diinisiasi oleh kekuatan collective awareness di daerah, jauh sebelum Jakarta mendorong
kebijakan kelahiran Pokja Percepatan Perhutanan Sosial pada awal 2015. Pokja di kedua provinsi ini telah berjalan
efektif.
Kultur kerja multipihak di Pokja Lampung dan Sumatera Barat merupakan bukti
keberhasilan memecah “kebekuan” komunikasi,
koordinasi, dan kerjasama pemerintah-civil
society. Di dalam Pokja terjadi komunikasi yang cair dan saling memberikan data informasi. Yang lebih penting dari proses di dalam Pokja
adalah tumbuh suburnya kesalingpahaman tentang banyak hal termasuk
berkembangnya model “pertemanan” baru dari banyak figur pemerintah-civil society, termasuk di dalamnya
tokoh/penggerak/aktivis LSM, dosen perguruan tinggi, pihak swasta, asosiasi. Kultur baru hubungan pemerintah-civil society dimulai dari program
Perhutanan Sosial. Hubungan yang bukan saling berhadap-hadapan atau saling
menyerang tetapi sudah mulai dibangun komunikasi dan kerjasama.
Keberhasilan Kolektif
Perhutanan Sosial adalah kerja kolektif. Kolektif antar sektor pembangunan
di tingkat pusat. Kerja kolektif antar SKPD di provinsi, kabupaten, kecamatan,
desa. Oleh karena itu, keberhasilannya juga merupakan keberhasilan kolektif.
Keberhasilan bersama. Situasi inilah yang disebut sebagai “sinergi”. Situasi
“menang-menang” atau “everybody happy”. Tidak ada salah satu
lembaga yang bisa mengklaim sebagai pihak yang paling berjasa dalam
pengembangan suatu kerja Perhutanan Sosial. Tantangan kerja lintas kelembagaan
inilah yang paling dirasakan sebagai yang paling berat. Dengan basis atau titik
temu “desa pinggir hutan”, sebagai
program nasional, semoga kerja-kerja lintas kementerian, lintas program, lintas
disiplin keilmuan, dan lintas pendanaan dapat mulai diwujudkan di bumi
Indonesia. Keberhasilan awal telah mulai ditunai :
- · Hutan Kemasyarakatan Kulonprogo, yang lebih dikenal dengan icon Wisata Alam Kalibiru, telah menghasilkan pendapatan bersih Rp 100-200 juta/bulan dengan jumlah kunjungan 25.000 orang per tahun. Geliat semangat masyarakat Kampung Merabu, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur yang mengelola Hutan Desa di kawasan Karst Sangkulirang-Mangkulihat, potensi Hutan-hutan Nagari di Sumatera Barat di kawasan Hutan Tropis Pegunungan yang menghasilkan air melimpah untuk irigasi persawahan, air konsumsi, dan puluhan potensi wisata alam serta hasil hutan bukan kayu .
- · Berdasarkan penelitian LIPI pada Hkm di Kabupaten Lampung Barat tahun 2009, membuktikan bahwa HKm mampu mengurangi tingkat kemiskinan rumah tangga petani antara 10%-90%, antara lain tergantung dari teknik agroforestry yang diterapkan oleh kelompok petani, kelembagaan HKm di setiap lokasi. Disarankan agar model Perhutanan Sosial dalam mengurangi kemiskinan dilakukan melalui sinergi dengan kebijakan nasional penanggulangan kemiskinan. Kopi menyumbangkan 44% dari total pendapatan rumah tangga (Aji, G.B. dkk, 2014).
- · Di lokasi HKm Sesaot, rata-rata sumbangan dari pengelolaan lahan HKm untuk rumah tangga berkisar antara Rp 500.000 - 1,5 juta per bulan. Petani HKm di Aik Berik berkisar antara Rp 0,5 – 1 juta per bulan. Sedangkan untuk petani HKm Santong berkisar antara Rp 1,5 – 3 juta perbulan. Pendapatan utama petani HKm Santong bersumber dari panen kakao, kopi dan pisang. Dari hasil survai di tiga lokasi studi terlihat bahwa sistem penanaman dengan beragam jenis karakteristik tanaman ternyata mampu mendukung dan menciptakan kondisi lingkungan yang baik bagi pertumbuhan tanaman lainnya. Salah satu keberhasilan kelompok tani HKm Sesaot, Santong dan Aik Berik dalam mempertahankan fungsi kawasan adalah dengan tetap menjaga kerapatan tanaman, dengan jumlah diatas 900 pohon tiap ha. Hasil-hasil penelitian sebelumnya (Markum et al., 2012; SCFBWM, 2011), juga menunjukkan bahwa limpasan permukaan pada berbagai pola agroforestri di Sesaot menunjukkan limpasan permukaan yang kecil yaitu di bawah 5 %.
- · Berdasarkan penelitian hutan rakyat di Wonogiri, Gunung Kidul, Kebumen, Lumajang, Konawe Selatan, telah bersertifikat ekolabel. Hal ini membuktikan bahwa hutan rakyat dikelola secara lestari. Pengetahuan dan pengalaman masyarakat tersebut dapat menjadi landasan dalam pengembangan kapasitas amsyarakat desa hutan dalam pengelolaan hutan lestari dalam situasi sosial, ekonomi, dan politik yang dinamis. Peran pemerintah sebagai pendukung, fasilitator sangat penting dalam pengelolaan hutan oleh masyarakat desa, daripada melakukan tindakan-tindakan dominasi. Pemerintah-Dinas Kehutanan Provinsi, Kabupaten, penyuluh kehutanan lapangan, harus siap melayani dan memfasilitasi masyarakat (Suharjito, 2014).
Epilog
Perhutanan Sosial adalah kebijakan nasional
sebagai upaya menguji haluan baru model pengelolan hutan di Indonesia.
Yang menempatkan masyarakat pinggir hutan sebagai salah satu pelaku utama. Berbagai
contoh keberhasilan tersebut di atas mulai memberikan kita harapan dan
sekaligus keyakinan. Inilah jalan yang benar. Menempatkan masyarakat desa
pinggir hutan sebagai subyek kelola hutan.
Pengelolaan oleh masyarakat (hukum) adat, seperti yang telah ditunjukkan
oleh MHA Ammatoa Kajang, membuktikan kepada kita bahwa masih ada kelompok
masyarakat yang mempertahankan hutannya dalam perspektif yang bukan hanya
sekedar nilai sosial, budaya, dan ekonominya saja, tetapi lebih dalam dari
aspek-aspek tersebut. Masyarakat Adat Kajang memiliki sikap hutan adat sebagai
warisan yang harus dijaga sebagaimana adanya. Tidak boleh ada gangguan sehingga
hutan tetap utuh. Walaupun hanya 313 hektar luasnya, hutan mereka terbukti utuh
dan dapat memberikan penghidupan secara tidak langsung bagi masyarakatnya.
Hutan membentuk struktur dan relasi sosial masyarakatnya. Kebijakan perhutana
sosial juga menjangkau kelompok-kelompok masyarakat seperti Ammatoa Kajang ini,
yang ada tersebar di seluruh tanah air. Sekarang atau tidak sama sekali.***
Bahan Rujukan:
Awang., S.A., 2013. Deforestasi dan Konstruksi Pengetahuan Pembanguan
Hutan Berbasis Masyarakat. Artikel Utama. Jurnal Rimba Indonesia Volume 51, Mei
2013.
Aji,
Gutomo Bayu., 2014. The Policy Paper. Poverty Reduction in Villages around the
Forest. The Development of Social Forestry Model and Poverty Reduction Policies
in Indonesia. Research Center of
Population. Indonesian Institute of Sciences.
Capra, F., 2001. “Jaring-jaring Kehidupan” Visi Baru Epistemologi dan
Kehidupan.
De Santo., J., 2015. Sekolah Perdamaian. Kompas, tanggal 2 Januari 2015.
Suharjito,
D., 2014. Devolusi Pengelolaan Hutan dan Pembangunan Masyarakat Pedesaan. Orasi
Ilmiah Guru Besar IPB, IPB. Auditorium Rektorat, 03 Mei 2014.
Hardjosoekarto, S., 2014. Memahami Revolusi Mental. Kompas, 20 Juni 2014.
Otto Scharmer., 2007. Addressing the Blind Spot of Our Time. An Executive
Summary of the New Book by Otto Scharmer.Theory U : Leading from the Future as
It Emerges. The Social Technology of Presencing. The Presencing Institute.
Cambride MA. Society for Organizational Learning, 2007.
Verbist.,
B.dkk., 2004. Penyebab alih guna lahan
dan akibatnya terhadap fungsi Daerah Aliran Sungai pada lansekap agroforestry berbasis kopi di Sumatera.
ICRAF SE Asia. Agrivita Volume 26 No.1, 1 Maret 2004.
*)Makalah disampaikan pada Semiloka Nasional Hutan Indonesia, Reposisi Tata Kelola
Hutan Indonesia untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan, Kelestarian Lingkungan, dan
Kesejahteraan Rakyat, Hotel Sahid, Jakarta,
1-2 September 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar