Pengelolaan
“Bentang Alam” menjadi wacana yang semakin mendapatkan respon menarik beragam. Mungkinkah birokrasi
pemerintah mampu melakukan model pengelolaan
lintas batas-multistakeholder?
Pada umumnya pemerintah bekerja berdasarkan sistem penganggaran yang sektoral.
Di Kementerian LHK, masing-masing Eselon 1 telah merencanakan kegiatan
tahunannya sesuai dengan tugas dan fungsinya, yang kemungkinan besar tidak
(sempat) secara intensif saling dikomunikasikan. Direktur Kawasan
Konservasi -
Ditjen KSDAE
di satu sisi, yang mengelola kawasan konservasi dan Ditjen PSKL, dimana
terdapat Direktorat Penyiapan Kawasan
Perhutanan Sosial (PKPS), yang mendapatkan tugas memberikan akses kelola hutan
lindung dan hutan produksi untuk masyarakat setempat, bisa bekerja sendiri dan
terpisah. Sementara kondisi di lapangan, sangat dimungkinkan dan menuntut
kerja-kerja terpadu dan saling bersinergi. Berbagai persoalan yang dihadapi
pengelola kawasan konservasi dapat dibantu dicarikan solusinya dengan penerapan
perhutanan sosial di daerah penyangganya.
Pendekatan
keterpaduan ini juga dapat diperkuat dengan kehadiran para mitra yang bekerja
di tingkat lokal, baik swasta, LSM, dan yang tidak kalah pentingnya adalah
pemerintah daerah dan masyarakat yang tinggal di desa-desa sekitar kawasan
konservasi, dan bahkan di dalam kawasan hutan negara. Para mitra itu dapat
berupa individu, para local champion,
penggerak lingkungan, perkumpulan di kampung dan desa-desa, tokoh adat, tokoh
informal, maupun lembaga-lembaga keagamaan dan lembaga informal lainnya. Semua
pemain lokal sangat penting dan merupakan stakeholders
kunci dalam kerja-kerja kolaboratif berskala bentang alam.
Salah
satu kunci keberhasilan awal dari inisiatif kerja multipihak ini adalah adanya
pihak yang menjadi “motor penggerak” yang mampu mendorong para pihak lainnya
untuk “duduk bersama”, membangun komunikasi lintas batas. Mereka ini disebut
sebagai local champion. Bisa berasal
dari kalangan pemerintah (birokrasi), LSM, masyarakat, dan pihak lainnya.
1.
Pembelajaran dari TWA
Ruteng
Pengalaman
penulis ketika memulai kerja seperti ini di TWA Ruteng, Kabupaten Manggarai
pada periode pertengahan 2012 sampai
dengan akhir 2013 membuktikan pentingnya peran “motor penggerak” yang
memungkinan semua pihak untuk “duduk bersama”. Motor Penggerak ini sebaiknya menempatkan
diri sebagai pihak yang tidak memiliki kepentingan atau agenda tersembunyi.
Kepentingan yang harus diutamakan adalah kepentingan bersama. Prinsip yang
penulis kembangkan adalah “3A” (Ahimsa,
Anekanta, Aparigraha), yang dipelopori oleh Gandhi (baca: TWA Ruteng Menuju
Penerapan Kerjasama Berbasis TIga Pilar; www.konservasiwiratno.blogspot.com).
Dalam kasus di Ruteng tersebut, yang dimaksud dengan “Tiga Pilar” adalah
“Gereja”, “Masyarakat (Hukum) Adat”, dan “Pemerintah Kabupaten”. Model
pendekatan yang penulis kembangkan adalah yang disebut sebagai “psyco-socio culture”. Model komunikasi asertif face-to face dengan para tokoh kunci, dengan melakukan penelusuran
sejarah masyarakat dalam hubungannya dengan TWA Ruteng. Termasuk di dalamnya adalah “sejarah
pengelolaan”. Model pendekatan ini
langsung penulis pimpin dan diikuti oleh sebagian besar staf di Ruteng,
Kabupaten Manggarai. Pendekatan “psyco-socio culture” ini akan menghasilkan “personal trust” yang selanjutnya harus didukung dengan proses pelembagaannya
di tingkat paling bawah. Kalau di Manggarai, di
rumah gendang - di rumah adat, dimana
masyarakat berkumpul untuk memutuskan berbagai persoalan kemasyarakatan,
termasuk dalam hubungannya dengan hutan. Secara adat, model duduk bersama ini disebut sebagai “lontoleuk”. Menggali atribut dan
praktik-praktik budaya yang masih hidup menjadi unsur utama dalam proses
komunikasi selanjutnya dalam skala yang lebih luas dan semakin kompleks, namun
justru tambah menarik.
2.
Masa Depan Rimbang Baling
Kita
beruntung bahwa di Sumatera, khususnya di Riau masih terdapat suatu kompleks
hutan alam yang sangat luas untuk ukuran saat ini, lebih dari 130.000 Ha atau
bahkan bentang alam di sekitarnya sampai 200.000 Ha. Pembelajaran dari data
yang ada, tingkat okupasi atau perubahan tutupan vegetasi alami kawasan
hutan di Sumatera yang tidak dikelola dengan intensif adalah 4-5 Ha per hari.
SM Balai Raja, TN Tesso Nilo (kajian WWF Riau), TN Gunung Leuser wilayah
Besitang (Kajian UNESCO), TWA Holiday Resort, dan lain sebagainya. Munculnya
pulau-pulau ekosistem yang terfragmentasi dengan akibat lanjutannya pada hancur
dan “koyaknya” habitat satwa liar yang diprediksi oleh penulis sejak tahun 2001
sudah terbukti sekarang (baca Wiratno, dkk : “Berkaca di Cermin Retak”, Refleksi Konservasi dan Implikasinya bagi
Pengelolaan Taman Nasional, Gibbon Foundation, 2001). Kondisi ini diperkuat
dengan kehancuran lowland tropical
rainforest akibat meluasnya small
holders perambahan sawit sejak 1990 (baca Wiratno, dkk 2013 “Tersesat di Jalan yang Benar”, Seribu Hari
Mengelola Leuser, UNESCO, Jakarta Office 2013).
Tanpa
keterlibatan masyarakat, swasta, LSM, pemerintah kabupaten dan provinsi,
penyelamatan kawasan konservasi hanya omong kosong belaka. Kawasan konservasi
dengan luasan yang sempit (< 5.000-10.000 Ha) di Sumatera, tidak akan pernah
mampu bertahan, terutama di kawasan dataran rendah, mangrove di pantai atau wetland
yang telah terbuka akses jalan dan dikelilingi oleh pusat-pusat pertumbuhan.
Apalagi bila pengelolaanya tidak pernah sampai di tingkat tapak. Pengelolaan
kawasan konservasi hanya menjadi pembicaraan dan perbincangan para pakar saja
dan menjadi bahan kajian yang menghasilkan banyak “orang pintar”.
Maka
pengelolaan kolaboratif SM Rimbang Baling akan berkejaran dengan waktu yang
melezat cepat, dengan perubahan-perubahan socio-kultur dan perkembangan
pertumbuhan ekonomi yang luar biasa besarnya. Masa depan SM Rimbang Baling
sangat ditentukan oleh hasil workshop saat ini dan pengawalan tindak lanjutnya
5-10 tahun ke depan.
3.
Peran Perhutanan Sosial
Perpres
No 16 tahun 2015 yang disusun lebih dari tiga bulan proses dialog multipihak,
telah berhasil mengangkat “perhutanan sosial”
ke tingkatan Eselon 1 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Struktur
Organisasi Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan ini adalah sebagai
berikut :
Dengan
struktur baru tersebut, seluruh urusan yang menyangkut masyarakat dalam
hubungannya dengan hutan, akan menjadi tanggung jawab Ditjen PSKL ini untuk
mengkoordinasikannya. Kasus-kasus tenurial, konflik lahan, klaim wilayah adat,
akan diselesaikan oleh Direktorat Penanganan Konflik, Tenurial, dan Hutan Adat.
Pemberian akses kelola hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan tanaman rakyat,
dan kemitraan kehutanan ada pada Direktorat Penyiapan Kawasan Perhutanan
Sosial. Pengembangan, penguatan kelambagaan, peluang usaha pada Hkm, HD, HTR,
dan Hutan Adat menjadi tanggungjawab Direktorat Bina Usaha Perhutanan Sosial
dan Hutan Adat. Direktorat Kemitraan Lingkungan akan membantu mendukung
kolaborasi multipihak, dukungan komunikasi lintas batas, dan pemberian penghargaan
atas berbagai inisiatif lokal pro lingkungan.
Program
“Hutan Kemasyarakatan” atau “Perhutanan Sosial” ini merupakan program yang
secara resmi dimulai pada tahun 2010, sebagai respon terhadap masyarakat yang
tinggal di desa-desa sekitar hutan menggarap di dalam kawasan hutan tanpa izin,
yang didorong oleh faktor kemiskinan, kepemilikan lahan di desa yang sangat
sempit dan bahkan tidak memiliki lahan garapan. Jumlah desa-desa di sekitar
hutan di seluruh Indonesia pada tahun 2007-2008, sekitar 25.863 desa atau 26,6%
dari total desa di Indonesia. Jumlah
penduduk desa-desa hutan tersebut adalah 37.197.508 jiwa atau 9.211.299 kepala
keluarga, dimana 18,5% atau 1.704.090 kepala keluarga, atau 6.881.539 jiwa
tergolong miskin (Kemitraan, 2014).
Merekalah yang menjadi sasaran Program Perhutanan Sosial ini.
Target
2015-2019, Ditjen PSKL harus mampu memberikan izin Perhutanan Sosial seluas
12,7 juta Ha, melalui hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan tanaman rakyat, legalisasi hutan adat, dan kemitraan kehutanan.
Program yang sangat besar ini tentu dapat dijadikan peluang bagi para pihak,
khususnya pengelola kawasan konservasi para mitra. Sementara itu, capaian
perhutanan sosial pada periode 2010-2015 masih sangat rendah. Total izin yang
diberikan dalam bentuk Hkm, HD, dan HTR seluas 1.403.753 Ha dari target
2.750.000 Ha. Demikian pula dukungan dari gubernur dan bupati untuk penerbitan
IUPnya baru mencapai 20-25%.
4.
Daerah Penyangga dan
Perhutanan Sosial
Pengembangan
Daerah Penyangga di sekitar Kawasan Konservasi dalam tataran bentang alam yang
lebih luas, penulis yakinisebagai solusi konrkit dari meluasnya konflik tenurial baik di kawasan
konservasi, di hutan lindung, maupun di hutan produksi.
Salah satu model
pengelolaan melalui pendekatan bentang alam adalah melalui Tiger Conservation Landscape,
yang dikembangkan oleh WWF di Sumatera. Model ini menggunakan kriteria lainnya, antara lain (1) pendekatan lansekap, (2) nilai
konservasi, (3) potensial mitra yang akan dan telah bekerja, (4) tingkat kerusakan.
Dua contoh yang penulis ajukan lebih detil, adalah di SM Barumun dan SM Rimbang
Baling.
a.
SM Barumun-BBKSDA Sumatera Utara.
(1)
Pendekatan
Lansekap. Memposisikan
kawasan yang ditetapkan sebagai KPHK sebagai “core”, dengan mempertimbangkan
pola penggunaan lahan di daerah penyangga dan lansekap yang lebih luas.
Misalnya, SM Barumun seluas 40.330 Ha di Kab.Tapsel, Kota Sidempuan, Kab.
Padang Lawas, dan Padang Lawas Utara. SM Barumun ditambah dengan kawasan hutan
lindung dan hutan produksi terbatas seluas 309.000 Ha, berbatasan dengan Lansekap Rimbo Panti-Batang
Gadis. Lansekap Rimbo Panti-Batang Gadis dengan luas 437.600 Ha, merupakan
hamparan lansekap yang dinilai penting sebagai “Lansekap Konservasi Harimau”
(Rencana Strategi dan Konservasi Harimau 2007-2017, Ditjen PHKA dan Mitra).
(2)
Nilai
Konservasi Species dan Daerah Aliran Sungai. SM Barumun merupakan salah satu dari habitat
harimau sumatera, tapir, dan berbagai jenis burung. Masih diperlukan eksplorasi
detil untuk menemukan berbagai jenis satwa liar yang disebutkan dalam keutusan
Menteri Kehutanan No 70 tahun 1989. Berdasarkan daerah aliran sungai, SM
Barumun masuk DAS Asahan Barumun (4,1 juta Ha), Sub DAS Batang Sihapas, yang
merupakan daerah tangkapan air sangat penting dan penyangga kehidupan bagi
jutaan masyarakat yang tinggal di beberapa kabupaten di bawahnya. Saat ini
termasuk DAS Kritis yang harus direhabilitasi.
Terdapat kawasan “terbuka” seluas 4.000 Ha atau 10% dari luas SM Barumun
(catatan: keterangan Kepala BPDAS Asahan Barumun, cek lapangan 28-29 Agustus
2014).
(3)
Daerah
Penyangga. Dalam konteks
pengembangan daerah penyangga, dan dengan menggunakan pendekatan lansekap, di
sekitar SM Barumun, maka dapat diidentifikasi berbagai pola penggunaan lahan,
antara lain hutan produksi, hutan lindung, areal penggunaan lain yang dapat
berupa kebun campur, ladang, berbagai sistem agroforestry, dan sebagainya. Sebanyak 54 desa yang berada di
daerah penyangga suaka ini, yang terdiri dari
4 desa (Kab.Tapsel), 12 desa (Kab.Padang Lawas), 27 desa (Kab.Padang
Lawas Utara), dan 11 desa (Kota Sidempuan). Skema Hkm, HD. HTR sementara ini
baru dapat diterapkan di kawasan HP dan HL. Dalam kasus khusus, dapat
diterapkan di Hutan Produksi Konversi (catatan
: kasus Hutan Desa di Sorong Selatan).
(4)
Kolaborasi
Multipihak. Berdasarkan
pendekatan lansekap, kita juga bisa mengidentifikasi para mitra yang berpotensi
diajak kerjasama, mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, LSM, pihak
swasta, dan sebagainya. Misalnya, di sekitar SM Barumun telah aktif sebuah lembaga
Perkumpulan Biksu Budha, dengan nama Yayasan Bodhicita Mandala Medan, yang
mengembangkan ekowisata. Kawasan ini juga berpotensi untuk didukung berbagai
lembaga donor atau skema pendanaan, seperti TFCA, atas dasar nilai konservasi
dan dukungan para pihak yang sudah ada saat ini. Yang telah aktif selama ini
terkait dengan konservasi harimau adalah Forum Harimaukita, yang anggotanya
terdiri dari individu-individu yang aktif bekerja untuk konservasi harimau.
b.
SM Rimbang Baling-BBKSDA Riau
(1)
Pendekatan
Lansekap
SM
Rimbang Baling seluas 136.000 Ha, merupakan inti dari Lansekap Konservasi
Harimau Bukit Rimbang Baling. Sedangkan total
luas lansekapnya sekitar 439.500 Ha. Berdasarkan survai WWF, terdapat 25
individu harimau. Suaka ini menarik karena bentuknya yang kompak membulat dan
sampai dengan saat ini dalam kondisi relatif tidak mengalami kerusakan.
(2)
Nilai
Konservasi dan Daerah Aliran Sungai
Merupakan
salah satu kantung habitat harimau terpenting di Sumatera bagian tengah.
Berdasarkan survai WWF, terdapat 25 individu harimau. WWF juga baru membangun
Stasiun Lapangan Sungai Sebayang, di Desa Tanjung Belit, Kec.Kampar Kiri Hulu.
Selain habitat harimau Sumatera, SM Rimbang Baling penting secara tata air
karena merupakan hulu Sub DAS Kampar Kiri, DAS Kampar. DAS Kampar juga termasuk
klasifikasi DAS Kritis, antara lain dengan menjaga wilayah hulunya di kawasan
suaka ini.
(3)
Daerah
Penyangga
Daerah
penyangga di sekitar SM Rimbang Baling adalah kompleks Hutan Produksi, Hutan
Lindung Terbatas, Hutan Lindung
(termasuk yang berada di wilayah
Sumatera Barat). Apabila kawasan HP belum ada izin dari pihak lain, dan
apabila masyarakat memerlukan lahan, dapat megajukan skema hutan kemasyarakatan
(Hkm) atau Hutan Desa kepada Menteri Kehutanan, melalui Dit Bina Perhutanan
Sosial. Pengembangan daerah penyangga di kawasan ini perlu dilakukan melalui
mekanisme pelibatan masyarakat adat di sekitarya. Pembelajaran dari pola “Tiga
Pilar” di TWA Ruteng, mungkin dapat diujicobakan di SM Rimbang Baling (catatan
: baca konsep Tiga Pilar di www.konservasiwiratno.blogspot.com).
(4)
Kolaborasi
Multipihak
WWF
Riau Program merupakan salah satu mitra kunci, di samping Forum Harimaukita.
Sedangkan masyarakat yang potensial menjadi mitra adalah desa-desa adat di
sekitar kawasan ini. Sekitar empat komunitas Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
Wilayah Riau berada dalam kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling, yaitu ;
Kekhalifahan Batu Sanggan (terdiri 8 desa ), Kekhalifahan Ludai (terdiri 13
desa), Kekhalifahan Ujung Bukit (terdiri
4 desa) dan Kekhalifahan Kuntu (terdiri 4 desa) secara administratif berada di
Kabupaten Kampar (WWF, 2012). Masyarakat ini merupakan mitra utama dalam konsep
KPHK yang dikelola multipihak, maka mereka perlu dilibatkan dalam setiap
tahapan kelola suaka alam ini. Salah satu aktivitas kunci adalah bagaimana
memastikan tata batas kawasan dilakukan secara benar dan partisipatif
melibatkan tokoh-tokoh adat setempat. Termasuk juga bagaimana menjaga kawasan
ini tetap lestari, sekaligus dapat memberikan manfaat nyata bagi dan bersama
masyarakat.
Penutup
Pengalaman penulis
mengelola kawasan konservasi di TN Gunung Leuser (2005-2007) dan Balai Besar
KSDA Nusa Tenggara Timur (2012-2013), memberikan pelajaran berharga sebagai
berikut:
(1) Membangun
kerjasama multipihak sebaiknya dimulai dari membangun
visi-misi-strategi-langkah langkah yang kuat di internal Balai. Rencara
Strategis Balai sebaiknya sejak awal disusun secara partisipatif multipihak,
sekaligus membuka ruang komunikasi dan dialog asertif dengan semua pihak kunci,
termasuk dengan Pemkab dan Pemprov.
(2) Renstra
dibangun berdasarkan kajian lapangan melalui RBM, analisis dan kajian data dan
informasi sekunder, dan konsultasi dengan resource
person di semua lini, termasuk expert dan pelaku konservasi di lapangan.
(3) Membangun
jejaring kerja multipihak dan kepakaran dengan lembaga penelitian di tingkat
nasional dan universitas setempat menjadi kunci dimulainya discovery potensi
kawasan, pemetaan sosial budaya, dan membangun strategi komunikasi, kerjasama,
dan network yang dimulai dari small scale untuk diuji proses dan kemanfaatannya
dengan berpegang pada prinsip mutual
respect, mutual trust, dan mutual benefit (pers comm Wahjudi Wardojo,
2014). Seri penelitian 2009-2014 tentang kemanfaatan soft coral untuk anti cancer di BB KSDA BTT membuktikan hal
tersebut (baca : Kalaidoskop BBKSDA NTT
2012-2013).
(4) Membangun
organisasi pembelajar atau “learning
organization” di tingkat Balai (Besar), Bidang Wilayah, sampai ke tingkat
resort penting untuk mengangkat berbagai persoalan dan potensi kawasan kepada
publik, untuk mendapatkan respon dan
dukungan. Referensi bisa dibaca dalam buku “Leadership dalam Organisasi Konservasi” dalam Wiratno
(Conservation International Indonesia, 2004).
(5) Menyelesaikan
berbagai persoalan kawasan dengan melakukan pendekatan yang lebih soft, dengan
menganalisis sejarah hubungan masyaraat dengan kawasan konservasi, memetakan
tokoh-tokoh kunci, membangun jejaring kerja dengan aparat penegak hukum, SKPD
setempat sebagai tahap awal dari proses konsolidasi bioofisik kawasan dan
potensi sosial budaya masyarakat di daerah penyangga atau di tataran lansekap
yang lebih luas.***
Catatan:
Buku-buku dalam bentuk E_book yang pernah saya tulis akan saya
serahkan dalam Forum Rakernis Ditjen KSDAE 2016 ini sebagai bahan bacaan dan
referensi untuk menambah semangat dan pembelajaran bagi staff Ditjen KSDAE di
seluruh tanah air. Saya berhutang pada Ditjen KSDAE yang telah memberikan
kesempatan saya bekerja di lapangan hampir 15 tahun dan memetik hikmahnya.
“Hatta
mengingatkan kita bahwa hidup di dunia hanya sementara. Karena itu, bumi
haruslah dipelihara, ditinggalkan dalam keadaan yang lebih baik dari di masa
kita hidup”
Deliar Noer dalam buku : “Hatta, Jejak yang Melampaui Zaman”, 2010 .
Tulisan ini isampaikan Pada Rakernis KSDAE tanggal 28 September 2016 di Solo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar