Dalam teori tentang mindset, sikap dan perilaku Wahjudi Wardojo seperti tersebut di
atas, disebut bahwa ia membangun “Growth
Mindset” (Hiring for Attitude
oleh Eilen Rachman & Emilia Jakob, Kompas 26 Maret 2016). Kedua pakar
tersebut menyatakan bahwa mereka yang memiliki ‘growth mindset’ akan memfokuskan energi positif mereka dan
mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi keterbatasan mereka.
Mereka tidak takut bangun lebih pagi, berjalan lebih jauh, berusaha dua kali lipat
dibandingkan dengan rekan-rekannya dan bahkan bangun lagi dengan cepat bilamana
mereka mengalami kegagalan.
Mereka yang memiliki ‘growth mindset’ bukanlah mereka yang tidak pernah merasa
takut akan keterbatasan mereka, akan tetapi semata-mata lebih karena mereka
tidak membiarkan rasa takut itu menguasai mereka. Nelson Mandela mengatakan, “I learned that courage was not the absence
of fear, but the triumph over it. The
brave man is not he who does not feel afraid, but he who conquers that fear”.
Sang ‘Ground Breaker’
Wahjudi Wardojo pada periode 1993-1997,
mampu membuktikan bahwa dengan semua keterbatasan yang ia miliki sebagai Kepala
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Halimun, menyatakan bahwa tugasnya
adalah mission impossible. Namun berbagai keterbatasan, hambatan, dan
persoalan yang dihadapinya, dapat diatasi dengan berbagai terobosan dan inovasi.
Inovasi yang paling valid antara lain dibentuknya model kemitraan
multipihak-multidisiplin yang pertama kali di Indonesia, yaitu: Konsorsium
Gedepahala, program volunteer taman
nasional, dibangunnya Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol, Pusat Rehabilitasi Owa Jawa di Bodogol;
penyelesaian perambahan PETI di TN Halimun pada tahun 1993 dengan cara yang
damai, cerdas dan tuntas, penerapan reward and punishment kepada stafnya, dan masih banyak yang lainnya. Setelah 20 tahun kemudian, inovasinya masih
valid dan justru semakin menemukan konteks dan momentumnya.
Dalam perkembangan pengalaman kemitraan
tersebut, muncul icon tentang prinsip
kemitraan yang penting yaitu “3M”, yaitu mutual
respect, mutual trust, dan mutual
benefits. Suatu tagline yang ngetrend
dipakai oleh pejabat Departemen Kehutanan (sekarang Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan), sampai dengan saat ini. Namun demikian, banyak pihak yang
sebenarnya kurang memahami esensi dan spiritnya serta siapa yang mempopulerkan
pemikiran tersebut. Dengan menerapkan “3M” untuk membangun kemitraan
multipihak-multidisipliner, ia menemukan fakta bahwa dari mission impossible dapat dirubah menjadi possible mission. Yang tidak pernah muncul secara langsung dari
berbagai pengalamannya adalah tentang pentingnya sumberdaya manusia dalam
konteks kapasitas leadershipnya.
Perhutanan
Sosial Bagaimana?
Program perhutanan sosial yang telah
dicanangkan seluas 12,7 juta Ha atau hampir seluas negara Inggris adalah mission impossible, apabila kita
mempertimbangkan keterbatasan anggaran, UPT yang hanya lima dari yang semula 36
UPT, dan kemampuan capaian per tahun yang hanya 200.000-300.000 Ha. Luasan 12,7
juta Ha yang dialokasikan dalam RPJMN 2015-2019, yang berarti setiap tahun
seharusnya dicapai 2,5 juta Ha kawasan hutan negara yang dikelola oleh
masyarakat pinggir hutan.
Bagaimana konsep : growth mindset ini bisa diterapkan dalam pelaksanaan perhutanan
sosial dengan target yang sangat luas itu?
a.
Perubahan
Paradigma dan Kebijakan Kehutanan
Perhutanan sosial adalah alat untuk
menyelesaikan konflik secara damai dan (lebih) beradab. Perubahan kebijakan,
sikap mental, dan paradigma yang ditindaklanjuti dengan perubahan strukstur
organisasi kementerian LHK, dimana lahir Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan
Lingkungan pada tahun 2015. Perjuangan yang sangat panjang dari tokoh-tokoh
perhutanan sosial sejak Kongres Kehutanan Sedunia ke VIII 1978, dengan tema
“Forest for People”, baru muncul proyek sosial forestri tahun 2007, dan
struktur organisasi Eselon I yang diberi nama “Perhutanan Sosial”, memerlukan
waktu 37 tahun (sejak 1978), atau 29
tahun (sejak 2007). Sangat amat terlambat sebenarnya. Kerusakan hutan dalam
tempo 30 tahun itu sudah sungguh luar biasa, sebagaimana kita saksikan saat
ini. Maka, diperlukan proses percepatan,
kerja bareng yang terpadu sinergis, serta memiliki sikap konsisten dan
persisten.
b.
Inovasi Pokja
PPS
Pokja Percepatan Perhutanan Sosial di
setiap provinsi yang telah mulai
dibentuk dan direspon dengan antusias di banyak provinsi merupakan salah satu
perwujudan dari growth mindset
tersebut. Pokja PS di Sumatera Barat dan yang lebih tua lagi Forum Hutan Kemasyarakatan
di Lampung merupakan contoh nyata inovasi yang berani dan tepat sasaran.
Berbagai persoalan yang menyangkut masyarakat dengan sumberdaya hutan
dibicarakan, didiskusikan, dan diperdebatkan dalam forum-forum Pokja tersebut.
Yang sangat menarik adalah munculnya fenomena “mencairnya” kebekuan komunikasi
birokrat kehutanan di provinsi, kabupaten, dengan CSO, tokoh masyarakat,
perguruan tinggi, karena mereka menjadi anggota Pokja. Tentu hal ini karena
sumbangan leadership dari beberapa champion di Pokja tersebut. Muncul
secara perlahan tetapi pasti nilai-nilai governance,
seperti keterbukaan, partisipasi,
kegotongroyongan, yang selama ini mati suri.
c.
Fenomena WhatsApp Group
Memanfaatkan kehandalan dan kecerdasan
IT, seperti WhatsApp ini untuk kelancaran
komunikasi dalam hitungan detik, telah dengan nyata memperlancar aliran data, informasi, pembelajaran,
inspirasi, provikasi, yang berakibat pada meningkatnya pemahaman, kebersamaan, kesalingterhubungan antara
pusat-daerah dan juga lintas stakeholder.
Laporan perkembangan, laporan adanya masalah, temuan real time adanya pelanggaran di lapangan, atau ditemukannya potensi
yang ada dapat langsung diketahui siapapaun yang ada dalam WAG tersebut.
Inovasi yang tidak ada pada masa Pak Wahjudi Wardojo jadi Kepala TN Gunung Gede
di 1993 saat ini. WAG powerful bila
digunakan dengan bijak. Saya bisa menyaksikan hiruk pikuknya komunikasi di WAG
Sumbar dengan nama CBFM-Sumatera Barat; Pokja PPS Sulteng, Lampung (Konservasi
Lampung, PERSAKI Lampung, Rimbawan Lampung), Pokja PS Kalsel, Perhutanan Sosial
Kaltim, Pokja PS Nasional dan sebagainya.
d. Local Champion
Perhutanan sosial dilahirkan, dihidupi,
dan sekaligus melahirkan banyak local
champion (LC) di tingkat lapangan. Para LC inilah contoh dari figur-figur
yang memiliki growth mindset. Ada Mas
Heri Santoso dan Mas Yayan, yang memulai bekerja berdiskusi tentang hutan desa
di Kulonprogo pada tahun 1999, saat penulis jadi Kepala Unit KSDA Yogya dan
ikut dilibatkan dalam diskusi dan kunjungan lapangan ke calon hutan desa yang
kini terkenal dengan Kalibiru. Mas
Wito dan timnya yang banyak bergerak di Repong Damar Krui, yang sangat terkenal
karena akhirnya menjadi KHDTK masa Menteri Pak Djamaludin itu. Ritno Kurniawan,
sarjana Pertanian UGM yang kembali ke desanya dan akhirnya mampu merubah sikap
mental para pembalak kayu menjadi pelaku ekowisata di Hutan Nagari Lubuk Alung
di 2015. Mas Rudi Syah, Mas Rahmat dan tim WARSI yang menjadi pendamping setia
kelompok minoritas Orang Rimbo yang terisolir dan termarginalkan akbiat sistem
eksploitasi hutan skala besar dan masif. Mbak Nurka, Om Buyung, dan Tim Peneliti pendamping di Hkm Sumberjaya
periode 2005. Edison Watala, Pak Warsito tokoh penggerak perubahan kelola hutan
di Lampung, Mbak Christine Wulandari yang intensif melakukan penelitian di
bidang perhutanan sosial, Pak Makhrus
dan tim di Pusat Perhutanan Sosial dan Agroforestry UNLAM, yang turun langsung
fasiitasi Hkm di Kab.Tanah Laut, Pak
Gusti - pengawal Gubernur Kalbar, dan salah satu pendorong PS di Kalbar, Pak Lejie Taq tokoh Dayak di Berau yang
mengawal HL Wehea, Stanley Kepala Kampung HD Merabu, Taufik, Niel Makinudi,
Iwan Wibisono-pengawal Multilayer Policy
Intervention di program Green Growth
Compact-Kaltim, Bu Herlina-tokoh pembangun skema SIGAP, bottom up planning di tingkat kampung TNC, dan masih banyak lagi
figur-figur yang memiliki growth mindset.
Perhutanan sosial di lapangan dihidupi dan dihidupkan oleh mereka. Tokoh penggerak lahirnya gerakan masyaraat
adat, Abdon Nababan, Dahniar-Perkumpulan HUMA, dan masih banyak tokoh-tokoh
adat di seluruh Nusantara.
Belum lagi adanya komitmen para senior yang saya kira connecting baik langsung maupun tidak
langsung dengan perhutanan sosial dan ranah perjuangannya, seperti Prof Suryo
Adiwibowo yang jadi Nakhoda Fakultas Ekologi Manusia IPB, Prof San Afri Awang -
penjuang PS sejak lama, Prof Didik Suhardjito, Prof Hariadi K yang terus
mendorong policy reform dan stream lining researchàpolicy reviewàplanningàaction, di bidang perhutanan sosial dan lingkungan
secara umum.
e.
Trust Fund
Perhutanan Sosial
Ketika 12,7 juta hektar tidak bisa kita
selesaikan sampai 2019, maka perlu energi besar untuk mendukungnya pasca 2019.
Energi itu berupa pendanaan jangka panjang.
Saya mengusulkan dibangunnya Trust Fund (TF) Perhutanan Sosial. Semestinya TF ini digarap dan menjadi agenda
mendesak untuk mulai dibicarakan sekarang. Perlu didorong siapapun yang menjadi
pengguna lahan terbanyak ia yang juga
menjadi penyumbang terbesar. Semakin luas lahan hutan ia kuasai atau di bawah
kontrolnya, semakin banyak ia menyumbangkan CSR atau Dana Lingkungannya kepada TF
Perhutanan Sosial. Misalnya provinsi Riau yang 60% kawasan hutannya
dikuasai oleh HPH, HTI, dan Perkebunan, semestinya mereka penyumbang terbanyak
untuk TF Perhutanan Sosial ini.
Optimisme untuk
Perhutanan Sosial
Dari berbagai persoalan yang dihadapi
kehutanan Indonesia dikaitkan dengan masyarakat pinggir hutan selama 46 tahun,
terhitung sejak 1970, masihkah ada
optimisme? Masihkan ada spirit yang dikonsolidasikan sehingga dari mission imposible menjadi possible mission, seperti yang telah
dicontoh-nyatakan oleh Pak Wahjudi Wardojo 23 tahun yang lalu? Kemampuan Dijen
PSKL dan Dit PKPS hanya 1/10 dari target nasional 12,7 juta hektar.
Pertanyaan ini rasanya menjadi
pertanyaan dan renungan kita bersama. Para penggerak, pemikir, intelektual,
pemerhati, praktisi, tokoh, dan semua yang merasa terpanggil untuk membantu dan
aktif terjun langsung di lapangan maupun yang bekerja di ranah kebijakan, policy reform. Diperlukan leadership yang konsisten dan
persisten di semua layer (pusat-provinsi-kabupaten-site
level) serta yang memiliki growth
mindset. Kita sebenarnya memiliki modal itu semua hanya belum terkonsolidasi
dengan cermat dan tepat.
Di setiap pixel pekerjaan manusia, termasuk di perhutanan sosial, memiliki muatan keilahian, karena kita dimandatkan sebagai ‘khalifah di bumi’.
Maka, niat menjadi sangat amat penting. Niat yang ikhlas, rasanya menjadi yang
pertama perlu kita ingat, teguhkan, tanamkan, dan ucapkan sebelum memulai
pekerjaan besar perhutanan sosial. So
much to do so little time.
Tidak ada pilihan lain: sekarang atau
tidak sama sekali.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar