"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

26 Oktober 2011

Model dan Konsep Kelola Kawasan Lindung

Anatomi Kawasan Lindung

Kawasan lindung dapat berupa hutan lindung, kawasan konservasi (KK) - yang menurut UU No.5 tahun 1990 terdiri dari kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa), kawasan pelestarian alam (taman nasional, taman hutan raya-tahura, dan taman wisata alam); kawasan sempadan pantai, sempadan sungai, dan sebagainya. Saat ini, terdapat lebih dari 27,2 juta KK yang tersebar di seluruh Indonesia, dimana 58% nya berstatus sebagai taman nasional.

Kawasan lindung khususnya kawasan-kawasan konservasi sebagai sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources) memiliki karakter dan anatomi sebagai berikut :

(a) Irriversibel –“ (non) renewable resource”

Sebagian besar ahli/pakar di bidang botani dan konservasi biologi percaya bahwa sumberdaya hutan di KK, apalagi hutan hujan tropis merupakan sumberdaya yang tidak dapat atau sulit sekali pulih ketika telah mengalami kerusakan/degradasi. Dr. Kuswata Kartawinata, pakar hutan tropis, yang telah pernah membuat plot permanen di TN Gunung Leuser, khususnya di Besitang, menyatakan bahwa diperlukan waktu tidak kurang dari 170 tahun untuk mengembalikan kerusakan hutan tropis dataran rendah di Besitang. Ini suatu contoh bahwa sangat sulit untuk memulihkannya (Baca: Recovery of a lowland Dipterocarp forest twenty years after selective logging at Sekundur, Gunung Leuser National Park-Reinwardtia Vo.12, Part 3, PP: 237-255). Bahkan, beberapa pakar menyimpulkan hutan hujan tropis termasuk yang berada di dataran rendah layaknya seperti minyak bumi, sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resource). Kecepatan kerusakah hutan hujan dataran rendah laksana deret ukur, sedangkan kemampuan merehabilitasi hanya mengikuti deret hitung. Ciri ini nantinya akan berimplikasi pada prinsip pengelolaannya yang harus menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary principle).

(b) Benefit beyond boundary

Ciri khas yang kedua dari sumberdaya hutan hujan tropis ini adalah nilai manfaatnya yang mengalir jauh sampai di luar batas-batas hutan. Oleh karena itu, kita mengenal konsep hulu-hilir dalam pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). TN Gunung Gede Pangrango yang luasnya hanya sekitar 21.000 Ha, ternyata melindungi 3 hulu DAS penting, yaitu Citarum, Ciliwung, dan Cimandiri. Tidak kurang dari 150 desa di Kab. Sukabumi, Bogor, dan Cianjur bergantung pada kawasan taman nasional ini untuk suplai air. Ada baiknya dibaca artikel terkait dengan peran TNGGP ini di AgroIndonesia Vol V Nomor 235; 3-9 Februari 2009 atau dapat dilihat di www.konservasiwiratno.blogspot.com, dengan judul yang sama. Belum termasuk penyerapan karbon, pendorong wisata Puncak, sumber air kemasan, air konsumsi, pencegahan bahaya banjir, longsor, dan kesuburan tanah pertanian, perkebunan, dan sebagainya. Lebih lanjut bisa baca hasil kajian Wiratno, dkk (2004) dengan judul : Valuation of Mt Gede Pangrango National Park. Information Book Series 2. Balai TN Gunung Gede Pangrango. Untuk mengetahui benefit beyond boundary, maka dilakukan economic valuation. Hal ini sudah pernah dilakukan di beberapa taman nasional, seperti TN Gunung Leuser (oleh Bekkering - DHV Belanda); TN Batang Gadis (Conservation International Indonesia); TN Bunaken (NRM Project), dan sebagainya.

(c) Common Pool Resource

Sumberdaya di KK tergolong ke dalam common pool resource. Ia seperti lautan, padang pasir, gurun, yang karena luasnya (jutaan hektar), maka manusia (pemerintah, masyarakat, swasta) kesulitan dalam mengelolanya secara lestari. Upaya privatisasi terhadapnya sangat mahal. Adakah pemerintah yang mampu memagari laut yang 2/3 luas bumi itu? hanya beberapa ribu hektar pun sangat mahal. Mooring Buoy yang dipasang di ujung batas TN Kep. Seribu, dengan harga Rp 300 juta/buah, tidak lama kemudian lampu suarnya sudah hilang dicuri. Lampunya yang produksi dari Jerman dengan tenaga listrik dari solar cell pun sangat mahal (30 juta rupiah/buah). Persoalan privatisasi atau biaya menjaganya sangat mahal dan hampir tidak mungkin dilakukan. Pencurian sumberdaya laut Indonesia oleh nelayan asing juga bukti lain yang memperkuat fakta-fakta ini. Implikasi dari ciri khas atau sifat-sifat ini adalah perlunya negosiasi, kolaborasi, atau penjagaan dan pemanfaatan bersama para pihak itu.

(d) Long-term Goals

Pengelolaan KK memiliki perspektif dan tujuan-tujuan jangka panjang, lintas generasi, 100-200 tahun yang akan datang. Sementara itu, kepentingan manusia cenderung pendek. Harian, bulanan, tahunan,dan maksimal lima tahun (kelompok politik). Tipologi ini menyebabkan penilaian yang rendah terhadap KK. Antara lain, dengan investasi yang tidak sepadan dengan manfaatkan yang didapatkan oleh publik. Hal ini menjadi tantangan bagi seluruh penggiat konservasi, dosen, pakar, LSM, pemerintah, swasta, dan masyarakat. Nafsu antroposentrisme - manusialah yang berkuasa dan menguasai alam dan sumberdaya alam, dengan sikap yang ingin selalu menghabiskan secepat-cepatnya menjadi kecenderungan yang umum terjadi, apabila kita berhubungan sumberdaya alam.

(e) Multipurpose Benefits

Kawasan konservasi memiliki manfaat yang sangat beragam. Sebagian kecil yang mampu diungkap oleh manusia. Sebagian besar lainnya masih menjadi rahasia, bahkan oleh kemampuan manusia dengan ilmu pengetahuan yang ada saat ini - Gunawan Muhammad. Kesalingterhubungan antara komponen biotik, abiotik, membentuk beragam asosiasi, pola ketergantungan, saling memberi dan menerima, dalam situasi yang sangat rumit dan dinamis, mulai dari lantai hutan sampai ke tingkatan tajuk tertingginya; dari hutan pegunungan tinggi, rajutan sungai-sungainya hingga kawasan pantai, rawa, lautan. Salah satu rantai keterhubungan itu putus atau diganggu, akan mengganggu pola-pola pertumbuhan, dinamika dan keseimbangan pada seluruh rangkaian baik pada tingkatan spesies sampai ke tingkat ekosistem/ habitat, dan akibatnya pada menurunnya kualitas lingkungan hidup yang akan merugikan manusia. Emil Salim dalam bukunya Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi (Penerbit Kompas, 2010) menyatakan bahwa daya dukung alam dapat ditingkatkan melalui pendekatan eco-development. Dalam rangka eco-develompent tersebut, Indonesia yang pada tahun 2000 saja sudah berpenduduk 206 juta, Indonesia menghadapi tiga masalah lingkungan hidup yang pokok, yaitu: air, tanah, dan manusia.


Arahan Pengelolaan KK

KK dikelola berdasarkan tujuan pengelolaannya, yang tercantum baik di surat keputusan Menteri Kehutanan maupun tersebut di dalam Rencana Pengelolaannya. Namun demikian, tidak semua kawasan konservasi ditunjuk/ ditetapkan dengan latar belakang dan tujuan pengelolaan yang jelas atau eksplisit. Beberapa taman nasional ditunjuk/ ditetapkan dengan tujuan yang jelas; TN Ujung Kulon untuk perlindungan habitat dan kelestarian badak Jawa (Rhenoceros sondaecus); TN Bali Barat untuk perlindungan curik Bali (Leucopsar roschildi); TN Komodo untuk perlindungan kadal raksasa (Varanus komodoensis). Beberapa taman nasional ditunjuk/ ditetapkan untuk perlindungan beberapa species dan habitatnya. Namun demikian, ada yang sangat khas, misalnya TN Bukit Duabelas di Jambi, ditetapkan untuk melindungi tempat hidup Suku Anak Dalam, bukan semata-mata untuk kepentingan perlindungan biodiversiti.

Pengelolaan KK harus mempertimbangkan tujuan pengelolaannya, yang diterjemahkan ke dalam zonasi-zonasi. Berdasarkan Permenhut No.56 tahun 2006, suatu taman nasional dibagi ke dalam zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, dan zona-zona lainnya sesuai dengan keperluannya. Pada umumnya, beberapa taman nasional perairan (Wakatobi, Karimunjawa, Takabonerate) mengalokasikan zona pemanfaatan tradisional atau pemanfaatan lokal hampir 80-90% dari luas taman nasional tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kepentingan dan akses masyarakat yang tinggal di sekitar dan di dalam kawasan tetap dijaga dan dijamin. Zonasi di TN Kayan Mentarang, yang difasilitasi oleh WWF merupakan contoh bagaimana proses penyusunan zonasi yang partisipatif, dengan zona pemanfaatan tradisional yang porsinya cukup besar. Di TNKM ini bahkan dibentuk Dewan Penentu Kebijakan yang anggotanya terdiri dari banyak pihak, termasuk masyarakat adat setempat.

Dengan terbitnya PP Nomor 28 tahun 2011, tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, sebagai pengganti PP No.68, menegaskan hal-hal baru :

a. Penataan Kawasan

Kawasan konservasi harus dikelola berdasarkan zonasi dan ditata sampai ke tingkat manajemen terkecil yang disebut sebagai “resort”. Dalam Renstra Ditjen PHKA (2010-2014), seluruh taman nasional di 50 lokasi harus dikelola berbasis resort, berbasis lapangan, tapak atau site. Tujuannya agar berbagai persoalan dapat diselesaikan atau dicegah menjadi membesar dan semakin kompleks. Berbagai potensi dapat dikembangkan bersama masyarakat sehingga dapat memberikan kemanfaatan nyata bagi masyarakat. Masyarakat setempat harus diposisikan sebagai bagian dari subyek pengelolaan, harus menjadi bagian dari solusi pengelolaan kawasan konservasi. Dengan demikian, pemerintah daerah juga harus dilibatkan di dalamya sejak dari perencanaan kawasan konservasi.

b. Restorasi Ekosistem

Kawasan konservasi yang mengalami berbagai tingkaan kerusakan akibat illegal logging, perambahan, kebakaran, harus direstorasi berdasarkan karakteristik biofisik, sosial ekonomi, dan tujuan-tujuan pengelolaannya. Saat ini, diperkirakan seluas 500.000 Ha kawasan konservasi mengalami berbagai tingkat kerusakan. TN Gunung Leuser mengalami degradasi hutan hujan tropis di wilayah Kab Langkat seluas 20.000 Ha, 4000 Ha di antaranya berubah total menjadi kebun sawit ilegal; Seluas 8.000 Ha kawasan perluasan TN Tesso Nilo di Riau telah dikapling dan ditanami sawit; seluas 31.000 Ha di Sikincau, TN Bukit Barisan Selatan telah dikuasai kelompok perambah penanam kopi-yang mulai merebak sejak tahun 1998/1999. Restorasi menghadapi tantangan yang sangat berat ketika keadaan telah sangat tidak terkontrol dan dikuasai kelompok-kelompok yang sangat kuat dengan jaringannya yang juga sangat solid, melibatkan modal besar. Restorasi akhirnya tidak semata-mata menanam, namun menjadi lebih luas dari itu, menyangkut persoalan sosial, ekonomi, penegakan hukum, penjagaan kawasan, membangun banyak negosiasi dan kesepakatan-kesepatan dengan masyarakat setempat yang diharapkan bersedia membantu merestorasi kawasan konservasi yang rusak itu.

c. Kerjasama Multipihak

Pengelolaan multipihak, kolaborasi, kemitraan dengan para pihak harus terus dikembangkan. Hal ini penting karena kemampuan pemerintah terbatas, dan banyak pihak yang bersedia membantu pengelolaan KK, termasuk masyarakat setempat harus dilibatkan dalam pengelolaan secara proporsional dan sesuai dnegan aspirasi masyarakat. Kerjasama juga terus dikembangkan G2G (bilateral) antar pemerintah, pemerintah-swasta; pemerintah-masyarakat/ LSM. Logika pengelolaan kawasan konservasi multipihak ini juga didorong oleh karakter kawasan konservasi sebagaimana diuraikan di atas. Privatisasi maupun pengelolaan oleh pemerintah belum mampu menunjukkan hasilnya yang nyata. Kawasan konservasi dengan luasan 5.000-6.000 Ha pun sebaiknya dikelola bersama, dengan berbagai skema kerjasama.

d. Pembangunan Koridor

Dengan perubahan penggunaan lahan di sekitar KK, yang cenderung monokultur skala besar (perkebunan sawit, karet, coklat, hutan tanaman industri), pembangunan jaringan jalan telah berkontribusi pada proses fragmentasi habitat satwa liar dan mengakibatkan meningkanya konflik manusia-satwa liar, sebagaimana terjadi di hampir seluruh Sumatera; kasus-kasus orangutan di Kaltim, dan sebagainya. Maka pembangunan koridor antar kawasan konservasi, sebagaimana dicetuskan dalam “Peta Jalan Menuju Penyelamatan Visi Sumatera 2020 : Visi 2020, yang dibangun oleh inisiatif lintas Kementerian (Kemen Dalam Negeri, Pekerjaan Umum, Kehutanan, Lingkungan Hidup, Bappenas, Menko Perek) dan Forum Tata Ruang Sumatera. Realisasi dari perencanaan tersebut sudah menjadi kebutuhan bersama yang mendesak dilaksanakan, bukan terjebak menjadi sekedar “dokumen perencanaan”. Sebelum dukumen Visi Sumatera 2020 ini lahir, telah diawali oleh Kesepakatan 10 Gubernur se-Sumatera, pada 18 September 2008, dengan 3 tujuan: (1) Penataan ruang Pulau Sumatera berbasis ekosistem, (2) Restorasi kawasan kritis untuk perlindungan sistem kehidupan, dan (3) Melindungi kawasan yang memiliki nilai penting perlindungan sistem kehidupan, kenaekaragaman hayati, dan perubahan iklim.

e. Pengembangan Daerah Penyangga

PP 28/2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, mengamanatkan dibangunnya daerah penyangga dis ekitar kawasan konservasi. Apabila kawasa penyangganya berupa kawasan hutan, maka Menteri Kehutanan akan menetapkan Daerah Penyangga, yang akan ditindaklanjuti dnegan program-program yang akan membantu pengamanankan kawasan konservasi yang disangganya. Apabila kawasan penyangganya adalah APL (lahan masyarakat, desa, kampung, tanah ulayah, dsb), perkebunan besar, dan sebagainya, maka gubernur atau bupati akan menetapkannya. Sinergitas antara program pengelolaan kawasan konservasi dan penyangganya diharpkan dapat menyelesaikan berbagai persoalan antara ‘park-people relationship”. Kawasan konservasi dapat dijadikan sumber plasma nutfah yang dapat dan seharusnya dikembangkan di daerah penyangganya.


Diskusi

  1. Pekerjaan besar membangun kawasan Pegunungan Muller sebagai World Heritage, maupun pembangunan koridornya, Muller-Schwaner-TN Bukit Baka Bukit Raya, dalam payung besarnya Heart of Borneo, sudah sepatutnya didukung seluruh pihak, baik di pusat dan terutama di daerah. Baik pemerintah, swasta, LSM, tokoh-tokoh masyarakat.
  2. Tantangan terbesar dalam pengembangan program-program lintas sektor jangka panjang ini antara lain diperlukannya “nafas panjang”, program multiyears, dan bangunan komunikasi multipihak yang konsisten dan dikawal dengan ketat. Inisiatif WWF Indonesia dalam mengawal proses jangka panjang ini tentu sangat penting, dan sebaiknya terus dilanjutkan. Mungkin diperlukan minimal 10-15 tahun untuk kita dapat menuai hasilnya. Sebagaimana
  3. Tantangan yang lebih konkrit dan harus bisa dibuktinya khusunya bagi pemerintah daerah dan masyarakat adalah bagaimana para ilmuwan, pakar, dan pemerintah bisa memberikan opsi-opsi pembangunan, dengan menjelaskan dampak ekonomi, sosial, ekonomi, dan lingkungan: konservasi jangka panjang vs tambang jangka pendek; konservasi vs perkebunan; Kajian-kajian yang dilakukan oleh WWF/Heart of Borneo Program , sejak tahun 2008 s/d 2011 ini tentunya mampu menjawab berbagai tantangan itu. Penulis belum melihat adanya kajian Valuasi Ekonomi kawasan ini. Valuasi ekonomi akan dapat menjawab berbagai opsi penggunaan lahan. Valuasi ekonomi akan mengungkap nilai langsung (direct values) maupun tak langsung (indirect values) dari kawasan ini. Bagaimana hasil-hasil kajian itu juga dapat membantu Pemda dalam menyiapkan berbagai opsi rencana pembangunan di daerahnya masing-masing dengan lebih rasional yang didukung data dan informasi spasial dan non spasial yang valid, dengan ntetap mempertimbangkan aspirasi masyarakat, dan keseimbangan antara aspek ekonomi-ekologi-sosial/budaya.
  4. Tantangan lainnya adalah bagaimana melibatkan pihak swasta, baik yang bergerak di bidang pertambangan migas, mineral, perkebunan skala besar. Baik dalam sinergi program maupun pendanaannya; lembaga-lembaga internasional, bila nantinya kawasan menjadi world heritage yang akan ditetapkan oleh UNESCO, berdasarkan usulan pemerintah Indonesia.
  5. Implikasi menjadi world heritage harus dipertimbangkan dari sejak awal pengusulannya. Pengalaman pengusulan dan pengelolaan 3 TN di Sumatera (TN Gunung Leuser, TN Kerinci Seblat, dan TN Bukit Barisan Selatan), perlu menjadi perhatian kita bersama. Menjadi world heritage berarti siap untuk dievaluasi oleh World Heritage Committee, setiap tahunnya, sedangkan dukungan pendanaan internasional sangat bergantung pada usaha pemerintah Indonesia dan mitra kerjanya.
  6. Tantangan bagi pemerintah pusat adalah bagaimana mendorong policy insentives khususnya bagi kabupaten-kabupaten dan provinsi yang mendukung program jangka panjang ini? Bappenas bersama-sama Menkoperek dapat berperan sentral dalam mendorong lahirnya policy insentive ini, dengan mengkoordinasikannya dengan sektor-sektor pembangunan terkait di tingkat pusat. Ide kabupaten konservasi harus dilanjutkan kembali sehingga dapat menjadi percontohan di wilayah ini. Dana Alokasi Khusus (DAK) harusnya bisa dilaokasikan bagi kabupaten-kabupaten yang telah terbukti mendukung inisiatif konservasi skala lansekap ini. Desa-desa di wilayah perbatasan kawasan ini harus mendapatkan prioritas lebih dalam hal layanan kesehatan, kualitas sarana dan prasarana pendidikan, ketersediaan air bersih, listrik, dan semua kebutuhan dasar bagi masyarakatnya.



Daftar Rujukan

Anonim., 2010. Peta Jalan Menuju Penyelamatan Visi Sumatera 2020 : Visi 2020. Kementerian Dalam Negeri, Pekerjaan Umum, Kehutanan, Lingkungan Hidup, Bappenas, Menko Perekonomian dan Forum Tata Ruang Sumatera.

Emil Salim., (2010). Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi, Penerbit Kompas, Jakarta.

Kuswata K dan Doly Priatna. Recovery of a lowland Dipterocarp forest twenty years after selective logging at Sekundur, Gunung Leuser National Park-Reinwardtia Vo.12, Part 3, PP: 237-255).

Wiratno, Virza, Harry Kushardanto, Saud Lubis., (2003) Valuation of Mt. Cibodas Biosphere Reserve; NRM Project, diterbitkan oleh Balai TN Gunung Gede Pangrango (Information Book Series 2), pada tahun 2004.

Wiratno., (2010). Establishing tropical rainforest connectivity in Nothern Sumatra : Challenges and Opportunities in Connectivity Conservation Management. A Global Guide. Greame L.Worboys, et.al (Editor). ICIMOD, IUCN,WCPA, The World Bank, The Nature Conservancy, WWF, Wilburforce Foundation, and Australia Alps National Parks, Earthscan, London, Sterling, VA.

21 Oktober 2011

Bintang-bintang di Lokalatih RBM

Lokalatih RBM ini ditujukan untuk membangun kesefahaman 17 UPT se-Sumatera dan Jawa Barat pada tanggal 11-13 Juli 2011, di Permata Hotel, Bogor. Kesadaran tentang bagaimana membangun RBM di setiap UPT tersebut. Salah satu yang menjadi bintang selama 3 hari lokalatih tersebut adalah Ahmad Munawir. Dia bersama Ecky, Fifin, dan Mojo melakukan reformasi sistem perencanaan TN Siberut yang sudah bertahun-tahun dibuat di belakang meja kantor Balai TN Siberut di Padang, dirubah menjadi proses perencanaan dari bawah dengan melibatkan mereka yang bekerja di lapangan, di tingkat resort.


Bagaimana proses reformasi perencanaan tersebut bisa terjadi? Mas Wira (panggilan akrab Ahmad Munawir) mengatakan bahwa dalam pergaulannya dengan Koen Meyers – UNESCO-lah yang membantunya menjadi pribadi yang lebih terbuka dan harus melakukan sesuatu untuk perbaikan sistem perencanaan dan sistem kerja ke depan. Membangun kebersamaan, komunikasi di seluruh jajaran staf taman nasional menjadi bagian dari awal perbaikan tersebut. Tidak menyalahkan masa lalu, namun lebih berorientasi bagaimana ke depan lebih baik, adalah sikap yang menjadi modal dasar.

Dalam buku Yudi Latih: “ Negara Kesejahteraan”, pernyataan yang sangat tepat adalah bahwa filosofi negara kita dibangun atas dasar apa yang disebut sebagai “Politic of Hope”, politik harapan. Indonesia yang berketuhanan, Indonesia merdeka, berkeadilan, dan seterusnya…” bukan “Politic of Fear”, bukan politik ancaman, yang membuat kita menjadi gamang. Perbaikan ke depan tanpa terlalu sibuk dengan masa lalu yang buram, merupakan strategi sangat tepat.


Wira dan tim reformasinya melakukan strategi sebagaimana yang dinyatakan oleh pakar Yudi Latif tersebut. Penulis baru menyadari betapa perubahan mendasar di Balai TN Siberut telah dilakukan dengan berani namun dengan cara yang santun. Peserta lokalatih banyak yang berdecak kagum, dan akhirnya mempertanyakan apakah setelah ia pindah ke Jakarta, sistem itu tetap berjalan? Fifin -- satu-satunyanya lulusan SKMA yang sebentar lagi akan menempuh S3 di IPB, dan mengikuti lokalatih tersebut -- menjawab bahwa sistem itu tetap berjalan sampai saat ini. Betapa perlu waktu beberapa tahun untuk melakukan perubahan itu (1998 TN Siberut ditunjuk dan baru 2003 sistem bottom up planning bisa dimulai). Artinya memerlukan waktu lebih dari 15 tahun sampai dengan sekelompok staf muda berani mengusulkan perbaikan sistem perencanaan yang lebih terbuka dan mulai dari bawah, dari fakta-fakta dan kebutuhan lapangan.


Bintang kedua dalam Lokalatih tersebut adalah Keleng Ukur Sembiring, Kepala Resort Cita Raja, TN Gunung Leuser. Mengundang Keleng Ukur tidak mudah. Harus mendapatkan ijin Kepala Balai Besar. Kepala resort diundang berbagi pengalaman di forum nasional, suatu yang membuat staf lain terheran-heran. Ada apa gerangan? Ia berangkat dengan sangu tiket dan bekal dari Ahtu, anak muda staf TN Gunung Leuser, lulusan Unila yang handal dan jernih hatinya, serta terlibat penuh di areal restorasi, Sei Serdang, tempat Keleng Ukur bekerja selama lebih dari 2,5 tahun menjaga di lapangan.


Pada hari kedua RBM, penulis berbicara dengan Ami-bagian Kepegawaian Ditjen PHKA, bahwa Keleng Ukur layak diusulkan untuk dapat penghargaan Menhut di acara Rekernis PHKA. Tidak ada hitungan detik, Ami sudah berkomunikasi dengan Pak Sekditjen-Hartono, pencetus dan penerap RBM di TN Alas Purwao selama 3 tahun penuh. Dan pada hri terakhir workshop, di pagi hari, Ami meminta CV dan prestasi Pak Keleng untuk diajukan ke Dirjen PHKA. Singkat kata, di pembukaan Rakernis PHKA tanggal 18 Juli 2011, Keleng bersama 14 orang lainnya dari mitra PHKA, PPNS, dan pegawai Ditjen PHKA lainnya, mendapatkan Penghargaan Menteri Kehutanan.


Pak Keleng Ukur mendapatkan penghargaan sebagai pegawai yang bekerja penuh dedikasi di daerah terpencil (dedikasinya menjaga area restorasi di Sei Serdang, TN Gunung Leuser). Ia mengakui dua bahwa ia didampingi oleh dua orang “guru” : Suer Suryadi dan Ujang Wisnu Barata, disamping inisiator lainnya, Ratna Hendratmoko (Moko), dan Subhan. Empat serangkai penerus generasi Leuser pasca penulis meninggalkan tugas di Leuser (2005-2007). Suer yang meng-upload foto Keleng Ukur sedang bersalaman dengan Menteri Kehutanan-Bapak Zulkifli Hasan di facebook, mendapatkan sambutan meriah dari mereka yang mengetahui sejarah perjuangan penyelesaian perambahan Besitang dan sekitarnya. Keleng Ukur adalah sebuah pembuktian bahwa bila hutan dijaga-dengan hati, keringat, dan kesabaran, akan berbuahkan buah yang manis, yaitu pulihnya ekosistem, semakin fahamnya masyarakat setempat akan pentingnya mejaga hutan, dan semakin riuhnya suara satwa datang kembali ke “rumahnya” yang dulu dirambah sawit dengan suara chainsaw yang nggegirisi itu....sebuah awal baru tentang menjaga hutan, yang sudah diperintahkan di PP 28/2011.


Sehari sebelum penyerahan penghargaan, Pak Andy Basrul diskusi di ruang kerja penulis, ia berencana akan meminta Pak Keleng tugas di Resort Sekoci. Keleng Ukur akan membenahi Seksi Besitang. Mungkin setelah 3 kali gagal menyelesaikan Besitang melalui jalur pengerahan polisi dan tentara dalam jumlah besar, Pak Andy mulai memahami bahwa Besitang adalah satu fenomena yang tidak biasa. Ia mulai faham tim internal belum atau tidak solid. Bawa senjata pun tak berguna, karena staf Besitang tidak berani mencabut satu batang sawit pun ……”


Lokalatih RBM kali ini spesial karena mengundang inspirator dan motivator bak ‘sekelas’ Mario Teguh: Mas Tri wibowo dan Mas Suhariyanto. Yang pertama bergaya blak-blakan dikombinasi dengan curahan kontemplatif spiritual plus urakan. Mas Tri memiliki pengalaman panjang 3 dekade bekerja di lapangan. Yang kedua, gaya orator, lugas, melalui BB-nya beliau mensitir banyak koleksi cerita inspiratif dan akhirnya memang mengalir deras sampai akhirnya terpaksa distop moderatornya - penulis sendiri. Jago-jago senior ini memang layak dapat bintang. Peserta RBM tersihir dengan pesona mereka, sampai akhir sesi yang molor sampai 1 jam lebih. Pribadi-pribadi yang mengesankan dan sayang kalau kita generasi muda konservasi tidak bercermin dari mereka yang malang melintang di “dunia persilatan” konservasi alam Indonesia.


Catatan:

Artikel ini penulis persembahkan kepada mereka-mereka yang dengan hati dan semangat bekerja di lapangan, dengan medan yang berat penuh tantangan, namun tetap tersenyum dan mampu menunjukkan hasil karya nyata yang tentu akan diwariskan kepada kita semua. Dokumentasi dalam artikel ini dimaksudkan untuk membuat kita terjaga dan faham akan sejarah pendahulu kita, maupun figur-figur tua dan muda yang mampu membelokkan atau merubah sejarah konservasi alam. Artikel ini juga merupakan bagian dari Sub Bab Buku yang sedang penulis siapkan, namun belum tahu kapan akan diterbitkan....dengan judul : “Manusia-manusia Konservasi” (Juanda 15, Bogor, 21 Oktober 2011)

20 Oktober 2011

10 Filosofi Hidup Orang Jawa

Dalam berbagai kesempatan sepanjang 2010 terutama, penulis berkomunikasi via BBM dengan Mas Suhariyanto. Ia adalah seorang rimbawan kelahiran Blora ini yang telah kenyang asam garam bekerja lebih dari 30 tahun di bidang kehutanan, yang pernah menjabat Dirjen PHKA, Dirjen BPK, Inspektur Jenderal, dan staf khusus Menteri Kehutanan. Salah satu dari sekian banyak sharing informasi itu adalah pesan panjang-nya (bukan pesan pendek lagi) melalui blackberry massanger pada Agustus 2010, mengingatkan akan 10 Filosofi Hidup Orang Jawa, yang diuraikan sebagai berikut:

· Kesatu; Urip iku urup. Hidup itu menyala, hidup itu hendaknya dapat memberi manfaat bagi orang lain di sekitar kita. Semakin besar manfaat yang dapat kita berikan tentu lebih baik.

· Kedua; Memayu hayuning bawana,aAmbrasta dur hangkara. Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan (manusia sebagai khalifah), kebahagiaan, dan kesejahteraan, serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak.

· Ketiga; Sura dira jayadiningrat, lebur dening pangastuti. Segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar.

· Keempat; Ngluruk tanpa bala, menang tan ngasorake, sekti tanpa aji-aji, sugih tanpa bandha. Berjuang tanpa membawa massa, menang tanpa merendahkan atau mempermalukan, berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan, kekayaan, atau keturunan, kaya tanpa didasari kebendaan.

· Kelima; Datan serik lamun ketaman, datan susah lamun kelangan. Jangan gampang sakit hati manakala musibah menimpa diri, jangan bersedih manakala kehilangan sesuatu.

· Keenam; Aja gumunan, aja getunan, aja kagentan, aja aleman. Jangan mudah terheran-heran, jangan mudah menyesal, jangan mudah terkejut, jangan mudah kolokan atau manja.

· Ketujuh; Aja Kathungkul marang kalungguhan, kadonyan lan kemareman. Jangan terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan, dan kepuasan duniawi.

· Kedelapan; Aja keminter mundak keblinger, aja cidra mundak cilaka. Jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah, jangan suka berbuat curang agar tidak celaka.

· Kesembilan; Aja milik barang kang melok, aja mangro mundak kendho. Jangan tergiur oleh hal-hal yang mewah, cantik, dan indah, jangan berfikir mendua agar tidak kendor niat dan semangat.

· Kesepuluh; Aja adigang, adigung, adiguna. Jangan sok kuasa, sok besar, sok sakti.

Kesepuluh intisari falsafah Jawa rasanya perlu kita renungkan, resapi, dan sekaligus kita perlu kritisi apakah nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat kita jadikan salah satu acuan dalam mensikapi hidup kita, sebagai manusia-manusia yang peduli akan kelestarian lingkungan, kelestarian hutan untuk kesejahteraan manusia. Mereka yang peduli akan alam dan lingkungan ini ternyata banyak dan di antaranya dari kalangan orang-orang biasa yang hasil karyanya tidak biasa. Beberapa contoh itu adalah:

· Tri Mumpuni-Pendekar Lingkungan Hidup 2008. Ia mampu menggerakkan masyarakat dan menjadi motor pembangunan mikro (mini) hidro yang menghasilkan listrik di 60 lokasi tersebar di seluruh Indonesia. Usahanya membentang dalam tempo tidak kurang dari 17 tahun (Berita TransTV 17 Agustus 2010; jam 21:48). Puluhan penghargaan diterimanya dari berbagai kalangan, antara lain sebagai Climate Hero dari WWF, dan terakhir ia memperoleh penghargaan Ramon Magsaysay dari pemerintah Filipina atas jasa-jasanya yang luar biasa untuk kemanusiaan itu.

· Sutaji, manusia unggul, manusia biasa dari lereng Gunung Wilis, Kabupaten Nganjuk, yang berhasil menghijaukan kembali 61 hektar kawasan hutan yang rusak akibat euforia reformasi adalah contoh nyata, sebagaimana dimuat di Harian Kompas 26 Agustus 2010. Inisiatif pribadi itu akhirnya didukung oleh banyak pihak, dan telah menghasilkan perbaikian kondisi lingkungan dengan mengalirnya kembali 40 sumber mata air yang dapat mengairi ribuah hektar sawah di lembah dan mendorong mengembangan wisata alam. Petani dari Desa Bajulan, Kecamatan Loceret, Kabupaten Ngajuk yang tidak lulus sekolah dasar itu telah menjadi contoh nyata bagi kita semua. Kasus ini mengusik tidur lelap kita bahwa ternyata kesadaran lingkungan tidak selalu berkorelasi dengan tingkat pendidikan. Sutaji membuktikan hal tersebut dalam waktu 10 tahun.

· Eny Sudarmonowaty, yang beritanya dimuat pada tanggal 20 Agustus 2010 oleh harian Kompas. Berita tentang orasi Eny Sudarmonowati, sebelum dikukuhkan sebagai Profesor Riset. Ia sejak 1992 melakukan penelitian intensif pemuliaan pohon hutan. Salah satu yang dipilih adalah sengon-salah satu jenis pohon cepat tumbuh (fast growing spesies) yang penting untuk rehabilitasi hutan atau dikembangkan sebagai penghasil kayu perkakas ringan. Hasil rekayasa genetik yang dilakukannya telah membuat pertumbuhan sengon 1,5 kali lebih cepat dari sengon bukan hasil rekayasa. Diprediksi, panen yang semula menunggu 15 tahun bisa diperpendek menjadi 7 tahun saja. Hasil dialog penulis melalui pesan pendek kepada Prof Eny (20/08/2010) jam 9:14, terungkap bahwa ia melakukan penelitian juga tentang Acacia mangium transgenik. Ada sengon mutan hasil radiasi sinar gamma, yang tahan hidup di lahan ex-tailing, jadi kemungkinan besar bisa untuk bioremediasi. Ribuan hektar lahan eks pertambangan dapat segera dihijaukan dengan hasil riset ini. Di samping asyik bekerja di laboratorium, Prof Eny S juga menginisiasi organisasi lingkungan dengan nama Jakarta Green Monster - yang didukung pihak swasta menanam mangrove di pantai Utara Jakarta setiap menjelang buka puasa. Betapa menariknya mengetahui, manusia-manusia unggul di bidang penelitian, yang ditekuni bertahun-tahun, seperti yang diberitakan Kompas 3 hari setelah hari kemerdekaan Indonesia. Tak kalah dengan hasil-hasil penelitian dari peneliti manca negara. Hasil risetnya tentu harus didukung dengan kebijakan pemerintah untuk mengadopsinya, dan mengujicobakannya di tingkat lapangan.

Tugas pemerintah sebagai fasilitator seperti ini yang seringkali ditunggu-tunggu oleh para peneliti unggul seperti ini. Dan tentu masih banyak hasil-hasil penelitian di bidang kehutanan yang semestinya dihargai dan yang lebih penting bagaimana dari research to action. Betapa lamanya proses riset untuk mendapatkan hasil yang memuaskan seperti menurut Ray Asmoro, manusia unggul juga harus memiliki kongruensi (congruency), yaitu terciptanya keselarasan antara pikiran, emosi, dan tindakan. Berfikir tanpa bertindak hanya akan membuahkan ide atau gagasan. Dibutuhkan tindakan tertentu untuk menjadikan ide dan gagasan itu menjadi kenyataan. Dalam hal riset sengon, diperlukan tindakan-tindakan dengan ketekunan yang tinggi serta waktu sangat panjang untuk membuahkan hasil. Manusia konservasi sudah selayaknya memiliki sifat dan sikap kongruen(si) ini, sebagai modal dasar untuk menggapai impiannya membantu menyelamatkan alam.

Renungan Diri

Tentu saja, sepuluh filosofi orang Jawa itu sebenarnya juga berlaku universal. Bukan eksklusif miliki orang Jawa saja, walaupun kesepuluh filosofi itu digali dalam khasanah budaya dan praktik laku orang Jawa. Beberapa contoh manusia unggul sebagaimana yang diungkap oleh Kompas dalam berbagai kesempatan itu telah menunjukan bahwa pribadi-pribadi unggul itu jauh dari kesan pamer, mencari sensasi. Sebagian besar tindakan dan karyanya diabdikan dan dikontribusikan untuk sebesar-besarnya kemanfaatan orang banyak, masyarakat luas, dan bukan hanya sekedar bagi kepuasan dirinya. Maka, patut kita renungkan kesepuluh nilai-nilai atau filosofi itu, sebagai cerminan bagi kita semua, untuk tidak silau akan keduniaan yang fana ini. Lebih membangun kesadaran diri untuk selalu bermanfaat bagi sesamanya, bahkan bagi mahluk lain yang hidup dan berhak hidup di muka bumi ini.

Catatan:

Ucapan terima kasih, penghargaan dan respect tidak terhingga, penulis haturkan kepada Kangmas Suhariyanto. Ia salah satu pribadi unggul dan unik dalam belantara antroposentrisme yang mewabah saat ini. Contoh nyata dan sikap hidupnya telah langsung berkontribusi dan mewarnai pemikiran dan menginspirasi banyak generasi muda yang peduli pada kelestarian lingkungan dalam arti seluas-luasnya. Buku yang ditulisnya, dengan judul : “Mengalir Tanpa Batas” menjadi pegangan bagi kita rimbawan Indonesia. Artikel ini, penulis sampaikan sebagai bentuk lain dari rasa hormat itu. “Matur nuwun, Kangmas…”


16 Oktober 2011

Peran Raja dalam Konservasi: Pelajaran dari Bhutan

Bhutan, negeri yang luasnya 38.394 Km2 menjadi salah satu benteng di bagian timur jajaran Pegunungan Himalaya, terletak di ketinggian 590,55 ft sampai dengan 24,770,3 ft. Berbatasan dengan dataran tinggi Tibet di China ke arah Utara dan Selatan, dan Timur-Barat bertentangga dengan India. Bhutan dikenal dengan julukan “Druk Yul” yang artinya ”Land of the Thunder Dragon”. Bhutan masih menutup diri, sampai tahun 1960 dimana negara ini membuka dirinya untuk dunia modern dan memulai proses pembangunan ekonomi dan sosialnya.

Visi

Pada tahun 2000, di bawah Yang Mulia Raja Bhutan Ke Empat, dicanangkan filosofi tentang pembangunan di satu sisi dan perlindungan lingkungan. Filosofi ini memiliki nilai spiritual, emosional, bagi kesejahteraan masyarakat, dan dikenal sebagai “Gross National Happines” (GNH). Keputusan-keputusan ekonomi di Bhutan, sangat ditentukan oleh berbagai pertimbangan budaya, agama, sosial, dan lingkungan. GNH ditopang oleh 4 pilar, yaitu: pelestarian budaya, keseimbangan antara pengembangan sosial-ekonomi, kepemerintahan yang baik (good governance), dan perlindungan atau konservasi lingkungan. Berdasarkan filosofi GNH tersebut, Bhutan telah menyusun dokumen Bhutan 2020, yang berisikan tujuan pembangunan dan prioritas dalam perspektif 20 tahun, prinsip-prinsip kunci untuk memberikan arahan dalam proses pembangunan tersebut.

Zona Ekologi

Bhutan dibagi ke dalam 3 zona ekologi, yaitu zona alpin (> 4000 m), zona temperate (1000-4000 m), dan zona sub-tropikal (200-1000 m). Puncak tertinggi adalah Jhomolhari di bagian barat, pada ketinggian 7.314 m dan masih terdapat 9 puncak lainnya pada ketinggian di atas 7.000 m. Di bagian utara, terdapat puncak Himalaya bersalju pada ketinggian di atas 7.500 m memanjang sepanjang perbatasan Bhutan-China. Di bagian utara Bhutan, terdiri dari jajaran puncak-puncak pegunungan glasial dengan iklim artik pada puncak ketinggiannya, yang membentuk sebagian sungai-sungai besar Bhutan yang menghasilkan hidro-power. Sebagian besar listrik hasil dari PLTA ini diekspor ke India, negeri tetangganya dan sebaliknya berbagai jenis barang-barang produksi India mengalir di pasar-pasar di Bhutan.

Land use

Berdasarkan kondisi alam yang bergunung-gunung pada ketinggian yang seperti itu, maka pemerintah Bhutan menetapkan 72,5 % adalah kawasan hutan, 7,7% lahan pertanian, 0,1% hortikultur, 3,9% lahan peternakan, pemukiman 0,1% dan sisanya 15,7% adalah kawasan tertutup es, batu cadas, aliran sungai-sungai, dan sebagainya. Hutan-hutan di Bhutan didominasi oleh broadleaf forest (34,3%), hutan konifer (26,5%), scrub forest (8,1%), hutan campuran (broadleaf dan konifer) sekitar 3,4%), dan hutan tanaman 0,2%.

Sejarah Konservasi

Konservasi ternyata bukan konsep baru. Masyarakat Bhutan telah lama hidup selaras dengan alam berabad yang lalu. Dinyatakan oleh Raja ke Empat Bhutan bahwa : “ Telah berabad-abad, masyarakat Bhutan memiliki sumberdaya alam dan telah menjaganya sebagai sumber kehidupan. Penggunaan sumberdaya alam secara tradisional itu telah membawa kehidupan sampai Abad 20 dengan kondisi lingkungan yang masih kaya dan utuh. Kami berharap masih melanjutkan kehidupan yang selaras dengan alam untuk dapat mewariskan warisan kekayaan alam ini bagi generasi mendatang..”

Sejarah Kawasan Konservasi

Seperti negara-negara lainnya, Bhutan memulai menetapkan kawasan konservasinya pada tahun 1960an, pertama kali membuka isolasi negara setelah berabad-abad menutup diri. Taman Nasional Royal Manas ditetapkan pada tahun 1966. Tetapi konsep pengelolaan taman nasional baru ditetapkan pada tahun 1974 dengan deklarasi 8 taman nasional di bagian Utara dan Selatan, dan ditambah penetapan beberapa kawasan konservasi pada tahun 1983. Pada tahun yang sama 3 kawasan konservasi digabung untuk membentuk Suaka Margasatwa Jigme Dorji, yang meliputi seluruh kawasan di Utara dari Bhutan. Dalam perkembangannya, pada tahun 1993 dibentuklah 4 taman nasional, 4 suaka margasatwa, dan 1 cagar alam.


Catatan:

Foto: Hutan di Pegunungan Tinggi (>3000 mdpl) di Kaki Himalaya (Wiratno)

Artikel ini disarikan dari bahan-bahan Tiger Landscape Conservation Workshop di Thimpu, Bhutan;28-31 Mei 2011


07 Oktober 2011

Bencana Ekologi dan Krisis Kebudayaan

Seorang ahli fisika terkenal, Fritjof Capra, menguraikan dengan gamblang bagaimana Barat dikuasai oleh pemahaman tentang fenomena alam yang mekanistik, yang dikembangkan oleh Descartes selama tiga abad. Pandangan filsuf ini menyatakan bahwa alam semesta adalah sebuah sistem mekanis, telah memberikan persetujuan “ilmiah” pada manipulasi dan eksploitasi terhadap alam. Tujuan ilmu adalah penguasaan dan pengendalian alam, yang menegaskan bahwa pengetahuan ilmiah dapat digunakan untuk “mengubah kita menjadi tuan dan pemilik alam”.

Sebelum Abad 15, pandangan dunia yang dominan di Eropa dan sebagian besar peradaban lain bersifat organik. Manusia hidup dalam komunitas-komunitas kecil dan erat, dan menjalani kehidupan alam raya dalam pengertian hubungan organik, yang ditandai oleh saling ketergantungan antara fenomena spiritual dengan fenomena material dan prinsip kebutuhan masyarakat umum lebih utama daripada kepentingan pribadi. Model matematika yang dikembangkan Descartes lah yang kemudian memungkinkan NASA mengirim manusia ke bulan. Kerja Descartes ini dilanjutkan oleh Isaac Newton pada abad 18, yang teorinya mampu menjelaskan gerak planet, bulan, komet, aliran gelombang, dan sebagainya.

Walaupun demikian, pandangan yang menempatkan alam sebagai fenomena mekanistik itu pula yang mendorong Barat mengembangkan Etika Antroposentrisme. Etika antroposentrisme ini dilatarbelakangi oleh tradisi pemikiran barat yang liberal. Dalam etika ini manusia diposisikan sebagai pusat dari alam semesta, dan hanya manusia yang memiliki nilai, sementara alam dan segala isinya sekedar alat bagi pemuas kepentingan dan kebutuhan hidup manusia. Manusia dianggap berada di luar; di atas dan terpisah dari alam. Bahkan, manusia difahami sebagai penguasa atas alam yang boleh melakukan apa saja. Menurut Keraf (2002), cara pandang yang melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif.

Bencana Ekologi

Senge, P (2008) menguraikan bahwa saat ini lebih dari 50 juta manusia setiap tahun bermigrasi ke kota-kota, yang disebabkan oleh ekonomi tradisionil yang hancur dan kondisi lingkungan yang terdegradasi, khususnya lahan dan perikanan. Kita mengetahui secara global terjadi ketimpangan dalam distribusi sumberdaya dan sekaligus dalam “gaya hidup”. James Martin-penulis buku “The Wired Society”, menuliskan dalam buku “The Meaning of the 21 Century” (2007), menyatakan bahwa 7% penduduk dunia mengkonsumsi 80% energy yang tersedia. Pola konsumsi energi, air, dan sumberdaya alam lainnya setara dengan konsumsi 140 orang Afganistan atau Ethiopia. Dinyatakan oleh James Martin tiga macam penyebab kehancuran sumberdaya alam, yaitu: penurunan kuantitas sumberdaya alam, pertumbuhan penduduk, dan pola konsumsi. Terbukti pula Amerika adalah negara yang duduk pada peringkat teratas yang mengkontribusi gas carbon dioksida secara global. Pernyataan James Martin tersebut mungkin dapat mengkoreksi pernyataan dari Club of Rome yang menerbitkan buku The Limits to Growth pada tahun 1972, diterjemahkan ke dalam 30 bahasa dan terjual lebih dari 30 juta copy. Dinyatakan dalam buku tersebut tentang semakin menipisnya sumberdaya alam di dunia yang mereka asumsikan sebagai akibat negatif dari pesatnya pertumbuhan penduduk dunia. Tigapuluh enam tahun kemudian, asumsi itu dipatahkan: 80% sumberdaya alam dunia dihabiskan oleh 7% atau segelintir penduduk dunia-mereka yang hidup “sangat” boros di negara-negara Utara. Senge, P (2008) menambahkan bahwa Komisi yang dibentuk oleh pemerintah US, dan industri minyak US melaporkan bahwa suplai minyak dan gas dunia tidak akan mampu mensuplai permintaan global 25 tahun ke depan, yang akan mendorong naiknya harga minyak dari $ 25/barrel menjadi $ 100/barel antara tahun 2000 sampai akhir 2007.

Sikap eksploitatif negara-negara Utara inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab dan menyeret Indonesia ke dalam bencana lingkungan. Eksploitasi sumberdaya hutan, bahan tambang mineral, minyak, gas, dan air selama 30 tahun telah menghasilkan dampak nyatanya saat ini. Banjir, tanah longsor, kekeringan, pencemaran tanah, penurunan kesuburan tanah, fragmentasi habitat satwa liar, kebakaran lahan, polusi air, pendangkalan waduk, situ, pencemaran udara; konflik sosial, marginalisasi masyarakat adat, terancamnya kebudayaan mengelola hutan masyarakat adat, dan seterusnya. Telah terjadi penurunan kualitas lingkungan hidup yang sangat besar. Kalau hutan alam dataran rendah di Pulau Jawa habis dalam tempo 100 tahun antara Abad 18-19, hutan alam dataran rendah Pulau Sumatera lenyap dalam hitungan 30 tahun. Proses lenyapnya hutan alam Sumatera diprediksi sepuluh kali lebih cepat daripada masa kolonial.

Capra menyatakan bahwa kesadaran ekologis akan tumbuh hanya jika kita memadukan pengetahuan rasional kita dengan intuisi untuk hakikat lingkungan kita yang nonlinear. Fakta yang kita hadapi saat ini adalah bahwa telah terjadi ketimpangan yang luar biasa antara perkembangan kekuatan intelek, pengetahuan ilmiah, dan ketrampilan teknologi di satu sisi, dengan perkembangan kebijakan, spiritualitas, dan etika di sisi yang lain, yang menyebabkan ketidakseimbangan budaya yang menjadi akar-akar dari krisis multidimensional peradaban manusia saat ini.

Krisis Kebudayaan

Oleh karena, itu patut kita renungkan pendapat Keraf (2002), yang mengajukan sebuah ide tentang “keberlanjutan ekologis”. Prinsip yang diajukan dalam paradigma keberlanjutan maupun keberlanjutan ekologis adalah integrasi secara proporsional ketiga aspek, yaitu aspek ekonomi, aspek pelestarian sosial-budaya, dan aspek lingkungan hidup. Etika antroposentrisme harus ditinggalkan dan diganti dengan etika lingkungan hidup yang bertumpu pada teori biosentrisme dan ekosentrisme, dengan perpegang pada sikap hormat terhadap alam, prinsip tanggung jawab, solidaritas kosmis, prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam, prinsip “no harm”, prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam, prinsip keadilan, prinsip demokrasi, dan prinsip integritas moral.

Menarik apa yang dikemukakan oleh Sonny Keraf tentang sikap eksploitatif yang menghasilkan krisis ekologis sebagai dampak negatif dari ”pembangunan” di satu sisi dan Fritjof Capra tentang persoalan ketidakseimbangan budaya sebagai akar dari krisis manusia dewasa ini, di sisi yang lain. Persoalan mendasar tersebut telah dikemukakan oleh salah satu cendekiawan terkemuka Soedjatmoko pada tahun 1976. Soedjatmoko menyatakan bahwa usaha pembangunan dan modernisasi yang kita jalani sebagai sebuah bangsa telah menghadapkan kita secara langsung dengan masalah kebudayaan Indonesia dan dengan proses kebudayaan, kita memperbarui diri dalam kita menjawab tantangan kehidupan modern. Pembangunan menurut Soedjatmoko (1984) dalam Ibrahim (2004) tidak lain daripada mendinamisasikan kekuatan-kekuatan masyarakat. Dia bukan sekedar mengadakan proyek-proyek. Inilah yang disebut oleh Korten dan Sjahrir (1988) sebagai paradigma pembangunan yang disebut sebagai people-centered development atau pembangunan yang berpusat pada rakyat. Sikap ini juga didukung oleh Arief Budiman (1985) yang menekankan tujuan pembangunan untuk membangun manusia. Manusia yang dibangun adalah manusia yang kreatif. Untuk bisa kreatif, manusia tersebut harus merasa aman dan bebas dari rasa takut. Hanya manusia seperti inilah yang bisa menyelenggarakan pembangunan dan memecahkan masalah yang dihadapinya.

Agenda Siapa?

Adakah pergulatan pemikiran tentang pentingnya perubahan paradigma pembangunan kental dengan nuansa eksploitatif selama ini yang telah mengakibatkan meningkatnya krisis ekologis. Bagaimana calon pemerintahan baru mensikapi hal ini? Minimal pemerintahan mendatang perlu mempertimbangkan berbagai persoalan pembangunan tersebut, secara lebih serius, komprehensif, dan mendalam. Pembangunan bukan sekedar disederhanakan menjadi angka-angka pertumbuhan ekonomi, realisasi proyek-proyek, penanaman modal asing, penciptaan lapangan kerja, kesejahteraan masyarakat, dan sebagainya. Di mana posisi aspek lingkungan, kelestarian sumberdaya alam dan faktor ekologi?

Pemerintahan di bawah Presiden SBY dalam bendera KIB II ini, perlu menimbang dibentuknya Tim Khusus, dengan tugas menyusun dan merumuskan Strategi Kebudayaan dan Pembangunan Indonesia yang baru, yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Termasuk dalam konteks Indonesia sebagai anggota baru kelompok G-20.

Strategi pembangunan tersebut perlu disiapkan dengan proses dialog publik yang cukup mendalam-komprehensif, yang melibatkan bukan hanya ekonom, dan teknokrat sebagaimana disain di masa lalu, tetapi juga budayawan, pakar ekonomi lingkungan, pakar biologi, sosiolog, antropolog, sejarawan, serta putra-putra terbaik dari seluruh Indonesia. Hal ini sebenarnya merupakan pekerjaan rumah bagi kita semua yang merasa terpanggil untuk NKRI. Yaitu membuka ruang publik untuk dialog konstruktif tentang masa depan Indonesia, dalam konteks perubahan geopolitik di tanah air di era otonomi daerah, di tataran ASEAN, maupun internasional. Bagaimana mengurangi dominasi negara-negara Utara, dan menciptakan strategi kemandirian secara bertahap di segala bidang kehidupan dan pengelolaan sumberdaya alam strategis nasional (minyak bumi, gas alam, mineral, air), sebagaimana Malaysia, Korea, India, Singapura misalnya, mulai berhasil mewujudkannya. Untuk itu, diperlukan sikap mental dan sikap politik seorang negarawan bagi seluruh jajaran birokrasi pemerintahan, parlemen, termasuk putra-putra terbaik Nusantara. Utopiakah pendapat ini, dengan melihat situasi lebih dari 10 tahun reformasi di Indonesia? Kita semua yang harus menjawabnya dengan hati nurani dan kegundahan intelektualitas serta spriritualitas kita. Itupun kalau kita masih merasa memilikinya.

Penulis yakin, Indonesia dengan sejarah geologi pembentukannya, kekayaan alamnya yang ”melimpah ruah”, sejarah panjang kebudayaan dan posisi strategisnya (sebagai ring of fire di antara dua benua), masih menjadi ” The Land of Hope” bagi kemanusiaan, tetapi bisa berbalik menjadi sekedar ”bancaan” (bahasa Jawa yang artinya: jadi rebutan, dieksploitasi habis-habisan), kalau putra-putra terbaik Indonesia tidak dapat mengawalnya.***

Catatan:

Artikel ini akan dijadikan salah satu bahan, dalam buku penulis yang akan segera terbit dengan judul : ”Esai-esai Konservasi Alam”