Ditulis oleh: Wiratno dan Kelompok Juanda 15*)
Membaca memang menjadi “jendela” menuju ketakterbatasan. Dengan membaca, kita dapat melalui “time tunnel”, lorong waktu berabad ke belakang. Melalui buku, kita dapat membayangkan masa depan, dengan fantasi dan impian hampir tak terhingga. Maka, manusia diperintahkan untuk membaca "Iqra”, yang menjadi simbul menuju pencerahan dari kebutaan dan kegelapan. Meraih kebebasan dan kemerdekaan. Menuju kemungkinan-kemungkinan masa depan yang tak terhingga. “Membaca” dalam hal ini tentu saja tidak terbatas pada buku dalam arti harafiahnya. Buku itu juga berarti seluruh ciptaan-Nya. Membaca buku dalam arti luas adalah mencoba memahami seluruh ciptaan-Nya. Sumberdaya alam di bawah perut bumi, hutan belantara, sungai, laut, gerakan lempeng benua yang ternyata menghasilkan palung laut, gempa tektonik, tsunami, mendorong evolusi mahluk di atasnya, kelahiran gunung-gunung api, angkasa luar tanpa batas adalah juga “buku” yang wajib kita memahami dan “membaca”nya.
Indonesia, yang terbentang di antara dua lempeng benua dengan kekayaan alamnya yang melimpah, dengan jajaran gunung api aktifnya-ring of fire, menjadi daya tarik para penakluk dari negeri-negeri yang nun jauh di sana yang dipisahkan ribuan mil. Sejarah panjang itu, sudah selayaknya patut diangkat kembali, khususnya yang terkait dengan penaklukan sumberdaya alam di hampir seluruh pelosok Nusantara. Beberapa catatan yang dapat diungkap dari buku-buku sejarah, sungguh sangat mengejutkan apabila kita mau menghububungkannya dnegan masa kini. Satu hipotesa penulis coba ajukan, bahwasanya : “Indonesia sampai dengan saat ini tidak pernah lepas dari keterjajahan dan penjajahan serta keterpurukan”. Keterjajahan dalam perspektif sumberdaya alam, yang tentunya juga terkait dengan belenggu politik ekonomi kapitalis, yang dimulai empat abad sejak VOC didirikan pada tahun 1601. Kronologi berikut, memperkuat hipotesa dan kemungkinan besar akan membuktikan kebenarannya.
Periode Abad 14-akhir abad 18:
Abad 14-15 adalah masa dimana kesukaan Dunia Barat akan tiga jenis perasa meningkat sangat tajam. Ketiga jenis perasa itu adalah cengkih (Syzygium aromaticum), buah dan bunga pala (Myristica fragrans), dan lada (Piper nigrum). Perdagangan rempah-rempah inilah yang memicu penjelajahan ke Timur (Brazil, Afirka Barat dan Tanjung Harapan) oleh orang-orang Purtugis dengan pelopor Vasco da Gama, sekaligus menyebarkan bahasa Portugis menjadi lingua franca di daerah-daerah baru ini. Sejarah Asia Tenggara termasuk Hindia Belanda, dalam hal perniagaan (1450-1680), diuraikan dalam buku sejarah penting yang ditulis oleh Anthony Reid diterbitkan oleh Yale University (1993) dan diterjemahkan/diterbitkan oleh Yayasan Obor, 1999 (cetakan pertama dan 2011 untuk cetakan kedua.
Dalam perkembanganya, pada abad 16, Belanda dan Inggris dengan keahlian membangun kapal yang semakin hebat, membangun meriam, dan peralatan navigasi, sehingga dapat menempuh perjalanan lebih panjang, cepat dan aman, yang dapat mengalahkan kapal-kapal dari Lisbon.
Sejarah penaklukan Nusantara sudah dimulai sejak mendaratnya sebuah armada kecil di akhir Juni 1596, terdiri dari empat kapal Belanda membuang sauh menjelang Banten yang dimpimpin oleh Cornelis de Houtman. Dengan kecerdikannya, dialah yang dapat melakukan perjanjian dengan sultan Banten, yang akhirnya menjadi cikal bakal kolonialisme di Indonesia di kemudian hari. Sejak saat itulah, peranan Portugis dalam perdagangan rempah-rempah mulai memudar dan digantikan oleh Belanda ada ekspedisi-ekspedisi selanjutnya. Tahun 1601, Portugis terusir dari Banten dan tahun 1605 Belanda mengambil alih seluruh kepulauan Maluku, termasuk Banda yang menghasilkan pala dan cengkeh. Tahun 1601 itulah kelahiran model bisnis yang menjadi dasar kapitalisme modern, dengan didirikannya sebuah perusahaan dagang, yaitu Vereenigde Oost-Indische Companie (VOC). Dinyatakan bahwa VOC mungkin menjadi perusahaan paling terkenal bagi para ahli sejarah karena telah memerintah sebagian besar Hindia Timur selama 2 abad. Pada tahun 1618, Jan Pieterszoon Coen mempromosikan dirinya sebagai gubernur jenderal Hindia Timur keempat dan paling terkenal, yang mendirikan Batavia. Dalam perkembangannya, VOC akhinya mengalami kebangkrutannya yang memalukan dan korupsi pada tahun 1799. Sekelumit sejarah sangat penting ini dituliskan oleh Simon Winschester, dalam bukunya yang menjadi best seller dunia, yaitu : “Krakatoa. Saat Dunia Meledak : 27 Agustus 1883’. Ia mengaitkan kedatangan kapal-kapal Belanda pada pergantian ke abad 17 yang mengangkut para pembuat peta, yang diantaranya adalah Jan Huyghen van Linschoten, orang pertama yang membuat identifikasi positif tentang pulau-gunung api yang menyebabkan bencana di tahun-tahun mendatang : Gunung Krakatau!
Di awal abad 17, tepatnya tahun 1714, ditandai dengan munculnya suatu gerakan baru konservasi alam. Hal ini ditandai dengan penyerahan sebidang tanah hutan seluas 6 hektar di Depok, milik C Chastelein untuk dikelola sebagai natuur reservaat. Gerakan ini nantinya akan diteruskan oleh Dr Koorders, mendirikan organisasi pertama yang bergerak di bidang perlindungan alam, pada tahun 1912. Jarak waktu yang panjang antara inisiatif C Chastelein dengan Dr.SH. Koorders membentang sepanjang 198 tahun atau hampir 2 abad! Sejarah ini diungkap dan dapat dibaca dalami Buku yang disiapkan oleh Wiratno, Daru Indriyo, dan Ahmad Syarifudin selama 2 tahun (1999-2000) dan akhirnya diterbitkan oleh Gibbon Foundation pada tahun 2001, dengan judul :”Berkaca di Cermin Retak: Refleksi Konservasi dan Implikasinya bagi Pengelolaan Taman Nasional.
Apa yang terjadi pada periode 1800-1900 di Nusantara. Terdapat dua kelompok besar upaya penaklukan Nusantara. Pertama adalah ditemukannya Garis Wallace, oleh Alfred Russel Wallace. Ia memulai perjalanan ke Hindia Timur pada tahun 1854 ke rangkaian Pulau. Ia yang dikenal sebagai bayang-bayang Darwin, mengajukan 2 pemikiran penting yaitu bahwa geografi sangatlah berpengaruh pada perkembangan biologi, dan bahwa spesies berasal dari seleksi alami atas jenis yang lebih disukai dalam variasi populasi apa saja. Ia adalah kolektor hebat, dengan jumlah koleksinya dari Nusantara berjumlah tidak kurang dari 125.660 spesimen tanaman, hewan, serangga dan burung. Ada 310 mamalia, 100 reptil, 83.000 kumbang, 13.000 serangga lain, 8.000 burung, 13.000 kupu-kupu, dan .500 kulit kerang.
Penelitiannya akan mahluk hidup dalam jumlah bear itu membawanya ke penantian yang dicarinya dan juga sekalian mendapatkan apa yang dicarinya. Ia tiba-tiba menyadari akan keberadaan evolusi dan mekanismenya. Ia dengan segera mengenali perbedaan mendasar antara dua populasi hewan dan tumbuhan mendasar di kepulauan yang telah dipilihnya itu. Demikian dituliskan oleh Simon Winchester adalah “Krakatoa” yang diterjemahan dalam bahasa Indonesia pada tahun 2010. Wallace menuliskannya catatan-catatannya dalam bukunya The Wonderful Century. Tulis dan gagasan tentang mekanisme evolusi yang dimintakan Darwin untuk mencarikan penerbit, ke pakar geologi Charles Lyell yang Darwin pikir akan terkesan, malahan membuat Darwin tergugah. Itulah gagasan yang sedang ia cari-cari, yang akhirnya menjadi pendorong kuat bagi Darwin untuk menyelesaikan buku besarnya, On the Origin of Species, referensi penting Wallace ke “ perjuangan keberadaan” dan “yang terbaik yang selamat” muncul sebagai kunci dari seluruh misteri yang ada. Walaupun Wallace tidak menerima pengangkatan sebagai ksatria, seperti sejawatnya yang lebih ningrat, misalnya Galton, Huxley.Lyell dan Hooker, ia menjadi anggota Order of Merit, yang bagi kebanyakan orang Briitain dianggap lebih berharga.
Wallace menyinggung mengenai kemunculan kembali dan pemisahan daratan luas menjadi pulau-pulau, dan hal-hal lain yang menyebabkan hewan-hewan menjadi berada dlam isolasi lalu menjadi tetangga yang meskipun dekat, tapi tetap terpisah. Mekanisme yang menggerakkan semua geologi yang selanjutnya dikenal sebagai lempeng tektonik itu. Ia tak menyangka bahwa tumbukan tektonis yang telah membawa hewan dan burung itu bersama,,,adalah tumbukan yang telah memberikan reputasi bagi Indonesia sebagai gelanggang gunung berapi di dunia, dengan gunung api yang sangat ebrbahaya, dengan Krakatoa sebagai salah satu contohnya. Dalam perjalanannya di Hindia Timur, Wallace sempat melakukan pendakian di Gunung Gede Pangrango pada tahun 1861, sampai pada ketinggian 5000 kaki dan bahkan sampai 7.500 kaki di Kandang Badak (Buku: Mengenal Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, 2001).
Sembilan tahun setelah Wallace melakukan penjelajahan ke Hindia Belanda, lahirlah Sijfert Hendrik Koorders, di Bandung, pada tanggal 29 Nopember 1863. Koorders lah yang akhirnya ditemukan oleh “sejarawan” Panji Yudistira, sebagai perintis konservasi alam di Indonesia. Buku yang sedang disiapkan oleh Panji Yudistira berjudul :”Peranan Dr.S.H. Koorders dalam Sejarah Perlindungan Alam di Indonesia (akan terbit akhir tahun 2011). Dalam penelusuran dokumen tentang Koorders ini, ternyata Koorders telah berhasil mengumpulkan tidak kurang dari 150.000 spesimen dari Sumatera, Jawa, dan sebagian Sulawesi, dan tersimpan dalam 48.012 nomor dan tersimpan di Kebun Raya Bogor, di bawah naungan “Herbarium Koordersianium” Koleksi yang jumlahnya melebihi koleksi Alfered Russel Wallace., namun tidak sampai pada penemuan teori evolusi sebagaimana telah berhasil dilakukan oleh Wallace.
Namun demikian, Koorders menjadi tokoh sangat penting dalam membangun gerakan konservasi alam melalui pendirian Perkumpulan Perlindungan Alam Hindia Belanda (Netherlandsch Indische Vereeniging tot Natuurbescherming), pada tahun 1912. Alfred Russel Wallace secara khusus memberikan penghargaan bahwa penemuan-penemuan Koorders ini sangat penting bagi ilmu pngetahuan. Hal ini dinyatakan dalam bukunya The World of Life (1910). Karya Koorders ini 60 tahun kemudian diakui sebagai fondasi penemuan di bidang botani khususnya flora pegunungan, oleh C.G.G.J.van Steenis, yang menyusun buku Flora Pegunungan Jawa pada tahun 1970 (?).
Dari berbagai alur sejarah yang menggembirakan tersbeut di atas, minimal adanya peran Alfred Russel Wallace dan Dr.SH.Koorders, untuk kepentingan ilmu pengetahuan di Nusantara, terdapat pula sejarah yang mengenaskan tentang kerusakan alam. Pada abad yang sama, telah terjadi eksploitasi besar-besaran hutan jati di Pulau Jawa.Ketika VOC bangkrut pada akhir abad 18, tidak kurang dari 650.000 Ha hutan jati di Jawa hancur dan tidak pernah direhabilitasi selama hampir 2 abad (Anonymous, 1991 dalam Simon 1991 dikutip Wiratno,dkk,2001).
Ketika Junghuhn melakukan perjalanan ke seluruh Jawa pada tahun 1850, ia menemukan hutan-hutan pegunungan di Jawa telah dirubah menjadi perkebunan kopi dan eksploitasi untuk kayu bakar untuk mendukung industri gula pada saat itu. Ketika cultuurstelsel dihapus tahun 1870, lebih dari 300.000 Ha kawasan hutan pegunungan (1.000-1.700 m dpl) sudah dikonversi menjadi perkebunan kopi dan dikelola oleh swasta.
Dalam waktu 100 tahun (19800-1900), pulau jawa telah kehilangan hutan seluas 7,3 juta Ha atau lebih dari 70%. Antara 1850-1930, sebagian besar hutan alam telah dikonversi menjadi pertanian dan perkebunan (Wiratno,dkk.2001). Cerita tentang Jawa ini ternyata diulang kembali di era eksploitasi hutan tropis di Sumatera dan Kalimantan di era Orde Baru.
Periode Abad 20: Era Kemerdekaan
John Perkins dalam bukunya: “ Membongkar Kejahatan Jaringan Internasional” yang diterbitkan pada tahun 2007., antara lain sebangai berikut: “ Soekarno bersikap tegas menghadapi korporatokrasi. Sejak 1951 Soekarno membekukan konsesi bagi MNC melalui UU Nomor 44/1960 yang berbunyi, “seluruh pengelolaan minyak dan gas alam dilakukan negara atau perusahaan negara. Sejak merdeka, MNC berpegang pada perjanjian let alone agreement yang memustahilkan nasionalisasi dan mewajibkan MNC mempekerjakan pribumi lebih banyak daripada orang asing. Pembekuan konsesi membuat MNC kelabakan karena laba menurun. Tiga besar (Stanvac, Caltex, dan Shell) meminta negosiasi ulang, namun Soekarno mengancam akan menjual seluruh konsesi ke negara-negara lain jika mereka menolak UU Nomor 44/1960. Soekarno menuntut Caltex menyuplai 53% dari kebutuhan domestik yang hasrus disuling Permina (kini Pertamina). Surplus tiga besar harus dipasarkan ke luar negeri, dan semua hasilnya diserahkan kepada pemerintah. Soekarno menuntut Caltex menyuplai kebutuhan minyak dalam negeri dan bBM dalam negeri. Formula pembagian laba ditetapkan 60% untuk pemerintah dalam mata uang asing dan 40% untuk Caltex yang dihitung dalam rupiah. Sejarah ini menunjukkan nasionalisme dan ketegasan Soekarno terhadap MNC yang bahkan sampai meminta bantuan presiden AS John F.Kennedy.
Periode Abad 21 : Era Orde Baru
Setalah sejarah tentang tiga jenis komoditi yang saat ini kita dapat menilainya sebagai tidak berharga, pala, lada, dan cengkeh, sebagai latar penaklukan Nusantara, maka 7 abad kemudian di awal abad 21, Indonesia kembali takluk pada raksasa-raksaa ekonomi dunia. Tiga buku yang menurut penulis membuka sejarah dominasi barat terhadap timur, sebagaimana diungkapkan ole Kwik Kian Gie dan dimuat di Kompas (15 Agustus 2011) adalah : John Pilger : “The New Rulers of the World”; The Confession of an Economic Hit Man dan “Membongkar Kejahatan Jaringan Internasional, John Perkins, 2009.UFUK Press. Yang diterjemahkan dari “ The Secret History of the American Empire” Coppyright 2007.
Dalam buku John Pilger tersebut dituliskan bahwa pada bulan November 1967., The Life-Time Corporation mensponsori konferensi istimewa di Geneva, yang dalam waktu 3 hari merancang pengambilalihan Indonesia. Para peserta meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller . Raksasa Korporasi Barat diwakili oleh : perusahaan-perusahaan minyak, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel.
Pada pertemuan tersebut , Indonesia diwakili oleh ekonom di bawah pimpinan Widjojo Nitisastro. Intisarinya adalah, Indonesia dibagi (dikapling). Freeport dapat bukit dengan tembaga di Papua Barat (saat ini ternyata terdapat kandungan emas, bukan hanya tembaga); Konsorsium di Eropa mendapat nikel di Papua Barat; Raksasa Alcoa mendapatkan bauksit; sekelompok perusahaan amerika, Jepang, dan Perancis memndapat hutan-hutan tropis di Sumatra, Papua Barat, dan Kalimantan; Sebuah Unadang-undang penanaman modal segera disiapkan dan disodorkan kepada Presiden Soeharto. Maka lahirlah UU No.1 tahun 1967.
Di bidang kehutanan, inilah era eksploitasi hutan tropis secara mekanis dan besar2an. Menurut Wiratno, dkk (2001), pada tahun 1967 Indonesia mengekspor 4 juta m3 log dan meningkat tajam menjadi 28 juta m3 sepuluh tahun kemudian dimana 75% diekspor. Tahun 1979, Indonesia telah mengontrol 41% ekspor log dunia senilai 2,1 milyar USD dan pada tahun 1985, meningkat senilai 3,6 milyar USD.
Setelah 30 tahun berlangsung eksploitasi terutama di hutan-hutan tropis yang ditetapkan sebagai produksi di Sumatera dan Kalimantan, maka stok hutan tropis tersebut telah habis saat ini. Hampir 60% dari hutan produksi telah berubah menjadi kawasan dengan status “open access”. Pada kawasan ini, terjadi pendudukan, pengkaplingan, penjarahan, dengan berbagai motif dan skalanya. Sebagian besar berubah mejadi kebun-kebun sawit yang mulai booming sejak periode 1990an, dan berlangsung sampai dnegan saat ini. Kawasan konservasi di seluruh Sumatera saat ini telah dikelilingi oleh penggunaan lahan monokultur sawit. Banyak kawasan konservasi dirambah untuk ditanami sawit. TN Gunung Leuser,Kab. Langkat, Sumatera Utara, TN Tesso Nilo-Riau, mengalami kerusakan parah akibat perambahan sawit ini. Kecepatan okupasi perambah sawit di kedua taman nasional mencapai 5 Ha per hari.
Di masa Orba, kontrak karya sistem PSA (profit sharing agreement), seolah-olah menempatkan pemerintah sebagai pemilik, sementara MNC kontraktor. Padahal pada praktiknya MNC yang mengontrol ladang minyak yang mendatangkan laba berlipat ganda. PSA seolah-olah pembagian yang adil, padhal tidak.Klausul stabilisasi PSA mengatakan seluruh UU tidak berlaku bagi kegiatan MNC dalam rangka mencari laba dan tidak bisa jadi rujukan jika sengketa terjadi-yang menjadi rujukan hukuminternasional yang tak kenal kedaulatan atau kepentingan nasional. Cerita sukses sistem PSA di Indonesia dipraktikkan korporatokrasi untuk menguasai minyak bumi di Irak era pasca Saddam Hussein (Shambazy dalam Perkins, 2007).
Bagaimana kondisi 2011? Koran Seputar Indonesia (26 September 2011, halaman 24), yang penulis baca sepanjang perjalanan Makasar-Jakarta, memuat artikel yang sangat pas dengan pokok bahasan tentang betapa dominasi asing masih terus berlangsung di Indonesia. Artikel dnegan judul : “Dominasi Asing pada Sektor Energi” itu menyebutkan bahwa berdasarkan data dari Dirjen Migas, Kementerian ESDM, porsi operator minyak dan gas nasional hanya mencapai 25%, sedangkan sisanya 75% masih dikuasai asing. Dari total 225 blok migas yang dikelola kontraktor kerjasama (KKKS) non-Pertamina, sebanyak 120 blok dioperasikan perusahaan asing.Hanya 28 blok yang dioperasikan perusahaan nasional.selebihnya, 77 blok dioperasikan gabungan asing dan lokal. Situs BP Migas mengeluarkan data bahwa PT Chevron Pasific Indonesia yang beroperasi di Riau memiliki produksi minya bumi terbesar dengan kapasitas 357.680.000 barel per hari. PT Pertamina EP hanya di peringkat kedua, dengan produksi 122.350.000 barel per hari. Maka kondisi ini masih cerita lama tentang dominasi dan keterpurukan Indonesia.
“Manisfeto” Konservasi Alam
Menrenungkan perjalanan sejarah Nusantara yang penuh dengan upaya penaklukan membentang dari abad 14 sampai dengan abad 21, selalu hadir figur-figur yang ternyata menjadi cikal bakal pergerakan penyelamatan alam, perlindungan alam, dan yang lebih berorientasi pada kepentingan science. Khususnya pada abad 17, dimana C.Chastelein menghibahkan sebidang tanah hutan seluas 6 Ha di Depok untuk dilindungi. Perlu waktu 2 abad sejak inisiatif Depok ini, lahir gerakan perlindungan alam oleh DR.S.H.Koorders. Suatu rentang waktu yang sangat panjang, stelah tragedi perburuan burung cenderawasih (Cicinnurus magnificus) besar-besaran dan menjadi keprihatinan banyak pihak pada tahun 1914 yang akhirnya ditolak oleh Amerika. DR,S.H.Koorders memberikan pelajaran berharga bagi kita semua tentang pentingnya : riset, kajian lapangan, dokumentasi, dan membangun kerjasama untuk upaya perlindungan alam.
Kelompok scientist ini seharusnya terus membangun jejaring kerja dan akan berlanjut sampai ke generasi selanjutnya. Rentang waktu 200 tahun antara C.Chastelein-Koorders tidak dapat kita ulangi lagi pada saat ini, dimana perubahan-perubahan penggunaan lahan akibat perubahan geopolitik dan ekonomi regional-global yang bergerak dalam skala waktu yang sangat cepat. Sumberdaya hutan-hutan tropis Indonesia tinggal yang berada di kawasan konservasi. Kondisinya saat ini sangat terancam akibat berbagai perkembangan pembangunan atas nama apapun, sebagaimana yang telah diuraikan dalam kejadian-kejadian dan berbagai kerusakan alam di Sumatera, Kalimantan, di Jawa, dan mengarah ke Indonesia bagian timur.
Dari rempah rempah, menuju era kayu tropis, migas, dan berlanjut ke era sawit, dan mineral yang merupakan non-renewable resource. Maka, sumberdaya alam Indonesia akan terus menjadi sasaran eksploitasi dengan berbagai skema dan alasan politiknya, tanpa adanya upaya terstruktur dari negara untuk merubah politik ekonomi nasional. Ke depan, dalam tempo yang tidak terlalu lama, kawasan konservasi yang memiliki bahan tambang melimpah akan menjadi sasaran politik ekonomi MNC sebagaimana yang diuraikan John Perkins. Kawasan-kawasan tersebut antara lain di TN Kutai (batubara), TN Bogani Wartabone (emas), TN Lorentz (emas), SM Balairaja (migas), TN Bukit Baka Bukit Raya (emas), TN Batang Gadis (emas) yang saat Kemenhut telah digugat oleh Sorikmas Mining agar tetap bisa melakukan eksplorasi/eksploitasi walaupun sudah berubah dari hutan lindung menjaid taman nasional, dan masih berderet lagi kawasan-kawasan konservasi dengan potensi bahan tambangnya.
Maka diperlukan sebuah “Manisfesto” Sebuah pernyataan yang dibangun atas dasar kesadaran bersama yang mendalam tentang pentingnya membangun sikap mental dan landasan moral untuk secara kolektif melakukan gerakan bersama yang terpadu, solid, dan mengakar pada tradisi konservasi alam.
Moralitas yang dibangun atas dasar kesadaran lintas generasi, lintas disiplin ilmu, lintas etnik dan budaya, lintas kepercayaan, lintas kepentingan, dan dengan latar belakang sejarah perjalanan panjang Nusantara sebagai bagian dan akibat dari perubahan-perubahan sejarah geologi, kebudayaan, serta masa depan dunia. Ke depan, semestinya kita yang menentukan perubahan sejarah dunia, bukanlah sebaliknya, kita selalu tunduk kepada para penakluk selama berabad-abad lamanya.
“Manifesto” Konservasi alam ini digagas dalam rangka untuk membelokkan dan berusaha membuat sejarah konservasi alam Nusantara ini. Kita bisa menentukan sejarah konservasi alam Indonesia, bukan lagi kita yang didikte untuk melakukan apa yang “mereka” kehendaki. Saatnya bertindak sekarang atau tidak samasekali. Modal untuk melakukan perubahan sejarah itu, kembali ke 4 tradisi Koorder :
(1) Riset, perlu dikembangkan riset-riset unggulan dan fokus pada bioteknologi berbasis sumberdaya hutan dan kelautan. Hasil riset harus dijadikan bahan masukan untuk penyusunan kebijakan nasional yang berpihak pada kepentingan nasional. Harus diperkuat kerjasama lembaga riset antara LIPI, Litbang Kehutanan, Dewan Riset Nasional, BPPT untuk mendapatkan sinergitas hulu-hilir.
(2) Eksplorasi berbagai potensi sumberdaya di lapangan harus dilakukan oleh putra-putri terbaik Indonesia untuk mencegah terjadinya eksploitasi riset yang dilakukan oleh negara-negara Utara.Kontrol terhadap riset-riset yang dilakukan oleh peneliti asing harus dipertegas dan diperketat untuk menghidarkan terjadinya pencurian intellectual property right milik masyarakat Indonesia.
(3) Dokumentasi harus dilakukan dalam rangka mempublikasikan hasil-hasil riset dan eksplorasi dalam berbagai bentuknya, seperti journal ilmiah internasional, buku-buku, promosi melalui film, video, dan sebagainya.
(4) Kerjasama dalam pendanaan konservasi alam jangka panjang, pelru didorong dalam bentuk trust fund konservasi alam yang melibatkan pemerintah, masyarakat, lembaga swadaya masyarakat dan pihak swasta. Dukungan pendanaan dari pemerintah negara-negara utara untuk kepentingan konservasi alam harus dijamin tidak bermotifkan politik etis atau model-model penghapusan hutan, sebagaimana yang telah terjadi selama ini.…***
*) Kelompok Juanda 15 : Wiratno, Nurman Hakim, Agus Mulyana, Roby Royana,Suer Surjadi, Iwan Setiawan, Ratna Hendratmoko,Ecky Saputra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar