"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

04 Oktober 2011

Paradigma Komunikasi Habermas

Habermas merupakan tokoh berikutnya setelah generasi pertama dari Sekolah Frankfurt*). Ia dikenal sebagai penerus dan pembaharu Teori Kritis Mazhab Frankfurt. Ia mengkoreksi Marx yang menyatakan bahwa manusia sebagai homo faber, mahluk pekerja, mahluk produktif. Habermas menegaskan rasio merupakan sesuatu yang berkaitan erat dengan kemampuan linguistik manusia. Sebagai ganti dari “paradigma kerja”, rasio didasarkan pada “paradigma komunikasi” Manusia adalah mahluk komunikasi yang mencapai kebermaknaannya melalui proses komunikasi. Implikasi dari “paradigma komunikasi” ini adalah memahami praxis emansipatoris sebagai dialog-dialog komunikatif dan tindakan-tindakan komunikatif yang menghasilkan pencerahan. Dalam konteks komunikasi ini, perjuangan kelas dan revoluasi politik dalam padangan Marxisme klasik diganti dengan perbincangan rasional dengan argumen-argumen yang berperan sebagai unsur emansipatoris.

Habermas mengembangkan “teori tindakan komunikasi”. Menurutnya, komunikasi yang sehat adalah komunikasi yang ditandai oleh kebebasan tiap partisipan untuk menentang klaim-klaim tanpa rasa takut akan tindakan kekerasan, intimidasi, dan sebagainya. Dalam komunikasi yang sehat, tiap partisipan memiliki kesempatan yang sama untuk bicara, membuat keputusan, menampilkan diri, mengajukan klaim normatif serta menentang pendapat partisipan lain.

Dengan teori tindakan komunikasi, Habermas hendak menunjukkan kemampuan manusia untuk melakukan pencerahan diri lewat proses komunikasi. Melalui kegiatan komunikasi, manusia dapat saling memahami dan membebaskan. Komunikasi akan menghasilkan konsensus-konsensus yang secara sadar dicapai oleh partisipan komunikasi tidak mengandung penindasan. Komunikasi juga dapat menyadarkan manusia modern dari penindasan pemilik modal buta. Melalui komunikasi, pencerahan dan pembebasan manusia dapat dicapai.

Habermas dan Konservasi Alam

Teori tindakan komunikasi yang dikembangkan Habermas, menurut penulis sangat relevan untuk diujicobakan dan agar menjadi bagian dari strategi mengkomunikasikan kebijakan melindungi kawasan-kawasan tertentu (berbagai tipe ekosistem di daratan dan perairan), baik atas nama Undang-undang, maupun dengan alasan demi kepentingan jangka panjang kemanusiaan yang lintas generasi. Relevansi tersebut didasarkan atas fakta-fakta penting sebagai berikut :

  1. Kawasan konservasi di Indonesia yang luasnya kini mencapai 27,2 juta Ha, sebagian besar ditetapkan melalui keputusan sepihak (top-down), yang terjadi baik pada masa penjajahan maupun setelah kemerdekaan. Keterlibatan publik sangat terbatas. Dalam perkembangannya, terutama era pasca reformasi, beberapa kawasan konservasi diusulkan oleh pemerintah daerah. Hal ini masih diiringi dengan rendahnya komunikasi dan sosialisasi kepada para pihak tentang keberadaan atau manfaat kawasan konservasi bagi publik. Di beberapa kasus, kawasan konservasi dianggap membatasi atau meniadakan akses publik ke dalam kawasan untuk menunjang kehidupannya. Hal ini kemudian menimbulkan berbagai bentuk kritik, konflik horizontal dan vertikal, penolakan, dan sebagainya. Pembentukan TN Merapi, dipenuhi dengan protes dan demonstrasi walaupun kemudian tetap saja taman nasional tersebut ditetapkan.
  2. Kawasan konservasi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari persoalan keberadaan masyarakat dan pemerintah daerah di dalam maupun di sekitarnya. Beberapa di antaranya, kawasan konservasi harus dikelola secara serius dengan melibatkan masyarakat tradisional yang berada di dalamnya, seperti TN Bukit Dua Belas (Suku Anak Dalam), TN Bukit Tiga Puluh (Suku Talang Mamak), TN Betung Kerihun dan TN Kayan Mentarang (Suku Daya’), TN Lorentz (suku-suku pegunungan). Beberapa kawasan konservasi juga menjadi wilayah pemerintah daerah seperti TN Wakatobi dan Kab.Wakatobi menyatu dalam 1 wilayah; Kepulauan Raja Ampat dan Kabupaten Raja Ampat; terdapat 10 kabupaten yang sebagian besar wilayahnya atau bahkan seluruhnya berada di dalam TN Lorentz.
  3. Nilai manfaat kawasan konservasi seringkali berjangka panjang, tidak langsung (environmental services, seperti perlindungan tata air, keseimbangan siklus hidrologi, penjaga kesuburan lahan, iklim mikro, pencegah banjir dan tanah longsor, penyedia jasa air, sungai sebagai jalur transportasi, dan lain sebagainya); ragam manfaat yang umunya melewati batas-batasnya (ruang) pada skala lansekap (hulu-hilir) dan waktu yang panjang, sehingga sulit difahami oleh para pihak khususnya mereka yang mempunyai kepentingan jangka pendek; mereka yang terdesak kebutuhannya akan lahan untuk berladang, berkebun, kayu, dan sebagainya. Argumentasi mempertahankan kawasan konservasi untuk perlindungan flora dan fauna menjadi sangat berat bila disandingkan dengan kepentingan konkrit jangka pendek seperti potensi tambang di dalamnya. TN Kutai yang mengalami kerusakan akibat perambahan, akhirnya dipicu dengan usulan pelepasan seluas 23.000 Ha (ada 7 desa di dua kecamatan), yang motif sebenarnya adalah adanya rencana penambangan batubara di dalam areal tersebut, yang telah diprediksi oleh ESDM, memiliki potensi 2,1 milyar metrik ton. Kasus ini merupakan kasus terbesar pertama di Indonesia yang dipicu meningkatnya permintaan pasar regional akan batubara dari Indonesia. Argumentasi perlindungan orangutan di TN Kutai menjadi sangat disepelekan dalam hitungan nilai ekonomi batubara tersebut. Bahkan ada upaya agar TN Kutai dihapuskan saja karena tidak dapat memberikan manfaat nyata bagi kepentingan masyarakat.
  4. Sifat khas kawasan konservasi sebagai common pool resource menjadi perdebatan terbuka akan opsi manajemennya. Apakah negara (state) mampu mengelolanya. Atau diserahkan pada private? Atau dikelola secara bersama (kerjasama, kolaborasi, gotong royong). Pengelolaan bersama mensyaratkan dibangunnya kesepahaman, melalui berbagai tingkatan komunikasi multipihak. Konsep pengelolaan Biosphere Reserve yang dikembangkan UNESCO, sebuah tawaran yang menarik, namun menghadapi tantangan yang berat di tingkat lapangan. Pola-pola pengelolaan kolaboratif seperti yang dikembangkan secara konsisten oleh WWF di TN Kayan Mentarang, masih pada tataran ujicoba dan hasilnya masih belum bisa dinilai secara komprehensif. Saat ini, pola-pola kerjasama multipihak masih pada tataran konsep. Masih menjadi “macan kertas”. Demikian pula Cagar Biosfer Giam Siak Kecil dan Bukit Baru di Riau, yang diinisiasi dan dimotori oleh swasta (PT Arara Abadi/Sinar Mas Group). SK Gunernur Riau tahun 2010 tentang Badan Pengelola masih belum bisa jalan, masih jadi "macan ompong”. Ini tantangan bagi kita semua pihak yang sudah bersepakat membangun kerjasama itu.

Kontribusi Paradigma Komunikasi Habermas

Mempertimbangkan berbagai tipologi kawasan konservasi, manfaatnya, sejarah pembentukan (top-down) dan tujuan pengelolaan dan dinamika daerah penyangganya, maka pengelola dalam hal ini pemerintah (state) perlu membangun strategi komunikasi, sebagaimana yang disarankan oleh Habermas. Komunikasi yang mampu memberikan pencerahan, yang bebas dari berbagai bentuk intervensi atau intimidasi, dan akhirnya dapat mendorong para pihak untuk mulai memahami apa arti penting kawasan-kawasan tersebut untuk dilindungi, mengapa mereka seharusnya berpartisipasi dalam pengelolaannya. Bukan komunikasi sepihak yang seringkali menggunakan bahasa “larangan”, bahasa hukum yang kering akan spirit dan pesan moral di balik berbagai bentuk larangan dan implikasi hukumnya itu.

Siapa sasaran yang harus dituju dalam membangun komunikasi tersebut. Ternyata bukan hanya masyarakat di sekitar kawasan, justru kelompok-kelompok kepentingan yang bermotifkan bisnis-eksploitatif berskala besar; anggota parlemen, jajaran penegak hukum, dan bahkan media massa, juga harus menjadi sasaran komunikasi.

Namun penulis ragu dengan pola komunikasi Habermas ini, bisa efektif mempengaruhi kelompok-kelompok pemodal besar yang emndalangi berbagai kegiatan ilegal di dalam kawasan konservasi, di Indonesia. Motif perambahan (sawit, kopi, coklat, karet) dan pengrusakan kawasan konservasi, yang berkembang 10 tahun terkahir lebih didominasi oleh kelompok the greedy group. Bukan proses penyadaran melalui komunikasi yang diperlukan tetapi lebih kepada tegaknya hukum tanpa pandang bulu. Sedangkan masyarakat setempat atau masyarakat lokal yang bermotifkan ekonomi, keterbatasan lahan garapan, dan rendahnya aksesnya terhadap permodalan dan dukungan teknis, seharusnya menjadi bagian dari solusi dan target tindakan komunikasi yang sehat.

Masyarakat di Tangkahan, TN Gunung Leuser, wilayah Sumatera Utara, masyarakat penjaga hutan di Cagar Alam Gunung Simpang, merupakan contoh nyata bahwa telah dapat dibangun suatu layer kesadaran baru di tataran akar rumput yang bahkan mampu menjaga (baca: berpartisipasi dalam mengelola) kawasan konservasi, dan mendorong tumbuhnya ekonomi lokal, seperti pengembangan ekowisata berbasis masyarakat di Tangkahan, yang kemudian menumbuhkan kesadaran baru akan pentingnya menjaga hutan di sekitar desa tempat mereka tinggal.

Kesadaran dalam menjaga hutan sebagai bagian dari membangkitkan kembali kedaulatan dan otonomi desa telah mendorong dibentuknya relawan warga desa untuk membantu jagawana menyelamatkan CA Gunung Simpang, dengan membentuk Raksabumi (artinya pemelihara bumi). Raksabumi bertugas menangangi masalah-masalah lingkungan . Kisah perjuangan masyarakat desa-desa di sisi timur CA Gunung Simpang, ini telah didokumentasi dan dibukukan, dengan judul : 'Saatnya Kami “Berdaulat”. Sebuah cuplikan perjuangan masyarakat Gunung Simpang untuk membangun kembali peranannya dalam pengelolaan sumberdaya alam. Disusun oleh Ridwan Soleh, salah satu tokoh kunci pendamping masyarakat, didukung oleh Pupung Nurwatha, Idah Faridah, dan Rasman Nuralam, buku tersebut diterbitkan oleh Subdit Pemolaan dan Pengembangan, Dit.Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung, Ditjen PHKA, pada tahun 2010.


*) Sekolah Frankfurt merujuk pada gerakan intelektual yang dilakukan secara multidisipliner oleh sekelompok intelektual Jerman yang berpusat di kota Frankfurt,Jerman:Bagus Takwin (2003) : Akar-akar Ideologi. “Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari Plato hingga Bourdieu. Jalasutra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar