"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

20 Oktober 2011

10 Filosofi Hidup Orang Jawa

Dalam berbagai kesempatan sepanjang 2010 terutama, penulis berkomunikasi via BBM dengan Mas Suhariyanto. Ia adalah seorang rimbawan kelahiran Blora ini yang telah kenyang asam garam bekerja lebih dari 30 tahun di bidang kehutanan, yang pernah menjabat Dirjen PHKA, Dirjen BPK, Inspektur Jenderal, dan staf khusus Menteri Kehutanan. Salah satu dari sekian banyak sharing informasi itu adalah pesan panjang-nya (bukan pesan pendek lagi) melalui blackberry massanger pada Agustus 2010, mengingatkan akan 10 Filosofi Hidup Orang Jawa, yang diuraikan sebagai berikut:

· Kesatu; Urip iku urup. Hidup itu menyala, hidup itu hendaknya dapat memberi manfaat bagi orang lain di sekitar kita. Semakin besar manfaat yang dapat kita berikan tentu lebih baik.

· Kedua; Memayu hayuning bawana,aAmbrasta dur hangkara. Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan (manusia sebagai khalifah), kebahagiaan, dan kesejahteraan, serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak.

· Ketiga; Sura dira jayadiningrat, lebur dening pangastuti. Segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar.

· Keempat; Ngluruk tanpa bala, menang tan ngasorake, sekti tanpa aji-aji, sugih tanpa bandha. Berjuang tanpa membawa massa, menang tanpa merendahkan atau mempermalukan, berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan, kekayaan, atau keturunan, kaya tanpa didasari kebendaan.

· Kelima; Datan serik lamun ketaman, datan susah lamun kelangan. Jangan gampang sakit hati manakala musibah menimpa diri, jangan bersedih manakala kehilangan sesuatu.

· Keenam; Aja gumunan, aja getunan, aja kagentan, aja aleman. Jangan mudah terheran-heran, jangan mudah menyesal, jangan mudah terkejut, jangan mudah kolokan atau manja.

· Ketujuh; Aja Kathungkul marang kalungguhan, kadonyan lan kemareman. Jangan terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan, dan kepuasan duniawi.

· Kedelapan; Aja keminter mundak keblinger, aja cidra mundak cilaka. Jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah, jangan suka berbuat curang agar tidak celaka.

· Kesembilan; Aja milik barang kang melok, aja mangro mundak kendho. Jangan tergiur oleh hal-hal yang mewah, cantik, dan indah, jangan berfikir mendua agar tidak kendor niat dan semangat.

· Kesepuluh; Aja adigang, adigung, adiguna. Jangan sok kuasa, sok besar, sok sakti.

Kesepuluh intisari falsafah Jawa rasanya perlu kita renungkan, resapi, dan sekaligus kita perlu kritisi apakah nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat kita jadikan salah satu acuan dalam mensikapi hidup kita, sebagai manusia-manusia yang peduli akan kelestarian lingkungan, kelestarian hutan untuk kesejahteraan manusia. Mereka yang peduli akan alam dan lingkungan ini ternyata banyak dan di antaranya dari kalangan orang-orang biasa yang hasil karyanya tidak biasa. Beberapa contoh itu adalah:

· Tri Mumpuni-Pendekar Lingkungan Hidup 2008. Ia mampu menggerakkan masyarakat dan menjadi motor pembangunan mikro (mini) hidro yang menghasilkan listrik di 60 lokasi tersebar di seluruh Indonesia. Usahanya membentang dalam tempo tidak kurang dari 17 tahun (Berita TransTV 17 Agustus 2010; jam 21:48). Puluhan penghargaan diterimanya dari berbagai kalangan, antara lain sebagai Climate Hero dari WWF, dan terakhir ia memperoleh penghargaan Ramon Magsaysay dari pemerintah Filipina atas jasa-jasanya yang luar biasa untuk kemanusiaan itu.

· Sutaji, manusia unggul, manusia biasa dari lereng Gunung Wilis, Kabupaten Nganjuk, yang berhasil menghijaukan kembali 61 hektar kawasan hutan yang rusak akibat euforia reformasi adalah contoh nyata, sebagaimana dimuat di Harian Kompas 26 Agustus 2010. Inisiatif pribadi itu akhirnya didukung oleh banyak pihak, dan telah menghasilkan perbaikian kondisi lingkungan dengan mengalirnya kembali 40 sumber mata air yang dapat mengairi ribuah hektar sawah di lembah dan mendorong mengembangan wisata alam. Petani dari Desa Bajulan, Kecamatan Loceret, Kabupaten Ngajuk yang tidak lulus sekolah dasar itu telah menjadi contoh nyata bagi kita semua. Kasus ini mengusik tidur lelap kita bahwa ternyata kesadaran lingkungan tidak selalu berkorelasi dengan tingkat pendidikan. Sutaji membuktikan hal tersebut dalam waktu 10 tahun.

· Eny Sudarmonowaty, yang beritanya dimuat pada tanggal 20 Agustus 2010 oleh harian Kompas. Berita tentang orasi Eny Sudarmonowati, sebelum dikukuhkan sebagai Profesor Riset. Ia sejak 1992 melakukan penelitian intensif pemuliaan pohon hutan. Salah satu yang dipilih adalah sengon-salah satu jenis pohon cepat tumbuh (fast growing spesies) yang penting untuk rehabilitasi hutan atau dikembangkan sebagai penghasil kayu perkakas ringan. Hasil rekayasa genetik yang dilakukannya telah membuat pertumbuhan sengon 1,5 kali lebih cepat dari sengon bukan hasil rekayasa. Diprediksi, panen yang semula menunggu 15 tahun bisa diperpendek menjadi 7 tahun saja. Hasil dialog penulis melalui pesan pendek kepada Prof Eny (20/08/2010) jam 9:14, terungkap bahwa ia melakukan penelitian juga tentang Acacia mangium transgenik. Ada sengon mutan hasil radiasi sinar gamma, yang tahan hidup di lahan ex-tailing, jadi kemungkinan besar bisa untuk bioremediasi. Ribuan hektar lahan eks pertambangan dapat segera dihijaukan dengan hasil riset ini. Di samping asyik bekerja di laboratorium, Prof Eny S juga menginisiasi organisasi lingkungan dengan nama Jakarta Green Monster - yang didukung pihak swasta menanam mangrove di pantai Utara Jakarta setiap menjelang buka puasa. Betapa menariknya mengetahui, manusia-manusia unggul di bidang penelitian, yang ditekuni bertahun-tahun, seperti yang diberitakan Kompas 3 hari setelah hari kemerdekaan Indonesia. Tak kalah dengan hasil-hasil penelitian dari peneliti manca negara. Hasil risetnya tentu harus didukung dengan kebijakan pemerintah untuk mengadopsinya, dan mengujicobakannya di tingkat lapangan.

Tugas pemerintah sebagai fasilitator seperti ini yang seringkali ditunggu-tunggu oleh para peneliti unggul seperti ini. Dan tentu masih banyak hasil-hasil penelitian di bidang kehutanan yang semestinya dihargai dan yang lebih penting bagaimana dari research to action. Betapa lamanya proses riset untuk mendapatkan hasil yang memuaskan seperti menurut Ray Asmoro, manusia unggul juga harus memiliki kongruensi (congruency), yaitu terciptanya keselarasan antara pikiran, emosi, dan tindakan. Berfikir tanpa bertindak hanya akan membuahkan ide atau gagasan. Dibutuhkan tindakan tertentu untuk menjadikan ide dan gagasan itu menjadi kenyataan. Dalam hal riset sengon, diperlukan tindakan-tindakan dengan ketekunan yang tinggi serta waktu sangat panjang untuk membuahkan hasil. Manusia konservasi sudah selayaknya memiliki sifat dan sikap kongruen(si) ini, sebagai modal dasar untuk menggapai impiannya membantu menyelamatkan alam.

Renungan Diri

Tentu saja, sepuluh filosofi orang Jawa itu sebenarnya juga berlaku universal. Bukan eksklusif miliki orang Jawa saja, walaupun kesepuluh filosofi itu digali dalam khasanah budaya dan praktik laku orang Jawa. Beberapa contoh manusia unggul sebagaimana yang diungkap oleh Kompas dalam berbagai kesempatan itu telah menunjukan bahwa pribadi-pribadi unggul itu jauh dari kesan pamer, mencari sensasi. Sebagian besar tindakan dan karyanya diabdikan dan dikontribusikan untuk sebesar-besarnya kemanfaatan orang banyak, masyarakat luas, dan bukan hanya sekedar bagi kepuasan dirinya. Maka, patut kita renungkan kesepuluh nilai-nilai atau filosofi itu, sebagai cerminan bagi kita semua, untuk tidak silau akan keduniaan yang fana ini. Lebih membangun kesadaran diri untuk selalu bermanfaat bagi sesamanya, bahkan bagi mahluk lain yang hidup dan berhak hidup di muka bumi ini.

Catatan:

Ucapan terima kasih, penghargaan dan respect tidak terhingga, penulis haturkan kepada Kangmas Suhariyanto. Ia salah satu pribadi unggul dan unik dalam belantara antroposentrisme yang mewabah saat ini. Contoh nyata dan sikap hidupnya telah langsung berkontribusi dan mewarnai pemikiran dan menginspirasi banyak generasi muda yang peduli pada kelestarian lingkungan dalam arti seluas-luasnya. Buku yang ditulisnya, dengan judul : “Mengalir Tanpa Batas” menjadi pegangan bagi kita rimbawan Indonesia. Artikel ini, penulis sampaikan sebagai bentuk lain dari rasa hormat itu. “Matur nuwun, Kangmas…”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar