"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

07 November 2011

“The Limit of Growth” tidak Berlaku di China

Di ruang tunggu A-4 Lion Air Bandara Soetta (Soekarno-Hatta), tanggal 7 September 2010, penulis menemukan koran Media Indonesia, sudah lusuh sepertinya ditinggalkan pemiliknya. Membuka-buka halaman demi halaman, dan akhirnya terpaku pada analisis seorang ekonom, Aris Ananta, yang menulis artikel dengan judul sangat menarik : “Mengapa China Mengimpor Batu Bara dari Indonesia?”. Jawabannya sungguh sangat relevan dengan apa yang sedang penulis pikirkan tentang pertumbuhan ekonomi dan pilihan-pilihan kebijakan pembangunan dikaitkan dengan kerusakan lingkungan.

Pada dua dasawarsa terakhir, China adalah negara pengekspor batu bara terbesar di dunia, namun sejak tahun 2009 kebijakan itu berbalik arah. China menjadi negara pengimpor batu bara dan kemungkinan akan menjadi negara pengimpor batu bara terbesar di dunia. Kutipan dari tulisan The Straits Times 16 Agustus 2010 itu kemudian mengulas bahwa tujuan dari perubahan strategi pembangunan bertumpu pada pertumbuhan itu adalah agar tidak merusak lingkungan. Mereka lebih baik mengimpor batu bara dari negara lain (Indonesia - Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, dan Vietnam, yang menjadi pemasok batu bara murah). Dan beban lingkungan-pun tentu saja dipikul oleh Indonesia dan Vietnam.

Menurut Aris Ananta, artikel tersebut belum tentu benar tetapi bisa kita jadikan bahan renungan untuk memilih alternatif investasi. Aris menganalisis bahwa memang produksi dan ekspor batu bara menaikkan Produk Domestik Bruto (PDB) kita. PDB adalah pengukuran pendapatan nasional yang memasukkan nilai tambah yang dimiliki oleh orang asing yang bekerja di Indonesia. Maka, kita perlu melihat berapa persen nilai tambah yang dapat masuk ke Indonesia. Selanjutnya nilai tambah yang masuk ke Indonesia itu digunakan untuk apa? Berikutnya, berapa nilai kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pertambangan tersebut. Kasus batu bara ini mungkin dapat menjadi satu contoh kasus, bahwa kita perlu mengkaji ulang kebijakan ekonomi yang mengandalkan pada ekspor (bahan mentah, sumberdaya alam, atau tenaga kerja) yang murah dan investasi asaing, tanpa melihat dampaknya bagi lingkungan yang terjadi di Indonesia. Analisis Aris Ananta di halaman 16 Koran Media Indonesia yang terserak itu, sungguh sangat layak untuk kita renungkan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di China saat ini yang dikawal dengan strategi ekspansif mencari sumber—sumber energi tidak terbarukan di Negara-negara lain mengakibatkan dampak buruk di aspek lingkungan yang ditanggung negara-negara produsen tersebut. Dampak itu bahkan telah meluas ke arah kawasan kawasan konservasi. Di TN Kutai dan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto - semuanya di Kalimantan Timur misalnya, yang memiliki kandungan batubara milyaran metrik ton, dengan nilai trilyunan rupiah: di sebelah utara mereka bertetangga dengan Kaltim Prima Coal (KPC), di perbatasan Selatan akan digali habis-habisan oleh PT Tambang Damai. Setelah 15-25 tahun ke depan, Kaltim dan Kalsel tidak akan memiliki apapun lagi (emas, mangaan, bijih besi,batu bara tidak bisa dibuat manusia - non renewable resorces). Yang tersisa, tinggal kolam raksasa dengan segala dampak ikutannya. Bahkan saat ini pun kita dengan mudah dapat menyaksikannya di wilayah bekas penambangan KPC.

Fenomena Shenzhen

Siapakah tokoh sentral dibalik reformasi ekonomi China itu? Tidak lain adalah Deng Xiaoping. Dia mampu membawa sebuah dusun nelayan sepi di Delta Sungai Mutiara pada tahun 1980-an menjadi kawasan pertama di China yang dirancang sebagai zona ekonomi khusus yang dapat menerima investasi asing: Shenzhen menjadi cetak biru kebangkitan perekonomian China. Shenzhen menciptakan keajaiban industrialisasi, urbanisasi, dan modernisasi dunia serta menyumbangkan kemajuan signifikan terhadap reformasi dan keterbukaan China. Shenzhen merupakan markas bagi sejumlah perusahaan teknologi tinggi, termasuk teknologi informasi Taiwan Foxconn yang mempekerjakan 400.000 karyawan, yang memasok komponen computer untuk Apple, Panasonic dan sebagainya. PDB nya pada tahun 2009 sebesar 120,14 milyar dollar AS (Kompas, 7 September 2010).

Tentu pertumbuhan kota seperti ini berdampak besar pada perubahan sosial dengan segala macam penyakit turunannya. Namun dalam hal energi, China lebih memilih mengimpor dari negara lain daripada menanggungkan kerusakan lingkungan di negaranya sendiri. Menarik sekali untuk mencoba memahami strategi pembangunan tanpa mengorbankan lingkungannya, walaupun tidak demikian bagi negara pengekspor, seperti Indonesia. Pertumbuhan diperlukan China untuk menghidupi 1 milyar penduduknya atau sekaligus untuk menguasai pasar regional dan menuju pasar global. Negara-negara yang masih mempertahankan strategi dan bangga akan sumberdaya alamnya, siap-siap menerima resiko dijadikan obyek perdagangan regional dengan resiko kerusakan lingkungan di tingkat lokal.

Menurut James Canton,Ph.D dalam bukunya The Extreme Future (2006), menyatakan bahwa China telah tumbuh dengan 10%, (Amerika 3% dan Eropa 4%), mampu menghidupi 400 juta rakyatnya dengan tingkat pendapatan meningkat 4 kali lipat. Inovasi adalah jantung dari perubahan besar di China ini. Tahun 2025, China akan menjadi pasar otomotif, tekstil, alat kedokteran, manufaktur, dan obat-obatan paling dominan di dunia dengan perkiraan nilainya mencapai $ 1 trilyun; pasar nanoteknologi di China senilai $ 5 milyar yang diwakili oleh lebih dari 800 perusahaan. Diramalkan pula minimal 10 kunci sukses yang menentukan China masa depan, antara lain adalah “akses energi” dan “daya tahan lingkungan hidup”. Dan seperti dijelaskan di depan, China memilih import energi murah (baca: batubara) dari luar negeri (Indonesia dan Vietnam) dengan alasan logisnya agar lingkungan hidupnya dapat tetap terjaga. Dua kunci sukses berhasil dipadukan oleh China saat ini.

Demikian dinyatakan oleh James Canton. Sayangnya, strategi ini musti mengorbankan negara lain yang harus mengalami kerusakan lingkungan yang luas akibat eksploitasi batubara tersebut. Hal penting yang tidak dibahas oleh James Canton, yang nampaknya terlalu terlena dengan ramalan atau prediksi masa China dengan pertumbuhan ekonomi sebagai dewanya. Prediksinya tentang akan lahirnya seratus kota baru di 2040 di China sungguh tidak terbayangkan dampaknya bagi negara-negara di sekitarnya, termasuk Indonesia yang kaya akan sumberdaya alam. Sampai seberapa jauh pertumbuhan di China itu masih bisa kita terima? Atau malah kita mengganggapnya justru sebagai pasar potensial dan aktual di masa sekarang dan mendatang?

Bagaimana sikap ekonom Indonesia menghadapi perubahan global yang didorong oleh pertumbuhan China yang meroket seperti itu? Pertanyaan-pertanyaan kunci yang harus dijawab oleh para disainer pembangunan Indonesia untuk masa 20 - 40 tahun ke depan, termasuk pakar lingkungan, penggerak pelestarian alam, doktor-doktor ahli lingkungan lulusan universitas terbaik dunia. Siapa yang masih memiliki komitmen besar untuk Indonesia yang lebih baik? Sungguh suatu keadaan yang sangat mengkhawatirkan, apabila kita mau merenungkannya, dengan hati, dengan ketulusan, dan dengan jiwa besar.***


Catatan: artikel ini merupakan bagian dari draft buku dengan judul : “Manusia-manusia Konservasi”, yang belum diketahui kapan akan diterbitkan, dan untuk menyambut Idul Adha 1432 H: semangat berkorban, semangat peduli untuk sesama. dan semangat bersama-sama menyelematkan bumi”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar