Kawasan hutan lindung dan konservasi dengan luas di bawah 25.000 Ha di Sumatera bagian Utara telah banyak berubah menjadi kebun sawit. Kasus yang mencuat menjadi isu nasional adalah ditangkapnya DL Sitorus yang merambah kawasan Hutan Produksi Terbatas di Padang Lawas menjadi kebun sawit seluas 30.000 Ha. Nampaknya, kebijakan nasional mendukung perluasan usaha perkebunan kelapa sawit. Kebijakan ini mengkatalis lahirnya kelompok yang disebut sebagai the land-seeking society. Ini adalah istilah untuk menyebut kelompok-kelompok yang berhasrat melakukan penguasaan tanah seluas-luasnya. Kelompok haus tanah ini mencari lahan-lahan terlantar untuk ditanami sawit. Perkebunan sawit merupakan bisnis yang menjanjikan. Tanah yang tersedia luas dan sesuai dengan sawit, pasar masih sangat baik, dan permintaan global terus meningkat.
Kebun sawit yang terus berkembang ini menjadikan kawasan hutan, termasuk kawasan konservasi, mengalami fragmentasi. Kawasan hutan yang masih utuh hanya tersisa di tempat-tempat yang sulit dijangkau transportasi, lereng-lereng curam atau jauh dari jaringan jalan, pusat-pusat pertumbuhan, dan pasar. Kawasan hutan yang masih cukup baik terpisah-pisah letaknya. Ini adalah fenomena island ecosystem di kawasan-kawasan konservasi. Kawasan-kawasan konservasi dikelilingi oleh tata guna lahan yang sudah berubah menjadi kebun-kebun monokultur baik sawit, hutan tanaman industri miskin jenis, dan karet.
Wood (2003) menyatakan bahwa 3 dari 5 pohon di hutan hujan tropis dataran rendah Sumatra telah ditebang atau dibakar dalam periode 1985-2000. Sebagian besar penebangan ini mensuplai industri pulp dan kertas. Satu kubik kertas memerlukan 5 kubik kayu. Sebagian besar kayu tersebut berasal dari hutan alam.
Tekanan utama terhadap hutan tropis dataran rendah juga disebabkan oleh konversi hutan ke perkebunan sawit. Sepertiga pasokan sawit dunia disuplai dari Indonesia. Areal sawit meningkat 36 kali lipat sejak 1960. Tidak kurang dari 4,1 juta hektar hutan tropis telah lenyap. Telapak (2000) menyebut Indonesia sebagai pengekspor sawit terbesar setelah Malaysia. Lokasi utama perkebunan sawit ini tersebar di Sumatera Utara (905.000 ha), Riau (544.700 ha), Kalimantan Barat (211.400 ha), dan Sumatra Selatan (206.000 ha). Angka ini akan terus bertambah dengan cepat setelah para pengusaha mulai mengincar hutan-hutan di Kalimantan Timur, Sulawesi, dan Irian Jaya (Susila, 1998 dalam Kartodihardjo dan Supriono, 2000).
Lebih dari 70% (1,8 juta ha dari 2,6 juta ha) perkebunan sawit dikelola konglomerat. Hal ini mendorong tumbuhnya monopoli dan oligopoli di pasar. Agen di balik munculnya kebijakan nasional terhadap rusaknya hutan adalah IMF. Dalam nota persetujuannya dengan pemerintah Indonesia, IMF menuntut kebijakan kesempatan investasi di bidang agro-industri khususnya perkebunan sawit skala besar (Suara Pembaruan, 1999).
Pembukaan hutan untuk perkebunan sawit skala besar menyebabkan kebakaran lahan. Deteksi satelit menemukan bahwa 90% titik api berasal dari lahan konversi hutan ke perkebunan sawit. Suara Pembaruan (1999) melaporkan bahwa 341 titik api di Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Bengkulu, dan Lampung dan 100 titik api di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah berasal dari pembukaan kebun sawit. Kebakaran lahan menjadi faktor pemicu kabut asap, yang meluas sampai ke Malaysia dan Singapura.
Akan tetapi, perusahaan perkebunan tidak mau bertanggung jawab terhadap kerusakan hutan dan bencana lanjutannya. Perusahaan sawit di Riau tidak bersedia bertanggungjawab terhadap kebakaran di areal pencadangan yang belum diterbitkan Hak Guna Usaha. Pada tahun 2005, di Riau terdapat 166 perkebunan aktif. Dari ke 166 perusahaan tersebut, hanya 129 perusahaan yang luas pencadangan arealnya diketahui. Dari luasan total 1.756.524 ha, yang telah di HGU-kan seluas 878.977 ha. Terdapat 877.546 ha yang tidak jelas penanggungjawabnya. Pemerintah menuntut perusahaan untuk bertanggungj awab di areal yang telah dicadangkan. Sementara perusahaan hanya bertanggung jawab di areal yang telah mendapatkan HGU (BPK, 2007).
Kawasan hutan tropis dataran rendah Leuser di Besitang, Kabupaten Langkat menghadapi fenomena ini. Kawasan yang ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa Sekundur (sebelum dirubah fungsi menjadi bagian dari TN Gunung Leuser) mengalami kerusakan dalam tempo 30 tahun. Sekitar 4.000 ha hutan telah berubah menjadi kawasan terbuka. Ribuan hektar sawit masuk ke dalam kawasan hutan ini sejak medio 1990an. Saat ini, lebih dari 12.000 ha sudah tidak berhutan dan tinggal berupa semak belukar. Dikurungnya kawasan-kawasan konservasi oleh perkebunan monokultur ini juga meningkatkan frekuensi konflik satwa dan manusia. Satwa liar terperangkap dalam habitat yang sempit. Seperti yang terjadi di Asiatic Persada, sebuah perusahaan sawit di Jambi, di mana harimau hidup di dalam kawasan hutan di wilayah konsesinya.
Terbentuknya ekosistem pulau di kawasan konservasi dapat menimbulkan konflik agraria yang cenderung meluas. Ekosistem pulau ini umumnya berupa mozaik kawasan konservasi yang dikelilingi oleh pola penggunaan lahan monokultur sawit. Tanpa batas yang jelas, klaim terhadap kawasan akan mudah terjadi. Oleh karena itu batas-batas kawasan konservasi harus dipertegas di lapangan. Dan yang lebih penting adalah bahwa batas-batas tersebut harus disepakati dan diakui para pihak.
Di sekitar kawasan konservasi, elit-elit politik dan pemodal besar menggunakan masyarakat lokal dan masyarakat miskin lahan untuk menguasai kawasan-kawasan hutan yang tidak bertuan (eks HPH atau kawasan konservasi yang tidak dijaga dengan batas tidak jelas). Tanpa pal-pal batas, patroli dan monitoring tidak berjalan, kehadiran pengelola di lapangan tidak ada, kawasan konservasi dalam bahaya. Kawasan TN Tesso Nilo di Riau, mengalami perambahan di kawasan perluasannya yang merupakan eks HPH Nanjak Makmur. Tidak kurang dari 8.000 ha kawasan taman nasional ini dikuasai oleh perambah dengan tanaman sawit. Konflik gajah-manusia meningkat dengan drastis.
Hutan hujan dataran rendah seluruh Sumatera “tinggal menghitung hari” saja, apabila upaya-upaya penanganan perambahan sawit tidak berhasil. Harus ada upaya bersama, terpadu, dan kosisten; misalnya dalam upaya menerapkan kebijakan “Zero Price” untuk tandan buah segar (TBS) sawit yang berasal dari lahan-lahan perambahan di kawasan hutan, khususnya di kawasan konservasi. Konsep Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang mensyaratkan sawit harus dari lahan yang legal (HGU atau bersertifikat), seharusnya diimplementasikan dengan cara antara lain, tidak menerima TBS dari kawasan-kawasan perambahan. Semoga ide “Zero Price” untuk TBS dari hasil perambahan ini bukan sekedar utopia, tetapi bisa kita laksanakan secara bersama dan terpadu.
Siapa yang harus memulai inisiatif ini?
Catatan :
Artikel ini merupakan bagian dari Bagian Kelima dari buku yang sedang disiapkan penulis dengan judul : “Tersesat di Jalan Yang Benar: Seribu Hari Mengelola Leuser”, yang akan segara diterbitkan oleh UNESCO Jakarta Office.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar