Menurut Yundahamasah (2013), lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia yang mempengaruhi kelangsungan kehidupan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lain baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Jadi, etika lingkungan merupakan kebijaksanaan moral manusia dalam bergaul dengan lingkungannya. Etika lingkungan diperlukan agar setiap kegiatan yang menyangkut lingkungan dipertimbangkan secara cermat sehingga keseimbangan lingkungan tetap terjaga. Adapun hal-hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan penerapan Etika Lingkungan sebagai berikut: (a) Manusia merupakan bagian dari lingkungan yang tidak terpisahkan sehingga perlu menyayangi semua kehidupan dan lingkungannya selain dirinya sendiri, (b) Manusia sebagai bagian dari lingkungan, hendaknya selalu berupaya untuk menjaga terhadap pelestarian, keseimbangan dan keindahan alam, (c) Kebijaksanaan penggunaan sumber daya alam yang terbatas termasuk bahan energi, (d) Lingkungan disediakan bukan untuk manusia saja, melainkan juga untuk makhluk hidup yang lain.
18 Desember 2016
31 Oktober 2016
Growth Mindset Pilar Perhutanan Sosial: Catatan Kritis Menyambut Terbitnya Permen LHK tentang Perhutanan Sosial
Dalam teori tentang mindset, sikap dan perilaku Wahjudi Wardojo seperti tersebut di
atas, disebut bahwa ia membangun “Growth
Mindset” (Hiring for Attitude
oleh Eilen Rachman & Emilia Jakob, Kompas 26 Maret 2016). Kedua pakar
tersebut menyatakan bahwa mereka yang memiliki ‘growth mindset’ akan memfokuskan energi positif mereka dan
mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi keterbatasan mereka.
Mereka tidak takut bangun lebih pagi, berjalan lebih jauh, berusaha dua kali lipat
dibandingkan dengan rekan-rekannya dan bahkan bangun lagi dengan cepat bilamana
mereka mengalami kegagalan.
Mereka yang memiliki ‘growth mindset’ bukanlah mereka yang tidak pernah merasa
takut akan keterbatasan mereka, akan tetapi semata-mata lebih karena mereka
tidak membiarkan rasa takut itu menguasai mereka. Nelson Mandela mengatakan, “I learned that courage was not the absence
of fear, but the triumph over it. The
brave man is not he who does not feel afraid, but he who conquers that fear”.
26 September 2016
Pengelolaan Bentang Alam Kolaboratif: Perspektif Perhutanan Sosial
Pengelolaan
“Bentang Alam” menjadi wacana yang semakin mendapatkan respon menarik beragam. Mungkinkah birokrasi
pemerintah mampu melakukan model pengelolaan
lintas batas-multistakeholder?
Pada umumnya pemerintah bekerja berdasarkan sistem penganggaran yang sektoral.
Di Kementerian LHK, masing-masing Eselon 1 telah merencanakan kegiatan
tahunannya sesuai dengan tugas dan fungsinya, yang kemungkinan besar tidak
(sempat) secara intensif saling dikomunikasikan. Direktur Kawasan
Konservasi -
Ditjen KSDAE
di satu sisi, yang mengelola kawasan konservasi dan Ditjen PSKL, dimana
terdapat Direktorat Penyiapan Kawasan
Perhutanan Sosial (PKPS), yang mendapatkan tugas memberikan akses kelola hutan
lindung dan hutan produksi untuk masyarakat setempat, bisa bekerja sendiri dan
terpisah. Sementara kondisi di lapangan, sangat dimungkinkan dan menuntut
kerja-kerja terpadu dan saling bersinergi. Berbagai persoalan yang dihadapi
pengelola kawasan konservasi dapat dibantu dicarikan solusinya dengan penerapan
perhutanan sosial di daerah penyangganya.
Pendekatan
keterpaduan ini juga dapat diperkuat dengan kehadiran para mitra yang bekerja
di tingkat lokal, baik swasta, LSM, dan yang tidak kalah pentingnya adalah
pemerintah daerah dan masyarakat yang tinggal di desa-desa sekitar kawasan
konservasi, dan bahkan di dalam kawasan hutan negara. Para mitra itu dapat
berupa individu, para local champion,
penggerak lingkungan, perkumpulan di kampung dan desa-desa, tokoh adat, tokoh
informal, maupun lembaga-lembaga keagamaan dan lembaga informal lainnya. Semua
pemain lokal sangat penting dan merupakan stakeholders
kunci dalam kerja-kerja kolaboratif berskala bentang alam.
Salah
satu kunci keberhasilan awal dari inisiatif kerja multipihak ini adalah adanya
pihak yang menjadi “motor penggerak” yang mampu mendorong para pihak lainnya
untuk “duduk bersama”, membangun komunikasi lintas batas. Mereka ini disebut
sebagai local champion. Bisa berasal
dari kalangan pemerintah (birokrasi), LSM, masyarakat, dan pihak lainnya.
15 September 2016
Keberpihakan, Kepedulian, Kepeloporan, Konsistensi, Kepemimpinan Masa Depan Perhutanan Sosial di Indonesia
Prolog
Tanpa sikap “Keberpihakan”,
sulit kita bisa membayangkan terjadinya “change”.
Suatu perubahan nyata dan bukan hanya wacana. Perubahan dalam cara berfikir,
cara bertindak, dan cara kita bersikap dalam mengurus, mengelola sumberdaya
hutan di Indonesia. Tanpa kerja nyata “Kepeloporan” untuk menjadi yang
terdepan berani melakukan berbagai inisiatif, inovasi, ujicoba,
“trial and error” di lapangan, di tingkat tapak, kita akan terjebak dalam
pusaran wacana, atau terbatas hanya pada ranah kebijakan, rencana, regulasi, kegenitan
intelektual-keilmuan atau hanya mampu memproduksi kebijakan-kebijakan yang
tidak membumi, yang “tasteless”.
Kebijakan yang menjadi “macan kertas” belaka yang jauh dari apa yang menjadi
harapan masyarakat di lapangan. Tanpa “Kepemimpinan”,
perahu kebijakan berputar tanpa arah yang jelas dan tidak kemana-mana, karena
tidak jelas mau kemana perahu akan dibawa oleh seorang nakhoda.
Pengelolaan Kolaboratif Sumberdaya Alam Sebagai Alternatif Pencegahan dan Resolusi Konflik
A. Latar
Belakang
Menurut data dari BPS dan Kementerian Kehutanan tahun 2007 dan 2008,
sebanyak 25.863 desa berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan Negara
(Kemitraan, 2015). Pada umumnya, masyarakat desa hutan ini kondisi sosial
ekonominya sangat bergantung pada sumberdaya hutan. Menurut Prof. Didik
Suharjito (2014), jumlah penduduk miskin yang bertempat tinggal di desa hutan
sekitar 12 juta jiwa atau 32,4% dari penduduk pedesaan sekitar hutan, atau
66,3% dari penduduk yang tergolong miskin. Nampaknya hutan-kemiskinan
berkorelasi langsung. Dan ini menjadi salah satu sumber konflik.
Pasca reformasi 1998, konflik tenurial di sekitar kawasan hutan semakin
meningkat dan semakin kompleks. S Rahma
Mary H (Huma) dan Noer Fauzi Rachman (Fakultas Ekologi Manusia - IPB; saat ini
bekerja di Kantor Staf Presiden) dalam artikelnya berjudul: “Mesuji, Cermin
Konflik Agraria yang Kronis” (Media Indonesia, 26 Desember 2011) menguraikan
berbagai persoalan konflik agraria antara masyarakat dan pengusaha, yang
cenderung direspon represif oleh aparat negara da perusahaan.
Kedua penulis mengungkap bukti-bukti bahwa selama 10 tahun terkahir terjadi
108 konflik agraria di 10 provinsi yang didominasi konflik tenurial di kawasan
hutan (69 kasus), dan konflik perkebunan (23 kasus); BPN mencatat 8.000 konflik
agraria. Sawit Watch mencatat konflik
tanah di perkebunan kelapa sawit mencapai 663. Konflik agraria ini melibatkan
perusahaan perkebunan swasta dan BUMN, perusahaan pertambangan, taman nasional,
dan Perhutani.
25 Januari 2016
Perhutanan Sosial dan Politik Keberpihakan : Kebijakan Provinsi Sumatera Barat Bisa Menjadi Contoh
Latar Belakang
Definisi tentang “hutan” sudah seharusnya dirubah total. Definisi “hutan” sebagaimana tercantum dalam UU
No.41/1999 tentang Kehutanan dan dalam berbagai literatur, yang menyatakan
“hutan” hanya sekumpulan pohon-pohon, menjadikan banyak kebijakan nasional yang
misleading. Ini pandangan
konvensional yang akhirnya memang hutan dieksploitasi kayunya. 35 tahun
kemudian, hutan-hutan produksi di Indonesia lenyap dan hanya menyisakan 30-40
juta hektar kawasan open access. Sesungguhnya
hutan di Indonesia dan bahkan di berbagai negara lainnya, bukan hanya sekedar “kertas
putih”.
Prof San Afri Awang, dalam pengukuhannya sebagai Guru Besar Perhutanan
Sosial (Social Forestry)-UGM ternyata sejalan dengan pandangan
bahwa hutan bukan “kertas putih”. Hutan bukan sekedar kumpulan flora dan fauna.
Ontologi (hakekat ilmu hutan/ kehutanan) atau OH konvensional sebagai fungsi
flora, fauna dan ekosistem atau OH = f (flora, fauna, ekosistem). Ontologi
pengetahuan kehutanan ini dibentuk dan dikonstruksikan oleh asupan substansi
yang terkait dengan flora, fauna, dan ekosistemnya saja. Selanjutnya dinyatakan
bahwa pengertian hutan (forest)
sebagai satu ekosistem yang ditandai oleh tutupan pohon padat atau kurang padat
dan menempati areal yang luas, sering terdiri dari tegakan yang variatif di
dalam karakternya seperti komposisi jenis, struktur, kelas umur, dan secara
bersama-sama berasosiasi dengan padang rumput, sungai, ikan, dan hewan-hewan
liar (Helms, 1998 dalam Awang, 2013).
Langganan:
Postingan (Atom)