"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

04 Agustus 2010

Deadlock Pengelolaan Kawasan Konservasi

Tipologi Kawasan
Setiap kawasan konservasi memiliki sejarah pembentukan yang berbeda-beda. Banyak kawasan konservasi di masa lalu merupakan warisan dari kawasan konservasi yang telah ditetapkan oleh Belanda, di awal Abad 19, dengan ciri-ciri umum ukuran kawasan yang hanya beberapa hektar (misalnya CA Arca Domas-2 hektar; CA Malabar-8 hektar; CA Depok-6 hektar, kini jadi taman hutan raya; (Jawa Barat); CA Getas -1 hektar (Jateng): dan beberapa CA yang melindungi Refflesia arnoldi), di Bengkulu. Beberapa kawasan cagar alam tersebut ada yang masih tetap dipertahankan statusnya sampai dengan saat ini, seperti CA Celering di Jateng, tetapi ada pula yang dirubah fungsinya dan digabung menjadi bagian dari
taman nasional, misalnya CA Cimungkat yang dan beberapa kawasan hutan lindung lainnya yang dirubah fungsi menjadi taman nasional Gunung Gede Pangrango.

Perubahan Tata Guna Lahan
Pada awal Abad 19, sebagian besar Indonesia masih ditutupi dengan hutan perawan. Keadaannya tidak demikian pada Abad 21 ini. Land use di sekitar kawasan konservasi sudah berubah menjadi berbagai tipe penggunaan lahan yang umumnya non kehutanan, seperti perkebunan, pemukiman, jairngan jalan, lahir dan berkembangnya kota-kota baru dan meningkatnya konsentrasi dan pertambahan penduduk yang memerlukan dukungan infrastruktur, dan sebagainya. Banyak kawasan konservasi menjadi terisolasi di antara land use yang telah berubah sama sekali, semakin terbukanya akses masuk ke dalam kawasan, dan bahkan akhirnya perambahan tak terkendali merubah total beberapa dan banyak kawasan konservasi. Di Jawa, beberapa kawasan cagar alam di Jawa Tengah diduga telah hilang, karena tidak ditemukan lagi tapaknya di lapangan, hanya ada di atas peta saja. CIFOR sedang melakukan penelitian status kawasan cagar alam/suaka margasatwa di Pulau Jawa, Akan menarik untuk mengetahui hasil studi ini nantinya.

Disorientasi Pengelolaan
Selama ini, pengelolaan kawasan konservasi terjebak pada sekedar membangun fisik (physical infrastructure) dan melupakan membangun system pengelolaan. Ketika saya mengajukan konsep dengan icon “resort-based management”, sejak tahun 2006 ketika saya bertugas di TN Gunung Leuser, pada Rakernis PHKA 2010 yang lalu ditanggapi dengan sekedar “membangun kantor resort”. Beberapa Balai TN di Jawa, misalnya tN Gunung Gede Pangrango yang dibangun oleh senior kita Wahjudi Wardojo, telah menerapkan kerja berbasis resort, kini malahan dibangun beberapa resort model. TN Gunung Halimun dibantu JICA selama 15 tahun dan kita bisa melihat bagaimana taman nasional dikelola di tingkat lapangan. TN Alas Purwo kini bisa jadi contoh sebagai pengelolaan taman nasional berbasis resort dan malahan dijadikan contoh untuk pengembangan konsep KPHK.
Secara umum, pengelola kawasan konservasi tidak mampu memotret perubahan-perubahan lingkungan di luar kawasan, termasuk di luar organisasi yang berdampak pada disorientasi pengelolaan. Pengelolaan yang tidak didasarkan pada upaya merespon persoalan-persoalan strategis, kekauan menterjemahkan rencana strategis Ditjen PHKA, yang semestinya diinterpretasikan dalam konteks local spesifik, ketakutan melakukan inovasi karena kekakuan sistem keproyekan. Akhirnya sampai pada tingkat kebingungan, tahun depan akan mengalokasikan anggaran untuk apa? Dimana? Berapa besar?

Keluar dari Deadlock
Mensikapi berbagai persoalan dan tipologi kawasan dan interaksi kawasan dengan perubahan pola-pola penggunaan kawasan, aksesibilitas, dampak pembangunan, dan dinamika politik otonomi daerah, maka para pengelola kawasan konservasi harus mengambil sikap, dnegan terlebih dahulu memahami prinsip-prinsip pengelolaan kawasan (periksa makalah kedua: “Sebelas Prinsip Pengelolaan Kawasan Konservasi”). Prinsip-prinsip ini sedang terus dikembangkan dan dikaji apakah memang ke sebelas prinsip tersebut tepat untuk diresapi dan dijadikan acuan pengelola kawasan mendapatkan kejelasan dalam mengelola kawasan-kawasan konservasi yang menjadi tanggungjawabnya.
Hal mendasar yang harus difahami oleh para pengelola kawasan konservasi adalah :
  1. Pengelola harus memahami dan mengetahui “isi” kawasan, kondisi kawasan, dinamika perubahan “isi” dan kawasan serta mendapatkan jawaban mengapa terjadi perubahan-perubahan, termasuk pola-pola interaksi lingkungan eksternal-dinamika perubahan penduduk, perkembangan social, ekonomi, budaya, infrastruktur, kebijakan-kebijakan local, kelembagaan masyarakat, dan lain sebagainya. Untuk mengetahui dann memahami hal-hal tersebut di atas, tidak lain jawabannya adalah bahwa pengelola harus terjun ke lapangan. Pengelolaan kawasan konservasi tidak dapat dilakukan dengan menggunakan remote control.
  2. Untuk dapat memahami dinamika interaksi kawasan dan daerah penyangga di sekitarnya, pengelola harus memiliki sikap mental seorang leader yang memiliki prinsip-prinsip kerja dengan dukungan keilmuan multidisiplin dan mentalitas kerja berjaringan dan kolaborasi. Scientific-based decision making merupakan prasyarat mutlak bagi pengelola kawasan konservasi dalam memilih opsi-opsi pengelolaan. Tidak ada ruang pengambilan keputuan berdasarkan “feeling” atau “by accident”. Ini hal yang sangat memalukan bagi pengelola kawasan dan melanggar kode etik pengelola kawasan konservasi (catatan: kode etik ini belum ada, dan masih menjadi pemikiran penulis). Silakan bertanya pada diri sendiri, bagaimana pengambilan keputusan-keputusan selama ini kita lakukan? Bagaimana usulan kegiatan tahun yang akan dating kita susun? Dan lain sebagainya. Scientific judgment tidak selalu berasal dari pakar dan perguruan tinggi, tetapi juga harus dilandasi dengan sikap mental ilmiah, didasarkan pada fakta-fakta lapangan, dengan analisis yang secara ilmiah relatif dapat dipertanggungjawabkan. Tidak berarti pula pengelola hanya mengontrakkan berbagai pekerjaan pada konsultan (siapapun mereka). Seluruh staf kunci harus terlibat dalam proses kreatif dan proses kajian ilmiah tersebut, sehingga merasakan proses pembelajaran bersama. Sesekali meminta bantuan pakar untuk memberikan masukan apakah suatu metodologi atau teknik pengambilan data yang digunakan secara ilmiah benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Kepala Balai TN/KSDA harus figure yang memiliki sikap mental selalu ingin tahu, selalu ingin menambah ilmu, selalu gelisah bila suatu masalah belum dapat dipecahkan, termasuk pertanyaan : “kok saya belum tahu persis ya apa tujuan awal penetapan suatu kawasan? Apa isi sebenarnya di dalamnya, apakah ada hal-hal yang bermanfaat bagi keilmuan dan kemanusiaan? Siapa tahu ekstrak kimiawinya mengandung unsur-unsur sebagai materi pengobatan penyakit modern yang belum ada obatnya. Mohon maaf, pertanyaan-pertanyaan seperti itu sekarang ada di kepala para peneliti asing. Seorang peniliti orangutan di Stasiun Riset Ketambe-TN Gunung Leuser, mengatakan setelah hampir 40 tahun seri penelitian orangutan di Ketambe, itu hanya 30% dari kemungkinan-kemungkinan ditemukannya fenomena ilmiah orangutan bagi kemanusiaan! Sementara Kepala Balainya hampir tidak pernah mengunjungi stasiun riset tertua dan terpenting di dunia itu. Tim Peneliti yang melibatkan Conservation International berkantor di Washington DC bekerjasama dengan LIPI menemukan banyak spesies baru di CA Foja-Mamberamo, dan diduga masih akan ditemukan spesies-spesies baru di belantara Papua tersebut (penulis bertanya-tanya, apakah staf Balai Besar KSDA Papua juga terlibat dalam penelitian tsb?). Celakanya, Pusat juga tidak emngetahui bahwa Kepala Balainya tidak pernah mengunjungi lapangan. Kondisi ini sangat membahayakan untuk hanya kita biarkan.
  3. Perubahan struktural dan “revolusi” pengelolaan kawasan konservasi harus segera dilakukan, agar pengelola tidak sekedar menjadi administrator ijin bagi peneliti asing, atau sekedar menjadi “penjaga kawasan” (kerjaan ini pun juga tidak dilakukan, kecuali patroli), tetapi menjadi garda depan penelitian “isi” kawasan konservasi, menjaga dan memanfaatkan kawasan, untuk kepentingan-kepentingan jangka panjang sesuai tujuan yang telah ditetapkan.

Untuk Kita Renungkan
Mensikapi berbagai ungkapan tersebut di atas, marilah kita diskusikan secara terbuka dan dengan hati yang jernih, apakah workshop ini bisa kita jadikan momentum untuk melakukan “perjalanan spiritual” menuju sikap mental baru, bagaimana kita akan mengelola kawasan konservasi. Kawasan 27 juta hektar yang relatif masih”utuh” dan berhutan itu, sebagai mandat dari titipan generasi mendatang yang belum lahir.
Marilah kita mulai dari diri sendiri, dan sejak hari ini! Dan terima kasih untuk Kepala KSDA Yogyakarta, yang mengundang saya-mungkin untuk mengingatkan “hutang” saya yang sebagian belum saya lunasi sebagaimana tertuang dalam Rencana Strategis KSDA Yogyakarta (2000-2004), yang sudah selayaknya kita evaluasi bersama : Bagaimana kelanjutan budidaya rusa-timor (Cervus timorensis) dengan inseminasi buatannya? bagaimana dengan peerbanyakan Vanda tricolor dengan kultur jaringannya? Bagaimana nasib Pak Rudjito-pelestari penyu di Bantul? Bagaimana Kompleks Bunder (Tahura) dikembangkan dengan Pemda dan para pihak? Bagaimana kawasan Karst Gunung Sewu dapat dikembangkan bersama-sama sebagai asset kebanggan Provinsi DI Yogyakarta? Dan masih banyak pertanyaan hipotesis lainnya, untuk kita sama-sama kaji dan cermati kembali.
Rencana Strategis Balai KSDA (2000-2004) yang disusun dengan semangat multipihak itu, kini telah diadopsi prosesnya, sebagaimana diatur dalam SK Menteri Kehutanan Nomor 41 tahun 2008, di mana proses penyusunan suatu Rencana Pengelolaan KSA an KPA perlu dilakukan melalui proses konsultasi public dan mendapatkan dukungan dari Pemprov/Pemkab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar