"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

04 Agustus 2010

“Harakiri” di Bumi

“Kita sekarang tahu bahwa galaksi kita hanyalah satu dari beberapa ratus ribu juta galaksi yang dapat diamati dengan menggunakan teleskop modern…”Stephen W.Hawking- penulis Buku “Teori Segala sesuatu: Asal-usul dan Kepunahan Alam Semesta”

Planet bumi yang mengitari matahari itu ternyata hanya salah satu warga dari Galaksi Andromeda. Sementara di alam semesta yang membentang luas seolah tanpa ujung itu, berserakan beberapa ratus ribu juta galaksi, sebagaimana yang dinyatakan oleh Stephen W.Hawking di atas, manusia di atas bumi ini hanya sekedar “zarrah”. Merenungkan hal makro seperti ini seolah
memang the sky has no limit. Namun apabila kita mencermati keseharian cara hidup manusia di bumi, ternyata, nafsu manusia juga bisa tak terbatas, dalam hubungannya dengan tingkat laku dan aliran politiknya dalam menguras isi perut bumi-hutan, tambang, pasir, air, sumberdaya laut dengan segala isinya, dan seterusnya.Dengan teknologi kita dapat dengan mudah memeriksa stok sumberdaya hutan di seluruh muka bumi ini. GoogleSat. Adalah program baru yang diluncurkan oleh Google, di mana kita dapat melihat penutupan hutan di seluruh dunia dari atas, seperti layaknya naik pesawat di atas hutan-hutan itu. Tampilan tiga dimensi juga membuat kita tercengang karena menjadi tahu akan kehancuran hutan-hutan Indonesia saat ini, termasuk kerusakan hutan tropis dataran rendah di TN.Gunung Leuser wilayah Besitang, Langkat. Citra tersebut dapat dengan mudah dilihat dengan menggunakan program GoogleSatellite (GoogleSat) ini. Kita seperti ditelanjangi saja. Dapat dikatakan :”No one can hide the depletion of our forest resources”. Tak seorangpun kini dapat menyembunyikan fakta kerusakan hutan Indonesia. Tidak juga oleh siapapun termasuk pejabat di Jakarta.

Sejauh ilmu pengetahuan dan teknologi manusia mampu mengeksplorasi alam semesta, belum terdapat satu bukti pun adanya planet-planet lain yang layak huni seperti planet bumi-yang memancarkan citra biru bila dilihat dari bulan. Satu fakta yang tidak terbantahkan. Sehingga World Conservation Congress yang diadakan di Bangkok pada 17-25 Nopember 2004 yang memilih tema: “ People and Nature: Only One World” sungguh sangat tepat menggambarkan bahwa bumi kita inilah satu-satunya “world” yang layak huni.Jangan mimpi akan ada bumi lain di belantara alam semesta yang maha luas itu, walaupun fenomena UFO dengan “manusia” kerdilnya, telah dideteksi berabad lalu, sejak jaman Mesir kuno.

Dengan latar belakang seperti itu, sebenarnya patutlah kiranya kita “menyayangi”, “merawat”, dan “memperlakukan” tempat tinggal manusia ini dengan sebaik-baiknya.Ternyata cara pandang ini hanya utopia. Realitas menunjukkan keadaan yang justru sebaliknya. Eksploitasi dan degradasi sumberdaya alam mengalami proses percepatan yang semakin meningkat, dan mengerikan dampak berantai yang ditimbulkannya. Sumberdaya alam terrestrial yang hanya 1/3 luas bumi dikuras habis-habisan. Hal ini juga disebabkan ketimpangan sebaran sumberdaya ditambah dengan gaya hidup masyarakat di negara-negara maju yang boros-lalu malahan dijiplak dan menjadi trend modernitas, menyebabkan aliran energi tersedot dari selatan ke utara, sementara limbah dibuang ke Selatan bahkan memang sengaja diimport ke Selatan. Wabah antroposentrisme menggejala di Utara dan menyebarkan virusnya ke Selatan. Dengan teknologi satelitnya yang canggih, Utara setiap saat dapat mengintip “isi perut” bumi negara-negara Selatan, hampir tanpa batas.

Neokolonialisme telah lahir dan menemukan bentuknya ketika globalisasi mengganas-menyergap bumi selatan. Saat ini bumi dikuasai oleh Trans National Corporation (TNC). Hampir 100 TNC yang tergabung dalam WTO yang didirikan pada tahun 1995, saat ini mulai memonopoli 75% dari perdagangan dunia.

Hutan merupakan salah satu sumberdaya strategis yang diperebutkan dalam setting globlalisasi yang seperti itu. Banyak Negara-negara Utara melindungi sumberdaya hutan alamnya, sementara kebutuhan akan kayu dipenuhi dari Selatan. Di tingkat regional-Asia Tenggara di mana demand akan produk kayu semaikn meningkat. Ambil contoh China, misalnya, di mana tahun 2002 telah mengimpor kayu sebanyak 95 juta m3 (lebih banyak impor kayu daripada plywood; lebih banyak impor pulp daripada kertas), untuk lebih banyak lapangan kerja di negaranya. China juga sudah stop logging, sehingga sumber kayunya dari Russia, Indonesia, Malaysia, dan Canada. Tingkat impor kayu China meningkat 75% dibandingkan dengan tahun 1997; Sepuluh tahun yang lalu merupakan importir ke tujuh terbesar di dunia, sekarang meningkat menjadi importir kedua terbesar. Hal ini tentu berdampak pada meningkatnya illegal logging dan kerusakan hutan (Kaimowitz 27 Agustus 2004-CIFOR’s Forest Policy Expert Listserver). Demand akan kayu ini nampaknya masih akan tinggi, misalnya dipertegas oleh FAO (2003) yang melaporkan bahwa manfaat ekonomi sumberdaya hutan di negara-negara Asia Tenggara ternyata masih didominasi oleh kayu (1.462 spesies), dan medicinal plants (1.135 spesies).

Negara-negara yang masuk blok G8 misalnya menyatakan perhatiannya akan pentingnya sustainable forest management, sambil meneruskan impor kayu illegal. Pada tahun 1998 menurut catatan EIA (2001), kelompok G8 ditambah dengan EU mengimpor 280 juta m3 produk kayu atau setara dengan 74% impor kayu dan produk kayu dunia. Amerika Serikat saja mengimpor kayu lebih dari $ USD 450 juta pada tahun 2002. Apabila didasarkan tingkat illegal logging sebesar 70% di Indonesia saat itu, maka Amerika Serikat mengimpor kayu curian senilai $ USD 330 juta dari Indonesia. EU mengimpor kayu tropis sebesar 10 juta m3 pada tahun 1999, di mana hampir separuh berasal dari tiga Negara pengekspor-Indoensia, Brazil, dan Cameroon. Dengan menganalisis tingkat illegal logging di ketiga Negara penekspor tersebut dapat dinilai bahwa separuh kayu yang masuk ke EU adalah dari sumber-sumber illegal, senilai $ USD 1,5 milyar per tahunnya (EIA, 2001).

Ketika stok kayu di hutan-hutan produksi mulai menipis, illegal logging mengarah pada kawasan-kawasan konservasi, antara lain taman-taman nasional dan juga mengarah ke Indonesia Bagian Timur: Papua. TN.Tanjung Puting di Kalimantan Tengah merupakan contoh paling nyata bagaimana illegal logging terhadap ramin menghancurkan taman nasional yang juga ditetapkan sebagai salah satu dari 6 Cagar Biosfer di Indonesia itu.Sehingga sempat dikeluarkan Instruksi Presiden No.5 tahun 2001 tentang pemerantasan illegal logging di TN.Leuser dan TN.Tanjung Puting. Kasus Tanjung Puting khususnya menjadi mengglobal dan akhirnya Senat US mengirimkan surat kepada Presiden Megawati pada tanggal 22 Nopember 2002, apresiasi terhadap upaya-upaya penanggulangan illegal logging oleh pemerintah Indonesia, tetapi Senat masih meminta perhatian khusus tentang penegakan hukum bagi pelaku illegal logging di TN.Tanjung Puting. Leuser malahan terkesan ditinggalkan.Ini menarik untuk ditelaah nantinya. Mengapa Inpres yang diamanatkan untuk melindungi 2 Cagar Biosfer, Leuser terkesan ditinggalkan.

Data dari Departemen Kehutanan yang dianalisis oleh Putro, HR (2004) menunjukkan bahwa kondisi hutan di Indonesia tahun 2000 adalah sebagai berikut: hutan produksi seluas 18,4 juta Ha telah mengalami kerusakan, menjadi hutan sekunder atau non hutan sebesar 55%; sedangkan 58% dari total luas kawasan konservasi atau seluas 10,8 juta Ha, mengalami kerusakan sebesar 38%. Mencari penyebab kerusakan hutan di areal hutan produksi, Greenomic dan ICW (2004) melakukan analisis terhadap kinerja 44 pemegang HPH (sekarang disebut IUPHHK). Fakta membuktikan bahwa lebih dari 80% dari 44 perusahaan berkinerja sedang (38,6%) dan buruk (51,5%) dalam pemenuhan 3 indikator tingkat pemanenan lestari. Wajar apabila sampai dengan saat ini dari sekian ratus HPH yang beroperasi di Indonesia selama 30 tahun, hanya 1 pemegang HPH yang mendapatkan sertifikat Ekolabel maupun FSC, yaitu PT. Diamond Raya Timber (Putro, H.R., 2004). Dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa Sustainable Forest Management (SFM) hanya impian belaka.Sekedar menjadi utopia. Oleh karena itu, akhir-akhir ini banyak kelompok NGO di Amerika Serikat tidak percaya terhadap SFM. Menurut mereka, satu-satunya cara untuk menyelamatkan hutan tropis adalah dengan menetapkannya sebagai kawasan konservasi. Hectare Saved atau berapa hektar hutan tropis yang masih asli yang dapat diselamatkan, merupakan salah satu strategi yang sedang dikembangkan saat ini, dan sangat mewarnai dialog-dialog pada World Park Congress ke X di Durban Afrika Selatan pada tahun 2003 lalu. Implikasi dari kutub pemikiran ini adalah bagaimana kemudian mengelola kawasan-kawasan hutan tropis yang masih tersisa itu secara lebih efektif. Muncul pemikiran membangun koridor-koridor yang menghubungkan antar kawasan konservasi, sebagai respon dari semakin terfragmentasinya kawasan-kawasan hutan habitat satwa liar. Contoh kasus ini sangat jelas terjadi di Riau, Jambi, dengan indicator semakin meningkatkan kejadian konflik gajah dan harimau dengan manusia.

Tanpa kita sadari, Indonesia tengah melakukan “harakiri” terhadap sumberdaya hutannya. Suharyanto (komunikasi pribadi, 5 Maret 2009) menyatakan kita yang dipaksa melakukan “hara-kiri”. Jadi diindikasikan terjadi proses hegemoni Utara terhadap Selatan, dan “harakiri” merupakan disain dari Utara. Hampir 30 tahun proses eksploitasi hutan nasional, yang bahkan skalasinya semakin meningkat sejak era otonomi lima tahun silam. Masihkah ada harapan?. Thanks God, ternyata kita masih memiliki kawasan-kawasan konservasi termasuk hutan-hutan lindung yang lumayan luas. Apakah ada grand design yang mengalokasikan kawasan-kawasan hutan untuk tidak dieksploitasi? Apa latar belakang ideologisnya? Bagaimana ke depan strategi save it (dalam bentuk penetapan kawasan-kawasan konservasi) itu akan mampu bertahan terhadap hantaman dari meningkatnya demand kayu global dan regional serta kebutuhan akan lahan akibat intervensi sawit dan dilanjutkan dengan tambang pada skala nasional? Adakah terobosan (breakthrough) yang dilakukan ketika era otonomi tiba? Atau malahan pengelolaan kawasan-kawasan konservasi juga mengalami kebuntuan. Mengalami deadlock? Daftar panjang pertanyaan itu dicoba untuk diurai dalam Bab-bab dalam buku ini. Semoga kita segera menghentikan kesengajaan untuk “hara-kiri” terhadap sumberdaya hutan Indonesia, yang berarti juga hara-kiri bagi masyakat khususnya yang tinggal dan hidup bergantung pada sumberdaya hutan itu. Bahkan kehancuran kebudayaan masyarakat telah mulai menjadi gejala yang semakin meluas. Bahkan dampak kerusakan hutan terbukti juga dapat terjadi jauh melewati batas-batas negara, seperti bencana banjir, tanah longsor, konflik manusia-satwa liar, kebakaran dan pembakaran lahan dan (sebagian) kawasan hutan beserta kabut asapnya. Hal ini belum terhitung dampat berantai yang menjadi ikutannya-menurunnya kesuburan tanah, hama, penyakit, bencana kekeringan, dan seterusnya. Tanpa pemerintahan yang legitimate dan kuat, proses “hara-kiri” akan terus berlangsung. Politik nasional harus berpihak pada konservasi dan rehabilitasi sumberdaya hutan, seperti telah dicanangkan oleh Departemen Kehutanan bahwa mulai tahun 2002-2020, hutan Indonesia harus dikelola dengan nuansa investasi untuk rehabilitasi dan konservasi. Selama para pendompleng (free riders) masih bermain dan memainkan perannya dalam menentukan kebijakan nasional pengelolaan sumberdaya hutan, sulit kita punya harapan, sulit kita punya mimpi, bahwa sisa hutan Indonesia mampu kita selamatkan, dan kita kelola dengan sebaik-baiknya. Kemudian, konservasi tidak pernah akan lahir menjadi gerakan nasional, menjadi gerakan sosial, atau menjadi bagian dari gaya dan pilihan hidup masyarakat Indonesia. Bila ini terjadi, maka doom- day seperti yang diramalkan Holmes (2002) terhadap nasib hutan tropis dataran rendah di Sumatra-yang akan habis pada tahun 2005 dan di Kalimantan pada tahun 2010, nampaknya bukan hanya prediksi semata, tetapi akan segera terwujud. Diskusi terhadap nasib hutan-hutan produksi tersebut akan lebih lengkap apabila kita memeriksa, bagaimana nasib kawasan-kawasan konservasi yang secara teoritis memang tidak untuk ditebang.

Catatan: Paper telah dimuat di AgroIndonesia. Paper bagian dari Sub Bab Buku : Tersesat DI Jalan Yang Benar: Refleksi 1000 Hari Mnegelola Leuser.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar