"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

04 Agustus 2010

Bencana Ekologi dan Krisis Kebudayaan

Seorang ahli fisika terkenal, Fritjof Capra, menguraikan dengan gamblang bagaimana Barat dikuasai oleh pemahaman tentang fenomena alam yang mekanistik, yang dikembangkan oleh Descartes selama 3 Abad. Pandangan filsuf ini menyatakan bahwa alam semesta adalah sebuah sistem mekanis, telah memberikan persetujuan “ilmiah” pada manipulasi dan eksploitasi terhadap alam. Tujuan ilmu adalah penguasaan dan pengendalian alam, yang menegaskan bahwa pengetahuan ilmiah dapat digunakan untuk “mengubah kita menjadi tuan dan pemilik alam”.



Sebelum Abad 15, pandangan dunia yang dominan di Eropa dan sebagian besar peradaban lain bersifat organik. Manusia hidup dalam komunitas-komunitas kecil dan erat, dan menjalani kehidupan alam raya dalam pengertian hubungan organik, yang ditandai oleh saling ketergantungan antara fenomena spiritual dengan fenomena material dan prinsip kebutuhan masyarakat umum lebih utama daripada kepentingan pribadi. Model matematika yang dikembangkan Descartes lah yang kemudian memungkinkan NASA mengirim manusia ke bulan. Kerja Descartes ini dilanjutkan oleh Isaac Newton pada abad 18, yang teorinya mampu menjelaskan gerak planet, bulan, komet, aliran gelombang, dan sebagainya.


Walaupun demikian, pandangan yang menempatkan alam sebagai fenomena mekanistik itu pula yang mendorong Barat mengembangkan Etika Antroposentrisme. Etika antroposentrisme ini dilatarbelakangi oleh tradisi pemikiran barat yang liberal. Dalam etika ini manusia diposisikan sebagai pusat dari alam semesta, dan hanya manusia yang memiliki nilai, sementara alam dan segala isinya sekedar alat bagi pemuas kepentingan dan kebutuhan hidup manusia. Manusia dianggap berada di luar; di atas dan terpisah dari alam. Bahkan, manusia difahami sebagai penguasa atas alam yang boleh melakukan apa saja. Menurut Keraf (2002), cara pandang yang melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif.


Bencana Ekologi


Senge, P (2008) menguraikan bahwa saat ini lebih dari 50 juta manusia setiap tahun bermigrasi ke kota-kota, yang disebabkan oleh ekonomi tradisionil yang hancur dan kondisi lingkungan yang terdegradasi, khususnya lahan dan perikanan. Kita mengetahui secara global terjadi ketimpangan dalam distribusi sumberdaya dan sekaligus dalam “gaya hidup”. James Martin-penulis buku “The Wired Society”, menuliskan dalam buku “The Meaning of the 21 Century” (2007), menyatakan bahwa 7% penduduk dunia mengkonsumsi 80% energy yang tersedia. Pola konsumsi energi, air, dan sumberdaya alam lainnya setara dengan konsumsi 140 orang Afganistan atau Ethiopia. Dinyatakan oleh James Martin tiga macam penyebab kehancuran sumberdaya alam, yaitu: penurunan kuantitas sumberdaya alam, pertumbuhan penduduk, dan pola konsumsi. Terbukti pula Amerika adalah negara yang duduk pada peringkat teratas yang mengkontribusi gas carbon dioksida secara global. Pernyataan James Martin tersebut mungkin dapat mengkoreksi pernyataan dari Club of Rome yang menerbitkan buku The Limits to Growth pada tahun 1972, diterjemahkan ke dalam 30 bahasa dan terjual lebih dari 30 juta copy. Dinyatakan dalam buku tersebut tentang semakin menipisnya sumberdaya alam di dunia yang mereka asumsikan sebagai akibat negatif dari pesatnya pertumbuhan penduduk dunia. Tigapuluh enam tahun kemudian, asumsi itu dipatahkan: 80% sumberdaya alam dunia dihabiskan oleh 7% atau segelintir penduduk dunia-mereka yang hidup “sangat” boros di negara-negara Utara. Senge, P (2008) menambahkan bahwa Komisi yang dibentuk oleh pemerintah US, dan industri minyak US melaporkan bahwa suplai minyak dan gas dunia tidak akan mampu mensuplai permintaan global 25 tahun ke depan, yang akan mendorong naiknya harga minyak dari $ 25/barrel menjadi $ 100/barel antara tahun 2000 sampai akhir 2007.


Sikap eksploitatif negara-negara Utara inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab dan menyeret Indonesia ke dalam bencana lingkungan. Eksploitasi sumberdaya hutan, bahan tambang mineral, minyak, gas, dan air selama 30 tahun telah menghasilkan dampak nyatanya saat ini. Banjir, tanah longsor, kekeringan, pencemaran tanah, penurunan kesuburan tanah, fragmentasi habitat satwa liar, kebakaran lahan, polusi air, pendangkalan waduk, situ, pencemaran udara; konflik sosial, marginalisasi masyarakat adat, terancamnya kebudayaan mengelola hutan masyarakat adat, dan seterusnya. Telah terjadi penurunan kualitas lingkungan hidup yang sangat besar. Kalau hutan alam dataran rendah di Pulau Jawa habis dalam tempo 100 tahun antara Abad 18-19, hutan alam dataran rendah Pulau Sumatera lenyap dalam hitungan 30 tahun. Proses lenyapnya hutan alam Sumatera diprediksi sepuluh kali lebih cepat daripada masa kolonial.


Capra menyatakan bahwa kesadaran ekologis akan tumbuh hanya jika kita memadukan pengetahuan rasional kita dengan intuisi untuk hakikat lingkungan kita yang nonlinear. Fakta yang kita hadapi saat ini adalah bahwa telah terjadi ketimpangan yang luar biasa antara perkembangan kekuatan intelek, pengetahuan ilmiah, dan ketrampilan teknologi di satu sisi, dengan perkembangan kebijakan, spiritualitas, dan etika di sisi yang lain, yang menyebabkan ketidakseimbangan budaya yang menjadi akar-akar dari krisis multidimensional peradaban manusia saat ini.


Krisis Kebudayaan


Oleh karena, itu patut kita renungkan pendapat Keraf (2002), yang mengajukan sebuah ide tentang “keberlanjutan ekologis”. Prinsip yang diajukan dalam paradigma keberlanjutan maupun keberlanjutan ekologis adalah integrasi secara proporsional ketiga aspek, yaitu aspek ekonomi, aspek pelestarian sosial-budaya, dan aspek lingkungan hidup. Etika antroposentrisme harus ditinggalkan dan diganti dengan etika lingkungan hidup yang bertumpu pada teori biosentrisme dan ekosentrisme, dengan perpegang pada sikap hormat terhadap alam, prinsip tanggung jawab, solidaritas kosmis, prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam, prinsip “no harm”, prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam, prinsip keadilan, prinsip demokrasi, dan prinsip integritas moral.


Menarik apa yang dikemukakan oleh Sonny Keraf tentang sikap eksploitatif yang menghasilkan krisis ekologis sebagai dampak negatif dari ”pembangunan” di satu sisi dan Fritjof Capra tentang persoalan ketidakseimbangan budaya sebagai akar dari krisis manusia dewasa ini, di sisi yang lain. Persoalan mendasar tersebut telah dikemukakan oleh salah satu cendekiawan terkemuka Soedjatmoko pada tahun 1976. Soedjatmoko menyatakan bahwa usaha pembangunan dan modernisasi yang kita jalani sebagai sebuah bangsa telah menghadapkan kita secara langsung dengan masalah kebudayaan Indonesia dan dengan proses kebudayaan, kita memperbarui diri dalam kita menjawab tantangan kehidupan modern. Pembangunan menurut Soedjatmoko (1984) dalam Ibrahim (2004) tidak lain daripada mendinamisasikan kekuatan-kekuatan masyarakat. Dia bukan sekedar mengadakan proyek-proyek. Inilah yang disebut oleh Korten dan Sjahrir (1988) sebagai paradigma pembangunan yang disebut sebagai people-centered development atau pembangunan yang berpusat pada rakyat. Sikap ini juga didukung oleh Arief Budiman (1985) yang menekankan tujuan pembangunan untuk membangun manusia. Manusia yang dibangun adalah manusia yang kreatif. Untuk bisa kreatif, manusia tersebut harus merasa aman dan bebas dari rasa takut. Hanya manusia seperti inilah yang bisa menyelenggarakan pembangunan dan memecahkan masalah yang dihadapinya.


Agenda Siapa?


Adakah pergulatan pemikiran tentang pentingnya perubahan paradigma pembangunan kental dengan nuansa eksploitatif selama ini yang telah mengakibatkan meningkatnya krisis ekologis. Bagaimana calon pemerintahan baru mensikapi hal ini? Minimal pemerintahan mendatang perlu mempertimbangkan berbagai persoalan pembangunan tersebut, secara lebih serius, komprehensif, dan mendalam. Pembangunan bukan sekedar disederhanakan menjadi angka-angka pertumbuhan ekonomi, realisasi proyek-proyek, penanaman modal asing, penciptaan lapangan kerja, kesejahteraan masyarakat, dan sebagainya. Di mana posisi aspek lingkungan, kelestarian sumberdaya alam dan faktor ekologi?


Pemerintahan baru di bawah Presiden SBY dalam bendera KIB II ini, telah memebntuk Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Di bidang lingkungan hidup, dii bawah koordinasi ttokoh lingkungan hidup Prof Emil Salim. Wantimpres ini seyogyanya merumuskan Strategi Kebudayaan dan Pembangunan Indonesia yang baru, yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Termasuk dalam konteks Indonesia sebagai anggota baru kelompok G-20.


Strategi pembangunan tersebut perlu disiapkan dengan proses dialog publik yang cukup mendalam-komprehensif, yang melibatkan bukan hanya ekonom, dan teknokrat sebagaimana disain di masa lalu, tetapi juga budayawan, pakar ekonomi lingkungan, pakar biologi, sosiolog, antropolog, sejarawan, serta putra-putra terbaik dari seluruh Indonesia. Hal ini merupakan pekerjaan rumah bagi pemerintahan baru nantinya. Yaitu membuka ruang publik untuk dialog konstruktif tentang masa depan Indonesia, dalam konteks perubahan geopolitik di tanah air di era otonomi daerah, di tataran ASEAN, maupun internasional. Bagaimana mengurangi dominasi negara-negara Utara, dan menciptakan strategi kemandirian secara bertahap di segala bidang kehidupan dan pengelolaan sumberdaya alam strategis nasional (minyak bumi, gas alam, mineral, air), sebagaimana Malaysia, misalnya, mulai berhasil mewujudkannya. Untuk itu, diperlukan sikap mental dan sikap politik seorang negarawan bagi seluruh jajaran birokrasi pemerintahan-termasuk pemerintah daerah dan parlemen, untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik, mandiri, dan mensejahterakan rakyatnya tanpa (terlalu) mengorbankan lingkungan dan sumberdaya alamnya. Suatu tantangan jangka panjang yang harus mulai disikapi dengan serius dari saat ini. Artikel "Indonesia Alignment" karangan Rheinald Khasali (Kompas 21/07/10) sangat tepat untuk menguraikan kondisi Indonesia yang cenderung jalan di tempat karena konflik atau tidak sinergisnya kerja -kerja lintas sektor, yang dicontohkan seperti "ekonomi bandara" yang carut marut itu....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar