"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

04 Agustus 2010

Sindrom Antroposentrisme

Dengar pendapat Komisi III DPR dengan Menteri Kehutanan sebagaimana dimuat di Kompas 6 September 2002 semakin menegaskan masih mewabahnya sindrom antroposentrisme di kalangan Komisi III DPR. Permintaan peninjauan ulang terhadap kebijakan soft-landing Departemen Kehutanan. Kebijakan ini tentu saja akan secara bertahap mengurangi setoran sector kehutanan kepada Negara sebesar 60,94%, yaitu dari Rp.3,03 trilyun (2002) anjlok ke Rp 1,18 trilyun (2003). Sangat disesalkan bahwa ternyata wakil rakyat kita tidak memahami sepenuhnya latar belakang kebijakan soft landing process, yang dimaksudkan untuk segera “mengistirahatkan secara bertahap” sumberdaya hutan Indonesia setelah “sakit parah” diperas habis-habisan dengan sistim HPH selama 30 tahun ini


Tidak Belajar dari Sejarah

Pada awal Abad 19, Raffles memperkirakan 85% daratan pulau Jawa masih ditutupi hutan lebat. Dari 10,6 juta ha pada Abad 18 menjadi tinggal 3,3 juta pada akhir Abad 19 atau kehilangan lebih dari 70%-nya, dalam jangka waktu 100 tahun, yaitu Abad. Penyebab pokoknya adalah konversi kawasan hutan menjadi perkebunan monokultur besar tebu di dataran rendah dan kopi di dataran tinggi, yang dimotori oleh Cultuurstelsel Belanda yang menngunakan modal besar dan alat-alat modern. Hal ini diperparah dengan tekanan penduduk yang meningkat 8 kali lipat dalam periode 100 tahun tersebut., yang menyebabkan tingginya kebutuhan akan kayu bakar untuk keperluan subsisten maupun mendukung industri gula. Di masa Orde Baru, revolusi hijau telah menyebabkan pula distorsi penguasaan lahan pertanian produktif pada sekelompok petani kaya, menciutnya kepemilikan lahan pertanian akibat pertambahan penduduk yang akhirnya berakumulasi pada meningkatnya ke kawasan hutan alam dataran tinggi. Proses konversi kawasan hutan ini terus berlanjut sampai akhir dekade 1980-an.

Kecelakan sejarah ini pun nampaknya diulangi lagi di era Orde Baru terhadap hutan Sumatra dan Kalimantan. Di Sumatra yang luasnya 3 kali lebih besar dari Jawa, hutan alam dataran rendahnya menjelang punah tahun 2005 (taksiran World Bank), yakni dengan dihabiskannya sumberdaya hutan itu melalui sistim HPH penuh monopoli sekaligus tidak bertanggung jawab. Pada tahun 1990-an, 9 raksasa konsesi kayu memonopoli dan mengontrol lebih dari 14 juta ha kawasan hutan produksi (Wiratno, dkk.,2002). Kerusakan hutan tersebut juga dipicu oleh konversi lahan untuk monokultur sawit, hutan tanaman industi miskin jenis pendukung industri pulp, pertambangan terbuka,, perambahan oleh masyarakat, pertambangan, pembangunan jaringan jalan, kebakaran hutan dan kebun, dan sebagainya. Praktis, dalam tempo 30 tahun sejak tahun 1970-an,, hutan hujan tropis di Sumatra tinggal kurang dari 10% luas semula. Ini berarti, kerusakan 10 kali lebih cepat dari apa yang pernah terjadi di Jawa. Taksiran yang sama oleh Worl Bank, hutan hujan tropis di Kalimantan akan habis tahun 2010.

Kesimpulan yang bisa kita ambil untuk sementara adalah bahwa kita, khususnya pemerintah di masa Orde baru tidak pernah belajar dari sejarah kehancuran hutan di Jawa, dengan segala konsekuensinya terhadap lingkungan hidup, serta kemunduran kualitas hidup masyarakat. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah pemerintahan di bawah Presiden Megawati di era reformasi ini akan dipaksa mengulangi lagi kesalahan di masa lalu itu. Tentu saja, selalu dengan kedok demi penerimaan negara , pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja, atau jargon yang sekarang sedang popular, demi pendapatan asli daerah?.

Sindrom Antroposentrisme

Kondisi carut marut lingkungan hidup Indonesia, khususnya sumberdaya hutan nasional yang seperti itu memang sangat dipengaruhi oleh politik ekonomi kita yang didisain mendewakan pertumbuhan ekonomi yang akhirnya disusul dengan kegagalan tricle down effect-nya. Sebagai konsekuensinya adalah selalu mengajukan jastifikasi perlunya sumberdaya alam dieksploitasi, dikuras, dan kalau perlu dihabiskan. Keraf (2002) dalam bukunya Etika Lingkungan, secara runut memberikan jawaban atas situasi di atas, dengan menguraikan apa yang menjadi latar belakang kebijakan tersebut karena etika yang dipakai memang etika antroposentisme.

Etika antroposentrisme yang dilatarbelakangi oleh tradisi pemikiran barat yang liberal. Dalam etika ini manusia diposisikan sebagai pusat dari alam semesta, dan hanya manusia yang memiliki nilai, sementara alam dan segala isinya sekedar alat bagi pemuas kepentingan dan kebutuhan hidup manusia. Manusia dianggap berada di luar; di atas dan terpisah dari alam. Bahkan, manusia difahami sebagai penguasa atas alam yang boleh melakukan apa saja. Menurut Keraf (2002), cara pandang inilah yang melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif.

Permintaan anggota DPR, khususnya Komisi III agar Departemen Kehutanan meninjau ulang kebijakan soft landing, sangat mungkin karena disebabkan ketidaktahuan latar belakang secara menyeluruh lahirnya kebijakan tersebut. Disamping itu juga pemahaman yang keliru bahwa sumberdaya hutan sering diidentikan dengan kayu semata. Dalam kenyataannya bahwa nilai kayu hanya kurang dari 5% nilai keseluruhan sumberdaya hutan itu. Hal ini tentunya sangat disesalkan mengapa sampai terjadi. Sebagai wakil rakyat, DPR harus memiliki fungsi kontrol dan semestinya justru mendukung kebijakan untuk mengistirahatkan sumberdaya hutan nasional kita yang memang sedang “sakit” parah. Kemungkinan lain, memang sindrom antroposentrisme masih lekat, bukan saja anggota Dewan yang terhormat, tetapi juga sebagian besar komponen masyarakat Indonesia, khususnya para pengusaha perkayuan yang tidak mau tahu tentang kondisi hutan Indonesia kecuali hanya mengejar keuntungan semata.

Terhadap maraknya penebangan haram (illegal logging), Komisi III DPR juga nampaknya kurang memahami fakta lapangan bahwa : Pertama, keberhasilan penanggulangan penebangan haram juga ditentukan oleh keseriusan dan konsistensi bukan hanya Departemen Kehutanan, tetapi juga Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman. Kedua, isu penebangan haram ini juga harus dikaitkan dengan isu regional, di mana China, Malaysia, Thailand, dan Phillipina telah lama melakukan moratorium penebangan hutan alam mereka. Oleh karena itu, permintaan kayu lingkup regional menjadi meningkat pesat. Saat ini, banyak terjadi penyelundupan dimana kayu-kayu dari Papua diangkut ke Phillipina, mendapatkan surat2 sah, lalu diangkut ke China; kayu dari Kalimantan Barat mendapatkan surat dari Malaysia atau Singapura, dan banyak kasus-kasus serupa.

Oleh karena itu, akan sangat sulit mengatasi hal ini apabila diplomasi regional tidak berhasil menyakinkan Negara-negara sahabat, agar bersama-sama melakukan penegakan hukum. DPR dapat mengambil perannya yang strategis dalam meyakinkan negara-negara sahabat itu, ketika melakukan kunjungan kerjanya. Karenanya, sangat diperlukan keterbukaan antara eksekutif (Departemen Kehutanan) dengan lesgislatif (DPR), tentunya dalam menyuarakan kepentingan publik dan kelestarian lingkungan yang lebih luas bukan kepentingan jangka pendek menjelang 2004.

Ke depan, akan sangat bagus apabila Departemen Kehutanan juga secara proaktif menjelaskan kepada masyarakat luas tentang upaya penegakan hukum terhadap penebangan haram, program-program kehutanan ke depan yang saat ini lebih condong pada upaya rehabilitasi dan konservasi. Demikian juga dengan sikap Departemen Kehutanan terhadap pola-pola pengelolaan hutan di era otonomi daerah. Kesepakatan dengan pemerintah Inggris dalam bentuk MoU penanggulangan penebangan haram, dan sebentar lagi dengan ASEAN dan Cina, Operasi Wanalaga dan Wana Bahari, dan upaya-upaya penegakan hukum yang telah dilakukan sebaiknya secara regular dan terbuka disampaikan kepada masyarakat. Misalnya progres penanganan kasus penangkapan tiga kapal asal Cina di Perairan Pangkalan Bun yang mengangkut 25.000 m3 kayu, juga perlu dijelaskan secara terbuka kepada masyarakat, termasuk Mabes Polri yang menangani dari segi penyidikannya.

Penutup

Pembangunan yang berpusat pada pertumbuhan ekonomi sudah waktunya dirubah. Paradigma pembangunan ini telah nyata-nyata menghancurkan sumberdaya alam di Indonesia selama hampir 30 tahun terakhir ini. Visi pembangunan yang berdasarkan pertumbuhan ekonomi ini digambarkan oleh Kenneth Boulding dalam Korten (2001), sebagai “ekonomi koboi”. Visi ekonomi koboi adalah dunia yang bisa dilukiskan sebagai padang terbuka tanpa batas yang menyediakan sumberdaya dan jasa pelayanan pembuangan limbah tanpa batas. Ekonomi koboi diarahkan untuk menggali sumberdaya-sumberdaya yang paling mudah tersedia dari lingkungan hidupnya dan mengubahnya menjadi produk apa saja untuk memenuhi kebutuhannya.

Model pembangunan ke depan harus dirubah dari nafsu antroposentrisme dan ekonomi koboi menuju pembangunan berkelanjutan. Keraf (2002) juga mengajukan ide tentang “keberlanjutan ekologis”. Prinsip yang diajukan dalam paradigma keberlajutan maupun keberlanjutan ekologis adalah integrasi secara proporsional ketiga aspek, yaitu aspek ekonomi, aspek pelestarian social-budaya, dan aspek lingkungan hidup. Etika antroposentrisme harus ditinggalkan dan diganti dengan etika lingkungan hidup yang bertumpu pada teori biosentrisme dan ekosentrisme, dengan perpegang pada sikap hormat terhadap alam,prinsip tanggung jawab, solidaritas kosmis, prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam, prinsip “no harm”, prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam, prinsip keadilan, prinsip demokrasi, dan prinsip integritas moral.

Namun harus diingat, karena etika tidak bisa dipaksakan, kita memerlukan perangkat hukum yang memungkinkan prinsip-prinsip tersebut bisa dihayati dan dilaksanakan dalam kehidupan bersama di tengah masyarakat. Oleh karena itu, kita memerlukan kemauan politik pemerintah dan juga legislatif, untuk menjadikan lingkungan hidup sebagai agenda utama yang menjadi pilar pembangunan nasional. Apabila niat politik dan perangkat hukum tidak ada, kehancuran sumberdaya alam, khususnya hutan di Indonesia tinggal menunggu waktu dalam hitungan tahunan saja.


Referensi:

Keraf, A.Sonny., 2002. Etika Lingkungan. Kompas, Jakarta Juli 2002;

Korten, D.C., 2001. Menuju Abad ke-21.Tindakan Sukarela dan Agenda Global.Yayasan Obor Indonesia. Jakarta, 2001.

Wiratno, dkk., 2002. Berkaca di Cermin Retak.Refleksi Konservasi dan Implikasi bagi Pengelolaan Taman Nasional. Yayasan Gibbon, Pusat Informasi Lingkungan Indonesia, FoREST Press., Jakarta, 2002.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar