hubungannya dnegan banjir Jakarta. Beberapa fakta berikut akan mencoba memberikan gambaran tentang fakta-fakta sehingga publik tidak terjebak pada berita yang ternyata hanya mitos.
Mitos Banjir Jakarta
Banjir Jakarta akibat kerusakan hutan di Hulu Ciliwung. Berita-berita di koran seringkali melansir pernyataan ini. Mitos atau fakta? Penelitian Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung memberi gambaran kepada kita bahwa terdapat 8 daerah aliran sungai (DAS) yang mengalir ke Jabotabek. Luas kawasan hutan di ke delapan DAS tersebut hanya 12%. Fakta ini menunjukkan bahwa peranan hutan wilayah hulu di 8 DAS, termasuk Ciliwung yang membelah kota Jakarta, dalam pengendalian banjir memang sudah sangat terbatas. Pertanyaan selanjutnya adalah, apa yang menyebabkan banjir Jakarta tersebut? Apakah curah hujan sebagai faktor alam bisa kita pakai sebagai kambing hitam?. Kanjian dari Balai Pengelolaan DAS Ciliwung, Dept.Kehutanan, menunjukkan bahwa pola hujan sepanjang 100 tahun (1886-2002) ternyata tidak mengalami perubahan dan relatif menunjukkan pola yang sama. Oleh sebab itu, jawaban perlu dicari dari perubahan-perubahan yang disebabkan oleh faktor manusia. Beberapa human factors tersebut adalah:
Pertama. Meningkatnya pembangunan di Jakarta, mendorong percepatan masuknya penduduk-saat ini 11 juta jiwa, yang berimplikasi pada menjamurnya ribuan perumahan baru untuk pemukiman, pembangunan gedung-gedung pencakar langit-hotel, perkantoran, perumahan mewah, jalan tol. Seluruh faktor tersebut telah mendorong eksploitasi ait tanah dalam yang berlebihan, pemadatan tanah akibat, pemukiman kelompok miskin di sepanjang bantaran sungai, pembuangan sampah dan limbah pabrik ke sungai, buruknya sistem drainase, penurunan muka air tanah di Jakarta, dan lain sebagainya. Ketika hujan lokal dengan intensitas yang tinggi, sebagian besar air menjadi aliran permukaan (run-off) dan tidak sampai 1 jam sebagian besar Jakarta akan terendam. “Penurunan permukaan tanah disebabkan terlalu agresifnya eksploitasi wilayah dan air tanah di Jakarta.Lalu banjir kiriman dari selatan serta naiknya tinggi muka air laut, tingginya curah hujan, membuat banjir menjadi langganan datang ke Jakarta setiap tahun,”papar Ketua Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung Armi Susandi. Armi menambahkan, selain itu 40% wilayah Jakarta saat ini memang berada di bawah tinggi muka air laut rata-rata (www.seputar-indonesia.com). Versi banjir yang seperti ini tentu tidak ada hubungannya dengan kondisi hutan di daerah hulu Ciliwung. Luas DAS Ciliwung 37.472 Ha, dengan luas hutannya hanya 3.709 Ha atau 9,8% dari luas DAS tersebut.
Kedua. Hujan yang besar di daerah hulu sekitar Gadog, misalnya, memang mendorong meningkatknya kubah air yang sangat besar, tenaga kinetik air ini diperbesar dengan penyempitan badan DAS di daerah Bogor, yang bisa dipantau dari debit di Pintu Air Katulampa (Bogor) dan Pintu Air Manggarai (Depok). Namun, sesampaikan di wilayah Jakarta, meluapnya air Ciliwung lebih disebabkan oleh penyempitan dan pendangkalan badan sungai yang disebabkan oleh genangan semua jenis sampah. Sekali lagi ini faktor manusia.
Ketiga. Penyelesaian bajir Jakarta seringkali dilakukan secara parsial-sektoral, dan reaktif. Mempertimbangkan persoalan banjir dengan mengetahui relasi antar banyak faktor, antara lain kondisi geografis cekungan Jakarta, pemadatan tanah akibat pembangunan infrastrukur dan pemukiman, eksploitasi berlebihan air tanah dalam, polusi air di seluruh badang Sungai Ciliwung, serta pemukiman liar di sepanjang bantaran sungai, mengharuskan kita berfikir ulang dengan pola yang lebih komprehensif. Persoalan ini tidak bisa diselesaikan oleh Pemda DKI, oleh pihak swasta apalagi oleh masyarakat, termasuk lenbaga swadaya masyarakat. Yang menarik, pemerintah-swasta-masyarakat belum pernah bertemu. Banyak publik tidak mengetahui bahwa seluruh air baku yang dikelola oleh Palyja untuk mensuplai 50% kebutuhan air minum penduduk Jakarta harus diambil dari ”tabungan” air di Waduk Jatiluhur yang bersumber dari Sungai Citarum, Jawa Barat. Seluruh sungai yang mengalir di Jakarta tidak layak baik secara kesehatan maupun ekonomi untuk diolah dan menjadi layak konsumsi.
Solusi Multipihak
Mempertimbangkan persoalan yang sangat kompleks tersebut. Banyak pihak telah melakukan berbagai kajian teknis, namun tidak pernah dikomunikasikan kepada pihak lain, sehingga terkesan parsial, seringkali tidak berkelanjutan bahkan sebelum diperoleh hasil yang memadai. Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung telah melakukan kajian dari sampai pada kesimpulan bahwa salah satu solusi adalah dibangunnya minimal 261.622 unit sumur resapan di wilayah Jabotabek. Dengan biaya Rp 2,5 juta, maka diperlukan dana Rp 654 milyar. Saat ini baru 1 % yang telah direalisasikan. Satu buah sumur resapan mampu menyerap air limpasan (run-off) sebesar 6 m3/jam atau 83,3 liter/Ha. Sementara kemampuan penyerapan dari penanaman pohon 1 Ha hanya 20 liter. Maka sumur resapan memiliki kemampuan menyerap air 4 kali lipat lebih besar. Apabila kita mempu membangun 261.852 sumur resapan di Jakarta, maka sebanyak 1,56 juta m3 air limpasan (dari hujan) dapat diserap setiap jamnya. Betapa besarnya kita dapat mengembalikan air hujan kembali ke tanah menjadi tabungan air tanah dan sekaligus mengurangi atau mencegah potensi air limpasan menjadi banjir.
Program ini sesuai untuk membantu penyerapan air tanah di perkotaan. Sedangkan penanaman pohon menjadi prioritas reboisasi di daerah hulu Ciliwung. Pembangunan sumur resapan harus menjadi gerakan bersama, dan bukan terbatas dilakukan oleh Departemen Kehutanan.
Departemen Pekerjaan Umum perlu bekerjasama dengan Pemprov DKI- dan jajaran Dinas terkaitnya, dalam program normalisasi dan revitalisasi Sungai Ciliwung, dibarengi dengan upaya hemat air. Bagaimana program gerakan kepedulian terhadap air tanah yang dicanangkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dengan konsep 5R yakni reduce (menghemat), reuse (menggunakan kembali), recycle (mengolah kembali), recharge (mengisi kembali), dan recovery (memfungsikan kembali), dapat direalisasikan dan mendapatkan dukungan yang luas dari semua pihak, khususnya masyarakat dan pihak swasta.
Pekerjaan besar ini tentu saja harus dilakukan secara terpadu dengan pihak swasta, LSM, dan masyarakat luas. Pendekatan sektoral yang bias pemerintah harus diperbaiki dengan membangun kesepahaman bersama, agar revitalisasi Ciliwung menjadi ”Agenda Bersama” dan ”Kesepakatan Bersama” lintas batas. Tiga pilar pembangunan berkelanjutan, yaitu pemerintah-swasta-masyarakat harus dipraktikkan dalam proses membangun Gerakan Revitalisasi Ciliwung tersebut. Lembaga yang dapat melakukan pekerjaan lintas lembaga itu mungkin berupa Otorita. Otorita Ciliwung akan menembus sekat-sekat komunikasi dan kolaborasi sektoral yang seringkali sangat birokratis, dan mendorong melibatan sepenuhnya pihak swata dan masyarakat, termasuk pakar perguruan tinggi, dan praktisi lingkungan secara luas dan substansial.
Pertanyaan akhirnya tertuju pada bagaimana membangu kesepakatan dan menyusun skala prioritasnya. Membangun Museum Ciliwung mungkin memang diperlukan, sebagai bagian dari gerakan yang lebih besar dan komprehensif. Gerakan bersama yang terpadu dan sinergis, menyelesaikan persoalan Ciliwung secara konkrit dan komprehensif, termasuk menata pemukiman di sepanjang bantaran Ciliwung itu yang tentu akan berdampak sosial dan finansial yang tidak kecil. Revitaliasi Ciliwung dapat kita jadikan cermin seberapa efektifnya kerja bareng lintas batas itu dapat direalisasikan. Melalui proses multipihak tersebut, diharapkan dapat dibangun proses ”learning organisation”.
Peran pemerintah masih sangat diharapkan namun demikian dukungan pihak swasta dan masyarakat tidak kalah pentingnya dalam upaya kita mewujudkan mimpi bersama, menyaksikan kembali Sungai Ciliwung yang bersih, tertata, dan asri. Keberhasilan ini akan menjadikan Kota Tua Jakarta tampil lebih cantik alami, kembali seperti masa 100 tahun yang lalu. Semoga saja dapat diwujudkan.***
Ditulis oleh: Wiratno dan Emil Sumirat
Makalah telah dimuat di AgroIndonesia Vol V Nomor 235 3-9 Februari 2009.
Mitos Banjir Jakarta
Banjir Jakarta akibat kerusakan hutan di Hulu Ciliwung. Berita-berita di koran seringkali melansir pernyataan ini. Mitos atau fakta? Penelitian Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung memberi gambaran kepada kita bahwa terdapat 8 daerah aliran sungai (DAS) yang mengalir ke Jabotabek. Luas kawasan hutan di ke delapan DAS tersebut hanya 12%. Fakta ini menunjukkan bahwa peranan hutan wilayah hulu di 8 DAS, termasuk Ciliwung yang membelah kota Jakarta, dalam pengendalian banjir memang sudah sangat terbatas. Pertanyaan selanjutnya adalah, apa yang menyebabkan banjir Jakarta tersebut? Apakah curah hujan sebagai faktor alam bisa kita pakai sebagai kambing hitam?. Kanjian dari Balai Pengelolaan DAS Ciliwung, Dept.Kehutanan, menunjukkan bahwa pola hujan sepanjang 100 tahun (1886-2002) ternyata tidak mengalami perubahan dan relatif menunjukkan pola yang sama. Oleh sebab itu, jawaban perlu dicari dari perubahan-perubahan yang disebabkan oleh faktor manusia. Beberapa human factors tersebut adalah:
Pertama. Meningkatnya pembangunan di Jakarta, mendorong percepatan masuknya penduduk-saat ini 11 juta jiwa, yang berimplikasi pada menjamurnya ribuan perumahan baru untuk pemukiman, pembangunan gedung-gedung pencakar langit-hotel, perkantoran, perumahan mewah, jalan tol. Seluruh faktor tersebut telah mendorong eksploitasi ait tanah dalam yang berlebihan, pemadatan tanah akibat, pemukiman kelompok miskin di sepanjang bantaran sungai, pembuangan sampah dan limbah pabrik ke sungai, buruknya sistem drainase, penurunan muka air tanah di Jakarta, dan lain sebagainya. Ketika hujan lokal dengan intensitas yang tinggi, sebagian besar air menjadi aliran permukaan (run-off) dan tidak sampai 1 jam sebagian besar Jakarta akan terendam. “Penurunan permukaan tanah disebabkan terlalu agresifnya eksploitasi wilayah dan air tanah di Jakarta.Lalu banjir kiriman dari selatan serta naiknya tinggi muka air laut, tingginya curah hujan, membuat banjir menjadi langganan datang ke Jakarta setiap tahun,”papar Ketua Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung Armi Susandi. Armi menambahkan, selain itu 40% wilayah Jakarta saat ini memang berada di bawah tinggi muka air laut rata-rata (www.seputar-indonesia.com). Versi banjir yang seperti ini tentu tidak ada hubungannya dengan kondisi hutan di daerah hulu Ciliwung. Luas DAS Ciliwung 37.472 Ha, dengan luas hutannya hanya 3.709 Ha atau 9,8% dari luas DAS tersebut.
Kedua. Hujan yang besar di daerah hulu sekitar Gadog, misalnya, memang mendorong meningkatknya kubah air yang sangat besar, tenaga kinetik air ini diperbesar dengan penyempitan badan DAS di daerah Bogor, yang bisa dipantau dari debit di Pintu Air Katulampa (Bogor) dan Pintu Air Manggarai (Depok). Namun, sesampaikan di wilayah Jakarta, meluapnya air Ciliwung lebih disebabkan oleh penyempitan dan pendangkalan badan sungai yang disebabkan oleh genangan semua jenis sampah. Sekali lagi ini faktor manusia.
Ketiga. Penyelesaian bajir Jakarta seringkali dilakukan secara parsial-sektoral, dan reaktif. Mempertimbangkan persoalan banjir dengan mengetahui relasi antar banyak faktor, antara lain kondisi geografis cekungan Jakarta, pemadatan tanah akibat pembangunan infrastrukur dan pemukiman, eksploitasi berlebihan air tanah dalam, polusi air di seluruh badang Sungai Ciliwung, serta pemukiman liar di sepanjang bantaran sungai, mengharuskan kita berfikir ulang dengan pola yang lebih komprehensif. Persoalan ini tidak bisa diselesaikan oleh Pemda DKI, oleh pihak swasta apalagi oleh masyarakat, termasuk lenbaga swadaya masyarakat. Yang menarik, pemerintah-swasta-masyarakat belum pernah bertemu. Banyak publik tidak mengetahui bahwa seluruh air baku yang dikelola oleh Palyja untuk mensuplai 50% kebutuhan air minum penduduk Jakarta harus diambil dari ”tabungan” air di Waduk Jatiluhur yang bersumber dari Sungai Citarum, Jawa Barat. Seluruh sungai yang mengalir di Jakarta tidak layak baik secara kesehatan maupun ekonomi untuk diolah dan menjadi layak konsumsi.
Solusi Multipihak
Mempertimbangkan persoalan yang sangat kompleks tersebut. Banyak pihak telah melakukan berbagai kajian teknis, namun tidak pernah dikomunikasikan kepada pihak lain, sehingga terkesan parsial, seringkali tidak berkelanjutan bahkan sebelum diperoleh hasil yang memadai. Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung telah melakukan kajian dari sampai pada kesimpulan bahwa salah satu solusi adalah dibangunnya minimal 261.622 unit sumur resapan di wilayah Jabotabek. Dengan biaya Rp 2,5 juta, maka diperlukan dana Rp 654 milyar. Saat ini baru 1 % yang telah direalisasikan. Satu buah sumur resapan mampu menyerap air limpasan (run-off) sebesar 6 m3/jam atau 83,3 liter/Ha. Sementara kemampuan penyerapan dari penanaman pohon 1 Ha hanya 20 liter. Maka sumur resapan memiliki kemampuan menyerap air 4 kali lipat lebih besar. Apabila kita mempu membangun 261.852 sumur resapan di Jakarta, maka sebanyak 1,56 juta m3 air limpasan (dari hujan) dapat diserap setiap jamnya. Betapa besarnya kita dapat mengembalikan air hujan kembali ke tanah menjadi tabungan air tanah dan sekaligus mengurangi atau mencegah potensi air limpasan menjadi banjir.
Program ini sesuai untuk membantu penyerapan air tanah di perkotaan. Sedangkan penanaman pohon menjadi prioritas reboisasi di daerah hulu Ciliwung. Pembangunan sumur resapan harus menjadi gerakan bersama, dan bukan terbatas dilakukan oleh Departemen Kehutanan.
Departemen Pekerjaan Umum perlu bekerjasama dengan Pemprov DKI- dan jajaran Dinas terkaitnya, dalam program normalisasi dan revitalisasi Sungai Ciliwung, dibarengi dengan upaya hemat air. Bagaimana program gerakan kepedulian terhadap air tanah yang dicanangkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dengan konsep 5R yakni reduce (menghemat), reuse (menggunakan kembali), recycle (mengolah kembali), recharge (mengisi kembali), dan recovery (memfungsikan kembali), dapat direalisasikan dan mendapatkan dukungan yang luas dari semua pihak, khususnya masyarakat dan pihak swasta.
Pekerjaan besar ini tentu saja harus dilakukan secara terpadu dengan pihak swasta, LSM, dan masyarakat luas. Pendekatan sektoral yang bias pemerintah harus diperbaiki dengan membangun kesepahaman bersama, agar revitalisasi Ciliwung menjadi ”Agenda Bersama” dan ”Kesepakatan Bersama” lintas batas. Tiga pilar pembangunan berkelanjutan, yaitu pemerintah-swasta-masyarakat harus dipraktikkan dalam proses membangun Gerakan Revitalisasi Ciliwung tersebut. Lembaga yang dapat melakukan pekerjaan lintas lembaga itu mungkin berupa Otorita. Otorita Ciliwung akan menembus sekat-sekat komunikasi dan kolaborasi sektoral yang seringkali sangat birokratis, dan mendorong melibatan sepenuhnya pihak swata dan masyarakat, termasuk pakar perguruan tinggi, dan praktisi lingkungan secara luas dan substansial.
Pertanyaan akhirnya tertuju pada bagaimana membangu kesepakatan dan menyusun skala prioritasnya. Membangun Museum Ciliwung mungkin memang diperlukan, sebagai bagian dari gerakan yang lebih besar dan komprehensif. Gerakan bersama yang terpadu dan sinergis, menyelesaikan persoalan Ciliwung secara konkrit dan komprehensif, termasuk menata pemukiman di sepanjang bantaran Ciliwung itu yang tentu akan berdampak sosial dan finansial yang tidak kecil. Revitaliasi Ciliwung dapat kita jadikan cermin seberapa efektifnya kerja bareng lintas batas itu dapat direalisasikan. Melalui proses multipihak tersebut, diharapkan dapat dibangun proses ”learning organisation”.
Peran pemerintah masih sangat diharapkan namun demikian dukungan pihak swasta dan masyarakat tidak kalah pentingnya dalam upaya kita mewujudkan mimpi bersama, menyaksikan kembali Sungai Ciliwung yang bersih, tertata, dan asri. Keberhasilan ini akan menjadikan Kota Tua Jakarta tampil lebih cantik alami, kembali seperti masa 100 tahun yang lalu. Semoga saja dapat diwujudkan.***
Ditulis oleh: Wiratno dan Emil Sumirat
Makalah telah dimuat di AgroIndonesia Vol V Nomor 235 3-9 Februari 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar