Anatomi Kawasan Lindung
Kawasan lindung dapat berupa hutan lindung, kawasan konservasi (KK) - yang menurut UU No.5 tahun 1990 terdiri dari kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa), kawasan pelestarian alam (taman nasional, taman hutan raya-tahura, dan taman wisata alam); kawasan sempadan pantai, sempadan sungai, dan sebagainya. Saat ini, terdapat lebih dari 27,2 juta KK yang tersebar di seluruh Indonesia, dimana 58% nya berstatus sebagai taman nasional.
Kawasan lindung khususnya kawasan-kawasan konservasi sebagai sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources) memiliki karakter dan anatomi sebagai berikut :
(a) Irriversibel –“ (non) renewable resource”
Sebagian besar ahli/pakar di bidang botani dan konservasi biologi percaya bahwa sumberdaya hutan di KK, apalagi hutan hujan tropis merupakan sumberdaya yang tidak dapat atau sulit sekali pulih ketika telah mengalami kerusakan/degradasi. Dr. Kuswata Kartawinata, pakar hutan tropis, yang telah pernah membuat plot permanen di TN Gunung Leuser, khususnya di Besitang, menyatakan bahwa diperlukan waktu tidak kurang dari 170 tahun untuk mengembalikan kerusakan hutan tropis dataran rendah di Besitang. Ini suatu contoh bahwa sangat sulit untuk memulihkannya (Baca: Recovery of a lowland Dipterocarp forest twenty years after selective logging at Sekundur, Gunung Leuser National Park-Reinwardtia Vo.12, Part 3, PP: 237-255). Bahkan, beberapa pakar menyimpulkan hutan hujan tropis termasuk yang berada di dataran rendah layaknya seperti minyak bumi, sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resource). Kecepatan kerusakah hutan hujan dataran rendah laksana deret ukur, sedangkan kemampuan merehabilitasi hanya mengikuti deret hitung. Ciri ini nantinya akan berimplikasi pada prinsip pengelolaannya yang harus menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary principle).
(b) Benefit beyond boundary
Ciri khas yang kedua dari sumberdaya hutan hujan tropis ini adalah nilai manfaatnya yang mengalir jauh sampai di luar batas-batas hutan. Oleh karena itu, kita mengenal konsep hulu-hilir dalam pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). TN Gunung Gede Pangrango yang luasnya hanya sekitar 21.000 Ha, ternyata melindungi 3 hulu DAS penting, yaitu Citarum, Ciliwung, dan Cimandiri. Tidak kurang dari 150 desa di Kab. Sukabumi, Bogor, dan Cianjur bergantung pada kawasan taman nasional ini untuk suplai air. Ada baiknya dibaca artikel terkait dengan peran TNGGP ini di AgroIndonesia Vol V Nomor 235; 3-9 Februari 2009 atau dapat dilihat di www.konservasiwiratno.blogspot.com, dengan judul yang sama. Belum termasuk penyerapan karbon, pendorong wisata Puncak, sumber air kemasan, air konsumsi, pencegahan bahaya banjir, longsor, dan kesuburan tanah pertanian, perkebunan, dan sebagainya. Lebih lanjut bisa baca hasil kajian Wiratno, dkk (2004) dengan judul : Valuation of Mt Gede Pangrango National Park. Information Book Series 2. Balai TN Gunung Gede Pangrango. Untuk mengetahui benefit beyond boundary, maka dilakukan economic valuation. Hal ini sudah pernah dilakukan di beberapa taman nasional, seperti TN Gunung Leuser (oleh Bekkering - DHV Belanda); TN Batang Gadis (Conservation International Indonesia); TN Bunaken (NRM Project), dan sebagainya.
(c) Common Pool Resource
Sumberdaya di KK tergolong ke dalam common pool resource. Ia seperti lautan, padang pasir, gurun, yang karena luasnya (jutaan hektar), maka manusia (pemerintah, masyarakat, swasta) kesulitan dalam mengelolanya secara lestari. Upaya privatisasi terhadapnya sangat mahal. Adakah pemerintah yang mampu memagari laut yang 2/3 luas bumi itu? hanya beberapa ribu hektar pun sangat mahal. Mooring Buoy yang dipasang di ujung batas TN Kep. Seribu, dengan harga Rp 300 juta/buah, tidak lama kemudian lampu suarnya sudah hilang dicuri. Lampunya yang produksi dari Jerman dengan tenaga listrik dari solar cell pun sangat mahal (30 juta rupiah/buah). Persoalan privatisasi atau biaya menjaganya sangat mahal dan hampir tidak mungkin dilakukan. Pencurian sumberdaya laut Indonesia oleh nelayan asing juga bukti lain yang memperkuat fakta-fakta ini. Implikasi dari ciri khas atau sifat-sifat ini adalah perlunya negosiasi, kolaborasi, atau penjagaan dan pemanfaatan bersama para pihak itu.
(d) Long-term Goals
Pengelolaan KK memiliki perspektif dan tujuan-tujuan jangka panjang, lintas generasi, 100-200 tahun yang akan datang. Sementara itu, kepentingan manusia cenderung pendek. Harian, bulanan, tahunan,dan maksimal lima tahun (kelompok politik). Tipologi ini menyebabkan penilaian yang rendah terhadap KK. Antara lain, dengan investasi yang tidak sepadan dengan manfaatkan yang didapatkan oleh publik. Hal ini menjadi tantangan bagi seluruh penggiat konservasi, dosen, pakar, LSM, pemerintah, swasta, dan masyarakat. Nafsu antroposentrisme - manusialah yang berkuasa dan menguasai alam dan sumberdaya alam, dengan sikap yang ingin selalu menghabiskan secepat-cepatnya menjadi kecenderungan yang umum terjadi, apabila kita berhubungan sumberdaya alam.
(e) Multipurpose Benefits
Kawasan konservasi memiliki manfaat yang sangat beragam. Sebagian kecil yang mampu diungkap oleh manusia. Sebagian besar lainnya masih menjadi rahasia, bahkan oleh kemampuan manusia dengan ilmu pengetahuan yang ada saat ini - Gunawan Muhammad. Kesalingterhubungan antara komponen biotik, abiotik, membentuk beragam asosiasi, pola ketergantungan, saling memberi dan menerima, dalam situasi yang sangat rumit dan dinamis, mulai dari lantai hutan sampai ke tingkatan tajuk tertingginya; dari hutan pegunungan tinggi, rajutan sungai-sungainya hingga kawasan pantai, rawa, lautan. Salah satu rantai keterhubungan itu putus atau diganggu, akan mengganggu pola-pola pertumbuhan, dinamika dan keseimbangan pada seluruh rangkaian baik pada tingkatan spesies sampai ke tingkat ekosistem/ habitat, dan akibatnya pada menurunnya kualitas lingkungan hidup yang akan merugikan manusia. Emil Salim dalam bukunya Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi (Penerbit Kompas, 2010) menyatakan bahwa daya dukung alam dapat ditingkatkan melalui pendekatan eco-development. Dalam rangka eco-develompent tersebut, Indonesia yang pada tahun 2000 saja sudah berpenduduk 206 juta, Indonesia menghadapi tiga masalah lingkungan hidup yang pokok, yaitu: air, tanah, dan manusia.
Arahan Pengelolaan KK
KK dikelola berdasarkan tujuan pengelolaannya, yang tercantum baik di surat keputusan Menteri Kehutanan maupun tersebut di dalam Rencana Pengelolaannya. Namun demikian, tidak semua kawasan konservasi ditunjuk/ ditetapkan dengan latar belakang dan tujuan pengelolaan yang jelas atau eksplisit. Beberapa taman nasional ditunjuk/ ditetapkan dengan tujuan yang jelas; TN Ujung Kulon untuk perlindungan habitat dan kelestarian badak Jawa (Rhenoceros sondaecus); TN Bali Barat untuk perlindungan curik Bali (Leucopsar roschildi); TN Komodo untuk perlindungan kadal raksasa (Varanus komodoensis). Beberapa taman nasional ditunjuk/ ditetapkan untuk perlindungan beberapa species dan habitatnya. Namun demikian, ada yang sangat khas, misalnya TN Bukit Duabelas di Jambi, ditetapkan untuk melindungi tempat hidup Suku Anak Dalam, bukan semata-mata untuk kepentingan perlindungan biodiversiti.
Pengelolaan KK harus mempertimbangkan tujuan pengelolaannya, yang diterjemahkan ke dalam zonasi-zonasi. Berdasarkan Permenhut No.56 tahun 2006, suatu taman nasional dibagi ke dalam zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, dan zona-zona lainnya sesuai dengan keperluannya. Pada umumnya, beberapa taman nasional perairan (Wakatobi, Karimunjawa, Takabonerate) mengalokasikan zona pemanfaatan tradisional atau pemanfaatan lokal hampir 80-90% dari luas taman nasional tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kepentingan dan akses masyarakat yang tinggal di sekitar dan di dalam kawasan tetap dijaga dan dijamin. Zonasi di TN Kayan Mentarang, yang difasilitasi oleh WWF merupakan contoh bagaimana proses penyusunan zonasi yang partisipatif, dengan zona pemanfaatan tradisional yang porsinya cukup besar. Di TNKM ini bahkan dibentuk Dewan Penentu Kebijakan yang anggotanya terdiri dari banyak pihak, termasuk masyarakat adat setempat.
Dengan terbitnya PP Nomor 28 tahun 2011, tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, sebagai pengganti PP No.68, menegaskan hal-hal baru :
a. Penataan Kawasan
Kawasan konservasi harus dikelola berdasarkan zonasi dan ditata sampai ke tingkat manajemen terkecil yang disebut sebagai “resort”. Dalam Renstra Ditjen PHKA (2010-2014), seluruh taman nasional di 50 lokasi harus dikelola berbasis resort, berbasis lapangan, tapak atau site. Tujuannya agar berbagai persoalan dapat diselesaikan atau dicegah menjadi membesar dan semakin kompleks. Berbagai potensi dapat dikembangkan bersama masyarakat sehingga dapat memberikan kemanfaatan nyata bagi masyarakat. Masyarakat setempat harus diposisikan sebagai bagian dari subyek pengelolaan, harus menjadi bagian dari solusi pengelolaan kawasan konservasi. Dengan demikian, pemerintah daerah juga harus dilibatkan di dalamya sejak dari perencanaan kawasan konservasi.
b. Restorasi Ekosistem
Kawasan konservasi yang mengalami berbagai tingkaan kerusakan akibat illegal logging, perambahan, kebakaran, harus direstorasi berdasarkan karakteristik biofisik, sosial ekonomi, dan tujuan-tujuan pengelolaannya. Saat ini, diperkirakan seluas 500.000 Ha kawasan konservasi mengalami berbagai tingkat kerusakan. TN Gunung Leuser mengalami degradasi hutan hujan tropis di wilayah Kab Langkat seluas 20.000 Ha, 4000 Ha di antaranya berubah total menjadi kebun sawit ilegal; Seluas 8.000 Ha kawasan perluasan TN Tesso Nilo di Riau telah dikapling dan ditanami sawit; seluas 31.000 Ha di Sikincau, TN Bukit Barisan Selatan telah dikuasai kelompok perambah penanam kopi-yang mulai merebak sejak tahun 1998/1999. Restorasi menghadapi tantangan yang sangat berat ketika keadaan telah sangat tidak terkontrol dan dikuasai kelompok-kelompok yang sangat kuat dengan jaringannya yang juga sangat solid, melibatkan modal besar. Restorasi akhirnya tidak semata-mata menanam, namun menjadi lebih luas dari itu, menyangkut persoalan sosial, ekonomi, penegakan hukum, penjagaan kawasan, membangun banyak negosiasi dan kesepakatan-kesepatan dengan masyarakat setempat yang diharapkan bersedia membantu merestorasi kawasan konservasi yang rusak itu.
c. Kerjasama Multipihak
Pengelolaan multipihak, kolaborasi, kemitraan dengan para pihak harus terus dikembangkan. Hal ini penting karena kemampuan pemerintah terbatas, dan banyak pihak yang bersedia membantu pengelolaan KK, termasuk masyarakat setempat harus dilibatkan dalam pengelolaan secara proporsional dan sesuai dnegan aspirasi masyarakat. Kerjasama juga terus dikembangkan G2G (bilateral) antar pemerintah, pemerintah-swasta; pemerintah-masyarakat/ LSM. Logika pengelolaan kawasan konservasi multipihak ini juga didorong oleh karakter kawasan konservasi sebagaimana diuraikan di atas. Privatisasi maupun pengelolaan oleh pemerintah belum mampu menunjukkan hasilnya yang nyata. Kawasan konservasi dengan luasan 5.000-6.000 Ha pun sebaiknya dikelola bersama, dengan berbagai skema kerjasama.
d. Pembangunan Koridor
Dengan perubahan penggunaan lahan di sekitar KK, yang cenderung monokultur skala besar (perkebunan sawit, karet, coklat, hutan tanaman industri), pembangunan jaringan jalan telah berkontribusi pada proses fragmentasi habitat satwa liar dan mengakibatkan meningkanya konflik manusia-satwa liar, sebagaimana terjadi di hampir seluruh Sumatera; kasus-kasus orangutan di Kaltim, dan sebagainya. Maka pembangunan koridor antar kawasan konservasi, sebagaimana dicetuskan dalam “Peta Jalan Menuju Penyelamatan Visi Sumatera 2020 : Visi 2020, yang dibangun oleh inisiatif lintas Kementerian (Kemen Dalam Negeri, Pekerjaan Umum, Kehutanan, Lingkungan Hidup, Bappenas, Menko Perek) dan Forum Tata Ruang Sumatera. Realisasi dari perencanaan tersebut sudah menjadi kebutuhan bersama yang mendesak dilaksanakan, bukan terjebak menjadi sekedar “dokumen perencanaan”. Sebelum dukumen Visi Sumatera 2020 ini lahir, telah diawali oleh Kesepakatan 10 Gubernur se-Sumatera, pada 18 September 2008, dengan 3 tujuan: (1) Penataan ruang Pulau Sumatera berbasis ekosistem, (2) Restorasi kawasan kritis untuk perlindungan sistem kehidupan, dan (3) Melindungi kawasan yang memiliki nilai penting perlindungan sistem kehidupan, kenaekaragaman hayati, dan perubahan iklim.
e. Pengembangan Daerah Penyangga
PP 28/2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, mengamanatkan dibangunnya daerah penyangga dis ekitar kawasan konservasi. Apabila kawasa penyangganya berupa kawasan hutan, maka Menteri Kehutanan akan menetapkan Daerah Penyangga, yang akan ditindaklanjuti dnegan program-program yang akan membantu pengamanankan kawasan konservasi yang disangganya. Apabila kawasan penyangganya adalah APL (lahan masyarakat, desa, kampung, tanah ulayah, dsb), perkebunan besar, dan sebagainya, maka gubernur atau bupati akan menetapkannya. Sinergitas antara program pengelolaan kawasan konservasi dan penyangganya diharpkan dapat menyelesaikan berbagai persoalan antara ‘park-people relationship”. Kawasan konservasi dapat dijadikan sumber plasma nutfah yang dapat dan seharusnya dikembangkan di daerah penyangganya.
Diskusi
- Pekerjaan besar membangun kawasan Pegunungan Muller sebagai World Heritage, maupun pembangunan koridornya, Muller-Schwaner-TN Bukit Baka Bukit Raya, dalam payung besarnya Heart of Borneo, sudah sepatutnya didukung seluruh pihak, baik di pusat dan terutama di daerah. Baik pemerintah, swasta, LSM, tokoh-tokoh masyarakat.
- Tantangan terbesar dalam pengembangan program-program lintas sektor jangka panjang ini antara lain diperlukannya “nafas panjang”, program multiyears, dan bangunan komunikasi multipihak yang konsisten dan dikawal dengan ketat. Inisiatif WWF Indonesia dalam mengawal proses jangka panjang ini tentu sangat penting, dan sebaiknya terus dilanjutkan. Mungkin diperlukan minimal 10-15 tahun untuk kita dapat menuai hasilnya. Sebagaimana
- Tantangan yang lebih konkrit dan harus bisa dibuktinya khusunya bagi pemerintah daerah dan masyarakat adalah bagaimana para ilmuwan, pakar, dan pemerintah bisa memberikan opsi-opsi pembangunan, dengan menjelaskan dampak ekonomi, sosial, ekonomi, dan lingkungan: konservasi jangka panjang vs tambang jangka pendek; konservasi vs perkebunan; Kajian-kajian yang dilakukan oleh WWF/Heart of Borneo Program , sejak tahun 2008 s/d 2011 ini tentunya mampu menjawab berbagai tantangan itu. Penulis belum melihat adanya kajian Valuasi Ekonomi kawasan ini. Valuasi ekonomi akan dapat menjawab berbagai opsi penggunaan lahan. Valuasi ekonomi akan mengungkap nilai langsung (direct values) maupun tak langsung (indirect values) dari kawasan ini. Bagaimana hasil-hasil kajian itu juga dapat membantu Pemda dalam menyiapkan berbagai opsi rencana pembangunan di daerahnya masing-masing dengan lebih rasional yang didukung data dan informasi spasial dan non spasial yang valid, dengan ntetap mempertimbangkan aspirasi masyarakat, dan keseimbangan antara aspek ekonomi-ekologi-sosial/budaya.
- Tantangan lainnya adalah bagaimana melibatkan pihak swasta, baik yang bergerak di bidang pertambangan migas, mineral, perkebunan skala besar. Baik dalam sinergi program maupun pendanaannya; lembaga-lembaga internasional, bila nantinya kawasan menjadi world heritage yang akan ditetapkan oleh UNESCO, berdasarkan usulan pemerintah Indonesia.
- Implikasi menjadi world heritage harus dipertimbangkan dari sejak awal pengusulannya. Pengalaman pengusulan dan pengelolaan 3 TN di Sumatera (TN Gunung Leuser, TN Kerinci Seblat, dan TN Bukit Barisan Selatan), perlu menjadi perhatian kita bersama. Menjadi world heritage berarti siap untuk dievaluasi oleh World Heritage Committee, setiap tahunnya, sedangkan dukungan pendanaan internasional sangat bergantung pada usaha pemerintah Indonesia dan mitra kerjanya.
- Tantangan bagi pemerintah pusat adalah bagaimana mendorong policy insentives khususnya bagi kabupaten-kabupaten dan provinsi yang mendukung program jangka panjang ini? Bappenas bersama-sama Menkoperek dapat berperan sentral dalam mendorong lahirnya policy insentive ini, dengan mengkoordinasikannya dengan sektor-sektor pembangunan terkait di tingkat pusat. Ide kabupaten konservasi harus dilanjutkan kembali sehingga dapat menjadi percontohan di wilayah ini. Dana Alokasi Khusus (DAK) harusnya bisa dilaokasikan bagi kabupaten-kabupaten yang telah terbukti mendukung inisiatif konservasi skala lansekap ini. Desa-desa di wilayah perbatasan kawasan ini harus mendapatkan prioritas lebih dalam hal layanan kesehatan, kualitas sarana dan prasarana pendidikan, ketersediaan air bersih, listrik, dan semua kebutuhan dasar bagi masyarakatnya.
Daftar Rujukan
Anonim., 2010. Peta Jalan Menuju Penyelamatan Visi Sumatera 2020 : Visi 2020. Kementerian Dalam Negeri, Pekerjaan Umum, Kehutanan, Lingkungan Hidup, Bappenas, Menko Perekonomian dan Forum Tata Ruang Sumatera.
Emil Salim., (2010). Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi, Penerbit Kompas, Jakarta.
Kuswata K dan Doly Priatna. Recovery of a lowland Dipterocarp forest twenty years after selective logging at Sekundur, Gunung Leuser National Park-Reinwardtia Vo.12, Part 3, PP: 237-255).
Wiratno, Virza, Harry Kushardanto, Saud Lubis., (2003) Valuation of Mt. Cibodas Biosphere Reserve; NRM Project, diterbitkan oleh Balai TN Gunung Gede Pangrango (Information Book Series 2), pada tahun 2004.
Wiratno., (2010). Establishing tropical rainforest connectivity in Nothern Sumatra : Challenges and Opportunities in Connectivity Conservation Management. A Global Guide. Greame L.Worboys, et.al (Editor). ICIMOD, IUCN,WCPA, The World Bank, The Nature Conservancy, WWF, Wilburforce Foundation, and Australia Alps National Parks, Earthscan, London, Sterling, VA.